Taj Mahal Mini di Jakarta


Dua bulan sebelum pendirinya berpulang, saya mengajak suami untuk berkunjung ke Masjid Ramlie Musofa yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Memang sudah lama saya ingin ke Masjid ini karena konon, bentuknya menyerupai Taj Mahal, sebuah bangunan indah UNESCO World Heritage Site yang berlokasi di Agra, India. Yah, tidak apa-apa ke Sunter dulu. hitung-hitung menjejak miniaturnya dulu sebelum melihat aslinya yang ada di negeri Shah Jahan itu 😀

Jadilah, jelang waktu Ashar, saya sampai di Masjid yang didominasi warna putih itu. Kesan pertama melihat masjid itu, teramat cantik dan indah. Cukup beruntung saya bisa mendapatkan tempat parkir kendaraan di pinggir jalan tepat di depan Masjid, karena sepertinya lahan untuk parkir tidak terlalu luas (meskipun petugas parkir mempersilakan untuk parkir di halaman dalam Masjid)

Masjid Ramlie Musofa

Berada di seberang Danau Sunter, Masjid Ramlie Musofa ini memang menarik perhatian karena, -selain warna bangunan yang putih mencolok mata-, bangunan ibadah ini berdiri di antara perumahan elite di kawasan Danau Sunter Selatan yang mayoritas penghuninya beretnis Chinese dan umumnya Non-Muslim. Tapi semuanya itu tentu ada kisahnya sendiri…

Tidak seperti umumnya masjid-masjid di Indonesia, nama masjid ini tergolong unik karena namanya diambil dari gabungan dari lima nama orang dalam satu keluarga. Ya, nama Ramlie Musofa merupakan gabungan nama Ram dari Ramli Rasidin, sang pemilik sekaligus pendiri Masjid;, Lie dari Lie Njoek Kim, istri sekaligus sang belahan jiwa; Mu dari Muhammad Rasidin, anak pertama; So dari Sofian Rasidin, anak kedua dan Fa dari Fabianto Rasidin, si bungsu dari keluarga Rasidin. Harapannya tentu teramat baik, sepanjang Masjid difungsikan untuk kepentingan orang banyak dan alam semesta, InsyaAllah pahalanya tetap mengalir kepada keluarga. Namun sebenarnya siapa mereka?

H. Ramli Rasidin merupakan seorang mualaf keturunan China yang lahir di tahun kemerdekaan dan menyatakan syahadat ketika masih belia yakni berumur 19 tahun, di Aceh pada tahun 1964. Dan hampir setengah abad kemudian, ia mendirikan sebuah masjid tiga lantai di atas lahan seluas 2000 meter persegi di kawasan Sunter yang pembangunannya memakan waktu hingga 5 tahun. Keelokan masjid ini bukan kaleng-kaleng, keterkenalannya sebagai bangunan cantik serupa Taj Mahal ini, membuat Imam Besar Masjid Istiqlal sendiri, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, berkenan mendatangi Masjid dan meresmikannya pada bulan Mei 2016. Hebat kan?

Masjid cantik yang menyerupai Taj Mahal ini memang sesungguhnya terinspirasi oleh filosofi bangunan yang terkenal sebagai The Wonders of The World yang berlokasi di Agra, India itu. Jika Taj Mahal yang asli didirikan sebagai persembahan cinta seorang suami terhadap isterinya, seorang Raja Mughal, Shah Jahan, terhadap Mumtaz Mahal, sang belahan jiwa yang telah memberinya 14 orang anak, maka Masjid Ramlie Musofa ini didirikan juga atas dasar cinta, namun bukan sembarang cinta. Masjid ini dibangun atas dasar cinta yang tulus dari seorang Ramli Rasidin terhadap Allah Subhana wa Ta’ala, juga terhadap agama Islam yang dianutnya dan tentunya tak dapat dipisahkan cintanya terhadap keluarga.

From the entrance stairs

Jelang Ashar itu, terik matahari masih terasa memanggang kulit sehingga saya bergegas memasuki halaman Masjid untuk mencari keteduhan di sudut halaman. Dari tempat saya berdiri, rasanya tak bisa dihindari bahwa saya terkagum-kagum melihat keindahan arsitekturnya yang memang menyerupai bangunan utama dari Taj Mahal. Memiliki tiga kubah dengan komposisi letak dan perbandingan yang serupa satu sama lainnya. Lengkap dengan menara-menara kecil yang didirikan mengitari kubah utama dan dua kubah kecil di lantai atap. Seandainya ada empat menara putih tinggi di tiap sudut halamannya, tentunya Masjid ini akan semakin lekat berlabel Taj Mahal mini. Tapi tak ada menara pun rasa Taj Mahal sudah menghampiri hati.

Saya tak bisa berlama-lama memanjakan mata karena panggilan shalat Ashar sudah terdengar. Saya tersenyum penuh syukur dalam hati, ternyata segala kemacetan panjang dari rumah hingga mencapai masjid ini memiliki maknanya sendiri. Sang Pemilik Kehidupan berkenan melimpahkan karuniaNya, menghantarkan saya agar bisa mendirikan shalat Ashar berjamaah di Masjid ini.

Memasuki ruang wudhu untuk wanita yang diletakkan di sisi Barat, membuat saya terperangah dan mambuat hati terasa hangat. Kenangan saat ibadah umroh enam bulan sebelumnya langsung mengisi kalbu. Ruang wudhu perempuan (dan tentunya juga untuk pria) dari Masjid Ramli Musofa tak jauh beda dengan ruang wudhu di masjid-masjid utama di Jazirah Arab dan juga di Palestina. Pada setiap keran yang mengalir disediakan tempat duduk batu sehingga memudahkan jamaah untuk bersuci dan tentunya aman. Setelah ruang berwudhu, terlihat pula area kecil tempat menggantung mukena-mukena bersih yang siap digunakan. Kemudian dilanjut dengan ruang terbuka yang luas dengan hamparan karet. Memang, lantai dasar digunakan sebagai ruang shalat wanita. Ada televisi layar datar yang digunakan sebagai alat monitor kegiatan ibadah Imam yang memimpin shalat. Sebelum memulai shalat, saya mencuri waktu untuk memperhatikan ruangan. Tidak ada yang istimewa kecuali ada pintu langsung ke jalan samping Masjid. Ternyata akses itu diberikan untuk calon pengantin yang akan melakukan proses pernikahan karena memang lantai dasar merupakan tempat pelaksanaan akad nikah.

Selesai shalat saya memanfaatkan waktu untuk berkeliling. Ternyata semakin dijelajahi, semakin terasa kentalnya percampuran tiga budaya yaitu Indonesia, Timur Tengah dan Timur Jauh (Tiongkok). Pada dinding di kanan dan kiri tangga utama dituliskan arti Surat Al Fatihah dalam dua bahasa. Dibuat seperti itu, konon, ditujukan kepada semua yang datang agar membaca, memahami dan memaknai Surat Pembukaan dari Al Qur’an itu. Bagi mereka yang berlatar budaya China tentu akan lebih mudah membaca dan memahaminya dalam karakter Mandarin. Bagi mereka yang hafal surat Pembukaan itu tapi belum memahami artinya, diberikan pula arti dalam bahasa Indonesia. Semua itu ditujukan seraya menaiki tangga utama sebelum menjejak lantai utama yang digunakan sebagai tempat shalat untuk laki-laki. Lalu berada di puncak tangga utama, saya menikmati lengkungan indah di atas pintu. Tak heran, bagian ini mengingatkan akan bangunan Taj Mahal dengan hiasan geometris khas Islam.

Sebelum memasuki ruang utama, saya berjalan mengelilingi selasar luar dan menikmati setiap dekorasi yang ada pada dinding-dinding Masjid hingga sampai di pintu Timur. Dari pintu di bagian Timur terlihat pemandangan di lantai utama sangat indah dengan mihrab tempat Imam memimpin ibadah yang dibuat cantik, lengkap dengan hiasan khas Islam. Sinar matahari menerobos masuk dari jendela-jendela mini di dasar kubah utama, menerangi bagian bawah seperti cahaya surga.

the mihrab in main prayer area

Dari tempat saya berdiri juga bisa terlihat lantai tiga Masjid yang terbuka ke bawah seperti sebuah mezanin. Mungkin digunakan untuk ibadah jika lantai satu tak mampu menampung jamaah yang mau beribadah. Terlihat juga pilar-pilar putih menghiasi bagian dalam masjid.

Saya memahami, waktu bagi saya untuk menikmati Taj Mahal mini di Jakarta hampir habis, sehingga saya mempercepat langkah tanpa melepas untuk mengabadikan spot-spot yang cantik karena ada sebuah bedug terlindung dalam sebuah ruang berkubah yang disokong empat pilar yang diletakkan di sudut Barat Daya.

Sungguh saya bersyukur bisa mewujudkan keinginan untuk menyambangi Masjid yang serupa dengan Taj Mahal bahkan bisa mendirikan shalat berjamaah di dalamnya. Dan meskipun pendiri Masjid Ramlie Musofa,, Haji Ramli Rasidin, telah tutup usia pada akhir bulan Agustus 2020 dalam usia 75 tahun, saya berharap Masjid yang ditinggalkannya bisa tetap bermanfaat bagi masyarakat. Dan tentu saja saya juga berharap semakin banyak muslim dan muslimat yang memakmurkan Masjid cantik ini.

Bagi yang hendak berkunjung ke Masjid Ramlie Musofa, berikut adalah alamat lengkapnya: Jalan Danau Sunter Selatan 1 blok 1/10 Nomor 12C – 14A, RT.13/RW.16, Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 14350


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 7 dan bertema Mosque agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Berhak Bahagia Kala Petang Datang


Every sunset is an opportunity to reset, so take a seat and calm down…

Entah sejak kapan saya menyukai waktu jelang senja menatap laut yang sepertinya tak berbatas, menikmati riak-riaknya, angin yang menerpa wajah, gemericik atau debur gelombangnya serta harum laut yang sangat khas. Rasanya, dengan berada di pinggir laut, mengarah kemanapun, -apalagi yang menghadap matahari tenggelam ataupun kadang matahari terbit-, bisa membantu menenangkan hati dan menyeimbangkan jiwa. Dengan memelihara hati yang tenang, paling tidak stress lebih bisa dikendalikan. 

Tidak sulit sebenarnya untuk mencapai pinggir laut Jakarta, hanya perlu ke arah Utara saja. Masalahnya, tidak banyak tempat-tempat yang relatif nyaman. Lebih seringnya, bising, gaduh atau tempatnya sendiri yang memiliki kategori “lebih baik tidak kesana” 🙂

Di utara Jakarta, selain Ancol, saya lebih menyukai datang sore-sore ke Pantai Mutiara yang ada di kawasan Pluit. Berbeda dengan Ancol, untuk masuk ke kawasan ini sama sekali tidak dipungut bayaran. Bisa jadi karena kawasan ini sebenarnya merupakan area perumahan. Dan tidak tanggung-tanggung, kawasan perumahan kelas atas banget. Memiliki rumah di kawasan ini berarti memiliki mobil-mobil mewah di garasinya dan di bagian belakang rumah terdapat dermaga kecil sebagai tempat parkir kapal-kapal yacht mereka, atau setidaknya jetski.

Biasanya ketika sampai di kawasan Pantai Mutiara ini, keluarga kami menjalankan mobil pelan-pelan dengan jendela terbuka lebar agar suasana pinggir lautnya terasa (meskipun agak panas ya 😀 ) dan bisa mengintip ke garasi-garasi yang menyimpan mobil-mobil mewah. Paling tidak kelasnya Porsche, Lamborghini Aventador, atau Ferrari 458 yang harganya bisa sampai dua digit milyaran Rupiah. Dan jika beruntung, diantara rumah-rumah besar itu, bisa terlihat kapal-kapal yacht mereka yang ada di bagian belakang rumah. Jangan tanya harga kapal-kapal yacht itu, sepertinya bisa empat atau lima kali harga mobil mewah mereka. Uh, rasanya  saya mimpi pun tak sampai ke tingkat itu. 

Tetapi dengan melihat secuil saja sudah cukup membahagiakan.

Menyusuri jalan yang berbatas laut hingga ke ujung Pantai Mutiara tempat berdirinya bangunan ikonik yaitu Apartment Regatta yang bentuk bangunannya seperti layar yang sedang terkembang. Saya sering menandainya dari pesawat saat akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Dan saya membayangkan betapa asiknya punya ruang keluarga atau kamar yang bisa memandang ke laut lepas. Ah… meskipun cuma membayangkan saja, tetapi sudah bisa membuat saya tersenyum bahagia.

Kalau belum puas jalan-jalan sore sambil intip sana-sini di sekitar kawasan Pluit Mutiara, biasanya saya berhenti di Jetski Café. Waktu paling tepat ke sini memang ketika sore hari jelang matahari tenggelam. Meskipun awalnya sinar matahari terasa menyilaukan, pengunjung bisa memesan meja di bagian dalam Café terlebih dahulu sebelum nantinya pindah ke bagian luar yang berbatas laut (meskipun meja-meja outdoor yang berada di pinggir laut itu sangat diminati dan seringnya sudah fully reserved). Apalagi akhir pekan, wuiih susah!

jetski2
A bit back light but it’s the view in the afternoon

Terakhir kami ke tempat ini, sekitar bulan November 2019 yang lalu. Ketika itu saya mengajak Mama, yang akhirnya bersedia ikut setelah dibujuk-bujuk karena hampir setahun mengurung diri di rumah sepeninggal Papa menghadap Ilahi. Meskipun saya agak sedikit cemas, -takut Mama terkenang kembali bersama Papa karena mereka pernah saya ajak ke tempat ini sebelumnya-, saya berharap angin laut yang segar dan suasana yang berbeda bisa menggembirakan hati Mama. Alhamdulillah, ternyata memang benar, Mama terlihat gembira dengan suasana yang berbeda dari situasi sehari-hari dirumahnya.

Sepertinya kegemaran saya berada di tempat-tempat yang berbatas laut itu menurun dari Papa Mama. Saat itu, Mama terlihat terpukau senang melihat keindahan warna sore dan mentari yang pelan-pelan menghilang di balik gedung meninggalkan warna kuning keemasan di langit Barat.

jetski1
Live music

Live music yang memang selalu ada pada setiap akhir pekan menambah suasana lebih hangat. Meskipun volume suara musik cukup nyaring, Mama tak terganggu bahkan mengatakan kepada saya jika Papa masih ada, pastilah Papa ikut menyanyi di panggung. 😀 Saya tersenyum mengingat kegemaran Papa untuk tampil menyanyi dimana saja yang memungkinkan, meskipun lagu-lagunya sangat klasik (baca: jadul)! Bahkan tak jarang di panggung Papa memainkan organ sambil bernyanyi…

Mentari semakin turun. Saya menawarkan pindah ke meja luar tetapi Mama lebih menyukai di bagian dalam Cafe karena masih mau menyantap makanan yang ada. Hati di dalam ini langsung meluruh, biasanya Mama makan tak begitu banyak sejak kepergian Papa tetapi kali ini saya melihat Mama menikmati makanannya lebih lahap. Rasanya langsung makjleb… saya ditegur keras oleh Sang Pemilik Cinta agar supaya bisa lebih memperhatikan sisi batin Mama yang kini tinggal sendiri.

Warna keemasan masih menghias langit Barat, ketika saya menatap permukaan laut yang tak pernah berhenti bergerak, seperti juga stress kehidupan. Selalu ada, namun bukan berarti tidak bisa dikendalikan.

Sisa sinar matahari jatuh lembut ke wajah Mama yang telah dimakan usia. Garis-garis kerutnya tergambar di wajahnya dengan jejak airmata kehilangan Papa yang belum sepenuhnya sirna.

Biasanya saya ke Pantai Mutiara hanya untuk mendapatkan kenyamanan rasa diri sendiri. Tetapi kala petang hari itu, bisa mengajak mama ke tempat itu, melihat Mama bisa makan dengan lahap dan melihatnya terkagum atas pemandangan yang indah, semuanya menjadi jauh amat berharga dan amat bermakna daripada warna keemasan yang menghias langit Barat.

Seperti mengingatkan bahwa bahagia itu memang sederhana…

jetski3
About Sunset

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-5 ini bertema Petang agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Sepenggal Jakarta Jaman Dulu Dari Puncak Monas


Gara-gara tantangan dari sahabat saya untuk postingan minggu ini yang bertemakan Old Age, saya jadi membongkar album-album foto lama saat berada di rumah ibunda tercinta kemarin. Tapi ternyata dengan perbuatan membongkar album-album lama, akhirnya ibu saya yang sudah sepuh itu menceritakan banyak hal kepada cucu-cucunya.

Dan sementara sang cucu-cucu bisa mendadak jejeritan gembira melihat fashion foto omanya di jaman tahun 60-an, -yang menurut omanya sangat biasa, tapi bagi mereka sangat fashionable-, saya hanya bisa tertawa melihat situasi yang agak awkward yang sekarang banyak terjadi: generation gap yang ekstrim antara dunia sang oma dan dunia anak millenial.

Obrolan masa lalu itu membawa saya langsung ke jaman-jaman yang menyenangkan dan penuh kenangan. Termasuk jaman Jakarta masih lengang. Lengang dalam arti, tidak penuh sesak dengan kendaraan ataupun gedung-gedung tinggi. Pemandangan Jakarta kala itu serupa: lebih banyak datarnya.

Jaman saya masih kecil itu, -jaman Ali Sadikin atau dulu terkenal dengan nama Bang Ali sebagai gubernur Jakarta-, dari puncak bukit yang di belakang rumah orang tua saya (sebenarnya jalan menanjak sedikit sih), waktu itu saya masih melihat gedung-gedung tinggi yang ada di kawasan Thamrin, termasuk Monas. Hal yang tak mungkin bisa dilihat sekarang ini, karena pasti sudah tertutup oleh tingginya rumah tetangga, gedung-gedung tinggi yang lebih dekat dan kabut polusi yang membatasi penglihatan.

Pernah pada suatu akhir pekan, orangtua saya mengajak kakak dan saya ke Monumen Nasional. Tidak hanya ke kawasannya, melainkan juga mengeksplorasi diorama-diorama di dalam cawannya termasuk ke puncaknya yang tepat berada di bawah emas yang katanya berbentuk seksi itu (tetapi jaman itu saya belum tahu yang namanya seksi-seksi lho hehehe…). Rasanya happy sekali, karena jaman itu jarang sekali yang bisa berkunjung ke puncak Monas.

Perjalanan naik lift ke puncak rasanya sangaaaat lama, mungkin karena saya sudah tak sabar ingin melihat dari Jakarta dari atas. Dan ketika sampai di lantai atas itu, alangkah sebalnya saya, karena ternyata tinggi saya belum cukup untuk bisa melihat dengan nyaman. Saya harus jinjit dengan ujung kaki seperti penari balet untuk bisa melihat dan hal itu ternyata sangat menyakitkan dan melelahkan!

Meskipun demikian, dalam banyak hal selalu saja saya ditolong supaya bisa menikmati pemandangan dari atas….


jakarta istiqlal
Jakarta Dari Monas – Sudut Istiqlal

Benar kan Jakarta masih terlihat rata? Taman Merdeka sekeliling Monas masih terlihat gersang, belum sehijau sekarang. Dan tentu saja, tak ada pagar yang mengelilingi Taman Merdeka. (Tetapi Monasnya sendiri saya ingat sudah berpagar, yang kata pemandu tour Jakarta waktu itu jumlah tiangnya 1945, saya percaya saja karena tidak mau menghitung tiang pagar hehehe).

Kubah Mesjid Istiqlal yang putih itu sangat terlihat ya? Juga menara dan air mancurnya… Kalau dilihat lebih teliti, terlihat juga dua menara gereja Katedral dan Monumen Pembebasan Irian Barat yang ada di Lapangan Banteng. Fotonya sudah tak jelas, tetapi saya masih bisa melihatnya.

Oh ya, perhatikan rel kereta api yang ke Gambir? Tidak kelihatan sih di fotonya, tetapi bisa dibayangkan kan? ada rel kereta api yang masih dibuat diatas jalan raya dan tentu saja belum dibangun rel kereta yang melayang (dibatasi oleh dua dinding putih di sebelah kanan bawah)

Yang hebat menurut saya waktu itu, saya masih bisa melihat pinggir laut Jakarta dari Puncak Monas. Kelihatan kan batas laut?

***

jakarta istana
Jakarta Dari Monas – Sudut Istana

Foto yang di atas ini memperlihatkan situasi Istana Merdeka di tahun 70-an. Terlihat bendera berkibar di tiangnya. Dari sini kelihatan kawasan kota belum ada apa-apa ya? Meskipun kepadatannya sudah terlihat.

Dari posisi ini saya baru lihat bahwa dulu taman yang mengelilingi Monas itu sebenarnya cantik bila dilihat dari atas, meskipun masih gersang dan jarang pepohonan yang rindang. Hebat juga ya…

***

jakarta bi
Jakarta Dulu Dari Monas – Sudut BI

Dan foto di atas ini, menunjukkan sudut Bank Indonesia dan Air Mancur. Tampak Gedung lama Bank Indonesia yang hingga kini masih dipertahankan bentuknya. Kelihatan juga Wisma Nusantara yang merupakan gedung tertinggi di Indonesia saat itu. Bisa mengenali gedung Sarinah? Itu lho… gedung yang berada di tengah-tengah.

Lihat banyak mobil parkir di jalan? Kalau tidak salah, dulu di situ ada bioskop Eldorado. Namun saya tidak pernah nonton di sana, karena masih terlalu kecil dan seingat saya, bioskop itu lebih sering mempertunjukkan film dewasa.

Oh ya, di sudut ini, dulu selalu Pekan Raya Jakarta diadakan (Jakarta Fair). Saya termasuk cukup sering untuk datang ke Jakarta Fair itu untuk mendapatkan donatnya saja. Dulu donatnya itu top banget dan menjadi icon dari Jakarta Fair. Jadi kalau tidak beli donat Jakarta Fair, rasanya belum ke sana.

Kawasan sebelahnya merupakan kawasan wisata yang terkenal dengan Taman Ria. Bahagia sekali kalau bisa ke Taman Ria, karena bisa naik komidi putar dan merasakan kebahagiaan anak kecil seperti kalau ada di Dufan sekarang ini hehehe. Jadi ingat, dulu Jakarta sudah punya monorail lho… ya tapi hanya ada di Taman Ria saja hehehe…

***

jakarta thamrin
Jalan MH Thamrin – Juli 1973

Dan foto yang terakhir ini adalah foto yang diambil dari Jembatan Penyeberangan, yang seingat saya sih di depan Sarinah. Coba perhatikan, tidak banyak gedung tinggi setelah Tugu Selamat Datang ke arah Selatan. Memang Jakarta belum banyak gedung tinggi pada saat itu.

Ada jalur lambat yang seringnya dilalui oleh sepeda, becak atau dokar (dulu semua boleh melintas meskipun ada jalurnya masing-masing). Halte bus ada pedestrian, antara jalur lambat dan jalur cepat. Dan di Jalur cepat itu mobil, bus, sepeda motor, truk bisa sama-sama melewatinya. Dan asiknya, tidak ada kepadatan lalu lintas kan?

Saya ingat waktu itu, jalan-jalan ke arah Monas lalu balik lagi sudah merupakan kemewahan dan kebahagiaan tersendiri.

Bahagia itu memang sederhana.

Anyway, menuliskan semua ini mengingatkan diri sendiri bahwa saya sudah tua 😀 😀 😀

Catatan: Semua foto-foto di atas adalah koleksi pribadi.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-47 ini bertema Old Age agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

Sebuah Refleksi Hati Di Museum MACAN


Dalam sebuah ruang tepatnya bersebelahan jalur masuk Museum Of Modern And Contemporary Art in Nusantara (MACAN) terdapat instalasi karya Yayoi Kusama yang sangat populer, yang berjudul Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls. Instalasi yang menjadi koleksi Museum ini, sekarang ditampilkan permanen dan sepertinya menjadi icon dari Museum MACAN. Atau pengunjung yang datang hanya untuk berfoto dalam ruang ini? Bisa jadi…

Yayoi Kusama’s Infinity Mirror – Museum of Modern And Contemporary Art in Nusantara, Jakarta

Instalasi dalam ruang gelap ini penuh polka dot ini, awalnya hanya dihadirkan sementara dalam pameran perdana museum dan juga pameran retrospektif seniman unik itu yang berjudul Life is The Heart of A Rainbow. Siapa nyana, akhirnya yang sementara itu sekarang menjadi permanen sejak 26 Maret 2019 lalu?

Di Museum MACAN, pengunjung hanya bisa memasuki ruang Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls setelah berkeliling museum dan ikut dalam antrian. Tidak bisa lama di dalam, hanya 30 detik! Bahkan bisa lebih cepat dari angka itu jika antriannya panjang. Apa pesonanya?

Jangankan saya, selebriti dunia seperti Katy Perry saja melakukan selfie didalamnya. Ya, karena instalasi polkadot warna warni itu dalam ruang gelap penuh cermin yang disinari memang sangat indah, menarik sekaligus menyimpan misterinya sendiri.

Namun terlepas dari kekaguman saya akan hasil karya dan kece-nya Infinity Mirrored Room itu, saya juga tak bisa lepas dari rasa prihatin yang dalam kepada sang artist. Sesungguhnya ruang gelap dan bentuk polkadot warna-warni yang terlihat terhampar tanpa batas karena refleksi cermin itu merupakan halusinasi dan ekspressi dari mental illness yang ditanggung oleh perempuan Jepang kelahiran tahun 1929 itu sejak usia 10 tahun. Kemampuan membelokkannya menjadi seni yang begitu indah, telah menyelamatkan hidupnya dari upaya bunuh diri.

Sungguh saat saya meninggalkan ruang Infinity Mirrored Room itu, saya merasa seperti ‘bukan gegar otak melainkan gegar rasa’ bahwa sebuah kekurangan manusia, sebuah mental illness, dapat menjadi sebuah berkah luar biasa yang bila dikenali dan disalurkan kearah yang positif, bisa berubah menjadi sebuah kelebihan. Sebuah gangguan kejiwaan yang di dunia sering dikategorikan negatif bisa menghasilkan karya positif yang dicari banyak orang, -dan orang yang memahami bersedia membayar mahal untuk bisa mengagumi karyanya-, serta menjadi trademark bagi Yayoi Kusama.

Bagi saya pribadi, merasakan sendiri berada di dalam Infinity Mirrored Room itu benar-benar ‘makjleb

***

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-18 ini bertemakan Reflection agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Berjuta Kenangan Untuk Masa Depan Yang Lebih Baik


Jumat, 21 Desember 2018,
13:35
Teman-teman sekantor merayakan ulang tahun sekretaris dengan gembira, riuh mendatangkan  kue mengumbar nyanyian
13:37
Masih dalam suasana riang gembira, saya sempat membaca ada panggilan tak terjawab dari rumah mama, namun belum sempat menelepon balik, sudah ada telepon lagi dari rumah mama. Saya menjawab tetapi suara saya sepertinya tak terdengar di ujung sana. Saya tak menutup tetapi telepon di ujung sana akan ditutup. Tetapi sebelum ditutup, terdengar suara mama menangis. Bresssss… terasa semburan hawa dingin tak nyata di sekujur tubuh.
13:38

Cepat saya menelepon rumah Mama, Mas No, perawat Papa yang mengangkat, menyampaikan permohonan untuk segera pulang. Something is very wrong, Saya memaksanya menceritakan fakta sesungguhnya karena saya tidak suka dengan harapan palsu. Dan saya tak akan pernah lupa suara Mas No yang menyampaikan berita itu, “Sudah tidak ada, mba”
Innalillahi wainna ilaihi roji’un…

jp1
A sunset view from Father’s Cemetary

Kahlil Gibran menitipkan pesan indah, ketika kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, sesungguhnya kesedihan sedang menunggu dengan sabar di pembaringan. Lalu, mampukah saya berpeluk mesra dengan kesedihan, -semesra saya memeluk kebahagiaan-, saat kesedihan menggantikan tempat kebahagiaan? Nyatanya roller-coaster hidup ini menghias keseharian saya dalam bulan Desember 2018 ini.

Desember pekan pertama, bahagia dan bangga menyelimuti, melihat ananda berbalut toga wisuda yang dilanjut adiknya yang turut berlomba antar negara. Minggu selanjutnya mata dan hati saya berbinar memeluk bahagia dapat melampaui ulang tahun berumahtangga untuk kesekian kalinya.

Dan pekan berikutnya, kesedihan datang dengan cepat, menukar tempat bahagia.

Jumat siang yang indah itu, Papa kembali kepadaNya untuk selama-lamanya. Begitu cepat dan dimudahkan semua prosesi kembalinya. Hanya enam jam setelah tarikan nafas terakhirnya, almarhum Papa telah dibaringkan dalam kuburnya.

Kematian…
Sebaik-baiknya saya mempersiapkan hati, sejatinya tak pernah 100% saya siap menghadapinya. Kepergian Papa mampu membekukan saya, dinding-dinding tebal emosi terbangun sangat tinggi, melindungi hati duniawi, menangisi dia yang pergi.  Tak banyak yang melihat saya dengan airmata berlinang, sebagian mereka hanya melihat senyum datar terkembang, walau di dalam, saya tertatih menata rasa.

Papa adalah pahlawan, bagi saya, keluarga dan Negara. Mama bercerita, saat itu, kesatuan dan keutuhan Negara diragukan, Papa maju dengan risiko kehilangan nyawa dalam kegelapan laut nun jauh disana. Dengan keahlian ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya, dalam gelap ia memberi supply bahan bakar untuk mendukung Angkatan Laut Republik Indonesia membela Negara. Papa adalah senoktah kecil peran bela Negara.

Papa, bagi saya, adalah teladan keikhlasan dan berserah diri. Tak pernah segan ia membagi yang dimiliki, tak henti ia membagi ilmu selama mampu. Bahkan setelah stroke, dengan fisik tertatih ia masih memberi pelatihan di luar kota Jakarta bahkan di luar pulau Jawa. Untuk semua yang telah ia berikan, tak pernah sekalipun ia meminta balas. Ia ikhlas atas semuanya. Juga tipu daya dan khianat yang dilakukan sebagian dari mereka yang pernah menerima dari Papa. Ikhlas yang tak bertepi.

Papa, pria pertama yang mencintai saya, -anak perempuan satu-satunya-, dan selamanya cintanya menggema.

jp2
View from Father’s cemetary

Walau tertatih rasa, saya percaya, dalam setiap peristiwa tersebar sidik-sidik jari Yang Maha Kuasa; terutama dalam kematian, sebuah peristiwa dengan bimbinganNya yang begitu nyata. Kesedihan yang mengekor dari peristiwa kematian, bersama-sama menjadi guru pembimbing hidup. All are sent as guides from beyond. Semua itu hadir membawa kekuatan pemurnian jiwa yang tak ada dua. Seperti Candradimuka yang melahirkan manusia-manusia utama.

Dan demikianlah saya. Berjubah kegelapan, duka itu menyelimuti saya. Ya, kegelapan yang mampu menyembunyikan benda-benda di alam nyata, tetapi saya belajar, kegelapan tak mampu menyembunyikan cinta. Sesungguhnya cinta memendarkan keajaiban kemana-mana, kesegala penjuru dunia, ke tempat yang paling tersembunyi hingga alam Semesta. Cinta menembus ruang dan waktu, menembus kegelapan, dan bahkan kematian.

Rencana indah ke negeri Sakura esok harinya telah saya batalkan sejak detik pertama mendengar berita kepergian Papa. Tetapi Cinta mampu mengubah semua, di atas pusara Papa malam itu juga. Sebuah rencana yang sudah dibatalkan menjadi nyata harus dijalankan.

Ya, kurang dari dua belas jam setelah Papa berada dalam pembaringan abadinya, dengan berbagai rasa saya sudah terbang mengangkasa menuju negeri yang Papa cinta sejak lama. Gen-gen cinta dari Papa sebagai Pejalan, memberi semangat untuk tetap melangkah. Move forward, apapun yang terjadi. Dan saya hampir tak percaya, saya sungguh berdiri di sana, bersama cinta Papa akan negeri Sakura.

Lalu bukankah duka selalu beralih rupa dengan sukacita?

Tiga hari setelah kepergian Papa, di sana, di negeri yang Papa cinta, saya berulang tahun. Sebuah peristiwa untuk mengingat usia yang berkurang di dunia. Tapi bagi Papa, ulangtahun anak perempuan satu-satunya tetap sebagai peristiwa bahagia dan saya menghidupkan kenangan bahagia untuknya. Di benak saya jelas tergambarkan bagaimana ia mengumbar senyum dan tawa bahagia.

krans
Flowers

Kehadiran cinta Papa, yang telah melewati pekatnya gerbang kematian, menembus batas kematian itu. Saya percaya di setiap sudut kehidupan saya selanjutnya dan selamanya, kenangan dan cinta Papa akan hadir untuk saya serta menjadi jembatan kehidupan yang membaikkan.

Karena sejatinya, sesuai keindahan pesan yang dititipkan oleh Kahlil Gibran,
Kenangan adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat dihancurkan oleh maut.

Kini sekembali dari Negeri Sakura, saya kembali menyambangi pusara Papa, hari demi hari, bersamaan dengan meniti kehidupan yang terus berlanjut. Dan karena harum Tahun Baru 2019 masih terasa, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan membiarkan kenangan-kenangan menjadi kunci, -bukan ke masa lalu-, melainkan untuk ke masa depan yang lebih baik.

Selamat Tahun Baru 2019.

WPC – Let Me Be Your Tour Guide


Since I was born and now still living in Jakarta, Indonesia, let me be your tour guide of my hometown.

Starting from the city center of Jakarta, we will see the roundabout with fountain and Welcome Statue at its center. Sometimes political street protest is conducted here by a mass group of people. And then around 2km to the north we will see the National Monument, as the national landmark of Jakarta. It stands in the center of public park and can be seen from the National Palace. The gold atop National Monument represents the flame of our national struggle. But there is a mysterious folklore about this golden flame. If we notice it from the Palace, it shapes like a body of a kneeling woman seen from behind. But honestly until now I don’t know who the woman was…

And then we can stop for a while at National Museum that is located in the western part of the National Monument. We can see a lot of historical evidences here from the ancient Hindu-Buddha kingdoms’ era. Do you notice a Nandi sculpture here? It is related to Shiva, one of the 3 major gods in Hinduism.

We will go around the public park of National Monument and at the North-Eastern direction, we will see the biggest mosque in Indonesia, Mesjid Istiqlal (or Istiqlal Mosque). Do you know the architect of this mosque is Mr. Frederich Silaban who’s a Christian? And to represent the harmony of religious life in Indonesia, we can see The Cathedral which is located directly in front of the great mosque.

From here we drive south, perhaps we will be trapped in several traffic jam on the way to our next destinations. Yes, we cannot avoid the traffic jam in Jakarta, or perhaps Jakarta, -as  Bangkok several years ago-, is always indicated by “Macet”, a Indonesian word for Traffic jam, especially before and after office hours.

We will pass by the Central Business District which is full of modern office buildings and not far from this area, we can see the National Stadium with a nice archer sculpture on top of the gate to the stadium.

We continue to drive to Setu Babakan, a nice Betawi Cultural Village, which is located in Srengseng Sawah. As part of the cultural heritage of Jakarta, Setu Babakan is devoted to the preservation of the indigenous Betawi culture. We can see a traditional Betawi house here. Do you know that Betawi is a derivative word of Batavia, the previous name of Jakarta that was given by the Dutch Colonial Empire?

We can have lunch here with lots of Betawi culinary menu. Then we have to go north again to the old town of Jakarta. We will drive through the outer ring road to avoid the traffic in the city center.

We start from the Sunda Kelapa, the old port of Jakarta. Today Sunda Kelapa, as the old port, only accommodates traditional two-masted wooden ships which are serving inter-island freight service in Indonesia. Although now it is only a minor port, Sunda Kelapa was the origin of Jakarta and has a long significant role in the Jakarta’s development.

Sunda Kelapa - The Old Port of Jakarta
Sunda Kelapa – The Old Port of Jakarta

We continue to explore the old town of Jakarta. A lot of old historical buildings around this area. Unfortunately those important buildings need significant budget to be properly maintained and getting that budget is not so easy for the government. The main points of interest around here is The Fatahillah Museum or the Jakarta History Museum, which was built in 1710 and was functioned as the city hall of Batavia.

The sun will go down to the West. We still have destinations at the beachfront of Jakarta. We can see the luxurious housing complex and apartments or we can just walk on the bridge while enjoying sunset. It is usually full of locals in the weekends, but don’t worry, the wind is always nice.

For ending this city tour, we can have a happy hour at beachfront, we can have also a light meal while listening to the music or watching the performance. It would be nice…

Music Performance Area at Beachfront
Music Performance Area at Beachfront