You are What You Do, Not What You Say You’ll Do
Carl Gustav Jung
Dalam masa pandemi ini, hampir setiap saat, dimanapun kita berada, terdapat himbauan untuk mengenakan masker. Dari yang berupa informasi saja, atau berupa himbauan dan ajakan, bahkan sampai instruksi yang bisa menimbulkan sanksi. Banyak rambu sebagai pengingat agar tidak lupa mengenakan masker, demi kesehatan bersama.
Lalu apakah kita benar-benar mematuhinya demi kesehatan diri sendiri atau hanya karena takut terhadap sanksinya? Setiap hari, sepanjang perjalanan menuju ke kantor (saya sudah tidak ada lagi WFH), pasti menemukan orang yang tidak mengenakan masker, atau yang mengenakannya di dagu. Saya sendiri tidak mau munafik, kadang saya melepas masker karena saya belum selesai dandan dan dilanjut di mobil 😀 Namun beberapa kali, saya tetap melanjutkan berdandan meski mengenakan masker polkadot merah yang kata anak saya ‘enggak banget‘ dan membuatnya menjauh, ‘pura-pura gak kenal‘. Duh mungkin dia bener-bener kabur kalau melihat saya pakai masker yang blink-blink 😀 😀 😀
Tapi bagi saya, ada rambu atau tidak, saya berusaha menerima kenyataan bahwa masker adalah bagian dari keseharian yang tak bisa terlupakan. Alhasil, saya mulai memasukan masker sebagai bagian dari gaya berbusana. Minimal saya mulai belanja online berbagai warna masker dan motif. Kudu matching kan?
Tapi bisa jadi memang dari gene-nya saya demikian. Duluuuu… atasan lama saya pernah berkata bahwa saya ini tipe orang yang by the book. Jadi selalu mengikuti aturan. Ada benarnya juga, meskipun tidak seratus persen tepat.

Seperti ketika saya melakukan perjalanan ke Istana Kerajaan (Royal Palace) di Phnom Penh, Kamboja. Di halaman istana yang cukup lebar itu, ada bagian yang memang diperbolehkan untuk publik dan bagian lain yang dilarang dimasuki. Sebuah rambu yang dibuat khusus bertuliskan larangan dalam aksara Khmer dan juga dalam bahasa Inggeris.
Karena batasnya amat longgar, saya pernah melihat turis, -mungkin secara sengaja atau mungkin juga pura-pura tak mengerti-, melanggarnya sehingga seorang petugas segera menggiringnya kembali ke wilayah publik. Saat peristiwa itu terjadi banyak orang yang sedang berada di Throne Hall menjadi memperhatikan orang yang dikawal oleh petugas. Hal seperti itulah yang saya hindari. Menjadi perhatian orang karena melakukan pelanggaran. Kalau sudah begitu, rasanya langit runtuh ke atas kepala saya.

Tapi isi hati orang tidak ada yang pernah tahu. Seperti pada sebuah kejadian saat saya berjalan kaki ke arah pantai di Bali. Meski saat mengambil foto ini, secara tak langsung saya telah menghakimi para pengendara sepeda motor ini, awalnya saya berpikir foto ini mewakili sebuah pesan akan kontradiksi, sebuah pembrontakan, sebuah gaya menantang.
Sudah jelas ada rambu larangan untuk parkir, tetapi paling tidak ada tiga motor parkir di depan rambu tersebut.
Tapi bagaimana seandainya mereka ada sesuatu yang amat mendesak dan dalam situasi darurat tapi tidak ada tempat kosong lagi untuk parkir? Lalu apakah mungkin di tempat parkir yang disediakan sudah terlalu penuh sehingga pengunjung me’lebar’kan wilayah parkirnya dengan cara mereka sendiri?
Kalau begitu, apakah ada rambu larangan yang benar-benar efisien sehingga bisa ditaati tanpa sanksi?
Bisa jadi jika orang sudah taat hukum, rambu-rambu larangan itu membuat kehidupan berjalan biasa, dengan situasi normal dan baik. Atau justru karena orang takut kepada sanksinya, sehingga mau tidak mau orang menaatinya. Terlepas dari benar tidaknya, saya pernah melihat orang-orang, -termasuk saya tentunya-, benar-benar menaati sebuah rambu larangan meskipun tanpa sanksi.
Terjadi di Tuol Sleng Museum of Genocide, di Phnom Penh, Kamboja

Di dinding dekat pintu, ada sebuah rambu larangan yang sedikit membingungkan karena berupa wajah dengan mulut membuka lebar yang dicoret garis silang merah. Saya mengartikannya bahwa pengunjung dilarang tertawa-tawa atau bicara dengan suara keras.
Jangankan tertawa-tawa, bicara pun rasanya tak mampu di sana. Menyaksikan tempat, penjara dan alat-alat siksaan yang mengerikan terpampang dengan begitu gamblang di depan mata, lengkap dengan lukisan cara para korban disiksa, dan foto-foto korban sebelum dijemput ajal serta sisa darah korban yang masih menempel di dinding, rasanya melengkapi aura yang amat brutal dan menyeramkan di gedung itu. Secara otomatis, pengunjung hanya bisa diam dalam kengerian menelusuri lorong dan gedung yang pernah menjadi sebuah Kamp Konsentrasi semasa rezim Komunis Khmer Merah yang berkuasa di Kamboja pada tahun 1975 – 1979.
Pengunjung biasanya tergugu, kalaupun hendak bicara biasanya hanya bisik-bisik. Tak sedikit yang termangu, langsung keluar ke halaman, atau bahkan menangis karena tak tahan dengan semua yang disaksikannya.
Satu rambu larangan yang bahkan tak jelas maksudnya, bisa menjadi amat efisien tergantung pada tempatnya.
Masih di Kamboja, tetapi berada di remote area, dekat kuil-kuil indah yang terkenal.

Sebuah papan informasi yang sebenarnya merupakan sebuah rambu menghias sisi jalan masuk ke arah kuil. Rambu ini mungkin terlewatkan oleh pengunjung yang kurang memperhatikan. Tapi sesungguhnya amat penting.
Di papan informasi ini terdapat peta yang dibuat secara sederhana seadanya tentang wilayah-wilayah yang telah dibebaskan dari ranjau darat!
Meskipun biasanya area kuil telah bersih dari ranjau darat, sebagai pengunjung pastinya tidak ingin kehilangan kaki atau anggota badan atau bahkan nyawa sekalipun saat menjelajah ke kuil-kuil kuno. Maka dari itu, mengetahui informasi tentang wilayah yang telah dibebaskan dari ranjau darat menjadi amat penting. Berani berjalan keluar jalur?
Hingga tahun 2020 ini masih ada lho ledakan dari sisa-sisa perang ini…
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-28 bertema Sign agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.