Al Aqsa, Ikon Keemasan Dalam Kegelapan Malam


Seperti orang dahaga mendapatkan air, kelegaan itu terasa sekali saat melangkah keluar dari bangunan yang merupakan pos perbatasan Israel di Allenby Bridge ini (baca posnya disini: Kebat-Kebit di Pos Perbatasan Israel). Sama sekali tak perlu berpura-pura bego, sama sekali tak perlu berpura-pura tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggeris. Mereka sama saja seperti petugas imigrasi di negara lainnya, ketika pekerjaan melakukan verifikasi terhadap seseorang selesai, mereka ingin orang itu berlalu sesegera mungkin dari hadapannya. Apapun yang menyebabkan kami serombongan tertahan lama di tempat ini, biarkan menjadi rahasia mereka

Langkah demi langkah menuju bus semakin mendekatkan saya kepada Tanah Impian. Saya menggigit bibir merasakan getar halus dalam dada. Sebentar lagi, sebentar lagi, impian itu menjadi nyata.

Sayangnya, malam telah tiba saat kami melanjutkan perjalanan menuju Jerusalem. Saya tak bisa memanjakan mata melihat pemandangan keluar jendela bus karena kegelapan telah memeluknya. Hanya saja terasa mesin bus menderu ketika roda-roda bus menapaki aspal jalan. Sungguh, semuanya seperti yang telah digariskan terjadi pada hari itu. Setelah berjuang memperpanjang sabar dalam situasi harap-harap cemas di pos perbatasan Israel, Dia Yang Maha Kuasa seakan sengaja memberi kesempatan kepada kami semua untuk rehat menutup mata untuk menit-menit ke depan, membiarkan angan berdansa dan rindu memenuhi kalbu. Save the best for last…

After Prayers at Qubbat As Shakrah

Bus terus bergerak dengan situasi didalamnya yang terasa hening, bahkan mungkin terlalu hening yang tak biasa. Entahlah, rasa yang terlalu hening tak biasa itu mampu membuat saya membuka mata. Kegelapan di luar jendela masih tak beda dari sebelumnya, namun kini bus terasa makin melambatkan kecepatan hingga akhirnya berhenti sejenak di tempat seperti gardu tol. 

Tapi, nyatanya tempat bus berhenti ini bukan gardu tol, melainkan titik pemeriksaan keamanan. Sebuah pos check-point. Ke Israel memang membawa risiko harus bersedia melalui pos-pos check-point yang sejatinya sangat menyesakkan hati. Tempat serupa gerbang tol ini menjadi saksi pemaksaan keterbatasan gerak terhadap bangsa Palestina yang dahulunya justru menempati tanah negeri ini.

Saya yang baru saja terjaga, dalam sekejap merasa nyerinya hati manusia-manusia yang diatur pergerakannya oleh manusia-manusia lain merasa lebih berhak dan lebih memiliki tanah bumi ini. Di tempat yang sama itu, saya hanya bisa mengamati dengan teramat prihatin, bagaimana orang dari bangsa Yahudi bisa bebas melenggang di jalur-jalur lain yang terbuka luas sementara orang non-Yahudi, apalagi bangsa Palestina, perlu melewati proses pemeriksaan. Cek ini, cek itu, cek lagi dan lagi, kalau perlu turun dari kendaraan untuk diverifikasi. Hati saya benar-benar berdenyut merasakan aura diskriminasi. 

Di negeri ini memang sengaja dibuat peraturan agar bangsa Palestina tidak bebas bergerak. Di tanah bumi tempat mereka dilahirkan ini, mereka perlu berbagai surat izin untuk bisa berpindah ke daerah-daerah lain, yang meskipun ada, belum tentu semulus yang diharapkan. Bangsa Palestina, seperti sekawanan domba yang hanya diperbolehkan hidup di wilayah sempit dan makin sempit. Tak peduli apakah wilayah itu layak huni atau tidak. Hanya domba yang ditandai khusus yang dapat keluar masuk wilayah itupun tidak semuanya wilayah!

(Entahlah, bisa jadi salah, namun pikiran saya sejenak terbang melayang ke kawasan-kawasan reservasi yang diatur sebagai tempat berkehidupan suku bangsa Indian di benua Amerika sana)

Dalam sekejap saya tersadarkan, di check-point ini, pemandu kami perlu menyelesaikan urusan sejenak dengan petugas, hanya karena dia bagian dari bangsa Palestina. Ugh, apa yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri ini seakan sebuah konfirmasi akan pembatasan pergerakan Bangsa Palestina di negeri ini. Sekali lagi, saya merasakan denyut yang amat memedihkan.  Di satu tempat yang sama, hukum dunia telah membedakan perlakuan dua manusia yang berbeda bangsa padahal mereka mendiami wilayah dan bumi yang sama.

Terbayangkah kita bila suku bangsa Jawa tidak boleh berpindah ke tempat lain di Indonesia tanpa surat-surat resmi yang mengurusnya pun sulit dan dipersulit? Atau suku bangsa Batak hanya boleh berada di Sumatera Utara, Bugis hanya boleh berdiam di Sulawesi Selatan? Hiiii membayangkan saja sudah bergidik….

Setelah momen pedih yang terjadi di depan mata itu, terasa bus melanjutkan perjalanan kembali di atas aspal yang mulus. Bagusnya kualitas jalan bisa dimengerti. Tidak sedikit yang bersedia membantu Israel membangun negeri yang mereka percaya sebagai Tanah Perjanjian. Bantuan datang dari negeri-negeri adidaya tempat banyak keturunan Israel hidup dan mencari penghidupan Bisa juga datang dari mereka yang percaya bahwa negeri Israel harus berdiri.  Israel makin berkembang. Sebuah ironi yang sungguh dahsyat, sementara bantuan datang untuk kemajuan Israel dari negeri-negeri yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kebebasan sementara terlihat di depan mata, pembedaan perlakuan manusia satu dengan lainnya. 

Pikiran saya mengayun sejalan dengan pergerakan bus menuju kota Jerusalem. Semakin dekat kota, titik-titik cahaya kota semakin terlihat. Akhirnya lampu-lampu bus dinyalakan. Kami semua terjaga sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Hasan, pemandu kami menyampaikan bahwa kita sudah sampai di tepi kota Jerusalem dan juga mengingatkan agar kami semua melihat ke sisi kiri setelah keluar dari terowongan panjang yang berlimpah cahaya. 

Detik-detik itu terasa lambat, terowongan terasa amat panjang…

Akhirnya terowongan mencapai ujungnya. Berbalut kegelapan malam itu, untuk pertama kali mata saya menangkap gemilangnya cahaya keemasan kubah As-Shakhrah atau Kubah Batu yang lebih terkenal secara internasional dengan nama Dome of The Rock, yang terkena cahaya lampu. MasyaAllah indahnya…

source: dome of the rock – wikimedia commons

Berbagai rasa bercampur aduk memenuhi kalbu, melesak keluar memaksa saya untuk langsung berkali-kali mengerjapkan kelopak mata yang berair. Berpuluh tahun saya memiliki impian untuk bisa mengunjungi Masjid Al Aqsa, masjid yang terjauh jika berpatokan pada jarak Mekkah dan Madinah. Bagi saya, Masjid Al Aqsa adalah mesjid utama yang berdiri di atas negeri yang bersimbah airmata dan darah karena konflik berkepanjangan.

Dan kini dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikannya. Indah, luar biasa indahnya!

Seperti anak kecil yang tak mau melepas mainannya, saya juga tak ingin melepas pandangan dari kubah keemasan yang berada di dalam Kota Tua Yerusalem itu. Disanalah destinasi saya selama puluhan tahun ini, meskipun bentuk jalan yang berbukit membuatnya perlahan hilang dari pandangan karena bus yang tetap begerak perlahan. Mungkin karena begitu terpesonanya, saya sampai lupa mengambil foto.

Kehilangan pandangan akan destinasi impian, membuat saya terduduk menyandar ke belakang, seakan mengumpulkan kesadaran penuh, Saya benar-benar berada di Palestina! Pikiran saya berdansa kembali.

Masjid Al Aqsa, berdiri di atas tanah yang tak biasa, meski bentuknya tetap seperti tanah dimanapun di dunia ini. Tanah ini telah bersimbah darah dan airmata, berselimut aura pertempuran tak berkesudahan, tanah yang menjadi saksi atas penderitaan manusia yang kehilangan rumah dan tempat berpijaknya, tanah yang menjadi saksi akan sepak terjang sang penguasa yang silih berganti. Begitu pilunya tanah ini berhias derita.

Bus bergerak lambat karena berada di jalan-jalan sempit yang berkelok dan naik turun. Kontur kota tua Jerusalem memang berbukit. Lalu tak lama bus berhenti di depan hotel kecil kami yang tak jauh dari gerbang Herod. Begitu turun dari bus rasanya ingin langsung ke Masjid Al Aqsa, namun pemandu kami menyampaikan bahwa Masjid telah ditutup setelah shalat Isya. Menyadari keinginan kuat kami, dia meminta kami untuk bersabar beberapa jam. Lagi pula, perjalanan panjang hari itu telah menguras tenaga kami semua ditambah olahraga hati di pos perbatasan Israel tadi.

Kami semua memahami dan menahan keinginan. Bagi saya, tertunda waktu sekian jam untuk ke Masjid Al Aqsa itu tidak masalah, karena saya telah menunggu sekian puluh tahun. Seharusnya saya bersyukur karena telah bisa melihat Masjid Al Aqsa berbalut malam dengan mata kepala sendiri. Sedikit gontai kami semua memasuki hotel untuk beristirahat dan mungkin tidak hanya saya yang kala itu tak sabar akan datangnya subuh…

Dome of The Rock or Qubbat As Shakrah

Sukacita Menjejak Tempat Suci


Bagi yang mengikuti blog saya ini, telah beberapa kali saya mengungkapkan kegemaran jalan-jalan yang sudah ada sejak saya kecil. Menjejak tempat baru membukakan wawasan namun suka duka perjalanan menuju tempat baru itu membuat saya hidup.

Dan dari begitu banyak destinasi, -kebanyakan berupa tempat-tempat yang memiliki sejarah-, hanya ada beberapa tempat yang berhasil memporak-porandakan rasa dalam jiwa begitu dahsyat. Bisa jadi karena tempat-tempat itu diyakini oleh banyak jiwa sebagai tempat suci keimanan.


Puskarni, The Holy Pond

Meskipun saya telah menuliskan dalam pos Nepal: Khata – Syal Putih dari Lumbini namun rasanya kata-kata itu tak pernah bisa terangkai dengan tepat untuk menggambarkan apa yang saya alami ketika menjejak Kuil Mayadevi di Lumbini. Tempat itu konon, merupakan tempat kelahiran Sang Buddha, lebih dari dua setengah millenium yang lalu.

Kuil yang menurut saya terlalu sederhana untuk sebuah lokasi yang dipercaya merupakan tempat kelahiran seseorang yang telah mengguncang dunia, sesungguhnya hanya sebuah bangunan batu yang menutupi sebidang tanah serupa ekskavasi arkeologis. Tak ada hiasan, tak ada altar, tak ada tanda-tanda pemujaan, namun ketiadaan barang-barang duniawi itu tak mampu menghilangkan rasa sakral yang begitu hebat di dalamnya. Hanya dengan sebuah penanda yang dikenal dengan istilah Marker Stone yang terlindung oleh kaca, banyak pengunjung bisa jatuh bersimpuh di depannya. Itulah tempat yang dipercaya menjadi titik akurat kelahiran Sang Buddha Siddharta Gautama.

Suara sayup genta-genta kecil yang berdenting tertiup angin, juga suara bacaan sutra yang disenandungkan di bawah rimbun pohon Boddhi di luar kuil, menambah suasana sakral di Marker Stone yang letaknya tak jauh dari pintu keluar. Bahkan setelah dua setengah millenium, kesakralan tempat itu tetap masih terasa kuat.

A Monk under a Boddhi Tree

Sebagai non-Buddhist yang bisa sampai di tempat itu, saya merasakan energi yang begitu besar melingkupi tempat itu, membuat rambut halus di sekujur tubuh meremang dan perasaan dari dalam menggelegak keluar. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada saya sebelum ini, Berbagai rasa campur aduk, suka cita, bahagia, keharuan yang dalam silih berganti dengan rasa syukur yang berlimpah, semuanya berlangsung dalam waktu singkat membuat diri ini rasanya akan meledak. Tetapi mengenal diri yang lemah ini, saya harus segera melipir keluar mencegah tangis menjadi tersedu dalam sukacita yang dalam.

Lalu melengkapi keluarbiasaan di tempat suci itu, sebuah khata, -selendang sutra putih pembawa berkah-, yang didapat dari seorang biksu di bawah Pohon Boddhi melingkari leher saya. Dengan khata yang melingkar leher, saya meninggalkan Lumbini masih dengan berbagai rasa dari bersyukur, terpesona, bahagia, haru, merasa beruntung hingga rasa sedikit tak percaya mengalaminya, atas semua kebaikan Sang Pemilik Semesta.


Kemudian bertahun-tahun setelah perjalanan ke Lumbini itu, saya akhirnya berkesempatan melakukan perjalanan ibadah umroh ke Makkah dan Madinah yang tentu saja juga meluluhlantakkan rasa dalam jiwa. Rasanya setiap detiknya memiliki kenangan tersendiri, bagaimana saya bisa menjejakkan kaki sendiri, berdiri dengan tubuh sendiri, bersimpuh lalu bersujud meletakkan kening di masjid Nabi dan juga di hadapan Ka’bah. Seperti kata teman-teman saya yang telah melakukan perjalanan serupa terlebih dahulu, hanya ibadah yang ada dalam pikiran, rasanya ingin bermanja-manja selamanya dalam Kasih SayangNya. Bahkan bangun selepas tengah malam lalu berjalan ke arah Masjid pun dilakukan dengan sukacita. Tak berat sekalipun melangkahkan kaki, bertafakur, melangitkan doa dan pujian serta bersyukur. Bahkan di siang hari, saat matahari terik memanggang bumi, tempat-tempat bersujud dan berdoa itu tetaplah nyaman. Payung-payung terkembang untuk melindungi mereka dari terik matahari, karpet-karpet yang tergelar, bahkan mesin-mesin pendingin udara yang menyemburkan udara sejuk untuk kenyamanan ibadah.

Semua yang menyenangkan itu membuat jatuh tersungkur dalam syukur saat mengingat dan membayangkan berabad-abad lalu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga serta sahabat-sahabatnya melakukan perjuangan Islam yang sangat tidak mudah, dengan kondisi alam di Jazirah Arab yang tak bersahabat serta budaya setempat yang tidak kondusif. Dan membandingkan dengan kenyamanan serta semua yang membuat haru biru di tempat saya bersimpuh dan bersujud, bagaimana mungkin saya mengeluh? Saya tak bisa lain kecuali membiarkan airmata bahagia yang terus turun membasahi pipi.

Dan saat itu saya melihat di sekitaran, di depan, di belakang, kiri maupun kanan, memiliki wajah yang serupa, teduh dalam kebahagiaan beribadah memujiNya. Datang dari berbagai bangsa dan warna kulit serta dari segala penjuru dunia, berbalut pakaian yang bernada sama. Bertasbih, memuji namaNya, membaca kitabNya… menikmati undangan dariNya. Rasanya tidak ada rangkaian kata yang tepat untuk mewakili ungkapan rasa yang saya alami. Takkan pernah ada, takkan pernah cukup…

Saat itu, rasa penuh anugerah yang seperti mau meledak dan mendesak terus dari dalam, setiap detiknya, setiap menitnya itu, sungguh sebuah candu, membuat rindu, yang selalu ditunggu.

Saya pun mengamini apa yang dirasakan oleh teman-teman dan kerabat yang pernah menjalankan ibadah umroh terlebih dahulu bahwa semua kebahagiaan selama berada di Makkah dan Madinah itu selalu ingin diulang. Bahagianya itu seperti orang sedang jatuh cinta, ingin selalu berada berdekatan dan merasakan terus mencintai dan dicintai. Namun berbeda dengan rasa jatuh cinta pada manusia lain yang biasa menimbulkan keegoisan berdua dengan orang yang dicintai, rasa bahagia di Makkah dan Madinah ini tidak ada rasa ingin menguasai, bahkan meningkatkan rasa berbagi dan mengikis rasa mendahulukan kepentingan diri sendiri. Mungkin rasa bahagia itu berada di tingkatan yang lebih tinggi…


Dan yang tak kalah penting di akhir tahun 2019 lalu itu, dengan susah payah saya sungguh menahan airmata bahagia saat bus meninggalkan perbatasan Jordan menuju bumi Palestina. Setelah puluhan tahun memendam impian untuk sampai ke bumi Palestina, akhirnya saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri Masjid Al Aqsho, saya berdiri di halamannya, bisa menghirup dan menghembus harum udaranya, juga beribadah di dalamnya. Bumi para Nabi. Bahkan sampai sekarang saja, setiap menuliskannya airmata saya selalu meleleh merasakan betapa besar anugerah yang saya terima. Alhamdulillah…

Jika saja saya bisa, rasanya ingin waktu berhenti agar saya bisa berlama-lama menikmati setiap detil kenangan saat berada di Bumi Palestina. Namun manusia ini serba terbatas, meski keinginan bisa liar tanpa batas. Sebisa mungkin saya merekam semua yang dirasakan berada di tempat yang dipercaya sebagai titik awal peristiwa Isra’ Mi’raj.

Tidak hanya itu, berada di Jerusalem membuat saya juga mengingat kembali kisah-kisah yang pernah didengar semasa mengenyam pendidikan di sekolah Katolik berpuluh tahun lalu. Menyusuri lorong-lorong kota tua Jerusalem tak bisa terhindar dari Via Dolorosa (jalan kesengsaraan yang diyakini dilalui oleh Yesus hingga ke Bukit Golgota). Juga, lalu lalangnya rabbi Yahudi dan banyaknya sinagoga di kota ini membuat kebahagiaan tersendiri. Lagi-lagi saya setengah percaya sedang berada di kota Jerusalem, kota yang menelurkan begitu banyak kisah di kitab-kitab suci tiga agama.

Dome of The Rock, Al Aqsho complex
Al Aqsho’s courtyard

Meskipun saya masih berangan-angan untuk mengunjungi Varanasi yang merupakan salah satu kota suci umat Hindu di India, saya tak kecil hati. Di Kathmandu, Nepal saya juga sempat mengunjungi Pashupatinath, salah satu kuil suci Hindu yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Juga mengunjungi kuil Changu Narayan di Kathmandu yang memberikan saya begitu banyak keajaiban yang membahagiakan dan tentu saja ke Muktinath, salah satu kuil Hindu yang sederhana namun menjadi salah satu yang sangat sakral.

Jika saya diberikan umur panjang, sepertinya saya masih berkeinginan untuk mengunjungi tempat-tempat suci di dunia ini. Kebahagiaan berada di tempat-tempat itu tak bisa diabaikan begitu saja. Addictive


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-47 bertema Happiness agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.