December, The Last One, The Best One


Tanpa sadar, setelah menelan sebelas bulan sebelumnya, Sang Waktu yang konsisten itu pun telah melahap setengah bulan terakhir tahun 2020 ini, meninggalkan manusia-manusia terlena yang mencoba menggenggam momen-momen yang telah terjadi. Sang Waktu tidak peduli dengan mereka, juga dengan momen-momen mereka. Sang Waktu tetap berjalan maju…

Saya termasuk dalam golongan manusia-manusia itu karena tak mampu menjaga konsistensi untuk terus bergerak maju. Dalam banyak kesempatan dalam kehidupan, saya membiarkan diri berlama-lama memeluk momen-momen yang sudah berlalu seakan-akan momen itu pasti setia mengikuti.

Padahal, momen itu akan tertinggal di masa lampau. Sebagai kenangan.


Dan diantara momen-momen yang sering kali saya tengok dan membiarkan diri berlama-lama mengenangnya adalah momen-momen yang terjadi di bulan Desember, bulan terakhir di setiap kalender Masehi. Entah kenapa di bulan ini banyak sekali terjadi momen yang mengisi kehidupan saya, meski di tahun-tahun yang berbeda. Yang indah, yang memilukan hati, semuanya mewarnai kehidupan…

4 Desember – Belajar Ikhlas

Seharusnya hari itu menjadi hari yang menyenangkan. Indeed, memang menyenangkan di awalnya namun berubah menjadi airmata sedih di penghujung hari. Dia yang memiliki wajah menenangkan awalnya mengajak merayakan hari jadian, tepat dua tahun mencoba mengenali masing-masing pribadi agar siap menuju gerbang pernikahan.

Autumn shows us how beautiful it is to let things go

Entah siapa yang memulai, bisa saya, bisa juga dia atau memang jalannya memang harus demikian. Sesuatu yang nyaris tabu dibicarakan diantara dia dan saya, akhirnya terbuka juga. Tentang bedanya jalan iman dia dan saya. Masing-masing pribadi memahami, cepat atau lambat, sekarang atau nanti, waktunya akan datang. Kami berdua harus menghadapinya masing-masing. Siapkah kami untuk melanjutkan perjalanan bersama, dengan segala konsekuensinya. Bagaimana dengan dia, bagaimana dengan saya? Lalu bagaimana dengan keluarga yang telah membesarkan dia dan saya? Bagaimana dengan anak-anak nantinya? Begitu banyak pertanyaan “bagaimana” yang harus saya jawab dengan jelas.

Dipenghujung hari semua menjadi blur dengan air mata. Detik-detik waktu rasanya berjalan sangat lambat, tak mampu membuat jalan kami bertemu. Rasanya ingin dihindari, tetapi baik dia maupun saya sama-sama tahu, semua itu hanya penundaan. Hari itu, atau nanti, segera atau bulan depan pasti akan datang waktu penuh diskusi panjang tak berkesudahan, seperti hari itu.

Sedalam apapun cinta kami berdua, -meski tahu tujuan akhirnya adalah Dia Yang Maha Kasih-, hati ini tetap memilih jalan masing-masing pribadi menuju Sang Pencipta. Dan hari itu, kami sampai di penghujung perjalanan kebersamaan. Hati kami, -meski penuh airmata-, harus saling melepaskan diri. Sebuah keputusan berat dan perlu keikhlasan.

Di tanggal jadian yang sama, kami saling mengikhlaskan untuk bisa menapak perjalanan kehidupan sesuai pilihan iman kami. Sedih, berat, broken-hearted tapi di sisi lain masing-masing ada rasa damai, terang, tenang yang dimenangkan.

15 Desember – Hadiah VersiNya

Bertahun-tahun setelahnya, berulang kali saya gagal mencoba merajut kasih dengan yang satu iman. Rasanya begitu lelah sehingga akhirnya saya menyerah. Seperti ada yang salah. Tak bisa tidak, saya harus melambatkan langkah di antara manusia lain yang seperti berlari. Alih-alih mendekati manusia lain, saya melakukan perjalanan jauh ke dalam diri. Cukup sudah melihat dan berharap dari manusia. Melalui doa-doa panjang penuh harap, melalui puasa dan tahajjud di malam-malam penuh hening, saya tersungkur berserah diri sepenuhnya kepadaNya untuk urusan yang satu ini. Dan tak ada yang terlewatkan olehNya, Dia Yang Senantiasa Memenuhi Janji.

Dia, laki-laki biasa yang juga tak sempurna, dikirim sebagai jawaban doa-doa panjang saya. Ketika telah berserah diri sepenuhnya, suara hati akan menuntun kearahnya. Bagi saya, pertemuan dengannya adalah sebuah keajaiban. Karena tak disangka-sangka Dia Yang Maha Baik mengirimnya melalui sebuah musibah yang harus saya alami. Musibah, yang bagi banyak orang memberi buruknya kenangan, bagi saya membawa kebahagiaan tersendiri. Membawa senyum dan rindu. Kata sahabat saya, jodoh itu serupa rejeki, datangnya bisa dari arah mana saja, tanpa diketahui waktunya. Bila sudah sampai waktunya, apapun yang terjadi, dia akan datang.

A rose, a symbol of true love

Dan di pertengahan bulan Desember, Allah Yang Maha Baik mengirimkan seseorang yang tak sempurna tapi terbaik untuk duduk di pelaminan bersama saya.

Dan bagaimana saya bisa melupakan hari di pertengahan Desember itu? Yang dananya diambil dari tabungan kami berdua, yang dihitung rupiah demi rupiah, yang rasanya mengalir keluar seperti air bah namun masuknya seperti mengharap hujan di musim kemarau. Hingga suatu saat, -seperti juga datangnya pasangan saya itu-, dana bantuan juga datang dari arah yang tak terduga. Membuat saya lagi-lagi terpesona dengan caraNya bekerja. Tak bisa tidak, saya hanya bisa hanyut dalam syukur. Alhamdulillah, Maha Suci Allah, Sang Maha Pemberi Rejeki.

Hal yang serupa dengannya adalah kehadiran seorang anak di dalam keluarga kecil kami yang juga datang di bulan Desember. Setelah keguguran pada kehamilan pertama, saya kembali berdoa sepenuh hati dan berserah diri kepadaNya. Doa-doa panjang, puasa dan tahajjud di malam-malam hening berbuah manis ketika akhirnya seorang anak perempuan yang cantik hadir di antara kami berdua, tiga tahun setelah pernikahan kami.

21 Desember – Yang Berpindah

Dan datang juga momen Desember yang paling mengoyak hati. Hari itu saya kehilangan laki-laki pertama yang mencintai saya. Papa saya. Bertahun-tahun sebelum kepergiannya, beliau hanya bisa berpasrah di kursi roda dan tempat tidurnya karena serangan stroke yang berulang. Kepergiannya meluluhlantakkan saya, meskipun jauh sebelumnya telah menyiapkan hati, namun tetap saja tak akan pernah siap.

Gone, but not forgotten

Jumat siang itu takkan pernah terlupakan. Sejak meninggalkan kantor setelah mendapat kabar dari rumah Papa siang itu, dunia terlihat kabur. Di pembaringannya, saya memeluk tubuh Papa yang rasanya masih hangat dan membisikkan berjuta kata cinta. Tak ada lagi obrolan penuh tawa saat bertukar cerita tentang perjalanan-perjalanan ke negeri jauh. Karena dariny saya berani menjejak di negeri-negeri impian secara independen.

Kematian adalah sesuatu yang mutlak pada semua yang hidup. Meski hal itu dipahami, tetapi ketika datang pada orang tercinta rasanya seperti tersandung batu dan jatuh terjerembab ke tanah, nyata sekali. Tiba-tiba saja, semua hilang, tak bisa lagi melihat, tak bisa lagi dipeluk, tak bisa lagi mendengar suaranya, tak bisa lagi bertukar kisah.

Kenyataan itu begitu pahit rasanya, tetapi tak ada pengalaman yang tak berguna. Sang Waktu yang berjalan konsisten menjadi pelipur dan pembuka mata hati. Bukankah hidup di dunia ini manusia tak pernah memiliki apapun? Bukankah semua itu dititipkan oleh Dia Yang Maha Memiliki? Lalu mengapa ada rasa kehilangan untuk sesuatu yang tak pernah dimiliki?

Sesungguhnya, meskipun hilang dari pandangan, dari pendengaran, dari pembicaraan, dari semua yang bisa disentuh, Papa tak akan bisa hilang dari hati dan pikiran. Selamanya hidup pada hati dan pikiran saya, sebuah tempat yang lagi-lagi dititipkan olehNya.

December 24 – Selamat Ilang Tahun

Bagaimana mungkin saya melupakan Desember, bulan yang memiliki tanggal saat saya dilahirkan ke dunia? Sejak kecil hingga remaja, tanggal itu artinya sebuah acara kumpul keluarga Mama di rumah. Semakin besar usia, ditambah dengan kehadiran sahabat-sahabat dekat. Menyambung silaturahmi dalam sebuah acara. Sesuatu yang terlihat mudah tetapi sejatinya tak mudah diwujudkan, apalagi di jaman ketika teknologi telah membuat manusia merasa tak perlu saling mendekatkan secara fisik (ditambah tahun 2020 ini virus corona semakin membatasi kedekatan fisik antar manusia ini)

White Lily

Sejak berkeluarga, saya tak lagi membuat acara-acara seperti itu mengingat di pihak suami tak pernah ada budaya membuat tanggal kelahiran menjadi lebih spesial dari hari-hari biasanya. Tidak masalah juga, karena tambah usia berarti semakin sedikit waktu tersisa. Persis yang diucapkan oleh seorang kawan setiap tanggal kelahiran saya itu, karena dia tak pernah mengucapkan Selamat Ulang Tahun melainkan Selamat Ilang Tahun.

December 26 – Perjalanan Spiritual

Suasana libur akhir tahun semakin terasa ketika sudah menginjak minggu ketiga di bulan Desember. Dari semua perjalanan yang terjadi di musim libur bulan Desember, rasanya perjalanan ibadah umroh yang paling menawan hati. Rasanya perjalanan itu adalah perjalanan spiritual yang amat indah. Mungkin halu, tetapi rasanya saya hanya dihadapkan pada fakta-fakta duniawi ketika harus berhubungan dengan manusia lain, seperti saat di imigrasi, saat mengurus koper hilang, saat ada pemeriksaan tas di pintu Masjid. Selainnya terasa begitu intim, begitu spesial.

Apalagi bonus-bonus kehidupan yang saya terima dalam perjalanan itu. Bisa berkunjung ketiga Masjid utama dalam Islam, Masjidil Haram, Masjid An Nabawi dan Masjid Al Aqsho dalam sekali perjalanan benar-benar melesatkan makna perjalanan ini ke level tertinggi sepanjang hidup saya.

Telah setahun perjalanan itu berlalu, tetapi hingga sekarang saya masih memeluk rindu terhadapnya. Saya masih berlama-lama memeluk kenangan itu. Rasanya masih lekat dengan suasana damai di Masjid Nabawi, juga pemandangan Ka’bah yang menempel kuat pada ingatan, harumnya udara Masjid dan juga hangatnya pelukan seorang ibu Palestina yang tak pernah terlupakan. Sungguh saya merasakan anugerah yang berlimpah.


Bagaimana bisa saya melupakan Desember, bulan terakhir setiap tahun namun terbaik buat saya? Ada begitu banyak sukacita, meski tak bebas pula dari airmata. Semuanya memberi warna dalam hidup saya, berlimpah makna yang amat luar biasa. Alhamdulillah…

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Colorful flowers

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-49 bertema Memory of December agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

WPC – The Present of Today – My Birthday


Have A Wonderful Night
Have A Wonderful Night

Yesterday is history.

Tomorrow is a mystery.

Today is a gift

That is why it is called

The present.

*

For this week’s photo challenge, the Daily Post asked us to take a moment to notice our present and share a photo of it. A ‘Now’ photo. And it’s totally matched to me.

Well, I thanked God for the present, of today. Not yesterday, nor tomorrow. It’s today. Now.

It’s Christmas’ Eve and my birthday, too 🙂
(And please do not ask me to count the candles on the birthday cake anymore, since I stopped counting those candles, -and stop putting candles and sometimes no birthday cake anymore-, after my 17th birthday, long long ago)

As time flies through the seconds, minutes and hours of my birthday, I write on my journal. Time is moving forward, every second is a priceless present. That’s why we have to appreciate every moment, every second that God gives us. It’s not easy but it does not mean we cannot do it. At least we can try our best. We should make every day count, for we may never be able to experience it again. Today is not just the result of yesterday, it is the foundation for building the tomorrow that we really want.

Aaah, the guest relation officer of the hotel seems know about my birthday (perhaps from the check-in process) and tonight is Christmas’ Eve, that’s why she sends small cookies to my room, with a small beautiful note

Sun is upset and Moon is happy. Because Sun is missing you and Moon is gonna be with you for rest of the night – Have A Wonderful Night