Adakah orang yang tak pernah patah hati dalam hidup? Karena patah hati tak melulu karena putus cinta. Lebih luas dari itu. Kita mengalami patah hati, -bukan hati yang patah secara fisik-, sebagai ungkapan akan derita emosi yang amat dalam dirasakan oleh seseorang karena kehilangan orang yang dicintainya, yang bisa datang melalui kematian, perceraian atau putus hubungan, dan berakibat keterpisahan fisik atau penolakan cinta.
Saya juga mengalaminya.

Saya pernah patah hati karena putus cinta. Dia telah memenuhi semua kriteria menjadi calon pendamping hidup dalam pernikahan, tetapi saya mengabaikan satu kriteria yang paling dasar (Mungkin bukan mengabaikan melainkan mencengkeram kuat sebuah harapan). Agama.
Nasehat-nasehat orang lain agar jangan meneruskan hubungan yang tidak seiman, memang saya dengarkan tetapi tidak cukup untuk membubarkan. Saat itu kami belajar melebarkan toleransi terhadap ibadah. Saling mengingatkan, saling menjaga, saling mendukung. Dan rasanya begitu indah.
Hingga satu hari yang paling menyakitkan, tepat dua tahun dari tanggal yang sama kami memulainya. Saya mungkin yang memulainya, bisa juga dia. Rasanya sama, pancaran mata kami sama. ‘Kartu-kartu’ kami dihamparkan di hadapan. Kami berdua menolak fakta, tetapi itu sangat nyata. Di tanggal yang sama, tepat dua tahun setelah kami memulainya, kami sama-sama memegang sebuah bola kristal harapan yang hancur meremuk dengan kepingan yang begitu kecil. Jalan kami berbeda.
Saya hancur, dia juga. Harapan itu sirna mendadak. Tak akan ada pernikahan. Airmata tumpah tak terbendung. Terlalu pahit untuk melepas seseorang yang telah begitu dekat di hati, rasanya seperti palu yang menghantam kesadaran saya. Meski tetap hidup, hari-hari itu terasa kelabu. Tak ingin makan, tak ingin keluar, tak ingin kemana-mana, tak ingin melakukan apa-apa. Saya menangis terus. Hidup rasanya hampa. Kosong. Semua terasa kabur, tak nyata, blurred. Hollow inside.
Dan berpuluh tahun setelah momen patah hati itu, saya mengalaminya lagi. Kepergian Papa hanya tiga hari sebelum ulang tahun saya, membuat saya menjalani momen-momen bahkan hari-hari setelahnya dengan perasaan yang hampa meskipun kalimat-kalimat penghiburan, doa dan atensi terus menerus dilimpahkan kepada saya. Semuanya tak bisa mengisi hati yang sedang terbelah. Bahkan sehari setelah prosesi pemakaman Papa, kepergian saya sekeluarga ke Jepang pun tidak dapat mengisi hati yang terus merembeskan airmata itu. Hati saya patah berkeping-keping, serupa dulu…
Tidak ada kata tepat yang dapat menjelaskan bagaimana perasaan hampa yang saya rasa itu. Hanya saja seperti zombie, bisa bergerak tapi tak sesungguhnya hidup. Mata melihat, namun dengan pikiran yang tidak mengarah kepada apa yang disaksikan. Semua terasa sama, warnanya sama, kelabu samar. Mungkin saya bisa tersenyum, tetapi senyum tak diikuti rasa. Saya mungkin bisa sesaat menikmati perjalanan, tetapi momen berikutnya bisa menggigit bibir bertumpah airmata. Saya ingat saat terbang menuju Tokyo. Mata memang memandang keluar jendela pesawat bersamaan mengalirnya airmata membasahi pipi tanpa dirasa. Tak banyak kata, tak banyak cerita. Saya lebih banyak diam seribu bahasa.
Saat itu saya menangisi kemortalan manusia sebagai makhluk yang bernyawa yang pasti akan mati dan berpisah dunia. Kematian telah memisahkan saya dengannya dan membuat saya patah. Patah yang sesungguhnya. Hancur lebur dan membuat semuanya hilang. Hampa.
Namun tidak pernah ada yang sia-sia begitu saja…
Alam telah memiliki aturan untuk berjalan sedemikian rupa, bahkan saya pun bisa belajar dari sebuah kehampaan. Sebuah kehampaan yang datang dari peristiwa berpindah dunia maupun karena putusnya hubungan cinta.
Dan di setiap momen waktu yang berlalu, ada pilihan-pilihan hidup yang harus diambil oleh seorang manusia. Juga saya, pada saat-saat itu.
Setiap manusia termasuk saya, memiliki pilihan yang sama. Pilihan itu muncul mungkin tanpa disadari sepenuhnya. Selalu ada dua pilihan: Status quo atau berubah.

Dan Sang Pencipta telah memberikan daya dan kekuatan begitu besar kepada manusia untuk menjalani kehidupan ini berdasarkan pilihan-pilihan yang diambilnya.
Juga kepada saya ketika mengalami hati yang terbelah karena putus darinya.
Hanya saja saat itu saya memilih status quo. Saya membiarkan diri berlama-lama dalam rasa yang ‘hampa’ itu. Saya biarkan pembelajaran lain dibelakangnya untuk datang dalam bentuk yang lebih berat untuk dijalani. Hepatitis menghampiri, demam tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri. Bolak-balik rumah sakit menjadi sebuah rutinitas karena harus cek lagi dan lagi. Sebuah konsekuensi atas pilihan status quo itu.
Jika saja disadari lebih awal, tentunya saya tak akan memilih status-quo itu karena ternyata berlama-lama menjalani rasa hampa itu tak enak akibatnya. Tetapi Dia Pemilik Waktu selalu menyediakan momen untuk berubah, cepat atau lambat.
Apapun penyebabnya, -kehampaan karena berakhirnya sebuah hubungan atau karena kematian-, suatu saat akan datang kesadaran bahwa sebelum hari kelabu itu pernah datang hari-hari gembira dan ceria, penuh cahaya gemerlap, penuh pelangi warna-warni. Lalu apakah saya mau mempertahankan warna yang kelabu selamanya? Tentu saja, serta merta pilihannya datang kembali, Status quo atau berubah?
Dan selalu ada momen untuk berubah, cepat atau lambat.
Dan saya memilih berubah karena saya ingin hidup saya penuh warna lagi meskipun untuk mencapai itu tidaklah selalu mudah. Tetapi bukankah selalu dikatakan orang, mungkin memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa, bukan?
Seperti segala sesuatu hanya bergantung kepadaNya, demikian pula upaya perubahan yang harus saya jalani. Perpisahan dengannya berpuluh tahun lalu itu memang harus terjadi untuk sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan saya dan dia. Memang memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk saya, tetapi kini kami semua telah berbahagia dengan pilihan hidupnya masing-masing. Masing-masing dari kami harus mengalami sesuatu yang tak nyaman, yang tak membahagiakan untuk mendapatkan yang seharusnya.
Demikian juga kepergian Papa yang merupakan keputusanNya yang terbaik bagi kami sekeluarga. Saya belajar dari banyak kejadian yang telah lalu, berlama-lama menangisi hidup tak akan mengubahnya kecuali tersadar dan berani mengambil sebuah pilihan untuk berubah menuju yang lebih baik.

If you want to reach out for something new, you must first let go what’s in your hand
Sonia Choquette
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-39 bertema Empty agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.