Katanya, belum pergi ke Jordan jika belum mengunjungi Petra dan Laut Mati, seakan-akan negeri Jordan itu hanya dikenal karena keberadaan dua tempat itu saja, bukan hal lainnya. Kenyataannya, selain Petra masih ada peninggalan sejarah di Jerash yang indah. Dan Laut Mati itu sesungguhnya tidak dikuasai seluruhnya oleh Jordan melainkan terbagi ke dalam dua kekuasaan, Jordan untuk bagian Timur dan Israel untuk bagian Baratnya. Jadi agak berlebihan juga sih dengan istilah belum ke Jordan jika belum menjejak Laut Mati dan Petra, karena Jordan tidak hanya itu!
Tapi bagaimanapun, karena kami sedang berada di Jordan, mengunjungi Laut Mati sepertinya menjadi agenda yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Jadi selepas kunjungan singkat ke Gua Ashabul Kahfi yang sudah saya tulis sebelumnya, kami semua duduk manis lagi dalam bus sekitar satu jam perjalanan dari kota Amman menuju Laut Mati.
Pinggir Kota Amman
Pemandangan kota Amman melalui jendela bus masih tak jauh berbeda, dengan bukit-bukit gundul serupa gurun berwarna kecoklatan dihiasi bangunan-bangunan kubus yang tumbuh tak beraturan. Jalan di depan mata bisa dibilang sempurna dengan aspal mulus yang lebar. Kesan saya akan kota Amman bisa saja salah karena saya tidak mengunjungi pusat kota atau pusat bisnisnya. Rasanya tertanam di benak Amman bukanlah kota yang penuh gedung pencakar langit seperti kota-kota dunia lainnya. Ibukota Jordan ini sepertinya hanya menjadi kota tua yang berusia sembilan ribu tahun yang mewarisi sejarah panjang di bumi Timur Tengah.

Kesan saya bisa sangat salah. Seperti saat kita melihat seseorang lanjut usia yang renta. Meski terlihat tak memanjakan mata, usianya yang tua itu menyimpan banyak asam garam kehidupan. Demikian juga kota Amman, sejarahnya telah teramat panjang dan meninggalkan banyak jejak, dari sejak zaman Neolitikum, periode emasnya Kerajaan Ammon, peradaban Romawi, Byzantium, hingga Persia dan Ottoman. Bahkan alam pun meninggalkan jejaknya di sana dengan banyaknya gempa bumi dan bencana lainnya hingga sempat terabaikan sampai akhirnya ditemukan kembali di zaman modern.
Jika saja, saya memiliki waktu yang lebih panjang di Jordan, mungkin saya akan mendatangi lebih banyak jejak-jejak sejarah yang tertinggal karena pastilah semuanya menarik. Semenarik nama yang pernah disandang kota Amman. Siapa yang sangka nama Philadelphia yang memiliki makna kasih persaudaraan, -kini lebih dikenal sebagai nama kota di Pennsylvania, Amerika Serikat-, pernah disandang oleh kota Amman pada zaman dulu? 🙂 Hmmm… Amman memang bukan sekedar pintu gerbang untuk sampai ke Petra dan Laut Mati.
Menuju Tempat Terendah di Muka Bumi
Kota Amman sudah tertinggal di belakang namun saya masih terpaku melihat pemandangan keluar jendela yang menghilang cepat seirama kecepatan bus. Suara pemandu terdengar samar di antara deru bus namun ia tak bosan menyampaikan himbauan agar kami bersiap-siap menghadapi kemungkinan situasi tak nyaman pada raga. Perjalanan menuju Laut Mati memang bukan perjalanan biasa, karena Laut Mati merupakan tempat terendah di muka bumi. Tidak tanggung-tanggung, pantai Laut Mati itu berada sekitar 400 meter di bawah permukaan laut. Bisa jadi, akibat lokasinya itu, terjadi perbedaan tekanan udara yang mungkin berdampak pada tubuh.
Himbauan pemandu mengembalikan ingatan saya ketika trekking di Himalaya ke tempat-tempat dengan ketinggian di atas 3000 mdpl. Usia yang tidak lagi muda apalagi jarang berolahraga membuat saya mengalami situasi tak nyaman di tubuh. Entah karena perbedaan ketinggian atau memang karena kondisi tubuh yang sedang tidak begitu fit, saat itu saya hanya merasa cepat lelah. Pengalaman itu membuat saya cukup waspada terhadap perbedaan ketinggian tempat. Memang secara teori, makin tinggi sebuah tempat dari permukaan laut, maka tekanan udara di tempat itu makin kecil. Artinya semakin tipis kadar oksigen yang terkandung dalam lapisan udara itu. Sebaliknya semakin rendah sebuah tempat, maka tekanan udaranya akan semakin besar dan kadar oksigennya semakin banyak.
Nah, pantai Laut Mati yang berada 400 meter di bawah permukaan laut, secara teori memiliki tekanan udara lebih besar dari 1 ATM. Dari Google saya mendapatkan Laut Mati memiliki tekanan 1.09 ATM (sementara di ketinggian sekitar 3000 Meter di atas permukaan laut, tekanan udaranya mencapai 0.70 ATM). Membaca angka-angka yang terpampang, saya merasa lebih tenang karena situasi saya ketika berada di Himalaya jauh lebih buruk. Namun bagaimanapun alam tak boleh dianggap enteng.
Bus yang berbelok tajam ke arah kiri menyadarkan bahwa kami telah berkendara beberapa waktu lamanya. Matahari sudah makin condong ke Barat. Di kejauhan tampak sedikit bagian dari Laut Mati. Ah, melihat Laut Mati yang berada di kejauhan itu, saya membayangkan perjalanan masih lama.


Tapi berbeda dengan jalan sebelumnya yang datar dan lurus, kini bus bergerak menuruni jalan-jalan yang berliku, berbelok-belok seperti layaknya jalan di gunung. Tapi yang pasti hanya satu, berbelok atau lurus, semua jalan menurun tajam dengan sesekali melandai. Turunan-turunan yang tajam itu membuat saya terus berdoa memohon keselamatan karena terasa sekali rem bus bekerja tak henti. Mungkin saya terlalu terpengaruh terhadap berita tentang banyaknya bus di Indonesia yang seringkali masuk jurang atau kecelakaan karena remnya blong. Namun Alhamdulillah, di setiap jalan yang sesekali melandai itu mampu membuat saya menarik sedikit nafas lega.
Berpuluh menit kemudian, perjalanan dengan rasa was-was itu berakhir saat bus berbelok ke sebuah kawasan yang dikenal dengan Pantai Laut Mati. Begitu bus berhenti, tanpa diperintah lagi, kami semua turun dari bus dan menyebar mencari lokasi terbaik untuk berfoto.
Saya sendiri, ketika menjejak tanah, tidak merasakan perbedaan tekanan udara. Rasanya biasa saja, seperti di ruang terbuka dimanapun meskipun jam tangan saya menunjukkan elevasi -439 meter. Mungkin tidak akurat 100% tetapi tetap saja surprise juga melihat angka yang lumayan aneh di jam tangan itu 🙂

Berusaha memanfaatkan waktu yang sempit berada di Laut Mati, langsung saja saya menuruni berpuluh anak tangga agar bisa sampai ke tepi pantainya. Terlihat juga di kejauhan hotel dan resort mewah yang berada di pinggir Laut Mati tetapi sepertinya tetap saja harus menuruni banyak anak tangga untuk sampai ke pantainya, seperti di kawasan ini juga. Laut Mati yang sebenarnya danau itu tak memiliki ombak, hanya riak kecil. Saya berjongkok untuk melihat batuan yang ada di pantainya. Bukan kebanyakan pasir seperti umumnya pantai, melainkan batu-batu dan butiran garam yang mengkristal. Airnya sendiri menurut saya cenderung seperti minyak, sedikit lebih pekat atau kental dari air dan licin. Sungguh rasanya aneh saat terkena kulit tangan.
Selagi saya memperhatikan batuan kristal garam itu, datang tiga orang turis yang langsung menceburkan diri untuk berenang dan berfoto. Mau tidak mau saya turut tersenyum memperhatikan mereka yang tertawa lebar karena langsung mengapung tanpa perlu bantuan. Memang, kandungan garam di Laut Mati mencapai 33%, -sebuah angka yang ekstra tinggi dibandingkan dengan rata-rata kandungan garam di laut lainnya yang hanya 3%-, membuat manusia secara otomatis mengapung di Laut Mati.


Sebuah pertanyaan nakal melintas di benak saat melihat mereka yang mengapung. Jika manusia selalu mengapung, tentunya di Laut Mati selalu aman, tidak pernah ada yang tenggelam. Apakah benar begitu? Pertanyaan itu membuat saya googling dan terkejut juga mendapatkan jawabannya. Ternyata ada kasus ‘tenggelam’ di Laut Mati. Tapi tenggelam di sini tidak seperti tenggelam di perairan biasa, melainkan celaka (yang mungkin menimbulkan kematian) karena kehabisan nafas di dalam air. Faktanya, manusia bisa dengan mudah membalikkan badan, atau dengan bantuan gerakan kaki menghentak dasar di perairan biasa, tetapi di Laut Mati dengan kadar garam 10 kali lipat dari perairan laut normal, hal itu sangat sulit dilakukan dan sangat melelahkan karena kondisi pekatnya perairan. Kondisi manusia yang mengapung dengan posisi tertelungkup sangat berisiko tinggi di Laut Mati. Maka dari itu, di Laut Mati disarankan orang berenang dengan posisi telentang yaitu wajah, dada dan perut menghadap atas.
Selain bisa langsung mengapungkan manusia, konon lumpur Laut Mati merupakan salah satu skincare terbaik. Bisa jadi karena kandungan mineralnya yang jauh lebih tinggi dari perairan biasa. Namun ketika melihat ada teman rombongan yang membeli berbotol-botol ramuan dari Laut Mati sebagai skincare, saya tetap tak tergoda. Selain mahal (mata uang Jordan itu bikin mules kalau dirupiahkan!), saya menggunakan satu rule, jika kulit semua orang lokalnya sebagus yang dipromosikan, mungkin boleh dipertimbangkan untuk dibeli. Tapi, hmm… by the way, yang bernyawa memang tidak bisa hidup di Laut Mati, namun bukan berarti perairan itu bersih dari makhluk yang pernah hidup lalu tidak bisa meninggalkan Laut Mati itu kan…? Lalu, buat skincare di wajah? 🙂
Pemikiran itu terbersit karena mengingat kisah dalam Al Quran tentang peristiwa yang menimpa kaum Nabi Luth Alaihissalam yang konon menempati kota Sodom. Peristiwa itu terjadi karena mereka telah terus menerus melakukan perbuatan maksiat dengan saling menyukai sesama jenisnya. Bahkan tiga orang tamu Nabi Luth Alaihissalam juga menjadi sasaran keinginan mereka padahal ketiga tamu yang berwajah rupawan itu adalah malaikat yang menyamar menjadi manusia.
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (Al Quran, Surat Hud, ayat 82)
Sejauh yang saya tahu, konon kota Sodom dan Gomorrah itu sudah dimusnahkan hingga tak ada lagi jejaknya. Tetapi tetap saja, ada begitu banyak alasan bagi negeri-negeri untuk bisa mem”bumi”kan kisah yang tertulis di Kitab Suci itu. Ada penelitian yang mengatakan kota Sodom itu berada di wilayah Jordan, ada juga yang mengatakan ada di wilayah Israel. Artinya semuanya ada di sekitar Laut Mati. Bisa jadi karena kisah Sodom dan Gomorrah ini berkategori keburukan, maka tidak banyak negeri yang mau mengklaimnya (Lain halnya kalau bersifat positif dan keren, pastinya banyak negara berlomba-lomba mengklaim). Yang pasti, jika kita membuka Google Map, di bagian Barat Daya Laut Mati, di wilayah Israel, ada tempat yang dinamakan Mt. Sodom yang tak jauh dari pilar garam yang disebut sebagai Statue of Lot Wife. Apakah itu berkaitan dengan peristiwa di Kitab Suci atau tidak, wallahualam.
Saya memang tidak berlama-lama di Pantai Laut Mati, tetapi merasakan berdiri di atas kaki sendiri di tempat yang konon berlatar kisah yang ada di kitab suci itu, memang berbeda. Selain indah, rasanya kita diingatkan tentang kisahnya, tentang konsekuensinya. Juga tentang kekuasaan Allah yang Maha Besar. Berdiri di tempat terendah di muka bumi, membukakan mata hati. Air di depan mata tampak seperti air biasa, padahal tidak. Permukaan air di depan mata dan tanah yang dipijak, seperti tanah biasa, padahal secara sains tempat ini tempat terdalam di muka bumi yang bisa dijejak oleh manusia secara normal. Tentunya tidak banyak manusia yang bisa merasakan berada di tempat yang “ter” di dunia, tentunya di sini maksudnya adalah yang paling rendah.
Apalagi saya bisa menikmati wajah sunset yang indah di Laut Mati. Warna kuning keemasan akibat matahari tenggelam itu sangat luar biasa. Tidak banyak orang yang bisa menikmati sunset dari tempat yang berada di 400 meter di bawah permukaan laut. Dan saya termasuk orang yang sangat beruntung dapat mengalaminya. I am so blessed…
