Kisah Raja Gajah Di Gua Saddan


Salah satu gua yang saya kunjungi selama di Hpa’an, Myanmar adalah gua Saddan atau kadang disebut juga Mahar Saddan. Gua ini merupakan gua terbesar di Kayin State dan nomor 5 terbesar di Myanmar. Tidak heran, karena Hpa’An merupakan kawasan wisata yang terkenal karena pemandangan alamnya yang unik akibat bentukan bukit-bukit karst. Dan namanya gua di Myanmar, biasanya digunakan juga sebagai tempat ibadah sehingga kita harus lepas sepatu, bahkan saat menjelajah gua yang sepanjang 800 meter yang juga dihuni oleh kelelawar dan segala macam makhluk hidup penghuni gua. Terbayang kan bagaimana jalan di dalam gua tanpa alas kaki?

Gua Saddan, -artinya gajah dalam bahasa lokal-, dinamai demikian karena ternyata memiliki kisah penuh makna dibaliknya. Tentu saja seperti yang biasa terjadi  di negara mayoritas Buddhist ini, kisahnya selalu dikaitkan dengan kehidupan Buddha atau pengikut utamanya.

DSC07835
The Hole drilled by Sonuttara, Saddan Cave, Hpa’an, Myanmar
DSC07855
The Hole of Saddan Cave, Hpa’an, Myanmar

Alkisah di tempat ini berkuasalah Raja Gajah Chaddanta Jataka, yang dipercaya merupakan satu dari kehidupan Buddha sebelumnya. Gajah Chaddanta merupakan salah satu ras yang paling langka dan dianggap oleh banyak orang sebagai kelas gajah tertinggi. Gajah-gajah ini memiliki penampilan yang amat unik, dengan tubuh yang berwarna putih murni disertai kaki dan wajah berwarna merah tua dan memiliki dengan enam gading. Disebutkan pula Raja Gajah Chaddanta memiliki dua ratu gajah, yang masing-masing bernama Mahasubhadda dan Chullasubhadda.

Suatu hari, Raja Gajah Chanddanta ingin memberikan bunga kepada para ratu gajah, namun tanpa diketahui Sang Raja, dalam bunga yang diberikan kepada Chullasubhadda terdapat semut merah, yang akhirnya menggigit Ratu Gajah itu. Oleh karena gigitan semut merah itu, Chullasubhadda terkejut dan bergerak, akibatnya seluruh daun kering, ranting dan semut merah yang berasal dari pohon semuanya menimpa Chullasubhadda. Berbeda dengan yang dialami oleh Chullasubhadda, bunga-bunga indah dan serbuk sari dari bunga memenuhi Mahasubhadda, Ratu Gajah yang lain. Melihat perbedaan itu, Chullasubhadda menjadi sangat marah dan bersumpah untuk membalas dendam pada Raja Gajah Chaddanta.

Waktu berlalu tanpa kejadian berarti yang menimpa Raja Gajah Chaddanta. Namun setelah Chullasubhadda meninggal, dia bereinkarnasi menjadi seorang putri raja yang akhirnya dipinang oleh seorang Raja dan iapun menjadi seorang ratu. Takdir berjalan sesuai waktunya sehingga pada suatu hari Sang Ratu mengajukan permohonan yang tidak biasa. Ia menginginkan gading Raja Gajah Chaddanta. Karena cintanya, Sang Raja mengirim Pembantu Utamanya yang bernama Thaw Note Ta Ra atau Sonuttara untuk mencari gading tersebut. Karena ia sangat patuh kepada Rajanya, Sonuttara berangkat sendiri dan mencari Gajah Chaddanta. Ia sendiri memerlukan waktu hingga tujuh tahun untuk menemukan Raja Gajah Chaddanta.

Setelah menemukannya, Sonuttara menyusun rencana dengan menggali lubang di sebelah gua yang didiami oleh Chaddanta. Lubang galian itu dikamuflasekan dengan cara menutupinya dengan ranting-ranting dan daun kering serta cabang-cabang kecil lainnya. Kemudian Sonuttara bersembunyi di dalam lubang dan menunggu.

Hingga suatu saat, Raja Gajah Chaddanta menerobos lubang yang dibuat oleh Sonuttara sehingga tanpa ragu Sonuttara langung memanah Raja Gajah Chaddanta dengan anak panah yang beracun. Sambil menahan sakit akibat racun anak panah, Raja Gajah Chaddanta mencari orang yang memanahnya dan ketika ia menemukan Sonuttara, Raja Gajah Chaddanta pun mengangkat Sonuttara dengan belalainya. Kemudian Raja Gajah itu bertanya mengapa Sonuttara melakukan hal keji ini. Ditanya demikian, Sonuttara menjelaskan ia harus mematuhi perintah Rajanya, karena Sang Raja ingin sekali memenuhi permintaan Sang Ratu.

Sambil tercenung, Raja Gajah Chaddanta menyadari bahwa hal ini merupakan bentuk nyata dari sumpah Chullasubhadda atas insiden semasa hidupnya dulu. Raja Gajah Chaddanta memahami bahwa waktunya telah tiba untuk mati. Ia pun rela memberikan gadingnya kepada Sonuttara untuk kemudian menyerahkannya kepada Raja dan Ratu.

Duh, saya jadi ikut melow dengan akhir ceritanya…

Bisa jadi karena saya selalu terkesan pada kisah-kisah orang yang menerima semua akibat perbuatannya dengan ikhlas dan rela. Meskipun tidak sengaja atau tidak berniat (tetapi bukankah semua peristiwa terjadi bukan karena kebetulan?). Bagi saya sih pembelajarannya, sebaiknya kita tidak berlaku tak adil kepada orang lain dan berbuat sebaik mungkin, meskipun kita tak pernah bisa menyenangkan semua orang.

Selain itu, pelajaran penting lainnya sih hanya satu yaitu jangan menyakiti hati perempuan di luar batasnya, ketika ia patah dan bersumpah pasti akan terjadi ! 🙂

Anyway, menjelajahi gua Saddan tetap menyenangkan meskipun harus telanjang kaki sepanjang perjalanan yang kadang-kadang menginjak juga yang lembut-lembut atau kerikil yang tajam-tajam. Saya tidak mau berpikir lebih jauh tentang apa itu….

DSC07860
The end of Saddan Cave, Myanmar

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-43 ini bertema Lubang agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Myanmar – Mereka Yang Bersilang Jalan


7

One of the great things about travel is that you find out how many good, kind people there are – Edith Wharton

Matahari telah tinggi saat saya meninggalkan penginapan di Golden Rock menuju terminal truk dan saya cukup kaget mengetahui ternyata rute truk dari Golden Rock tidak melulu ke Kinpun! Uh, betapa naïve-nya saya! Mana dimana-mana tulisannya meliuk-liuk seperti cacing, saya hanya bisa berdiri pasrah melihat orang lalu lalang. Bisa jadi karena akhir pekan, suasana terminal bisa dibilang padat. Seketika saya melipir mengamati situasi dan Alhamdulillah, mata ini menangkap orang yang kelihatannya merupakan pengatur perjalanan truk. Semoga ia bisa membantu saya.

Saya mendatanginya lalu bertanya, “Kinpun?”

Seperti pria Myanmar lainnya, ia mengenakan longjyi lalu sekilas memperhatikan saya dan menyimpulkan saya turis. Tak banyak kata, ia menunjuk tempat truk yang ke Kinpun dan meminta saya berjalan memutar supaya bisa naik tangga. Untunglah, truk sudah hampir penuh dan saya masih bisa duduk menyempil di pinggir bersebelahan dengan ibu-ibu berbadan besar.

Tak lama, dimulailah perjalanan menuruni gunung. Kali ini terasa lebih mengerikan dibandingkan ketika berangkat, mungkin karena gravitasi sehingga kendaraan terasa lebih cepat, atau bisa juga karena jurang dan tikungan seperti huruf U itu lebih terlihat saat jalan menurun. Saya hanya bisa berdoa semoga rem truk berfungsi baik dan cepat sampai ke Kinpun karena saya lebih sering tergencet oleh ibu-ibu sebelah saat truk berbelok di tikungan…dan saya teringat ayam penyet! 😀

Perjalanan menuju Kinpun lebih cepat daripada ketika berangkat, tapi jangan harap berhenti di terminal truk seperti saat berangkat. Itu masih beberapa ratus meter! Jadi saya harus clingak-clinguk mencari tempat bus parkir. Asli, bus kalau sedang dicari tak pernah nampak hidungnya! Saya jalan lurus saja padahal tak tahu arah. Jika tersesat ya balik lagi! Lagi-lagi saya tersenyum sendiri, siap menerima semua kejutan yang terjadi hari ini.

Rupanya kedua kaki ini mengarahkan tepat menuju terminal bus dan ternyata memang ada bus yang siap berangkat. Dan pastinya lewat Kyaikto. Horeee! Sambil membeli tiket ke Kyaikto, saya mencoba peruntungan tiket bus lanjutan ke Hpa’an. Ternyata petugas tiket bisa mengaturnya. Tambah horeee… Tidak ragu saya langsung naik ke bus yang termasuk kategori bus scania (double deck) yang lumayan bagus.

kinpuntokyaikto-e
Scania Bus (Double Deck) from Kinpun to Kyaikto

Perjalanan dari Kinpun menuju Kyaikto tidak sampai 1 jam. Kenek bus memberitahu saya saat harus turun di Kyaikto! Benar-benar turun di pinggir jalan, -bukan di halte atau terminal-, dan harus menunggu bus yang lewat untuk ke Hpa’an. Mau komplain? Tidak! Ini seru!!!

Di tempat saya diturunkan itu, -katakanlah halte dadakan-, ada seorang anak muda yang melayani penumpang yang diturunkan seperti saya ini. Selain saya, ada 3 orang lainnya yang merupakan orang lokal dan mereka berceloteh dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Tiba-tiba anak muda itu menyodorkan kursi kepada saya untuk duduk. Aduh, saya terharu dengan pelayanannya.

Tetapi pelayanan itu masih harus dibuktikan dengan adanya bus ke Hpa’an, kan? Mata saya tak mau lepas dari si anak muda, satu-satunya orang yang tahu saya sudah bayar transportasi untuk ke Hpa’an. Dan apa yang saya takutkan terjadi juga. Setelah ketiga orang lokal itu mendapat busnya, si anak muda pun ikut kabur naik motornya. What? Lalu saya gimanaaaaa..?

Bahkan saya tak sempat berdiri untuk mengejarnya. Alih-alih ngomel berkepanjangan, secara intuitif saya mencoba sabar dan mengamati situasi. Tiiiing! Saya tersadar beberapa kali mengalami hal serupa ini dalam hidup, sebuah situasi ‘chaos’ lalu diikuti oleh “kunci penjelasan”. Hanya dengan duduk diam mengamati situasi setelah chaos terjadi. Menunggu “sang kunci” datang. Satu, dua, tiga menit berlalu, rasanya lama sekali, seperti menunggu kekasih datang! Dan menit ke lima, kesabaran saya berbuah hasil, si anak muda datang kembali bersama motornya.

Ketika ia sudah memarkir motor, saya langsung mendatanginya dan mengingatkan bahwa saya belum mendapat bus ke Hpa’an. Ia mengangguk memahami dan saya membayangkan dia bicara, don’t worry, the bus will come  😀

Entah berapa lama saya menunggu di bawah pohon di depan sebuah kios, akhirnya dengan tergopoh-gopoh dia mendatangi dan meminta saya bersiap-siap. Saya langsung berdiri menyambar ransel lalu mengejar dia yang secepat kilat sudah berada di tengah jalan! Untung tidak ada lalu lintas sehingga saya bisa langsung menyeberang.

Bus jenis scania itu berhenti di pinggir seberang, pemuda tadi bertransaksi dengan orang yang sepertinya kenek bus. Sambil melambaikan tangan mengucapkan terima kasih, saya naik ke dalam bus, berdiri di depan menghadap para penumpang hanya untuk melihat tidak ada satupun kursi yang kosong! Celaka! Bagaimana ini? Apakah saya harus duduk di bangku ‘baso’, seperti yang sering terjadi di Myanmar?

Kenek yang tadi bertransaksi dengan si pemuda, berbicara tak jelas dalam bahasa Myanmar dan setengah memaksa saya untuk berjalan lebih ke dalam lalu ia membuka lipatan yang ada di bagian luar lengan kursi lorong. Itu dia bangku ‘baso’-nya! Bukan seperti bangku baso yang ada di Indonesia yang terbuat dari plastik dan tidak nyaman, bangku ‘baso’ di bus ini empuk. Jadi sambil memeluk ransel, sekarang saya bisa duduk enak dan nyaman di tengah. Sebagai turis, -apalagi mengenakan topi genit-, saya tahu saya sedang menjadi pusat rasa ingin tahu dari banyak penumpang lain, tapi dengan santainya saya mengabadikan situasi tempat duduk yang menurut saya hanya ada di Myanmar! Hehehe…

Bus berjalan lagi melewati desa demi desa, satu persatu penumpang naik dan mengisi tempat duduk tambahan di depan saya. Lalu setelah beberapa lama, penumpang di belakang saya hendak turun dan seluruh penumpang kursi tengah yang duduk sepanjang lorong harus berdiri memberi jalan. Baiklah, harus bagaimana lagi?

Tapi percayalah, sebagai traveler kita selalu mendapat kebaikan dari orang-orang lokal. Sebagai orang asing, -dianggap sebagai tamu sesuai adat ketimuran-, saya dicarikan tempat duduk yang bukan di kursi tambahan. Meskipun saya sendiri tidak masalah duduk di kursi tambahan, namun sepertinya mereka ingin memberikan yang terbaik. Penumpang yang lebih muda diminta mengalah untuk duduk di kursi tambahan itu. Tidak ada yang protes, semua senang, apalagi saya. Tapi saya ditempatkan di sebelah laki-laki muda.

Saya ragu-ragu untuk mendudukinya mengingat adat dan tradisi yang berlaku, karena di Myanmar biasanya perempuan dan pria yang tidak saling kenal duduk terpisah lorong dan tidak bersebelahan. Tetapi sang pemuda sepertinya tidak keberatan, ia sedikit bergerak memberikan keleluasaan untuk saya. Saya tersenyum padanya sambil mengatakan terima kasih.

Bus bergerak lagi. Di barisan belakang ada seorang isteri yang kelihatannya mabuk. Tak henti-hentinya ia berusaha mengeluarkan angin dari dalam tubuhnya dan sekali-sekali memuntahkan isi perutnya. Baunya ya… seperti biasa, menyebar ke seluruh bus. Mau complain? Duh, rasanya mendadak di hadapan muncul Guru Tak Kasat Mata memberi wejangan tentang pembuktian compassion kepada yang sedang menderita! 😀

Sambil mengisi waktu, saya melihat-lihat kembali foto-foto yang ada di kamera dan senyum-senyum sendiri mengingat setiap peristiwanya. Pemuda di sebelah saya sepertinya mengintip juga lalu membuka pembicaraan yang akhirnya kami ngobrol panjang lebar. Juga ibu-ibu yang ada di seberang lorong. Wah saya punya teman ngobrol banyak. Semuanya ingin tahu, mengapa saya melakukan perjalanan sendiri, sudah kemana saja, soal keluarga, dimana mereka, dan banyak lagi. Wajah mereka semakin cerah dengan mata berbinar ketika mereka tahu saya mengunjungi Myanmar bukan yang pertama. Rasanya bukan mereka saja yang gembira karena saya juga gembira bercerita tentang pengalaman saat kunjungan pertama dan melihat perkembangannya yang baik pada kunjungan kali ini. Siapa sih yang tidak senang mendengar kisah perkembangan yang baik?

Dan bahkan pemuda tidak diketahui namanya itu, juga memberitahu saya untuk mencari tahu lokasi terdekat dengan hostel untuk turun dari bus karena bus tidak akan masuk ke terminal Hpa’an. Ia juga membantu saya mencarinya melalui google maps-nya. Dan 5 menit sebelum berhenti, saya mengucapkan terima kasih kepada mereka semua yang menjadi teman baru selama perjalanan ke Hpa’an dan berjalan mendekat ke pengemudi. Lagi-lagi saya turun di pinggir jalan. Semoga google-maps benar!

Saya berdiri sejenak menunggu bus berlalu dan berpikir, ini kiri atau kanan? Sambil melakukan positioning arah saya melihat sekitarnya dan voilaaa…! Itu dia hostel boutique yang cantik, tempat saya menginap di Hpa’an.

Tak sampai 80meter berjalan, saya memasuki hostel dan disambut oleh perempuan bertubuh kecil yang bicaranya cepat, dan tidak begitu ramah. Ah, rupanya dia yang ditandai oleh beberapa tamu yang memiliki kesan yang sama, bicara cepat, efisien, informatif namun tidak begitu ramah. Bagi saya, dia seorang perempuan yang sedang bekerja untuk hidupnya dengan muka datar, tak perlu basa-basi. Itu pilihannya. Namun jika saya boleh memilih, kelihatannya resepsionis yang berdiri di sebelahnya lebih menyimpan perhatian. Dari sorot matanya, saya tahu dia bisa diandalkan.

*

Di hostel kecil yang cantik ini saya memesan kamar privat yang mungil dan bercitarasa tinggi meskipun jendelanya kecil dan pemandangannya secuil sungai. Semua sudah sempurna, lagi pula hanya sehari di sini dan lebih banyak keluar. Saya membersihkan diri sejenak lalu menatap keluar jendela. Matahari masih terang benderang sehingga punya banyak waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata Hpa’an.

Saya merebahkan diri sejenak, bersyukur telah sampai di Hpa’an sambil berpikir mau kemana dan mengingat kembali orang-orang yang telah bersilang jalan dalam kehidupan saya hari itu. Tapi merebahkan diri itu tindakan salah besar karena udara sejuk dari AC mendinginkan badan yang membuat saya tertidur lelap… Ampun!

Ke Myanmar Lagi Setelah Tujuh Tahun


Saat roda pesawat menyentuh mulus landasan bandara Internasional Yangon, saya menarik nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rasanya tak percaya bahwa setelah 7 tahun akhirnya saya kembali lagi ke Myanmar, negeri yang terkenal dengan sebutan The Golden Land. Bandara yang dulu terkesan tak ramah dan seram, kini bagai perempuan cantik yang menarik hati dengan begitu banyak toko-toko merek Internasional.

Jika 7 tahun lalu saya harus datang menggunakan visa, kini sebagai pemegang paspor Indonesia, saya bisa melenggang dengan visa exemption dari Pemerintahan Myanmar. Jika dulu saya ketar-ketir dengan kecukupan bank notes US Dollar terbaru yang harus licin yang saya bawa karena ATM internasional tidak ada, kini saya bisa menarik uang kyat melalui ATM, bahkan sampai di tempat terpencil pun ada ATM! Jika dulu sinyal ponsel lebih banyak hilang, kini saya bisa terus exist dimana-mana hingga ke tempat terpencil. Dan yang paling membahagiakan, jika dulu saya hanya mendapat sedikit hotel yang bisa dibooking online kini Myanmar tak beda dengan Negara-negara lainnya. Jika dulu saya bingung untuk bisa booking pesawat domestik di Myanmar, kini saya memiliki kemudahan untuk memilih transportasi bus atau pesawat untuk pindah kota. Tujuh tahun untuk keterbukaan sebuah Negara, perubahan ini patut diacungi jempol.

Kemudahan itu juga termasuk pemesanan tiket bus sehingga saya bisa dengan cepat dari bandara ke stasiun bus dan langsung menuju Kinpun, desa terdekat untuk sampai ke Golden Rock. Saya telah menghitung waktu perjalanan bahwa saya bisa mencapai Golden Rock sebelum sunset dan betapa membahagiakan saya bisa mendapatkan sunset yang indah di Golden Rock! Bahkan keesokan harinya saya juga bisa mendapatkan pemandangan indah perbukitan yang berlapis-lapis ditimpa sinar mentari pagi.

DSC07452
Sunset at Golden Rock, Myanmar

Perjalanan saya pagi itu berlanjut ke kota kecil Hpa’an di Kayin State dengan menggunakan bus dan sempat berkenalan dengan penduduk lokal seperjalanan bus. Mereka dengan ramahnya dan dengan bahasa Inggeris yang fasih menunjukkan tempat saya harus turun agar tak jauh berjalan kaki dari hostel saya menginap. Membahagiakan sekali rasanya mendapatkan bantuan dari mereka.

Di hostel kecil di Hpa’an itu, lagi-lagi saya mendapatkan kemudahan. Setelah rehat sejenak di kamar hostel yang ber-AC sambil menunggu meredupnya terik mentari, saya berkeliling tempat-tempat wisata di Hpa’an dengan motortaxi. Hpa’an, kota kecil pinggir sungai Than Lyin yang berada di kawasan perbukitan karst memang merupakan surga bagi penggemar wisata gua. Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi Gua Kaw Gon yang luar biasa cantik karena dipenuhi dengan tatahan ribuan Buddha kecil di sepanjang dinding dan atap gua, juga Gua Yathae Pyan yang banyak stalaktit dan stalagmit, Gua Kaw Ka Thaung yang menyimpan relik Buddha dan tentunya gua terbesar Mahar Saddan yang terkenal dengan stalagtit dan stalagmitnya dan berujung pada danau kecil di ujung keluarnya. Bahkan di hari pertama saya sempat mengunjungi sebuah monastery berpemandangan indah pada saat senja. Refleksi monastery dan perbukitannya terlihat sangat menawan di danau kecil.

Perjalanan selanjutnya menuju kota Mawlamyine atau dulu dikenal dengan Moulmein, di Mon State, yang mengharubiru rasa. Sesungguhnya perjalanan ke Mawlamyine inilah yang membuat saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Dengan apapun saya akan menempuhnya, saya akan sampai pada Mawlamyine meskipun hal ini tidak akan mudah.

Sebuah perjalanan menapak tilas tidak akan pernah mudah karena dipenuhi kenangan dan cinta. Setiap langkah saya seperti melepaskan helai bunga doa untuknya. Meskipun menginap di tempat terbaik di kota ini, saya tahu akan berteman dengan airmata dan menghabiskan waktu berbicara dengan jiwa.

Namun jiwa pejalannya yang ada pada saya mengajak melangkah ke tempat-tempat baru. Di kota ini saya melihat bagaimana Myanmar berusaha memiliki bangunan Buddha Tidur terbesar di dunia (meskipun kini dikalahkan oleh China yang mengubah bukit menjadi Sleeping Buddha). Bangunan Buddha Tidur yang saya lihat ini juga masih dalam tahap pembangunan, entah kapan selesainya.

DSC08118
Win Sein Taw Ya Pagoda, Mawlamyine, Myanmar

Selepasnya, saya diajak oleh sopir tuktuk untuk mengunjungi beberapa masjid, termasuk menyempatkan ziarah kubur kepada seorang ulama yang dimakamkan disana. Pengalaman mengunjungi perkampungan muslim dengan melihat beberapa masjid di kota Mawlamyine melengkapi keindahan hari saya. Seakan saya dibukakan mata bahwa saya tidak boleh menyamaratakan keadaan Muslim di Myanmar. Di kota ini, di Negara bagian Mon ini, toleransi antar agama berjalan dengan sangat baik. Buktinya amat jelas, saat berjalan kaki di pagi hari, saya mendapati tiga masjid yang tak berjauhan lokasinya. Bahkan belakangan saya menyesal, karena tahu disana ada lebih banyak masjid daripada rumah ibadah lain, yang tidak sempat saya lihat.

Bagaimanapun perjalanan harus dilanjutkan, pada malam harinya saya kembali ke Yangon dengan menggunakan bus malam yang menyimpan cerita untuk bersikap berani di baliknya. Kota Yangon dengan segala kebaikan dan keburukannya, tidak jauh beda dengan Jakarta, kota tempat saya dibesarkan dan hidup didalamnya. Sebagai perempuan yang pergi sendiri, antenna kewaspadaan saya harus terus berfungsi dengan baik, kelengahan sedikit saja bisa berakibat tak baik. Meskipun diatas segalanya, Dia Yang Maha Melindungi yang menjaga saya selamanya.

Hari itu, kota Yangon bukan menjadi kota destinasi, melainkan kota transit karena saya harus terbang ke Heho untuk sampai ke Danau Inle yang terkenal. Tujuh tahun lalu, saya tidak sempat ke Danau Inle dan tahun ini, Inle menjadi tujuan destinasi saya untuk menikmati liburan kali ini. Benar-benar beristirahat.

Dua malam saya habiskan di Danau Inle untuk berleha-leha dan berwisata sekitar danau, ke tempat-tempat pembuatan kain, tempat pembuatan perahu, tempat kerajinan tangan dan lain-lain. Bahkan di tempat itu, yang jauh dari kota, saya sempat menarik ATM. Ah, Myanmar memang sekarang lebih mudah.

DSC08571
Inle Lake one-leg rowing fisherman during Sunset

Menikmati sunrise dan sunset di Danau Inle merupakan pengalaman indah yang saya alami. Bagaimana mungkin saya mengabaikan nelayan-nelayan yang mencari ikan di danau dengan mendayung memakai satu kakinya? Bagaimana mungkin saya mengabaikan bunga-bunga matahari dan lotus yang terhampar dan mekar dengan indahnya di pinggiran danau? Keindahan luar biasa Danau Inle membuat saya berjanji akan mendatangi lagi suatu saat nanti.

Meskipun beristirahat total, -ini cara mengisi liburan saya yang sangat berbeda dari biasanya-, tetap saja ada satu tempat yang membangkitkan semangat. Dengan melakukan perjalanan sekitar 1 jam dengan perahu, saya sampai pada reruntuhan bangunan dari Abad ke-11. Meskipun terpapar terik matahari dan sedikit mendaki, saya bisa menikmati kawasan Bagan dalam ukuran mini.

Perjalanan saya di Myanmar mendekati akhir. Saya harus kembali ke Yangon, dengan berkendara bus selama 11 jam. Sebuah perjalanan panjang yang menghabiskan hari, namun bagi saya tetap saja ada kisah-kisah menyenangkan dan menghangatkan hati melalui sentuhan hati dengan orang-orang lokal yang baik dan ramah.

Malam terakhir di Yangon, dalam keadaan badan yang lelah, justru saya mendapat pengalaman ‘perkenalan’ sampai akhirnya saya minta penggantian kamar. Meskipun saya tidak mau berpikir aneh-aneh, tetapi demi istirahat enak, lebih baik saya pindah ke kamar lain. Bukankah mengganggu bila lampu tiba-tiba meredup lalu terang kembali dan berulang serta bunyi-bunyian keras tanpa alasan yang jelas?

Tetapi bagaimana mungkin saya meninggalkan Yangon tanpa mampir ke Shwedagon yang megah? Dan tetap saja beberapa jam disana sudah mampu memberi sentuhan hangat ke dalam jiwa, sampai akhirnya waktu juga yang memaksa saya meninggalkan Yangon.

Setelah tujuh tahun, Myanmar telah banyak berdandan cantik disana-sini menyambut tamu-tamu yang semakin banyak berdatangan. Meskipun kali ini saya mendatangi tempat-tempat yang belum saya datangi sebelumnya, -kecuali Yangon-, saya merasakan sekali perubahan kearah yang lebih baik itu, dan tentu saja sangat menggembirakan.

Ah, karena post ini merupakan rangkuman perjalanan, doakan saja saya bisa menulis perjalanan seru waktu disana ya. Siapa yang baru-baru ini ke Myanmar juga? Boleh dong cerita-cerita… 🙂