Broken Heart, Hollow Inside Or Change It


Adakah orang yang tak pernah patah hati dalam hidup? Karena patah hati tak melulu karena putus cinta. Lebih luas dari itu. Kita mengalami patah hati, -bukan hati yang patah secara fisik-, sebagai ungkapan akan derita emosi yang amat dalam dirasakan oleh seseorang karena kehilangan orang yang dicintainya, yang bisa datang melalui kematian, perceraian atau putus hubungan, dan berakibat keterpisahan fisik atau penolakan cinta.

Saya juga mengalaminya.

Pohon-pohon tak berdaun

Saya pernah patah hati karena putus cinta. Dia telah memenuhi semua kriteria menjadi calon pendamping hidup dalam pernikahan, tetapi saya mengabaikan satu kriteria yang paling dasar (Mungkin bukan mengabaikan melainkan mencengkeram kuat sebuah harapan). Agama.

Nasehat-nasehat orang lain agar jangan meneruskan hubungan yang tidak seiman, memang saya dengarkan tetapi tidak cukup untuk membubarkan. Saat itu kami belajar melebarkan toleransi terhadap ibadah. Saling mengingatkan, saling menjaga, saling mendukung. Dan rasanya begitu indah.

Hingga satu hari yang paling menyakitkan, tepat dua tahun dari tanggal yang sama kami memulainya. Saya mungkin yang memulainya, bisa juga dia. Rasanya sama, pancaran mata kami sama. ‘Kartu-kartu’ kami dihamparkan di hadapan. Kami berdua menolak fakta, tetapi itu sangat nyata. Di tanggal yang sama, tepat dua tahun setelah kami memulainya, kami sama-sama memegang sebuah bola kristal harapan yang hancur meremuk dengan kepingan yang begitu kecil. Jalan kami berbeda.

Saya hancur, dia juga. Harapan itu sirna mendadak. Tak akan ada pernikahan. Airmata tumpah tak terbendung. Terlalu pahit untuk melepas seseorang yang telah begitu dekat di hati, rasanya seperti palu yang menghantam kesadaran saya. Meski tetap hidup, hari-hari itu terasa kelabu. Tak ingin makan, tak ingin keluar, tak ingin kemana-mana, tak ingin melakukan apa-apa. Saya menangis terus. Hidup rasanya hampa. Kosong. Semua terasa kabur, tak nyata, blurred. Hollow inside.


Dan berpuluh tahun setelah momen patah hati itu, saya mengalaminya lagi. Kepergian Papa hanya tiga hari sebelum ulang tahun saya, membuat saya menjalani momen-momen bahkan hari-hari setelahnya dengan perasaan yang hampa meskipun kalimat-kalimat penghiburan, doa dan atensi terus menerus dilimpahkan kepada saya. Semuanya tak bisa mengisi hati yang sedang terbelah. Bahkan sehari setelah prosesi pemakaman Papa, kepergian saya sekeluarga ke Jepang pun tidak dapat mengisi hati yang terus merembeskan airmata itu. Hati saya patah berkeping-keping, serupa dulu…

Tidak ada kata tepat yang dapat menjelaskan bagaimana perasaan hampa yang saya rasa itu. Hanya saja seperti zombie, bisa bergerak tapi tak sesungguhnya hidup. Mata melihat, namun dengan pikiran yang tidak mengarah kepada apa yang disaksikan. Semua terasa sama, warnanya sama, kelabu samar. Mungkin saya bisa tersenyum, tetapi senyum tak diikuti rasa. Saya mungkin bisa sesaat menikmati perjalanan, tetapi momen berikutnya bisa menggigit bibir bertumpah airmata. Saya ingat saat terbang menuju Tokyo. Mata memang memandang keluar jendela pesawat bersamaan mengalirnya airmata membasahi pipi tanpa dirasa. Tak banyak kata, tak banyak cerita. Saya lebih banyak diam seribu bahasa.

Saat itu saya menangisi kemortalan manusia sebagai makhluk yang bernyawa yang pasti akan mati dan berpisah dunia. Kematian telah memisahkan saya dengannya dan membuat saya patah. Patah yang sesungguhnya. Hancur lebur dan membuat semuanya hilang. Hampa.


Namun tidak pernah ada yang sia-sia begitu saja…

Alam telah memiliki aturan untuk berjalan sedemikian rupa, bahkan saya pun bisa belajar dari sebuah kehampaan. Sebuah kehampaan yang datang dari peristiwa berpindah dunia maupun karena putusnya hubungan cinta.

Dan di setiap momen waktu yang berlalu, ada pilihan-pilihan hidup yang harus diambil oleh seorang manusia. Juga saya, pada saat-saat itu.

Setiap manusia termasuk saya, memiliki pilihan yang sama. Pilihan itu muncul mungkin tanpa disadari sepenuhnya. Selalu ada dua pilihan: Status quo atau berubah.


masih ada sedikit daun untuk bertahan

Dan Sang Pencipta telah memberikan daya dan kekuatan begitu besar kepada manusia untuk menjalani kehidupan ini berdasarkan pilihan-pilihan yang diambilnya.

Juga kepada saya ketika mengalami hati yang terbelah karena putus darinya.

Hanya saja saat itu saya memilih status quo. Saya membiarkan diri berlama-lama dalam rasa yang ‘hampa’ itu. Saya biarkan pembelajaran lain dibelakangnya untuk datang dalam bentuk yang lebih berat untuk dijalani. Hepatitis menghampiri, demam tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri. Bolak-balik rumah sakit menjadi sebuah rutinitas karena harus cek lagi dan lagi. Sebuah konsekuensi atas pilihan status quo itu.

Jika saja disadari lebih awal, tentunya saya tak akan memilih status-quo itu karena ternyata berlama-lama menjalani rasa hampa itu tak enak akibatnya. Tetapi Dia Pemilik Waktu selalu menyediakan momen untuk berubah, cepat atau lambat.

Apapun penyebabnya, -kehampaan karena berakhirnya sebuah hubungan atau karena kematian-, suatu saat akan datang kesadaran bahwa sebelum hari kelabu itu pernah datang hari-hari gembira dan ceria, penuh cahaya gemerlap, penuh pelangi warna-warni. Lalu apakah saya mau mempertahankan warna yang kelabu selamanya? Tentu saja, serta merta pilihannya datang kembali, Status quo atau berubah?

Dan selalu ada momen untuk berubah, cepat atau lambat.

Dan saya memilih berubah karena saya ingin hidup saya penuh warna lagi meskipun untuk mencapai itu tidaklah selalu mudah. Tetapi bukankah selalu dikatakan orang, mungkin memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa, bukan?

Seperti segala sesuatu hanya bergantung kepadaNya, demikian pula upaya perubahan yang harus saya jalani. Perpisahan dengannya berpuluh tahun lalu itu memang harus terjadi untuk sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan saya dan dia. Memang memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk saya, tetapi kini kami semua telah berbahagia dengan pilihan hidupnya masing-masing. Masing-masing dari kami harus mengalami sesuatu yang tak nyaman, yang tak membahagiakan untuk mendapatkan yang seharusnya.

Demikian juga kepergian Papa yang merupakan keputusanNya yang terbaik bagi kami sekeluarga. Saya belajar dari banyak kejadian yang telah lalu, berlama-lama menangisi hidup tak akan mengubahnya kecuali tersadar dan berani mengambil sebuah pilihan untuk berubah menuju yang lebih baik.

There’s something good appearing

If you want to reach out for something new, you must first let go what’s in your hand

Sonia Choquette

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-39 bertema Empty agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Belajar dari Mendung


Bisa jadi banyak dari kita yang baru bisa menghargai sesuatu yang kita miliki setelah sesuatu itu hilang. Atau mungkin lebih tepatnya kita memang menyadari memiliki sesuatu itu namun tak pernah menyangka akan hilang. Take it for granted, kata orang bule.

Seperti sekarang ini, saat Covid-19 merajalela hampir seluruh dunia menerapkan begitu banyak batasan sehingga kita terhenyak. Begitu banyak kebebasan dan kenikmatan yang telah kita rasakan selama ini dan kini, blassss… tiba-tiba semua berbatas.

Tiba-tiba kebebasan kita berdekatan dengan orang-orang tersayang menjadi sesuatu yang mahal karena mencegah penularannya. Kebebasan kita ngobrol, chit-chat, berdekat-dekat, berpelukan, bersalaman menjadi berjarak. Bahkan berkumpul untuk menyerukan puji-pujian kepadaNya, berdoa ditiadakan sementara waktu. Kenikmatan kita bersosialisasi menyambung silaturahmi mendadak berjarak bahkan sampai tak ada tatap muka secara fisik. Makhluk sosial itu kini menjadi berjarak.

Mungkin lebih dari trilyunan virus corona merambah ke hampir setiap negeri di bumi ini, menyerang satu lalu menjalar kemana-mana, menulari yang bersentuhan, menyerang apa yang menjadi dasar kehidupan manusia di bumi ini. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan satu sama lain. Seakan memaksa manusia menjadi makhluk anti sosial jika tidak ingin terpapar COVID-19.

Tak ada lagi istilah, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Yang belakangan muncul adalah bersatu kita runtuh, menjauh kita utuh. COVID-19 memaksa kita menjadi makhluk berjarak dengan manusia lain. Virus yang ukurannya kecil banget sekitar seratusan nanometer ini pelan-pelan berhasil menjadi penjajah baru akan kehidupan manusia dengan menerapkan, devide et impera versi terkini antara manusia satu dengan yang lain. Bayangkan, sebagai penyerang, virus corona bisa jadi memang punya tujuan hanya dua, menjarakkan manusia, kalau memang manusia tidak mau mati. Begitu berat pilihannya!

Langsung saja saya teringat kisah tentang kekuatan mematahkan sapulidi. Kita akan lebih mudah mematahkan batang-batang lidi yang terlepas satu sama lain daripada mematahkan seikat sapu lidi yang terikat kuat.

Bukankah sekarang ini kita seperti sapu lidi yang terlepas ikatannya agar selamat tidak terpapar virus COVID-19?

Ah saya teringat lagi, jaman dulu ketika virus komputer baru muncul dan bisa menyerang melalui jaringan komputer. Salah satu jalan goblok-goblokan yang bisa dilakukan untuk mengatasi virus yang merusak file itu adalah dengan melepaskan komputer dari jaringan, membuatnya menjadi stand-alone lalu diobati dengan anti-virus.

Dengan situasi sekarang ini, kita tak ubahnya seperti komputer-komputer stand-alone dan harap-harap cemas dengan keefektifan obat yang diberikan atau mencoba bertahan dengan isolasi mandiri, sambil berdoa semoga COVID-19 ini tidak semakin menyerang bagian tubuh kita yang sudah lemah karena penyakit bawaan.

Covid-19 ini sungguh seperti awan hitam gelap yang menggantung. Menakutkan.

 

mendung1
Heavy Clouds over The Beach

Namun yang pasti, manusia hidup itu bukan hanya fisik saja!

Bukankah kita memiliki kehidupan batiniah di dalamnya? Ada pikiran, ada rasa, ada jiwa dan ada ruh di dalam setiap diri manusia. Dan tentu saja COVID-19 tidak bisa menyerang secara langsung di bagian ini kecuali, disadari atau tidak, manusia sendirilah yang membuatnya terserang.

Jika saja kita hidup dengan keseimbangan raga, pikiran, rasa dan kehidupan spiritual, rasanya Covid-19 bisa menjadi tak berdaya. Bukankah seorang manusia itu diciptakan dengan sistem daya tahan yang begitu hebat? Tak jarang rasanya kita mendengar berita gembira tentang kesembuhan seseorang dari sakitnya yang tak terperikan hanya karena semangat sembuh yang begitu luar biasa? Tidak sedikit teman saya yang masuk ke dalam kategori ini, yang membuat saya menarik nafas panjang mengaguminya. Namun di sisi lain, dengan tak seimbangnya raga, pikiran, rasa dan kehidupan spiritual, bukankah kita juga sering mendengar cerita orang benar-benar menjadi sakit meskipun tak ada satu pun penyakit ditemukan dalam tubuhnya melainkan hanya dari sikap paranoidnya?

Hebatnya manusia dengan akal pikiran yang diberikan kepadanya. Manusia mampu mengatasi jarak fisik yang tiba-tiba diberlakukan itu. Meskipun kini berjauhan, ada saja cara untuk mengatasinya. Dengan saling menghibur di masing-masing balkon seperti yang terjadi di Italy atau dengan teknologi. Karena dengan teknologi, kehidupan sosial manusia tetap bisa berlangsung meskipun tidak sempurna. Rasanya aneh, tidak nyata, tak sama, tak tergantikan dengan fakta sesungguhnya. Namun paling tidak, manusia tidak kehilangan esensinya untuk saling berhubungan satu sama lain, meski tak saling menyentuh.

Kini baru kita sadari, betapa besar nilai bisa berkumpul, berdekatan bahkan bersentuhan antar manusia tercinta. Lalu, dengan COVID-19 ini, bukankah kita disadarkan akan pentingnya hal itu?

Pada akhirnya, seorang manusia dalam kesendiriannya dalam jarak-jarak yang diberlakukan terhadapnya, membuat ia kembali kepada fitrahnya, antara manusia dan Penciptanya, Sang Penguasa Kehidupan. Belajar menghargai setiap nikmat yang ada dalam kehidupannya, hal-hal kecil yang dulu ada dan berkelimpahan, kini sedang dibatasi. Nikmat yang ditunda.

Kini kita belajar berpuasa atas segala nikmat yang telah diberikan olehNya dan belajar bersyukur atas semua yang masih diberikan olehNya.

Bisa jadi memang sudah sifatnya manusia yang harus mengalami ‘kegelapan’ hidup terlebih dahulu agar bisa menghargai semua hal-hal yang terlihat kecil namun mendasar, yang selama ini diperlakukan oleh manusia dengan cara take it for granted

Bukankah dari keganasan penyebaran virus itu kita dipaksa menerima kondisi apapun? Bukankah di tengah wabah yang terus menyerang tanpa henti itu, dalam kesendirian dalam jarak-jarak ini, kita bisa bersimpuh, bersujud memohon ampun kepadaNya atas segala kelalaian untuk tetap bersyukur terhadap nikmat yang diberikan olehNya?

Seperti yang dialami hampir di seluruh dunia, awan mendung COVID-19, meski kecil dan tak terlihat oleh mata, kini menjadi pengingat akan nilai kehidupan yang sesungguhnya. Dan seperti semua hal fana lainnya, serbuan Covid-19 pun memiliki akhir. Kita harus terus memperpanjang sabar, memperkukuh iman tanpa lepas ikhtiar semaksimal mungkin hingga habis waktunya untuk COVID-19 dan obat pemusnahnya ditemukan.

Laksana awan gelap menaungi bumi, wabah penyakit COVID-19 perlahan akan menghilang dan CahayaNya yang tak pernah berhenti menyinari kehidupan manusia akan menembus awan gelap itu dan membuat terang kembali tempat-tempat yang sebelumnya berbayang gelap.

Just keep the faith! This too shall pass

Hope is a ray of sunshine breaking through the clouds after the storm.

Faith is knowing there are more where that one came from.

Mendung2
It will be a brighter day

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nys WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-11 ini bertema Cloudy Sky agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Oh Deer, I Love You So


Sebagai penggemar world heritage, dalam perjalanan perdana ke Jepang tahun 2013 (wow… sudah tujuh tahun lalu!) saya menyempatkan diri ke Nara, sebuah kawasan yang terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site di Prefektur Kansai, Jepang. Nara sendiri pada masa 710 – 784 Masehi menjadi ibukota Jepang sesuai dengan domisili sang Kaisar.

Namun untuk mencapai Nara yang menyimpan banyak hal yang luarbiasa, saya perlu sedikit perhitungan. Sebagai pengguna JR Pass dan terlalu pelit untuk mengeluarkan dana lagi, saya hanya menggunakan kereta JR untuk sampai ke Stasiun Nara lalu jalan kaki sekitar 30 menit dari stasiun kereta hingga ke Kuil Utama Todaiji yang menyimpan Daibutsu (Patung Buddha Raksasa) yang terkenal. Meskipun jelang akhir musim semi yang udaranya masih cukup sejuk, rasanya lelah juga berjalan kaki sejauh lebih dari 5 km bolak-balik itu, sendirian lagi!

Namun selalu ada untungnya. Meskipun jaraknya cukup jauh, di tengah perjalanan pasti saja ada yang menarik untuk dinikmati. Ada kuil Kofukuji yang memiliki Pagoda lima tingkat yang cukup menekan pegalnya kaki. Lalu setelahnya, ada taman dengan begitu banyak pepohonan yang meneduhkan. Di beberapa sudut masih ada daun-daun yang tumbuh salah musim karena berwarna merah dan kuning seperti musim gugur.

Jelang gerbang kuil Todaiji saya disuguhi pemandangan yang membuat saya tersenyum lebar. Nara Park lengkap dengan rusa-rusanya yang bebas berkeliaran. Seperti di Istana Bogor dengan rusa tutulnya. Bedanya, di Nara pengunjung bisa langsung berinteraksi dengan sang rusa tanpa dibatasi pagar pembatas.

Dan di sana saya melihat aliran kasih sayang. Saya mendekat kepadanya.

Beberapa keluarga lengkap dengan anak-anaknya mengelilingi seekor rusa. Begitu dekat, begitu jinak. Bukankah seekor rusa juga memiliki ayah, ibu dan anak-anaknya? bukankah mereka juga makhluk yang memiliki hidup?

Tak lama kemudian seorang laki-laki yang tampaknya adalah sang kepala keluarga terlihat mengarahkan tangan kecil anaknya ke dekat mulut rusa, memberi makan sang rusa yang dengan lembutnya menerima makanan dari tangan si kecil lalu mengunyahnya dengan antusias. Anak-anak lain yang menyaksikan menahan nafas, begitu antusias mengamati pemberian makanan itu kemudian serta merta menjadi gembira dan bahagia ketika sang anak kecil berhasil memberi makan sang rusa. Horee… Ah sepertinya sang rusa juga merasa gembira.

Saya melanjutkan perjalanan tapi tak jauh dari sana pemandangan serupa juga terjadi.

IMG_8395
Here… I give you

Kali ini saya lebih mendekat pada sang rusa dan anak-anak yang berkumpul di dekatnya. Ada seorang dewasa yang memberi contoh memberi makan kepada sang rusa dari arah kanan sang rusa namun pada saat bersamaan ada anak kecil lainnya mengangsurkan makanan di sebelah kiri sang rusa. Ah, sang rusa agak sedikit bingung untuk menyenangkan dua hati yang memberikan makanan kepadanya. Tetapi dari matanya yang melihat ke kiri, sepertinya sang rusa mengetahui ada kebaikan hati di sisi kirinya dan dengan segera ia menoleh ke arah kiri. Bukankah kasih sayang itu harus disambut dengan rasa syukur?

IMG_8397
So close

Dan lihatlah ada tangan lain yang mengangsurkan makanan dan tentu saja sang rusa mendekatinya dan langsung mengambilnya dari telapak tangan pemberinya. Yang memberi dan yang menerima terlihat senang. Dan semua proses itu disaksikan oleh anak-anak yang berdiri sangat dekat dengan sang rusa. Mereka pun belajar untuk bergantian memberi makanan kepada sang rusa, belajar sabar menunggu giliran, satu kebiasaan yang harus dijiwai sejak anak-anak. Mereka, anak-anak calon pemimpin masa depan itu telah berlatih sabar bahwa membiarkan orang lain berbahagia juga akan menularkan rasa bahagia. Bukankah mereka sendiri menyaksikan dan mengalami bahwa ketika kawan mereka memberi makan kepada sang rusa, hal itu akan menggembirakan kawannya juga dan sang rusa itu sendiri? Bukankah semuanya menjadi berbahagia?

IMG_8396
I can lean on you

Dan lihatlah, ada seorang anak yang begitu menyatunya dengan sang rusa. Ia meletakkan tangannya di atas punggung rusa dengan penuh kasih sayang dan percaya penuh. Seakan bulu-bulu lembut sang rusa adalah tempat bersandarnya yang paling nyaman. Sang rusa pun tidak bergerak sedikitpun merasakan tangan dan jemari kecil itu berada di punggungnya. Dia biarkan tangan itu mengelusnya, menepuk-nepuknya dengan penuh kasih sayang.

<>

Ada sejumput rasa yang memenuhi hati menyaksikan semua yang terjadi di hadapan. Sebuah aliran kasih sayang dan makna cinta yang sesungguhnya.

Hanya ada ketulusan.

Love needs no words. It only needs sincere demonstration.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nys WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-9 ini bertema Kids agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Expect Nothing, Appreciate Everything


 

Rasanya hampir setiap orang, -bahkan mungkin semua orang-, pernah merasakan kecewa karena memiliki harapan akan sesuatu yang tidak berjalan semestinya. Alih-alih mendapat apa yang menjadi harapannya, namun kenyataan yang diterimanya adalah zonk. Hati ambyar seketika dan dampaknya bisa terasa seharian atau bahkan lebih lama.

Hal yang sama bisa terjadi saat melakukan perjalanan.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika melakukan perjalanan ke Korea Selatan, saya memiliki harapan yang amat tinggi terhadap negara itu. Bagi saya saat itu, Korea Selatan merupakan negara yang sudah maju di Asia. Dalam pikiran saya, tidak berbeda jauh dengan Jepang. Apalagi dalam perjalanan ke Jepang, -sebelum travelling ke Korea Selatan-, saya mengalami perjalanan yang amat berkesan dengan berbagai kemudahan, kenyamanan dan keramahan orang Jepang.

The pond near Bulguksa temple
The pond near Bulguksa temple, Gyeongju

Kenyataannya di Busan, -kota pertama di Korea Selatan saat memulai perjalanan-, saya mengalami kejutan-kejutan yang cukup menimbulkan rasa cemas di hati (baca cerita lengkapnya di pos dengan judul Berkenalan dengan Busan). Semua berawal dari tingginya ekspektasi saya terhadap negeri penghasil ginseng itu sebagai negara maju yang sudah siap menerima turis mancanegara. Saya sama sekali tidak menduga bahwa jarang tulisan latin dan penduduk lokal banyak yang tidak bisa bahasa Inggeris! Kecemasan saya berkelanjutan sesuai rute trip hingga ke Seoul, seperti saat ke Gyeongju, juga saat ke Haeinsa Temple yang hampir membuat saya menyerah. Praktis saya pulang ke Indonesia dengan membawa pengalaman perjalanan yang amat melelahkan jiwa raga.

Tetapi seperti yang saya tulis kemudian dalam Hikmah terserak di Perjalanan Korea, semua peristiwa yang terjadi seharusnya dapat lebih dikendalikan jika saja saya tak memiliki harapan terlalu tinggi akan kemudahan dan kenyamanan perjalanan di Korea Selatan serta mau mensyukuri apapun yang terjadi.

Dengan tidak memiliki pengharapan, artinya saya menerima apapun yang terjadi sebagai sebuah keunikan negeri yang dikunjungi. Seharusnya tidak akan timbul kekecewaan jika saya bisa menerimanya sebagai sebuah keunikan.

But there are no mistakes, only lessons.

Saya belajar dari perjalanan Korea itu, sebuah pembelajaran yang amat besar. Untuk tidak memiliki ekspektasi atau pengharapan dalam sebuah perjalanan dan bisa menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai berkah. Jadi sejak itu, sebisa mungkin sebelum melakukan perjalanan ke sebuah tempat, saya mereset pengharapan atas tempat tujuan (meskipun kadang lupa juga hehehe)

*

IMG_0175
Expect Nothing, Appreciate Everything

Sebenarnya hal yang sama bisa dilakukan pula terhadap makhluk lain yang namanya manusia. 🙂 Dalam berinteraksi dengan orang lain, tanpa sadar kita telah menetapkan standar harapan terlalu tinggi kepada seseorang dan merasakan kecewa, marah, ilfil jika orang tersebut tidak bisa memenuhi level harapan kita.

Contohnya sangat mudah dicari. Paling gampang ya pengalaman saya sendiri dulu saat masih pacaran dan belum ada ponsel yaa…

Rasanya jengkel sekali jika mantan pacar yang sekarang jadi suami saya itu, tidak memberi kabar seharian. Saya bukannya hendak memonopolinya, tetapi saya cemas jika terjadi apa-apa padanya. Seperti kebanyakan perempuan lain, bisa jadi saya kebanyakan berpikir, tapi sungguh rasanya tidak enak sekali jika dia tidak menghubungi saya seharian. Akhirnya ketika dia menghubungi saya, ujung-ujungnya bertengkar.

Sementara saya berharap dia menghubungi saya barang semenit dua menit, dia sama sekali tidak tahu kalau saya memiliki pengharapan itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tidak memberi kabar seharian itu memberi dampak cemas di saya. Dia tidak tahu karena saya tidak mengungkapkan ke dia dan saya berharap dia bisa memahami apa yang saya rasakan. Bisa jadi saat itu dia sama seperti laki-laki lain yang sering pusing dan bingung menghadapi sikap perempuan. 

Saat itu saya memiliki ekspektasi kepada dia untuk mengerti dan bisa membaca perasaan saya yang akhirnya membuat saya kecewa, marah karena dia tidak bisa memenuhi harapan saya itu. Belakangan saya sadar telah salah (tapi gengsi untuk mengakui hihihi…) dan geli sendiri saat mengingat wajahnya yang ‘pasrah dan bingung’ atas kesalahannya tidak memberi kabar seharian! Seharusnya saya menerima kondisi dia tidak menghubungi sebagai sebuah berkah untuk dimanfaatkan yang positif dan menerima saat dia menghubungi berikutnya sebagai sebuah berkah.

Kita yang memiliki pengharapan kepada orang lain, lalu kita yang jengkel, kecewa atau marah karena dia tidak bisa memenuhi apa yang menjadi harapan kita kepadanya. Kan dia tidak bisa baca pikiran dan perasaan kita ya? Lagi pula pengharapan itu ada pada kontrol kita kan? Bisa dikendalikan kan?

Coba dibalik situasinya.

Bagaimana seandainya dia marah atau jengkel atau mendadak diam seribu bahasa, hanya karena kita tidak bisa memenuhi harapannya. Bingung dan jengkel juga kan? Memangnya kita bisa baca pikiran dan harapannya kalau tidak diungkapkan?

*

Tetapi memang tidak mudah untuk mereset ekspektasi, apalagi menerima segala sesuatu sebagai berkah. Tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan, paling tidak mulai belajar dilakukan.

Jadi, mau travelling kemanapun, atau kepada orang lain, termasuk keluarga, pacar, calon pacar, rekan kerja, sahabat, teman perjalanan, saya sih merekomendasi untuk expect nothing, appreciate everything. Hidup akan berjalan terasa lebih nyaman dan membahagiakan, jauh dari rasa kecewa.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-3 ini bertema Rekomendasi agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

What Will Your Legacy Be?


What we do for ourselves dies with us. What we do for others and the world remains and is immortal – Albert Pike

IMG_0192
White Lily

Mendadak belakangan ini saya digugah berulang kali oleh sepenggal kalimat yang dulu saya dapatkan dari seorang trainer. Sepenggal kalimat itu yang kini menjadi judul tulisan kali ini. What will your legacy be? 

Dan tepat sekali ketika sahabat saya mengangkat tema Bunga untuk tantangan Satu Foto Sejuta Cerita minggu ini. Karena apa yang menggugah saya belakangan ini, mengingatkan saya akan momen bunga itu. Bunga yang sebelumnya sama sekali tidak pernah saya tahu.

Saya tidak pernah lupa akan momen bunga itu. Dalam tidur, saya mendadak terbangun karena begitu jelas gambaran yang muncul di mimpi. Bunga itu, -yang belakangan saya tahu namanya adalah lily putih-, berada di atas peti mati coklat kehitaman! 

Seram kan? Jangan tanya peti mati siapa, karena saat itu saya sudah keburu bangun dan saya juga tidak mau tahu itu siapa. Tetapi bukan peti matinya yang begitu menarik perhatian, melainkan setangkai bunganya. Hanya setangkai bunga!

Dan akibatnya saya langsung mencari tahu tentang bunga itu, dan kini, saya tidak bisa menghindarinya. Setiap melihat bunga itu, -meskipun bunga itu cantik sekali-, saya selalu mengasosiasikan kepada sebuah kematian dan demikian pula sebaliknya.  

Nah kembali kepada yang menggugah saya belakangan ini, tentu saja berhubungan dengan yang namanya kematian. What will your legacy be? Dengan cara apa atau bagaimana sih kita ingin dikenang setelah kita mati? Uuugh…

Karena sesuai kata-kata Albert Pike di atas, apa yang kita lakukan untuk diri kita sendiri akan menghilang saat kita meninggal nanti, tetapi apa yang kita lakukan untuk orang lain, untuk masyarakat kebanyakan atau terlebih lagi untuk dunia, akan tetap tinggal dan tetap hidup meskipun kita sendiri telah meninggal dunia. Itulah legacy.

Terus terang apa yang saya lakukan masih terasa banyak sekali yang hanya ‘untuk saya’ atau paling tidak untuk orang-orang terdekat, dan bukan untuk masyarakat kebanyakan apalagi dunia. Dan meskipun kita semua memiliki waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi rasanya saya semakin kehabisan waktu. Saya masih banyak berhutang hidup.

Setiap hari, setiap detiknya, sadar atau tidak, kita semua sedang menuliskannya, dan bukankah setiap kali kita merayakan ulang tahun, sebenarnya waktu kita berkurang, semakin sempit untuk mengerjakan hal-hal yang harusnya kita lakukan agar terpenuhi keinginan itu sebelum sampai ke deadline.

Tapi biasanya kita berpikir… ah masih jauh, masih lama…

Padahal kita tidak pernah tahu kapan waktunya. Bisa memang masih lama, tetapi bisa juga setahun lagi, atau enam bulan lagi, atau bulan depan, atau bahkan lusa, bisa besok, atau bahkan bisa sejam lagi… Dan bahkan mungkin kita masih belum sempat berpikir bagaimana kita ingin dikenang setelah kematian kita, Malaikat Maut telah menghampiri kita.

Alangkah baiknya, selagi memikirkan bagaimana caranya kita ingin dikenang setelah kematian kita, kita bisa hidup dan mengisi hari-hari dengan berada di jalan atau melalui cara-cara yang kita ingin dikenang oleh mereka. Live the way you want to be remembered.

Mungkin juga seperti kita semua, paling tidak saya juga ingin dikenang baik, oleh karenanya saya berusaha hidup dengan baik, meskipun saya banyak kekurangan di sana-sini, namun saya berusaha selalu berbuat kebaikan.

Jadi, What will your legacy be? 

IMG_0111
White Flowers


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-26 ini bertema Flower agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Pindah, dari Akhir ke Awal


Life begins at the end of your comfort zone. – Neale Donald Walsch

30 Maret 2019, hari ke-100.

Masih jelas dalam benak momen itu, saya hanya bisa diam mematung, tak bisa bicara. Lagi pula tak guna lagi bicara, karena semua ada waktunya. Seperti sebuah potongan puzzle yang tepat menempati posisinya yang terbuka. Ini sudah jalannya.

Saat itu,

Semua orang sibuk, lalu lalang berbisik di belakang saya, entah untuk apa. Sebuah tangan terasa menepuk lembut di pundak, seakan memberi kekuatan jiwa. Tapi rasanya semua berupa maya.

Entah mengapa saya hanya diam dalam hening, hanya bisa menyadari situasi di muka. Entah siapa lagi yang sesungguhnya sadar situasi yang ada.

Akhir dari sebuah perjalanan dan sebuah perjalanan baru bermula.

Yang ada di depan saya hanya sebuah sisa, dari sebuah akhir.

Sebuah milestone, sebuah gerbang telah terlewati

Sebuah awalan baru, bermula

*

Hingga kini, saya tak lupa momen itu.

Saat itu, hanya sebuah momen yang menggegarkan jiwa. Bagi yang menyadarinya, ada momen mikro yang serupa sepanjang masa, hanya bagi yang menyadarinya. Sebuah awalan yang memiliki akhir dan sebuah akhir yang bermula.

Dengan keterbatasan kemanusiaan saya, hanya bisa diam mematung menghadap sisa. Suatu saat nanti, saya, juga Anda, akan menjadi sisa, sama seperti dia.

Hari ini, keseratus kali sang surya membuka cerita.

Sebuah akhir, sebuah awal, sebuah akhir, sebuah awal…

Kita sesungguhnya senantiasa berpindah.

Al Fatihah.

jerpur


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-12 ini bertemakan Berpindah agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Spring, A New Beginning


Spring is a time to find out where we are, who we are and move toward where we are going to.

DSC07104
Colorful flowers in spring time

Memaksakan menggenggam sesuatu yang seharusnya dilepas, akan membuat diri kita menderita. Karena Semesta menginginkan kita memiliki hal lain, yang mungkin hanya bisa didapat jika kita melangkah ke depan, berpindah tempat dari posisi sekarang. Kita akan menjadi terbarukan yang lebih baik daripada sekarang.

Dan apa yang kita genggam itu, bisa jadi Semesta juga akan membarukannya, menjadikannya lebih baik. Jika memang demikian, kita telah berbuat jahat jika kita menggenggamnya terus. Lagi pula, bagaimana kita bisa menggengam yang baru jika kita masih menggenggam yang lama?

Dan pastilah kita akan menderita jika memaksakan diri menggenggam sesuatu yang seharusnya dilepas. Karena semuanya yang berada dalam genggaman merupakan pinjaman, yang sepenuhnya bukan milik kita, yang suatu saat harus dikembalikan kepada Pemiliknya. Lalu apa sebutannya bila kita memaksa diri untuk memiliki yang bukan lagi dipinjamkan untuk kita?

Musim semi, atau yang sering kita kenal dengan spring, adalah waktu yang tepat semua awalan baru, meskipun kita berada di tempat yang tidak mengenal musim semi. Mulai melangkah menuju yang yang lebih baik merupakan sebuah kesadaran, mulai melepas sesuatu yang berada dalam genggaman agar semuanya menjadi lebih baik, merupakan sebuah kesadaran.

Melepas dan melakukan langkah pertama itu tidak mudah, tidak semudah berbicara. Namun bila kita terus berpikir bahwa semua ini untuk kebaikan semua pihak, yang berasal dariNya, kita akan dibantu olehNya. Bukankah, kupu-kupu indah berasal dari ulat yang berdiam lama dalam kepompong lalu mengalami kesulitan ketika keluar dari kepompong itu?

Dan perjalanan singkat akhir pekan kemarin di musim semi, -yang tidak dikenal di Indonesia-, bagi saya merupakan sebuah perjalanan melepas, sebuah awalan baru, sebuah langkah baru.

Ke arah yang lebih baik.

Singapore, 24 Maret 2019.

Every new beginning comes from some other beginning’s end. (Seneca)

 

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-11 ini bertemakan Spring agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Taman Hati Nirmala, Mungkinkah?


dsc02444
White Flower

Di Garden By The Bay Singapore, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di tempat itu, terutama di Flower Dome, hanya untuk menikmati semua bunga yang ada. Dua kali saya kesana, dua kali keluarga seperjalanan menunggu dengan ‘sedikit’ tidak sabar atas kegemaran saya menikmati bunga karena hampir setiap jenis bunga saya foto. Dua kali kesana, dua kali mengalami matahari masih bersinar saat masuk dan sudah gelap saat saya meninggalkan Flower Dome

Walaupun saya tidak tahu namanya, saya sungguh menikmatinya. Seperti bunga-bunga yang berwarna putih ini. Ditampilkan dalam kelompok anggrek, saya dibuat cukup terpukau dengan kondisi helai bunga yang sangat bersih. Entah kenapa, di benak saya terbersit sebuah pertanyaan, apakah hati manusia mampu seputih dan sebersih helai bunga ini. Bisa dikatakan, helai bunga itu bersih, tanpa noda, tanpa cela. Nirmala!

Manusia, selama hidup, pastilah mengalami dinamika kehidupan termasuk menumbuhkan rumput-rumput negatif diantara bunga-bunga indah dalam taman hatinya, sehingga menurut saya, sangat sulit memelihara taman hati menjadi nirmala, walaupun semua orang menginginkannya.

Seperti yang sering terjadi dalam travelling, kita (baca; saya) selalu dipertemukan dengan ujian-ujian yang kategorinya memelihara taman hati. Saat melihat petugas bandara yang tidak profesional dalam melayani, mereka malah ngobrol dengan teman-temannya di kala mereka seharusnya bekerja, kadang membuat pikiran ini tidak lurus. Atau melihat pramugari dengan pakaian kerjanya yang terlalu ketat sehingga membentuk bagian tubuhnya yang tidak ideal, menimbulkan opini yang tidak seharusnya di benak saya. Apalagi jika mereka bekerja dengan muka masam!

Belum lagi dengan sesama penumpang, terutama Indonesia, yang menurut saya paling parah dalam hal mengambil jatah ruang bagasi kabin. Tak peduli bagasi kabin orang lain yang membutuhkan juga, mereka ambil asal bawaannya yang segambreng bisa masuk kabin! Apalagi jika bepergian dalam rombongan besar, hampir bisa dipastikan mereka saling mendukung saat bicara dengan volume tinggi. Pernah suatu ketika di Kuala Lumpur saat antri hendak boarding pesawat ke Jakarta, mereka yang tidak sabar, mengkritik petugas maskapai yang bicara menggunakan bahasa Inggris. Mereka bicara dengan keras dalam Bahasa Indonesia, berteriak, dari bagian belakang hingga terdengar oleh saya yang ada di depan. Hanya karena mereka tidak paham bahasa Inggeris, mereka berteriak agar petugas menggunakan Bahasa Indonesia! Di Kualalumpur! 😀 Ini ujian hati kan?

Belum lagi, dengan destinasi tujuan. Jika harapan terlalu tinggi, dan dikecewakan karena obyek wisatanya tidak sesuai harapan, situasi hati bisa berubah. Kadang budaya orang lokal yang tidak sesuai dengan budaya kita, membuat kejutan yang bisa mengubah rasa. Buat saya, menata harapan sebelum berangkat itu harus selalu dipegang agar bisa menata hati supaya bersih.

Apalagi mengalami peristiwa buruk di tempat tujuan. Saya pernah mengalami kehilangan dompet di Hong Kong dan baru sadar di Macau saat hendak check-in hotel (baca cerita disini), atau perlakuan tidak ramah sopir taksi di Gyeongju atau tipu-tipu menyebalkan dari tour arranger di Nepal. Peristiwa-peristiwa itu pasti menumbuhkan bibit negatif di benak saya saat terjadi, namun Alhamdulillah selama ini bisa dinetralkan dengan baik. Buat saya, selalu berdoa dan berserahdiri padaNya pada setiap situasi, menyelamatkan saya dari pikiran-pikiran negatif. Juga rasa syukur kepadaNya bisa mencapai destinasi yang diimpikan merupakan penyeimbang kejutan-kejutan yang muncul. Memperpanjang sabar dan meningkatkan empati memang perlu dilakukan agar tetap ‘waras’ selama travelling.

Pada akhirnya menyempatkan diri selalu berpikir positif selalu membaikkan. Bibit pikiran positif akan menghasilkan bunga-bunga indah dalam taman pikiran dan hati. Kita semua berharap punya taman pikiran menjadi nirmala yang bersih dari penyakit, tak bercela, kan?

dsc02726

*****

Pos ini sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-2 ini bertemakan Nirmala, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…