Do You Follow The Rule?


You are What You Do, Not What You Say You’ll Do

Carl Gustav Jung

Dalam masa pandemi ini, hampir setiap saat, dimanapun kita berada, terdapat himbauan untuk mengenakan masker. Dari yang berupa informasi saja, atau berupa himbauan dan ajakan, bahkan sampai instruksi yang bisa menimbulkan sanksi. Banyak rambu sebagai pengingat agar tidak lupa mengenakan masker, demi kesehatan bersama.

Lalu apakah kita benar-benar mematuhinya demi kesehatan diri sendiri atau hanya karena takut terhadap sanksinya? Setiap hari, sepanjang perjalanan menuju ke kantor (saya sudah tidak ada lagi WFH), pasti menemukan orang yang tidak mengenakan masker, atau yang mengenakannya di dagu. Saya sendiri tidak mau munafik, kadang saya melepas masker karena saya belum selesai dandan dan dilanjut di mobil 😀 Namun beberapa kali, saya tetap melanjutkan berdandan meski mengenakan masker polkadot merah yang kata anak saya ‘enggak banget‘ dan membuatnya menjauh, ‘pura-pura gak kenal‘. Duh mungkin dia bener-bener kabur kalau melihat saya pakai masker yang blink-blink 😀 😀 😀

Tapi bagi saya, ada rambu atau tidak, saya berusaha menerima kenyataan bahwa masker adalah bagian dari keseharian yang tak bisa terlupakan. Alhasil, saya mulai memasukan masker sebagai bagian dari gaya berbusana. Minimal saya mulai belanja online berbagai warna masker dan motif. Kudu matching kan?

Tapi bisa jadi memang dari gene-nya saya demikian. Duluuuu… atasan lama saya pernah berkata bahwa saya ini tipe orang yang by the book. Jadi selalu mengikuti aturan. Ada benarnya juga, meskipun tidak seratus persen tepat.

A Sign in Royal Palace, Cambodia

Seperti ketika saya melakukan perjalanan ke Istana Kerajaan (Royal Palace) di Phnom Penh, Kamboja. Di halaman istana yang cukup lebar itu, ada bagian yang memang diperbolehkan untuk publik dan bagian lain yang dilarang dimasuki. Sebuah rambu yang dibuat khusus bertuliskan larangan dalam aksara Khmer dan juga dalam bahasa Inggeris.

Karena batasnya amat longgar, saya pernah melihat turis, -mungkin secara sengaja atau mungkin juga pura-pura tak mengerti-, melanggarnya sehingga seorang petugas segera menggiringnya kembali ke wilayah publik. Saat peristiwa itu terjadi banyak orang yang sedang berada di Throne Hall menjadi memperhatikan orang yang dikawal oleh petugas. Hal seperti itulah yang saya hindari. Menjadi perhatian orang karena melakukan pelanggaran. Kalau sudah begitu, rasanya langit runtuh ke atas kepala saya.

No Parking Here

Tapi isi hati orang tidak ada yang pernah tahu. Seperti pada sebuah kejadian saat saya berjalan kaki ke arah pantai di Bali. Meski saat mengambil foto ini, secara tak langsung saya telah menghakimi para pengendara sepeda motor ini, awalnya saya berpikir foto ini mewakili sebuah pesan akan kontradiksi, sebuah pembrontakan, sebuah gaya menantang.

Sudah jelas ada rambu larangan untuk parkir, tetapi paling tidak ada tiga motor parkir di depan rambu tersebut.

Tapi bagaimana seandainya mereka ada sesuatu yang amat mendesak dan dalam situasi darurat tapi tidak ada tempat kosong lagi untuk parkir? Lalu apakah mungkin di tempat parkir yang disediakan sudah terlalu penuh sehingga pengunjung me’lebar’kan wilayah parkirnya dengan cara mereka sendiri?

Kalau begitu, apakah ada rambu larangan yang benar-benar efisien sehingga bisa ditaati tanpa sanksi?

Bisa jadi jika orang sudah taat hukum, rambu-rambu larangan itu membuat kehidupan berjalan biasa, dengan situasi normal dan baik. Atau justru karena orang takut kepada sanksinya, sehingga mau tidak mau orang menaatinya. Terlepas dari benar tidaknya, saya pernah melihat orang-orang, -termasuk saya tentunya-, benar-benar menaati sebuah rambu larangan meskipun tanpa sanksi.

Terjadi di Tuol Sleng Museum of Genocide, di Phnom Penh, Kamboja

Tuol Sleng Museum of Genocide

Di dinding dekat pintu, ada sebuah rambu larangan yang sedikit membingungkan karena berupa wajah dengan mulut membuka lebar yang dicoret garis silang merah. Saya mengartikannya bahwa pengunjung dilarang tertawa-tawa atau bicara dengan suara keras.

Jangankan tertawa-tawa, bicara pun rasanya tak mampu di sana. Menyaksikan tempat, penjara dan alat-alat siksaan yang mengerikan terpampang dengan begitu gamblang di depan mata, lengkap dengan lukisan cara para korban disiksa, dan foto-foto korban sebelum dijemput ajal serta sisa darah korban yang masih menempel di dinding, rasanya melengkapi aura yang amat brutal dan menyeramkan di gedung itu. Secara otomatis, pengunjung hanya bisa diam dalam kengerian menelusuri lorong dan gedung yang pernah menjadi sebuah Kamp Konsentrasi semasa rezim Komunis Khmer Merah yang berkuasa di Kamboja pada tahun 1975 – 1979.

Pengunjung biasanya tergugu, kalaupun hendak bicara biasanya hanya bisik-bisik. Tak sedikit yang termangu, langsung keluar ke halaman, atau bahkan menangis karena tak tahan dengan semua yang disaksikannya.

Satu rambu larangan yang bahkan tak jelas maksudnya, bisa menjadi amat efisien tergantung pada tempatnya.

Masih di Kamboja, tetapi berada di remote area, dekat kuil-kuil indah yang terkenal.

Minefield cleared Map

Sebuah papan informasi yang sebenarnya merupakan sebuah rambu menghias sisi jalan masuk ke arah kuil. Rambu ini mungkin terlewatkan oleh pengunjung yang kurang memperhatikan. Tapi sesungguhnya amat penting.

Di papan informasi ini terdapat peta yang dibuat secara sederhana seadanya tentang wilayah-wilayah yang telah dibebaskan dari ranjau darat!

Meskipun biasanya area kuil telah bersih dari ranjau darat, sebagai pengunjung pastinya tidak ingin kehilangan kaki atau anggota badan atau bahkan nyawa sekalipun saat menjelajah ke kuil-kuil kuno. Maka dari itu, mengetahui informasi tentang wilayah yang telah dibebaskan dari ranjau darat menjadi amat penting. Berani berjalan keluar jalur?

Hingga tahun 2020 ini masih ada lho ledakan dari sisa-sisa perang ini…


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-28 bertema Sign agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.

Kamboja, Negeri Penuh Makna


Rasanya masih ingat moment istimewa jelang akhir tahun 2010 itu, saat hendak menentukan mau ke negara mana lagi di kawasan Asia Tenggara. Ketika itu saya memegang buku Lonely Planet Southeast Asia on A Shoestring dan sudah menentukan prioritas, Vietnam berada di peringkat atas dan Kamboja berada paling bawah. Alasannya sederhana. Saya meletakkan Kamboja  paling bawah karena saya takut hantu dari orang-orang yang meninggal tak wajar dan Kamboja bisa dibilang jawaranya, karena belum lama keluar dari masa kelam akibat genosida Khmer Merah itu. Seorang teman yang sering menakut-nakuti selalu bilang, anggaplah 1 persen dari korbannya menjadi hantu, itu artinya 16.000 dan itu banyaaaakkk!

Tetapi faktanya, seperti bumi dan langit. Setelah momen itu, di kuartal pertama tahun berikutnya saya justru mengunjungi Kamboja, bahkan hingga berkali-kali bolak balik ke negeri itu dan Vietnam baru saya kunjungi di penghujung akhir tahun 2015, itu pun hanya satu kali ke Vietnam Tengah yang hingga kini angka itu belum berubah 😀

Lalu apa yang membuat saya ke Kamboja?

Angkor Archaeological Park 

Sebagai penggemar sejarah dan candi-candi Hindu Buddha, bisa dibilang saya ternganga ndhlongop saat pertama kali ke kompleks candi Angkor, yang jumlah bangunannya banyak sekali dan tidak cukup tiga hari dikelilingi. Angkor Wat saja sudah luas sekali, Belum lagi di tambah Phnom Bakheng dan kawasan Angkor Thom yang ada Baphuon, Bayon, kawasan Royal Palace lengkap dengan Phimeanakas, lalu Terrace of The Elephants dan Terrace of the Leper King. Tentu saja dengan ke lima gerbang Angkor Thom yang keren-keren itu. Dan yang pasti Ta Prohm temple yang selalu dihubungkan dengan film Tomb Raider-nya Angelina Jolie. Ada yang sudah pernah ke Preah Khan temple atau Banteay Kdei? Hmmm, bagaimana dengan Ta Som, Neak Pean, East Mebon, Takeo, Pre Rup dan Prasat Kravan serta kompleks candi Roluos atau Banteay Samre dan Banteay Srei?

Bahkan saya tak puas hanya sekali atau dua kali, sehingga setiap ada kesempatan ke Kamboja saya selalu mengupayakan ke Angkor. Tidak heran, hampir semua candi itu sudah saya datangi. Hampir semua, supaya ada alasan untuk kembali lagi!

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Tidak hanya itu, bisa dibilang saya telah meninggalkan jejak di hampir seluruh kompleks candi di Kamboja, termasuk kompleks candi yang sangat remote. Di Preah Vihear yang di perbatasan dengan Thailand, atau Beng Mealea dan Koh Ker. Bahkan kompleks candi Preah Khan Kp. Svay yang sangat jauh dari perkampungan manusia pun saya kejar. Juga kawasan percandian Sambor Prei Kuk yang belakangan ini mendapat gelar UNESCO World Heritage Site. Selain candi-candi kecil di dekat Battambang atau Phnom Penh, saya mendatangi juga kawasan percandian Banteay Chhmar yang lokasinya dekat dengan Sisophon, tak jauh dari perbatasan Thailand. Dan bagi saya ini, masih banyak tempat yang bisa saya datangi untuk melihat candi.

Jadi kalau ke Kamboja, tidak ke Angkor… itu namanya belum ke Kamboja hehehe…

Tuol Sleng & Choeung Ek

Meskipun saya ini penakut, saya memberanikan diri pergi ke “ground zero“-nya penyiksaan Khmer Merah ini. Kok nekad? Karena saya percaya dengan nasehatnya Nelson Mandela yang mengatakan The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear. Dan mengalahkan ketakutan saya ini membukakan pintu-pintu pemahaman dan makna buat saya.

Bahwa demi ideologi, bagi sebagian manusia, nyawa manusia lainnya menjadi tak berarti hanya karena berbeda.

Di tempat ini saya juga belajar bahwa penggiringan falsafah tanpa keberagaman akan membawa kepada konsep diktator yang merusak tatanan kehidupan. 

Jika datang kedua tempat ini tidak dapat menggerakkan rasa kemanusiaannya, sepertinya diragukan kenormalannya sebagai manusia yang berperasaan hehehe…

IMG_5453

Wajah Maaf & Kebesaran Jiwa

Sebagai akibat peristiwa genosida yang menghabisi satu generasi, tak jarang saya menyaksikan wajah penuh maaf dan toleransi pada penduduk lokal Kamboja, Ketika perang sipil berlangsung dalam waktu yang panjang dan mengakibatkan penderitaan tak berkesudahan, satu-satunya jalan untuk hidup lebih baik adalah pemberian maaf, toleransi dan memiliki kebesaran jiwa. Dendam tak akan pernah membawa kebaikan, kecuali hanya membawa derita. Bagaimana mungkin mendendam kepada orang yang sama-sama menderita, yang mungkin sama-sama dikenal, mungkin sama-sama tetangga di kiri kanan rumah, bahkan mungkin sebagai kerabat. Hanya orang yang memiliki kebesaran jiwa yang bisa keluar seutuhnya dari neraka kemanusiaan yang pernah terjadi di bumi Kamboja.

Jika Anda ke Kamboja dan bisa menjadi saksi wajah maaf dan kebesaran jiwa yang dimiliki sebagian penduduk tua di Kamboja, maka berbahagialah. Sesungguhnya tak mudah menemukan hal itu sekarang.

Kemiripan Budaya 

Saya yang termasuk picky terhadap makanan asing, ternyata lidah saya bisa menerima dengan nyaman makanan dari Kamboja, terutama fish amok yang luar biasa enak itu. Campuran bumbu yang ada di dalamnya membuat lidah saya sepertinya ‘kenal’ dengan yang biasa saya telan di negara sendiri, sehingga saya welcome saja dengan makanan Kamboja. Bisa jadi karena tradisi memasak sesungguhnya berakar dari sumber yang sama yaa… Belum lagi cara mereka membungkus makanan atau kue-kue yang juga menggunakan daun pisang. Tidak jauh beda dengan kita kan?

Saya juga teringat dengan minuman selamat datang yang diberikan hotel saat saya check-in. Saya mengira akan diberikan minuman rasa jeruk, apel atau buah-buahan standar lainnya tetapi mereka justru memberikan saya sereh (lemongrass) yang amat segar. Meskipun berbeda dari biasanya, lidah saya mengenal rasa itu seperti di Indonesia. Saya justru terkejut gembira mendapatkan sesuatu yang familiar seperti di negara sendiri.

Dan selagi di sana, saya biasanya memperhatikan wajah penduduk asli Khmer. Meskipun menurut saya hidung orang Indonesia lebih bagus, wajah penduduk asli Kamboja bisa dibilang lebih mirip dengan kita, dibandingkan dengan Malaysia. Ini menurut saya lho… Dan karena sejalan dengan penyebaran Indianisasi, banyak kata-kata bahasa Khmer yang dari pengucapan bisa dibilang mirip atau tak jauh dengan bahasa Indonesia. Dan mengetahui hal ini, sangat menggembirakan saya dan mencari tahu lebih banyak lagi… Contohnya, Guru dan Krou (dengan huruf o-nya hampir hilang), Kampung dan Kompong, Kerbau dan Krabei (i-nya hampir hilang), Pasar dan psar, Kapal dan Kbal. Muka dan muk. Menarik kan? Ada yang pernah tahu kata-kata apalagi yang mirip?

Kalau bicara seni tradisional, wah bangsa Kamboja juga memiliki pertunjukan wayang, meskipun ukuran wayangnya besar (bisa lebih dari 1 meter) dan dimainkan oleh lebih dari satu orang dan layar putihnya panjang sekali. Saya sendiri menikmati pertunjukan wayang Kamboja ini justru di Jakarta dan belum pernah menyaksikan langsung di tempat asalnya. Malam itu, -disaat semua orang sedunia menyaksikan pernikahan agung Pangeran William dan Kate Middleton di London-, saya justru menikmati cultural performance dari Kamboja di Jakarta, hehehe…

Selain itu di Kamboja juga memiliki tarian tradisional yang dilakukan berpasang-pasangan dengan menggunakan tempurung kelapa yang saling diketok satu sama lain, seperti tarian tempurung di Indonesia. Pernah lihat?

Nah, siapa diantara kita yang suka kerokan ketika sedang ‘masuk angin‘? Kebiasaan turun temurun dari para leluhur yang dikenal dengan sebutan kerokan itu ternyata dikenal juga lho di Kamboja. Meskipun namanya bukan kerokan, melainkan goh kyol.

Dan bertemu teman-teman Indonesia…

Di Kamboja, saya memiliki teman-teman baru yang memiliki keterikatan yang kuat dengan Kamboja. Entah yang seperti saya yang sekedar berkunjung, atau mereka yang bekerja di sana. Apapun itu, mereka adalah orang-orang hebat. Dan bukan di kedutaan kami bertemu, melainkan di sebuah warung. Warung Bali di Phnom Penh, tepatnya. Tempat itu sudah seperti kedutaan Indonesia yang tak resmi, yang berlokasi sangat strategis karena hanya selemparan batu dengan Museum Nasional dan Royal Palace serta tempat hang-out di sekitaran kawasan riverside di Phnom Penh. Dan jika beruntung, kita bisa berdiskusi hangat di sana sambil diselingi humor. Rugilah kalau ke Kamboja tidak sempat mampir ke Warung Bali. Makanannya enak-enak dan lidah bisa istirahat sejenak dari berbahasa Inggeris terus di sana…

Terlepas dari berita-berita negatif tentang Kamboja yang dialami pejalan dari Indonesia, seperti penjambretan tas di tuktuk, atau korupsi kecil-kecilan di perbatasan, atau kesan ‘Kamboja itu gak ada apa-apa’, atau ‘negara miskin’, bagi saya pribadi Kamboja tetap menjadi negara yang akan saya datangi secara rutin di kemudian hari selama Tuhan mengizinkan. Dimanapun kita harus tetap waspada dengan barang-barang kita sendiri. Dan soal korupsi, selama negara sendiri belum bebas sepenuhnya dari kata itu, sebaiknya kita tak menunjuk negara lain, karena meskipun hanya satu noktah, kita terpapar juga.

Lagi pula bagi saya, berkunjung ke negara lain itu untuk mencari makna perjalanannya sendiri dan bersyukur punya negara sendiri serta bukan menjadi sebuah pertandingan untuk banyak-banyakan stamp imigrasi (Lhaa… kalau mau banyak-banyakan, bisa susun itinerary 1 hari 1 negara, atau langsung terbang lagi setelah dapat stamp, sampai mabok! 😀 😀 😀 )


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-31 ini bertema Cambodia agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Cambodia – Finally Sambor Prei Kuk


Ada rasa haru ketika kaki akhirnya menjejak tanah di kompleks Sambor Prei Kuk, sebuah kompleks percandian yang lebih tua daripada Angkor, yang berada di wilayah Kompong Thom, sekitar 200 kilometer Barat Laut Phnom Penh. Ah, bumi Kamboja memang penuh monumen kuno yang selalu memanggil saya untuk datang… 

*

Sambor Prei Kuk, memang lebih jarang dikunjungi oleh pengunjung Angkor, mungkin karena lokasinya yang ‘nanggung’, – dipertengahan jarak antara Siem Reap dan Phnom Penh -, ditambah dengan kondisi tak banyak obyek wisata lain yang terlalu menarik untuk dikunjungi. Mungkin hanya diminati oleh para penggemar candi, seperti saya misalnya 🙂

Prasat Tao atau Prasat Boram (Group C – Tengah)

Diiringi suara khas desir angin pagi diantara pepohonan, saya melangkah melewati pagar pembatas kuno dan merasa disambut hangat di candi yang justru paling akhir dibangun, sekitar abad-9 atau awal abad-10 oleh Raja Jayavarman II yang dikenal sebagai penguasa pertama kerajaan Angkor. Prasat Boram oleh penduduk lokal biasa disebut Prasat Tao yang artinya singa, karena memang di tiap sisinya terdapat sepasang arca singa walaupun hanya tinggal satu sisi yang masih lengkap.

Decor on top of the door at Prasat Tao

Walaupun kini Prasat Tao hanya tinggal sendiri karena candi-candi kecil sekitarnya telah runtuh, menyisakan gundukan tak berbentuk, Prasat Tao tampak anggun seperti bermahkota tumbuhan liar hijau. Sisa kecantikan bangunan abad-9 dengan ketinggian 20 meter ini masih terasa dengan adanya sisa hiasan pada dinding dan pintu. Pada masa jayanya pastilah indah. Terlihat para ahli restorasi bersusah payah membuat replika hiasan dari bahan modern semirip aslinya, – yang serupa di candi abad-9 di Phnom Kulen -, walaupun hiasan itu terasa janggal, tak cocok waktu.

Mata saya langsung mengarah pada sepasang singa penjaga pintu yang duduk dengan kaki depan tegak, kepala menghadap depan dengan mulut membuka, terlihat sangat gagah dan kokoh. Kedua singa itu memiliki surai ikal yang amat cantik. Sebenarnya di keempat sisi lainnya ada juga pasangan singa, namun kini hanya tinggal cakarnya saja atau bahkan hilang sama sekali karena diambil paksa oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Lalu seakan meminta izin dari singa sang penjaga, saya melangkah masuk ke ruang dalam candi yang luas namun kosong. Sinar matahari masuk melalui lubang lebar di puncak bangunan, menjadikan situasi yang eksotis. Entah puncak itu memang sejak awal berlubang atau tertutup dengan bahan lain, tak pernah diketahui. Tepat di bawahnya berseberangan dengan pintu masuk, terdapat sebuah altar sederhana berisi arca kecil Buddha. Walaupun sejarah mencatat Sambor Prei Kuk didedikasikan kepada Dewa Shiva sebagai salah satu dewa utama Hindu, tempat-tempat yang dipercaya sakral oleh penduduk lokal masih difungsikan sebagai tempat untuk melantunkan doa dan pujian sesuai kepercayaannya kini.

Tak lama kemudian, saya melangkah keluar dan berbisik pada singa penjaga lalu melanjutkan langkah ke group lain di kompleks candi itu, meninggalkan Prasat Tao yang diam berdiri sendiri dalam hening.

Prasat Yeai Poeun (Group S – Selatan)

Kerumunan anak kecil dengan rayuan maut ‘One Dollar’ diusir dengan kasih sayang oleh pemandu saya. Ia, yang juga menjadi salah satu tenaga konservasi, menunjukkan saya jalan menuju Prasat Yeah Puon melalui jalan setapak. Tak perlu bahasa Inggeris sempurna, cukuplah ditambah bahasa tubuh dan senyum universal, komunikasi saya dengannya bisa terjalin hangat. Desir angin lagi-lagi mengantar saya di bawah rindangnya pepohonan, menyusuri pagar bata kuno –di satu sisi panjangnya mencapai 250meter dan sisi lainnya hingga 2 km-, yang menjadi saksi bisu perjalanan waktunya.

Octagonal Shrines with Flying Palace, Sambor Prei Kuk

Tak lama berselang saya melihat lima bangunan candi bata berbentuk segi delapan, yang kondisinya tak jauh beda dengan Prasat Tao bahkan mungkin lebih mengenaskan karena dibantu besi-besi penopang.  Mata ini dimanjakan dengan bentuk oktagonalnya yang merupakan arsitektur Khmer yang luarbiasa unik, tak ada lagi di tempat lain. Pada tiap sisinya terdapat dekorasi Flying Palace, -sebuah dekorasi yang menggambarkan istana dewa-dewi beserta isinya-, yang masing-masing berbeda di tiap bangunan, namun sayang sudah tak begitu jelas lagi karena dimakan waktu. Padahal menurut literatur, banyak penggambaran makhluk-makhluk khayangan yang tak biasa di dekorasi itu, termasuk kuda bersayap!

Selepas itu, saya melangkah memasuki bangunan yang berada tepat di depan candi utama, yang disebut Mandapa. Bangunan yang masih direnovasi karena rusak berat akibat hujan berkepanjangan di musim monsoon tahun 2006 lalu, dulunya merupakan tempat penyimpanan arca perak Nandi, kendaraan Dewa Shiva. Walaupun keberadaan Nandi perak itu tak lagi diketahui, ada yang menarik di Mandapa ini. Di dalam bangunan bata ini terdapat struktur sandstone, bukan bata, yang penuh dengan hiasan dan inskripsi abad-7 yang menyatakan Raja Isanavarman I telah mengalahkan dinasti Funan dan mendirikan bangunan ini.

Tetapi tak hanya itu, uniknya lagi, terdapat ukiran kepala yang disebut Kudu, yang diduga serupa dan sejaman dengan aliran budaya Hellenisme! Serta merta sebuah pertanyaan terbersit keluar, benarkah ini? Jelas sekali hiasan ini terpengaruh oleh budaya India, tetapi bukannya tidak mungkin pengaruh juga datang dari negeri-negeri yang lebih Barat? Hellenisme di Kamboja pada abad-7… wow!

Masih terkagum dengan kenyataan Hellenisme di Kamboja, saya menuju bangunan utama Prasat Yeai Poeun yang tingginya mencapai 25 meter dengan puncak terbuka. Saya berlama-lama di ruang itu, menikmati setiap hiasan pedestal yang teramat cantik walau hanya berupa rekonstruksi. Pedestal besar tempat Lingga Yoni didirikan, mengandung inskripsi yang menyatakan ada Arca Emas Dewa Siwa yang Tersenyum didirikan diatasnya. Tapi ah, rasanya mustahil melihatnya karena hingga kini arca itu tak ketahuan bentuk dan keberadaannya.

Sebelum meninggalkannya, saya berdiri diam menghadap grup Prasat Yeah Puon ini. Sambor Prei Kuk yang terdaftar sebagai Tentative List of UNESCO World Heritage Site ini turut menjadi korban alam dan keganasan perang. Tak sedikit bangunan bersejarah hancur ditelan waktu dan juga terkena bom-bom oleh pasukan Amerika saat perang dulu sehingga tak heran, kawah-kawah bom ada disana sini.

Saya melangkah menuju sebuah lempeng batu rekonstruksi yang berbentuk lingkaran dengan ukiran yang cantik yang lokasinya tak jauh dari bangunan candi yang sebagian dindingnya berselimut akar-akar pohon. Eksotis!

Decor on an upper part of circle pedestal

Decor on the lower part of circle pedestal

Prasat Sambor (Group N – Utara)

Kelompok candi terakhir yang saya kunjungi adalah Prasat Sambor yang terletak di bagian Utara dan merupakan group terbesar di kompleks Sambor Prei Kuk karena dinding pembatas luarnya hampir 400 meter dan sisi lainnya mencapai 2 kilometer. Prasat Sambor yang dibangun oleh Raja Isanavarman I di kota Isanapura ini diyakini menjadi candi utama Kerajaan Chenla.

Prasat Sambor, the 7th century main temple

Saya tergerak menuju sudut yang tadinya berdiri sebuah bangunan namun kini hancur tinggal dinding bawahnya saja, di tengahnya terdapat linggayoni. Sungguh miris rasanya melihat peninggalan-peninggalan sejarah terbengkalai di ruang terbuka terkena panas dan hujan. Kemudian saya melanjutkan menuju sebuah bangunan bata lain yang juga telah dihiasi tumbuhan liar disana sini. Didalamnya terdapat arca yang sangat menawan. Dewi Durga! Apalagi sinar matahari datang dari lubang atas yang berlatar batu bata merah. Eksotis sekali, walaupun arcanya merupakan replika (arca asli tersimpan aman di museum).

Menyusuri pinggir Prasat Sambor, di sudut lainnya saya memasuki bangunan yang berisikan arca Harihara yang menurut tradisi Hindu merupakan Dewa Shiva dan Dewa Vishnu dalam satu sosok. Walaupun hanya berupa replika, -aslinya dapat dilihat di Museum Nasional di Phnom Penh-, arca Harihara terlihat eksotis dengan sinar matahari dari atas dilatari bata merah.

Matahari sudah tinggi ketika saya selesai mengelilingi Prasat Sambor. Tinggal tersisa candi utama yang berada di tengah-tengah. Saya mendekati Candi Utama sambil melihat masih banyak dudukan lingga-yoni berbentuk bundar atau segi delapan yang terserak di sekitaran candi.

Selayaknya bangunan utama, ia berdiri sendiri di atas teras tanpa pepohonan pelindung lagi. Matahari terasa memanggang tanpa ampun. Tak ada pilihan lain kecuali segera menaikinya untuk berteduh sejenak dari sengatan matahari. Uniknya, candi utama ini memiliki pintu di empat sisinya. Di tengahnya terdapat dudukan Lingga-yoni (yang ditemukan dalam pecahan di sekitar candi), dengan diameter lubang lebih dari 1 meter! Sangat besar! Tak terbayangkan besarnya arca Gambhiresvara yang menurut inskripsi didedikasikan di candi ini, namun sayang hingga kini tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang bentuk dan keberadaannya.

Main pedestal Prasat Sambor with 1 meter diameter

Saya masih mendapat bonus dari kunjungan saya di Sambor Prei Kuk untuk menyaksikan Prasat Chrey yang seakan dipeluk erat oleh akar-akar pohon, terlihat sangat melindungi. Di kompleks Sambor Prei Kuk ini saja ada dua bangunan yang diliputi penuh dengan akar pohon, belum terhitung di Koh Ker atau seperti yang terkenal di Ta Prohm dan ditempat-tempat lainnya.

Rasanya selalu berat meninggalkan sebuah kompleks percandian, tetapi saya harus melanjutkan perjalanan. Seperti juga hidup, ada saat berjumpa, bersama dan tak boleh lupa waktunya berpisah. Sambil berterima kasih dalam hati saya melambaikan tangan pada kompleks Sambor Prei Kuk.

Menyaksikan Mentari Tenggelam dari Tebing Preah Vihear


Sebagai salah satu World Heritage Site, Candi Preah Vihear di perbatasan Thailand – Cambodia memang masih berada di daerah rawan konflik antar kedua negara, Tetapi tidak menyurutkan saya untuk datang kesana tahun 2012 lalu. Candi ini memang luar biasa keren, dan tempatnya awesome…

A Rhyme in My Heart

Preah Vihear Preah Vihear

November tahun 2012 lalu, akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi Preah Vihear, Candi Khmer yang memukau yang terletak di atas tebing 600 meter di wilayah Pegunungan Dangrek, Cambodia bagian Utara. Tidak itu saja, bahkan bisa menyaksikan sunset di situ! Memang Preah Vihear merupakan sebuah destinasi yang sudah lama berada dalam angan-angan saya untuk dapat diinjak dengan kaki, dilihat dengan mata dan disentuh dengan seluruh jiwaraga. Kesempatan datang begitu saja, ketika acara yang tadinya harus saya hadiri di Phnom Penh dibatalkan, sehingga perjalanan bisa saya ubah ke Siem Reap. Dan itinerary disiapkan secepat kilat, karena perubahan acara itu datang tidak mengetuk pintu dahulu.

Untungnya arsip lama saya tentang Preah Vihear tidak banyak berubah. Pertanyaan pertama yang selalu muncul : Apakah AMAN berkunjung ke Preah Vihear sekarang ini? Dan itu juga berlaku untuk saya, apalagi saya seorang female independent traveler.

Lihat pos aslinya 2.327 kata lagi

Galeri

An Amazing Trip to Phnom Kulen


Phnom Kulen, salah satu Tentative List UNESCO World Heritage Sites yang dimiliki oleh Kamboja, masih menyimpan banyak kejutan. Ada Lingga Yoni yang bertahan 13 abad di bawah permukaan air, Ada Patung Reclining Buddha yang miring pada sisi kiri tubuhnya dan juga tempat Angelina Jolie lompat bebas ke sungai dari ketinggian tebing. Dan bukan naik mobil atau tuktuk, melainkan naik….. hmmm… lanjutin deh cerita perjalanan recharging saya ke Kamboja (lagi! dan lagi!)

A Rhyme in My Heart

Dengan membonceng sepeda motor, saya meninggalkan bandara Siem Reap lalu melewati keteduhan hutan-hutan yang melindungi Angkor Archeological Park dengan mengambil jalan di sisi timur kompleks percandian yang terkenal seantero dunia itu. Merasakan energi yang tersalurkan deras kedalam diri, saya melambaikan tangan tanda cinta kepada candi-candi dan baray yang saya lalui; Prasat Kravan, Banteay Kdei, Sras Srang, Pre Rup dan East Mebon sebelum akhirnya berbelok ke arah East Baray. Rasanya semua candi dan baray membalas lambaian saya sambil tersenyum anggun dalam diamnya di tempatnya masing-masing. Ah, imajinasi saya mulai bermain-main…

Selepas Archaeological Park, pemandangan standar mulai menghampar. Tanah-tanah kosong tak terpelihara bergantian dengan perkampungan dengan rumah-rumah tradisional Kamboja yang dibuat tinggi di atas tiang. Beberapa kali kendaraan lain yang melaju cepat menyusul, biasanya berisi turis-turis yang hendak ke Banteay Srei atau bus yang menuju Anlong Veng. Jarang sekali yang setujuan dengan saya ke Phnom Kulen, yang secara harafiah berarti gunung yang…

Lihat pos aslinya 1.224 kata lagi