Golden Triangle Yang Bukan Di Jakarta


Entah kenapa saya merasa memiliki sayap dan terbang di antara gedung-gedung tinggi di Jakarta. Di atas kawasan prestisius, yang terhubung oleh Jalan Sudirman – Jalan Thamrin – Jalan Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto. Gedung-gedung tinggi itu bahkan mengalahkan ketinggian tiga patung yang menjadi titik dari sebuah kawasan berbentuk segitiga, Patung Pemuda di Senayan, Patung Arjuna di dekat Bundaran Air Mancur Bank Indonesia dan Patung Dirgantara di Pancoran. Kawasan bisnis Golden Triangle yang ada di Jakarta. Gedung-gedung mewah nan tinggi itu begitu familiar meskipun terlihat kelabu yang semakin memutih samar. Dan tiba-tiba saya terguncang, semua gedung tinggi itu mendadak hilang berganti wajah…

Guncangan itu terjadi karena roda pesawat berbadan lebar itu menyentuh landasan. Rupanya saya tertidur dengan pikiran yang masih mencengkeram kuat istilah Golden Triangle. Pikiran bawah sadar itu membawa saya ke alam mimpi tentang kawasan Golden Triangle di Jakarta, meskipun destinasi saat itu bukanlah Golden Triangle yang ada di Jakarta.


Seperti umumnya maskapai nasional yang mendapat prioritas di setiap bandara, pesawat Royal Thai yang kami naiki itu juga mendapat tempat terbaik untuk parkir. Tak lama kami telah menjejak gedung terminal kedatangan Bandara Chiang Rai. Siang itu situasi bandara ramai, meskipun tidak seramai Suvarnabhumi di Bangkok tempat kami lepas landas satu setengah jam sebelumnya.

Setelah pengambilan bagasi, saya menuju tempat penyewaan mobil. Sebenarnya saya agak sedikit cemas dengan perjalanan kali itu. Bukan karena saya baru pertama kali ke Chiang Rai, melainkan karena “bersama siapa” saya melakukan perjalanan itu. Rasanya agak terbebani.

Bermula dengan rencana selesainya acara kantor di Bangkok pada hari Sabtu sebelumnya, bersama seorang teman, saya mengajukan perpanjangan 1 hari agar kami bisa ke Chiang Rai sementara kolega yang lain kembali ke Jakarta. Rencana kami melakukan get-lost di Chiang Rai disetujui dan mendadak yang memberi persetujuan itu juga mau ikut ke Chiang Rai. Dan kepastian beliau ikut, termasuk mendadak. Boss ikut? Rasanya saya langsung terjun bebas bolak-balik...

Meskipun beliau tidak menuntut yang aneh-aneh, tetap saja anak buah yang merasa tidak enak hati. Saya dan teman saya bisa mengambil gaya backpacking tetapi gaya itu tidak mungkin diterapkan untuk si boss kan? Tetapi di sisi lain, tidak mungkin juga menyamakan ke kelas si boss kan? Kantong bisa bolong langsung! Akhirnya sebisa-bisanya kami saja untuk mengambil jalan tengah, yang cukup layak baginya namun juga tidak memberatkan kami secara budget.

Itulah sebabnya kami memilih menyewa mobil dengan kelas yang lebih tinggi. Dan mobil yang datang adalah mobil sedan yang biasa dipakai menteri jaman Pak Harto berkuasa. Volvo!

Dengan volvo bergaya menteri itu kami menuju kota lalu check-in di hotel yang sederhana untuk ukuran si boss tapi termasuk mewah bagi kami. Kemudian tanpa membuang waktu, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Golden Triangle yang memakan waktu sekitar 90 menit.

Herannya, entah mata saya yang kurang berfungsi baik atau memang nyatanya jarang, kami sama sekali tidak menemukan rumah makan di sepanjang jalan menuju Golden Triangle. Saat itu saya merindukan jalur ke Puncak yang berjejer rumah makan sepanjang jalan. Akhirnya kami berhenti sejenak di sebuah minimarket yang menjual makan siang siap saji, seperti nasi ayam atau mie udang. Makannya pun sambil berdiri. Entah apa yang ada dalam benak si boss. Pasti seumur-umur beliau tidak pernah makan nasi ayam atau nasi udang sambil berdiri, di minimarket lagi!

Mentari siang itu terasa seperti membakar kulit ketika akhirnya kami sampai di Golden Triangle, sebuah kawasan pertemuan Sungai Mekong dan Sungai Ruak yang menjadi batas negara Myanmar, Thailand dan Laos. Sebuah patung Buddha dalam posisi duduk yang berkilau kuning emas tampak memenuhi pandangan. Buddha sepertinya diharapkan dapat memberi perlindungan kepada tempat itu, meskipun tidak jauh dari sungai di negara yang berbeda terdapat kasino tempat orang menghamburkan uang panas mereka.

Golden Triangle View Point
Golden Triangle

Saya tersenyum dalam hati meski tak ingin menghakimi. Entah siapa atau dari negara mana pengunjung kasino itu. Apakah warga Thailand sama sekali tidak ada yang pergi kasino? Atau hanya karena tidak terlihat saja? Rasanya tidak mungkin masyarakat Thailand bisa mengabaikan kasino yang ada di depan hidung mereka.

Meski terkenal notorious sebagai tempat produksi opium (candu) dan berbagai jenis narkotika berbahaya lainnya serta tersedianya kasino, Golden Triangle menyediakan pemandangan yang cukup menarik. Paling tidak bagi turis yang tidak berhubungan dengan aktivitas yang amat berisiko itu, masih bisa menikmati pemandangan, berperahu di sepanjang sungai Mekong, mampir ke desa pinggir sungai di negeri yang berbeda atau hanya sekedar foto-foto di view-point, yang seperti kami lakukan.

Sinar mentari terasa terik setelah kami setuju untuk menaiki boat yang cukup menampung kami bertiga. Meskipun salah waktu, perjalanan dengan perahu itu menyenangkan juga. Berkali-kali saya terkena percikan air sungai. Saat itu sih senang-senang saja, tidak sadar kami pergi dengan seseorang yang jika ada apa-apa kami bisa digantung orang sekantor 😀

Pemandangan dari Sungai Mekong berbeda dengan pemandangan di darat. Meskipun konon Myanmar termasuk negara yang miskin, saya melihat ada bangunan yang teramat cantik namun megah dengan arsitektur tradisional di sisi sungai di bagian Myanmar. Paradise Resort Golden Triangle. Tidak mungkin bersandar di sana karena bisa langsung berhubungan dengan tentara Myanmar yang pastinya tidak ramah. Konon hanya warganegara Thailand atau Myanmar yang bisa menginap di hotel megah namun sepi itu.

Paradise Resort At Myanmar side

Seperti langit dan bumi, di seberang sisi Myanmar yang ada hotel megah itu adalah sisi Laos yang tidak ada apa-apa. Hanya ada sebuah desa kecil bernama Don Sao. Di desa ini masyarakat lokal menjual beberapa souvenir khas Laos. Di tempat yang ‘menyedihkan’ ini kami bersandar sebentar. Hanya untuk menginjak bumi Laos yang dihiasi dengan bendera negara tanpa menggunakan Paspor. Kami tak bisa jalan lebih jauh dari desa Don Sao itu. Tetapi momen itu penting karena jika kami ditanya sudah pernah ke Laos, maka dengan pasti kami akan mengiyakan 😀

Beberapa biksu remaja terlihat di sekitar warung-warung yang menjual minuman dan souvenir. Kehadiran biksu di sekitar warung menunjukkan adanya kuil di sekitar desa itu. Bisa jadi kuil didirikan sebagai penetral aura atas tanah yang ‘panas’ tempat berdirinya Jungle Casino yang tak jauh dari Don Sao. Saya hanya merasa miris, di dekat kasino tempat orang menghamburkan uang panas, ada desa yang penduduknya serba kekurangan.

Ticket to Hall of Opium, Golden Triangle, Chiang Rai, Thailand

Kami tak lama di bumi Laos, karena hari semakin habis. Sekembali kami ke wilayah Thailand, langsung saja kami ke Hall of Opium. Sayang sekali tidak diperkenankan berfoto didalamnya. Tetapi di dalamnya dikisahnya sejarah opium, sebaran tanamannya, kisah-kisah pengguna opium sejak jaman dulu dan perdagangan opium. Meskipun tak bisa memiliki foto di sana, saya menikmati sekali berjalan-jalan di Hall of Opium ini, karena adem dan penerangan yang lembut. Asli membuat diri ini merindukan kasur 😀

Tak lengkap rasanya jika kita ke Chiang Rai tetapi tidak mengunjungi desa-desa dari etnis Karen yang terus menghidupkan tradisi mengenakan gelang-gelang pada lehernya sehingga lehernya menjadi panjang. Mobil Volvo berhenti di pinggir jalan lalu kami harus berjalan kaki menuju desa di atas.

The traditional dance in Chiang Rai

Kami disambut oleh tarian tradisional yang membuat kami merasa terhormat sekali. Siapalah kami ini kok sampai disambut dengan tarian? Tetapi usut punya usut, tarian untuk menyambut kami ini tidak gratis 😀 Setelahnya ada tempat donasi yang harus segera diisi. Kasihan juga, mereka menjadi salah satu wisata untuk Thailand tapi mungkin kehidupannya tak pernah lebih baik. Bahkan konon, sejarah mereka lebih banyak kelamnya.

Tak lama, kami sampai di rumah perempuan-perempuan yang bergelang di leher dan kakinya itu. Awalnya takjub sekali karena tak terbayangkan mengenakan gelang-gelang itu dalam waktu yang lama. Kami berkesempatan bicara dengan mereka dan setelah chit-chat itulah sebagai perempuan, saya merasa sedikit miris terhadap mereka yang sangat friendly terhadap tamu.

Karen long neck ladies

Tradisi yang mereka hidupkan selama ini, meskipun menjadi sebuah kekhususan, tetap saja melemahkan fisik kaum perempuan itu. Saya harus mendengarkan dengan seksama jika mereka bicara karena suara yang keluar sangat lirih dan halus, hampir tak terdengar. Tak heran, keberadaan gelang-gelang itu pastinya menekan pita suara atau struktur leher mereka. Leher mereka tak lagi kuat untuk menahan kepala mereka sendiri karean otot leher telah digantikan oleh gelang-gelang itu dalam waktu yang lama. Meskipun katanya, perempuan bergelang-gelang itu menjadi cantik, bagi saya mereka telah merusakkan tubuh aslinya.

Saya tidak pernah tahu apakah 300 bath sebagai biaya untuk masuk itu dikembalikan untuk kehidupan mereka. Karena tetap saja kehidupan mereka memedihkan.

Hari semakin sore, kami kembali ke Chiang Rai dan menikmati makan malam di sebuah restoran yang bisa ditempuh jalan kaki dari hotel. Rasanya terlalu singkat perjalanan kali ini, belum menikmati semuanya kami harus kembali ke Bangkok lalu ke Jakarta.

Tapi perjalanan kali itu memastikan saya pribadi untuk berencana menginjak kembali tanah Myanmar dan Laos secara resmi, dengan cap di paspor tentunya, yang Alhamdulillah bisa terwujud sebulan kemudian. Hanya satu bulan setelah menginjak Don Sao dan mengamati Paradise Resort di bumi Myanmar dari Sungai Mekong di kawasan Golden Triangle, saya kembali berkunjung ke Myanmar dan Laos dari pintu yang berbeda.

Chiang Rai Airport

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-38 bertema Triangle agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.