Setiap berkunjung ke rumah Mama, mata saya selalu melirik ke benda itu. Entah mengapa, -selain foto besarnya tentu saja -, benda itu seakan mengingatkan langsung kepada Almarhum Papa, yang telah berpulang dua tahun silam. Tapi namanya juga rumah orangtua, tanpa benda-benda fisik yang bisa dilihatpun, pastinya pikiran ini selalu mengingat kepadanya. Iya kan?
Tapi tidak heran sih, karena benda itu seakan mewakili keahliannya Papa sebagai nakhoda kapal. Jadi bagaimana saya tidak mengingat Almarhum Papa jika ke rumah Mama dan mata ini langsung memandang si benda itu, kapal dalam botol kaca!
Dan tidak hanya satu botol, melainkan dua! Yang satu, kapal dengan tiga tiang tinggi dan yang lainnya, kapal dengan dua tiang tinggi. Keduanya termasuk jenis kapal layar (sejenis phinisi). Terlepas dari dua kapal dalam botol itu, masih ada lagi hiasan patung Buddha yang ada dalam botol kaca yang merupakan cinderamata Papa dari Burma. Untuk yang terakhir ini, sudah ada sejak saya masih kecil dan menjadi salah satu ‘penggoda’ saya untuk bisa sampai ke Burma, seperti yang telah saya ceritakan di Rencana ke Myanmar: Menapak Tilas untuk Sebuah Cinta

Miniatur kapal bertiang tinggi tiga dalam botol itu yang menarik perhatian saya dan membuat saya melirik atau menoleh. Bisa jadi karena botol itu sedikit lebih besar dari pada botol yang berisi kapal bertiang dua itu. Lagipula Mama menempatkannya di bagian depan dan lebih mudah terlihat, sedangkan botol berisi kapal bertiang dua itu diletakkan di lemari kaca yang lebih jarang diakses.
Tapi bukan hanya itu. Kapal layar bertiang tinggi tiga itu bukan miniatur sembarang kapal. Seperti yang terlihat lambung kapal, kapal itu bernama Dewaruci, sebuah nama besar yang disandang oleh sebuah kapal Indonesia.
Kapal Dewaruci
Menurut Wikipedia, kapal yang menjadi satu-satunya berjenis barquentine terbesar di Indonesia, KRI Dewaruci merupakan kapal layar milik dan dioperasikan oleh TNI AL (dulu Angkatan Laut Republik Indonesia). Karena ukurannya yang sangat besar, kapal ini dijadikan tempat pelatihan layar untuk taruna Angkatan Laut. Terbayang kerennya di pelabuhan para taruna gagah itu berdiri di tiang-tiang kapal karena Kapal Dewaruci juga menjadi duta ke seluruh Indonesia dan dunia.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Kapal Dewaruci dipesan pembangunannya di galangan H. C. Stülcken Sohn di Steinwerder, Hamburg, Jerman mulai tahun 1932. Sayangnya karena Perang Dunia II, galangan kapal tempat Kapal Dewaruci dibangun rusak parah sehingga pembangunannya tertunda. Dua dekade kemudian, Kapal Dewaruci yang membanggakan itu akhirnya diluncurkan dan selalu berlabuh di Surabaya sejak itu.
Seakan mengikuti para model gagah dan cantik yang selalu laku dalam dunia perfilman, Kapal Dewaruci dipilih oleh Studio Fox 2000 Pictures dalam film Anna and The King yang disutradarai Andy Tennant, dan dibintangi artis terkenal Jodie Foster dan Chow Yun Fat. Meskipun dalam film itu, Kapal Dewaruci disulap sebagai Kapal layar Inggris abad-18, film itu termasuk laku di pasaran dan termasuk dalam nominee Academy Awards 2000.
Mungkin memang karena penampilannya yang luar biasa keren itu, Dewaruci terus berpartisipasi dalam acara-acara rutin kapal tiang tinggi di seluruh dunia. Apalagi Kapal Dewaruci memiliki kelompok marching band sendiri, pastinya menjadi sebuah fitur yang teramat unik seperti yang terjadi di Hartlepool, -sebuah kota pelabuhan di County Durham, Inggris-, saat parade kadet Kapal Tiang Tinggi di tahun 2010. Saat itu kadet Kapal Dewaruci dan marching band-nya mendapat sambutan yang amat meriah dari pengunjung. Keterampilan luar biasa, penuh semangat dan antusiasme tinggi menghasilkan penghargaan dalam kategori kadet terbaik dalam parade. Dengan marching bandnya, para kadet juga tampil di Broadway, Newyork, USA yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat yang menyaksikan.
Sayangnya saat ini karena pertimbangan usia yang memasuki usia pensiun untuk ukuran Kapal Layar, Kapal Dewaruci mengurangi perjalanan panjangnya dan lebih banyak berlabuh di pelabuhan. Kini perjalanan Kapal Dewaruci banyak digantikan oleh Kapal Tiang Tinggi lainnya yaitu Kapal Bima Suci.
Bagi saya, nama Kapal Dewaruci lalu dilanjutkan dengan nama Kapal Bima Suci yang berbau pewayangan Indonesia ini memberi perhatian tersendiri. Seperti biasanya, pasti namanya mewakili kebaikan, kebenaran dan keberanian sesuai tujuan mulia kapal itu.

Kisah Bima dan Dewa Ruci
Dalam Mahabharata versi Indonesia, Dewa Ruci adalah dewa mini yang ditemui oleh Bima atau Werkudara, -yang kedua dari Pandawa Lima-, ketika ia mencari air kehidupan Tirta Perwitasari. Kisah Dewa Ruci yang hanya ada di Indonesia ini, menjunjung kesetiaan dan kepatuhan murid terhadap sang guru, tentang perjuangan seseorang menemukan jati dirinya hingga bisa bertindak mandiri menjunjung kebenaran.
Berakar kuat dalam filosofi Jawa terutama mereka yang mendalami aliran kebatinan, mampu mengenal diri sendiri berarti memahami diri sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan pemahaman itu seseorang akan berusaha bertindak selaras dengan kehendakNya. Sebuah filosofi Jawa yang amat terkenal, Manunggaling Kawula Gusti
Kisah Bima mencari Air Kehidupan (Tirta Perwitasari) dimulai ketika Sang Guru, Resi Drona, memberitahu bahwa air kehidupan itu berada di dasar samudera. Sebagai murid yang patuh, tanpa pikir panjang, Bima terjun ke dasar Samudera meskipun ditentang oleh Ibu Kunti dan keempat saudara lainnya karena berpikir, semua itu adalah siasat para Kurawa melalui Resi Drona untuk menghabisi Bima. Karena Bima adalah sosok yang teguh pendirian pada keputusannya, Bima tetap berangkat mencari Air Kehidupan di dasar Samudera itu.
Dalam sekejap Samudera melumat tubuh Bima yang termasuk besar seukuran raksasa. Terhampas oleh ombak besar, seekor naga besar langsung menyambar tubuh Bima dan melilitnya. Berjuang sekuat tenaga, Bima melawan naga tersebut hingga akhirnya dengan kuku saktinya Pancanaka, Bima berhasil merobek leher naga yang berujung pada kematian sang Naga.
Lalu setelah pergumulannya dengan Naga yang cukup menghabiskan kekuatan dirinya, Bima pun menjadi pasrah dengan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Dengan berserah diri itu, ombak yang awalnya bergejolak menjadi tenang dan tiba-tiba muncul sosok kecil di hadapan diri Bima. Sosok yang hanya sebesar telapak tangannya yang bernama Dew Ruci. Ia minta Bima untuk memasuki dirinya melalui telinga kirinya. Merasa memiliki ukuran sebesar raksasa, awalnya Bima memiliki keraguan untuk memenuhi permintaan Dewa Ruci. Tetapi akhirnya keraguan itu sirna dan Bima memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil itu. Saat itulah Bima melihat dunia yang besar di dalam telinga yang teramat kecil itu, sebuah tempat yang damai. Di dunia itu, Dewa Ruci memberi wejangan akan air kehidupan yang dicari oleh Bima.
Air kehidupan itu ada di dalam diri kita masing-masing. Sebagai manusia, kita bisa melihatnya asalkan kita selalu menjalani hidup sesuai kehendak Sang Illahi. Dalam setiap diri manusia terdapat sebuah Cahaya yang akan menuntun pada kebaikan, hanya saja kekuatiran dan hawa nafsu selalu mencoba menghalangi Cahaya itu. Seperti yang telah dilakukan oleh Bima setelah pergumulannya dengan Naga, sifat berserah diri kepada Sang Maha Kuasa akan menuntun manusia pada jalan kebenaran.

Nama adalah sebuah doa, sehingga dengan memberi nama kapal dengan nama Dewaruci ataupun Bima Suci, diharapkan pelaut-pelaut yang lahir dari kapal ini akan menemukan jati diri sesungguhnya, -seperti ketika Bima menemukan makna kehidupan dalam diri Dewa Ruci-, sehingga pelaut-pelaut ini akan memiliki karakter yang kuat, trengginas dan tangguh dalam menjaga wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saya masih memperhatikan miniatur Kapal Dewaruci dalam botol. Kisah perjalanan Kapal Dewaruci yang luar biasa dan membanggakan serta kisah mengenai nama Dewa Ruci itu sendiri yang memiliki makna begitu dalam. Lalu mendadak sebuah kesadaran realistis muncul di hadapan, sesuatu yang rasanya sangat mendasar dan manusiawi. Bagaimana caranya memasukkan miniatur kapal dengan nama besar itu ke dalam botol?
Pertanyaan yang sama juga terlontar untuk hiasan Buddha yang ada dalam botol. Bagaimana bisa? Awalnya saya berpikir bahwa bagian dasar botol masih terpisah saat miniatur kapal dimasukkan lalu dengan teknologi pembakaran kaca, bagian dasar botol ditempelkan ke tubuh botol. Benarkah demikian?
Ternyata bukan begitu. Ternyata memang ada manusia-manusia yang luar biasa ulet dan tangguh serta penuh seni, -seperti Bima-, yang membuat miniatur di ruang kerjanya lalu menambahkan engsel-engsel yang begitu kecil pada miniatur kapalnya sehingga miniatur kapal itu bisa rebah serupa gulungan. Lalu secara perlahan, kapal miniatur yang serupa gulungan itu dimasukkan ke dalam botol melalui kepala botol yang kecil itu. Kemudian Sang Seniman, dengan menggunakan benang dan pinset, akan menarik kapal, meluruskan engsel-engselnya kembali berdiri seperti semula yang berbentuk kapal. Luar biasa kan?
Ternyata sangat tidak mudah membuat kapal atau Buddha atau hiasan apapun di dalam botol.

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang pertama dan bertema Glass agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.