Wajah-wajah mereka serupa, dingin tanpa ekspresi, kebanyakan tanpa senyum, pandangan mata acuh tak acuh, seakan bisa menutup keahlian mereka menyelidik dalam hitungan detik. Tak banyak beda, mereka laksana hakim di garis depan sebuah negeri dengan keputusan-keputusannya yang mutlak antara ya dan tidak, penentu sebuah perjalanan menjadi terealisasi atau gigit jari. Mereka, para petugas imigrasi.
Meski sudah berulang kali melewati konter mereka di berbagai negara, -selama ini tak pernah ada masalah dan semoga selanjutnya selalu demikian-, entah mengapa saya selalu merasa tidak nyaman jelang pemeriksaan di semua pos perbatasan. Selalu saja jantung jadi berdenyut lebih cepat, pemikiran negatif “bagaimana jika” dengan nakalnya melompat-lompat di benak. Apalagi tak jarang saya saksikan ketika mengantri, ada saja yang diproses lebih lama, mendapat banyak pertanyaan penuh selidik, bahkan ditolak karena berbagai alasan. Semuanya itu seakan menihilkan kelegaan atas keberhasilan melewati pos imigrasi pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sampai-sampai saya menyimpulkan sendiri bahwa setiap melangkah sampai ke pos mereka adalah sebuah pengalaman yang selalu unik, yang tak pernah sama dari sebelumnya. Dan saya tak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika benar-benar berdiri di hadapan mereka. Seperti sedang menunggu vonis hakim, antara boleh atau ditolak masuk.

Bisa jadi rasa itu muncul karena teringat kalimat pernyataan yang pernah saya baca di lembar persetujuan visa ke Jepang dulu, yang membuat saya selalu berpikir petugas imigrasi itu memang punya kewenangan lebih. Di situ tertulis, meskipun visa telah disetujui, keputusan petugas imigrasi lebih menentukan pada saat kedatangan. Artinya, meski visa telah disetujui, belum tentu bisa masuk ke Jepang, karena alasan yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Tak heran, saya selalu tak nyaman jelang pemeriksaan imigrasi, dimanapun.
Apalagi kali ini, saya harus melewati konter imigrasi di perbatasan Israel!
((( I S R A E L )))
Mendengar namanya saja, sudah langsung terbayang negeri yang penuh kekerasan dalam waktu yang panjang, banyak polisi bersenjata lengkap dimana-mana, suasana yang rasanya jauh dari kedamaian.
Tetapi bagaimana lagi? Hanya dengan melalui negeri itu, saya bisa mewujudkan sebuah impian yang terpendam sangat lama di dalam jiwa.
Masjid Al Aqsa di Jerusalem memang menduduki puncak bucket list saya sepanjang masa. Hanya saja, bagi saya, tak mungkin mengunjungi Al Aqsa jika belum ke Mekkah dan Madinah. Masalahnya, selama ini saya merasa belum pantas mengunjungi dua tempat suci bagi umat Muslim itu. Entahlah, mungkin Allah memberi saya kesempatan menjejak tempat-tempat luar biasa seperti Lumbini dan Himalaya serta tempat-tempat extra-ordinary lainnya yang membukakan mata hati, -mungkin sebagai the connecting dots of my life-, sebelum mengundang saya ke Mekkah dan Madinah.
Lalu peristiwa berpulangnya ayah mertua dan Papa tercinta serta turun drastisnya keinginan saya untuk travelling ke negeri-negeri jauh, seakan mengerucutkan jalan itu. Disadari atau tidak, saya banyak berdiam di rumah, melakukan perjalanan-perjalanan ke dalam diri, menelusuri kalbu, membuka ruang-ruang kosong dalam hati dan menghiasinya dengan makna-makna perjalanan yang pernah dilakukan.
Memang tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, karena semua ada alasan yang melatarinya, ada rencana indah untuk setiap manusia. Termasuk saya.
Dan datanglah waktunya. Impian yang telah lama bertengger di puncak bucket list saya itu, seakan dibukakan jalannya sekaligus datangnya undangan jiwa menuju Mekkah dan Madinah. Hanya sekitar dua atau tiga bulan sebelum keberangkatan, saya mengambil sebuah keputusan sederhana untuk melakukan perjalanan spiritual sekaligus ke tiga kota suci, Mekkah, Madinah dan Jerusalem di Palestina.
Sebuah keputusan yang amat sederhana namun berdampak besar dalam keseharian saya selanjutnya. Seakan-akan membuktikan kalimat bijak dari Paulo Coelho yang ditulis dalam bukunya yang terkenal, The Alchemist, When you want something, the whole universe conspires in order for you to achieve it.
Sungguh, semuanya berjalan mengerucut mendukung keputusan itu. Semesta mendukungnya. Keleluasaan pekerjaan, keuangan, waktu dan yang lainnya. Saya masih ingat betul, setiap kemudahan yang datang itu menimbulkan sensansi luar biasa di tubuh, bulu-bulu halus di sekujur tubuh lebih cepat bereaksi, airmata penuh rasa syukur lebih mudah merebak.
Termasuk pengurusan visa Israel yang lumayan mahal dan memakan waktu pemrosesan 40 hari!
<><><>
Di malam sebelum check-out hotel di Amman, Jordan, kami repacking koper. Sebagian pakaian dimasukkan ke ransel dan meninggalkan yang tidak perlu di koper. Memang sejak dari Jakarta kami diwanti-wanti agar menggunakan ransel saja saat ke Palestina, karena kami hanya beberapa hari saja di sana. Koper-koper akan dititip di Jordan yang akan diambil lagi saat kami kembali dari Palestina. Sayangnya, ransel Nike kesayangan, harus direlakan karena tersimpan di koper yang hilang saat tiba di Madinah (baca ceritanya di link berikut ini Pilgrimage 1: Menuju Kota Cahaya) Jadi saya menitip pakaian yang hanya satu dua itu di dalam ransel suami.
Keesokan harinya itu saya mengatur hati, menjaga ekspektasi, bahwa setiap jengkal langkah adalah mendekatkan kepada impian itu. Karena setelah Madinah dan Mekkah, masih ada satu tempat yang menjadi destinasi hati, Sebelum benar-benar menjejak di sana, segala sesuatu bisa terjadi.

Sebenarnya dari Amman ke Jerusalem tidak jauh hanya sekitar 70 km, tetapi karena kami setengah memaksa untuk ke Petra (baca link ini: Petra Yang Tak Direncanakan), maka baru menjelang malam, kami sampai di King Hussein Bridge Border Crossing atau lebih dikenal dengan Allenby Bridge, jembatan di atas Sungai Jordan yang menghubungkan Jordan dan Tepi Barat Israel. Sebelum melintas, pemandu kami selama di Jordan berpamitan lalu turun dari bus. Sepertinya kami semua terhenyak tak menyangka, tetapi begitulah kehidupan orang keturunan Palestina di Jordan. Ia bahkan dipersulit sampai nihil kesempatan untuk kembali ke negerinya. Seperti perjalanan satu arah yang tak pernah ada jalan berbalik. Selepas pamitan itu, bus melanjutkan perjalanan hingga berhenti di sebuah bangunan, Pos Perbatasan Israel.
Saya teringat ucapan dari agen perjalanan yang tak hanya sekali keluar dari mulutnya. Pura-puralah tidak bisa bahasa Inggris, pura-puralah bodoh, Jika akhirnya ditanya petugas imigrasi Israel di perbatasan jawablah yes atau no. Jangan cerita banyak, Kalau perlu pakai bahasa Indonesia. Dan masih banyak lagi permintaannya yang terdengar tak umum di telinga saya.
Diminta demikian, karena konon makin banyak omongan di depan petugas, mereka akan makin detil bertanya untuk mengorek informasi karena kecurigaan mereka yang sangat besar. Sampai sekarang, memang Indonesia belum membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena terkait Palestina. Mungkin bagi mereka, pendatang dari negara yang lebih pro Palestina, -bagi mereka sering membuat ulah-, perlu lebih dicurigai.
Aduh! Di depan petugas Imigrasi diminta berpura-pura? Selama ini, sudah bersikap jujur dan apa adanya saja sudah keringat dingin apalagi kali ini disuruh berpura-pura! Tetapi demi kelancaran perjalanan agar bisa melewati pos perbatasan ini, bisa jadi cara ini yang harus dilakukan.

Suasana tak nyaman langsung menyergap setelah melewati pintu masuk. Langsung terlihat security gate terpasang dalam jarak yang berdekatan padahal ruangannya tak terlalu besar. Semua diperiksa untuk masuk ruangan. Entah saya yang paranoid atau mereka, namun saya merasa begitu banyak mata memperhatikan kami, mungkin karena terlihat sejumlah kamera CCTV.
Kami berada di ruang tengah dengan para petugas Israel yang hilir mudik, saling bicara cukup lantang dalam bahasa yang terdengar sangat asing di telinga. Dokumen diserahkan dan dibawa masuk ke ruangan lain yang lebih luas.
Setelah sekian putaran menit, seorang petugas keluar dari ruang dalam itu dan kepala rombongan bergegas menghampirinya (seperti adegan dokter keluar dari kamar operasi dan kepala keluarga bergegas mendatanginya menanyakan tentang si sakit). Saya melihat rona kebingungan mewarnai wajah kepala rombongan yang sudah cukup sepuh itu. Suaranya lirih tetapi dampaknya bagai halilintar yang menggelegar.
Duuuuaaaarrrrrr..! Nama kami semua belum ada di dalam sistem mereka! Ya Allah…
Rasanya terhempas keras, jatuh dari ketinggian harap dan langsung segala rasa bercampur aduk.
Saya sendiri tidak memahami bagaimana proses pengajuan visanya karena diurus oleh agen perjalanan. Kami hanya diberitahu secara lisan bahwa visa Israel kami semua sudah disetujui, namun saya tak yakin pernah melihatnya langsung karena kertas dipegang oleh kepala rombongan. Dan kini, di perbatasan Israel, -negeri yang sering terdengar tak bersahabat dengan Palestina yang menjadi tujuan perjalanan-, kami terkendala karena nama-nama kami belum ada di sistemnya.
Tak mau menerima begitu saja, kami sepakat manjadikan selembar kertas yang berisi nama-nama kami menjadi bukti bahwa sebelum meninggalkan Indonesia, visa kami sudah disetujui. Saya melihat ada sejumput keraguan pada wajah petugas Israel itu. Artinya, upaya kami cukup membuatnya berpikir. Sejumput harap merambat naik ketika melihat petugas tadi masuk kembali ke ruangan mereka. Semoga mereka mau memeriksa ulang, semoga tak ada arogansi pada mereka. Tak bisa lain, kami kembali menunggu dengan harap-harap cemas.
Menunggu dalam ketidakpastian itu sungguh tidak menyenangkan. Apalagi di negara asing yang sering muncul di berita karena konflik dengan bangsa Palestina yang sering disebut sebagai penjaga Masjid Al Aqsa, tempat suci ketiga umat Muslim. Dan kini rombongan kami yang berniat mengunjungi Masjid Al Aqsa tertahan dalam ketidakpastian dalam sebuah ruang kecil di bawah otoritas Israel.
Berpuluh menit berlalu kami semua masih sama, tercenung dalam pikiran dan harapan masing-masing. Kebat-kebit hati menunggu kabar baik dari petugas yang masuk ke dalam tadi, berjalan beriringan dengan doa dan dzikir dalam hati. Sesekali saya mengamati mereka yang mengenakan topi kippah khas Yahudi di puncak kepala atau rambut cambang mereka yang disebut peyot yang bergerak seperti pegas. Meskipun kebanyakan mereka tak peduli dengan kehadiran kami, tak hanya sekali saya menangkap pandangan mereka terhadap kami dengan dagu yang terangkat tinggi. Sekali lagi, saya dibuat kebat-kebit tersadarkan bahwa saat ini nasib perjalanan kami semua berada di bawah otoritas mereka.
Akhirnya petugas yang tadi berbicara dengan kepala rombongan kami, keluar dari ruangannya. Tentu saja kepala rombongan kami bergegas mendekatinya. Tak perlu lama petugas tadi menyebut beberapa nama dalam rombongan kami yang bisa lanjut ke ruangan berikutnya. Rasa lega terasa di antara kami sambil mengucap Alhamdulillah. Saya termasuk yang belum disebut oleh petugas tadi, tetapi tak mengapa karena hal ini hanyalah masalah antrian belaka, seperti yang disampaikan petugas tadi.

Suami dan saya kembali duduk, kali ini sudah lebih tenang. Dan seperti yang sudah diduga, beberapa waktu kemudian, kemi berdua dipanggil untuk diverifikasi. Kami mendapat secarik kertas permission untuk memasuki Israel. Tidak ada cap stamp di Paspor, hanya secarik kertas itu.
Ketika berjalan melalui pintu dan gerbang keluar menuju bus, saya merasa sesak penuh haru. Meski tertahan beberapa jam, -mungkin sebagai ujian dariNya untuk tetap bersabar dan berharap hanya kepadaNya-, langkah ini makin mendekatkan pada impian yang mewujud nyata.
Tetapi sekali lagi saya tersadarkan, dengan visa di tangan belum tentu semua urusan masuk ke sebuah negara bisa lancar jaya, karena segala sesuatu bisa saja terjadi, in the last minute… dengan alasan yang hanya mereka yang tahu. Jadi, selalulah menjaga ekspektasi.