Nepal: Kalung Bunga Cinta di Haribodhini Ekadashi


Berada di Changu Narayan, salah satu kuil utama tempat perayaan Haribodhini Ekadashi dipusatkan, tepat pada tanggalnya, tanpa direncanakan, dan mendapat 3 guardian angels yang datang dan perginya tak berjejak untuk masuk ke pelataran tempat kuil berada, sepertinya bukanlah sebuah kebetulan belaka. Bagi saya, semua itu adalah upaya bicara Sang Pemilik Semesta. Hati saya disentuh untuk bisa membaca tanda agar percaya sepenuhnya campur tangan Dia Yang Maha Kuasa menjadikan perjalanan ini hadiah yang benar-benar penuh makna.

Kuil Changu Narayan, salah satu UNESCO World Heritage Site di lembah Kathmandu, merupakan kuil Hindu tertua aliran Vaishnav (Dewa Wisnu) yang paling dihormati di Nepal dan terletak sekitar 20km di Timur Kathmandu. Meski inskripsi bertahun 464 Masehi ditemukan di bawah bangunan utama, banyak yang percaya sejak abad 3 Masehi, kuil ini sudah disakralkan.

The Oldest Changu Narayan Temple
The Oldest Changu Narayan Temple

Dan sebagai kuil yang mengutamakan Dewa Wisnu, tak pelak perayaan Haribodhini Ekadashi dirayakan penuh kemeriahan di kuil beratap dua tingkat yang dibangun pada masa kekuasaan Raja Manadeva dan kemudian dipercantik oleh Raja-Raja Licchavi dan Malla. Perayaan Haribodhini Ekadashi sendiri, mohon maaf kalau informasi ini salah, merupakan perayaan untuk Dewa Wisnu, yang dilakukan pada tanggal sebelas (Ekadashi) di bulan Kartika, dan bisa berlangsung berhari-hari hingga purnama bulan. Sebagai akhir dari empat bulan Chaturmas, -periode larangan diselenggarakannya ritual pernikahan-, tentu saja datangnya Haribodhini Ekadashi ditunggu dan disambut gembira karena menandakan awal diperbolehkannya melakukan ritual membentuk lembaga cinta. Pernikahan.

Oleh sebab itu, berdiri di pelataran Changu Narayan saat Haribodhini Ekadashi, membuat hati ini bergetar penuh rasa syukur. Tak pernah ada rencana untuk datang tepat pada hari membahagiakan ini. Dan dapat hadir di sebuah perayaan besar di kuil yang dilindungi dunia internasional sebagai kawasan bersejarah merupakan momen luar biasa. Sepertinya semua telah diatur tepat pada waktunya oleh Dia Yang Maha Sempurna.

Dan mengikuti kaki melangkah ke sudut pelataran, kearah kuil Dewa Siwa dan Kuil Lakshmi, tak pelak lagi saya perlu meningkatkan waspada dan memperbanyak senyum selagi berjalan. Tidak hanya sekali  saya harus meminta maaf karena memotong antrian mereka yang ingin beribadah di Kuil utama demi mengabadikan momen menarik. Namun bukan masyarakat Nepal namanya, jika mereka tak memberi ruang dan membalas senyum penuh kehangatan.

Menjulang di tengah pelataran, bangunan utama berhiaskan pintu keemasan yang dipenuhi berbagai simbol tentang Dewa Wisnu atau dikenal sebagai Narayan, termasuk Chakra Sudarshana dan gada Kaumodaki di satu sisi serta terompet kerang Panchajanya Shankhya dan bunga lotus (padma) di sisi lainnya. Ukiran pada bagian atap lengkap dengan ukiran makhluk khayangan bertangan delapan dengan berbagai posisi yang sangat indah ditambah dengan genta-genta kecil sekeliling pinggir atap. Tak perlu lama untuk mencipta bayang, bila angin sedikit kencang berhembus dalam keheningan malam, bunyi genta yang berdenting itu tentu sangat mengguncangkan rasa.

Berada tak jauh dari pintu utama, tak heran udara sekitar terasa panas, bercampur asap dan bara yang datang dari hasil nyala api persembahan dan dupa yang telah tumpah berserakan di pelataran. Cinta dan pengabdian pada Narayan begitu kuatnya dan percaya Dewa tetap menerima persembahan mereka yang dilakukan dengan ikhlas, walau harus sedikit mengotori pelataran kuil.

Kileshwor, The Shiva Temple
Kileshwor, The Shiva Temple

Pemandangan serupa pun terjadi di kuil Kileshwor, kuil Dewa Siwa yang berada di sudut pelataran. Warna bunga oranye bercampur bubuk merah berada diantara nyala api persembahan dalam wadah-wadah kecil di sekeliling tempat pemujaan itu. Bukanlah sebuah kejutan di Nepal bila ada kuil Dewa Siwa di pelataran kuil Narayan, atau sebaliknya. Masyarakat Nepal memiliki rasa toleransi yang sangat besar, bahkan tidak hanya aliran dalam Hindu melainkan juga dengan agama yang lain.

Dan bagaimanapun proses menerima selalu silih berganti dengan memberi, demikian pula saya saat masih terkagum-kagum dengan ritual yang dilakukan oleh para bhakta, para pemuja. Seorang gadis meminta bantuan untuk diabadikan bersama kawan-kawannya berlatar belakang Changu Narayan. Ah rasanya tak ada yang berberat hati menolong gadis-gadis Nepal yang penuh senyum. Bukankah mereka bisa saja para ‘guardian angels’ yang tadi dikirim untuk mengawal saya masuk?

Keriuhan di depan pintu kuil menarik perhatian saya. Setelah memperhatikan, dalam sekejap terjawab sudah pertanyaan saya. Para pemuja Narayan mengantri untuk masuk sambil berharap mendapat bunga dari dalam kuil. Seorang petugas yang berjaga di pintu terlihat membawa senampan bunga dan membagikannya dengan tertib. Namun sejalan dengan waktu, umat yang datang semakin banyak, tak sebanding dengan bunga-bunga yang keluar. Hanya tunggu waktu pembagian bunga yang tadinya tertib itu menjadi pelemparan bunga khas selebriti terkenal. Tangan-tangan terjulur, bunga melayang dan dalam sekejap kalung bunga itu tertangkap oleh tangan-tangan dan ditarik kearah yang berbeda. Sejumput tergenggam di sebagian tangan tetapi lebih banyak sisanya jatuh terinjak sia-sia. Saya memalingkan pandangan, tak ingin berlama-lama melihat walau sempat mengabadikannya. Rasa tak nyaman terbersit keluar, tak ada yang indah saat nafsu mulai menguasai dalam sebuah perebutan hak. Langsung terlintas di benak sebuah nasihat bijak yang mengatakan dimana ada cinta, disana tidak ada cinta yang membutakan. Dan hal itu menenangkan saya.

The flowers are for all of us
The flowers are for all of us

Walaupun tak mudah untuk mengabadikan yang menjadi ciri khas Changu Narayan dari sudut yang baik tanpa mengganggu yang beribadah, saya tetap berupaya mengelilingi kuil indah ini saat Haribodhini Ekadashi. Beringsut saya melangkah menuju panggung batu yang di atasnya terdapat karya pahatan dari abad 9 Masehi yang dikenal sebagai Sridhar Vishnu, berbentuk Dewa Wisnu dengan 12 tangan dan Dewi Lakshmi di pangkuannya dan dikelilingi hiasan bersulur yang sangat indah. Sridhar Vishnu ini diletakkan di atas dudukan lebar yang tak terjangkau tangan, agar sentuhan-sentuhan cinta pemujanya tidak sampai merusak karya yang telah berusia lebih dari 11 abad itu.

Hanya selemparan batu, sebuah karya pahatan lainnya yang juga indah, Vishnu On Sesa Naga yang diletakkan di atas balok batu. Pahatan berusia berabad-abad ini menggambarkan Dewa Wisnu yang tengah berbaring di atas Ananta Sesa di  lautan kosmis. Saya tidak dapat melihatnya lebih jelas karena banyak bunga yang menutupinya dan pemuja yang tak henti memberi penghormatan padanya.

Hanya berjarak beberapa langkah terdapat kuil Chinnamasta yang juga berpintu keemasan dan dikelilingi begitu banyak wadah persembahan berisikan bunga dan dupa. Kuil ini dipersembahkan kepada Dewi Chinnamasta yang konon mengorbankan dirinya sendiri sebagai persembahan demi kelangsungan masyarakat manusia. Sebuah cinta yang luar biasa, yang memikirkan manfaat yang lebih baik dan lebih banyak untuk orang lain. Sungguh saya tersentuh dengan ceritanya tentang hidup yang bermakna.

Mendampingi bangunan kuil, terdapat patung gajah yang tampak belum tuntas. Seorang kawan Nepal mengatakan, konon saat pengerjaannya, patung gajah ini mengeluarkan cairan berwarna merah seperti darah sehingga pengerjaannya dihentikan. Sebuah cinta dalam wajah yang lain. Saya sekejap teringat sebuah wejangan seorang guru tentang mencintai. Sebelum kita bisa mencintai manusia hidup hendaklah kita mencintai dan memelihara benda-benda di semesta ini dalam waktu yang lama, untuk kemudian naik tingkat ke tingkat hewan dan setelahnya baru bisa memahami dan mencintai manusia.

Saya kembali menyusuri pinggir beranda Darmasala yang teduh dan melihat para lansia menempati tempat duduk yang disediakan. Inilah bentuk cinta yang lain, sebuah penghormatan. Bukankah para lansia itu juga masih memiliki hak untuk melakukan ritual di kuil utama, apalagi ketika Haribodhini Ekadashi. Bagitu indah dan nyaman menyaksikan para tetua bergembira bersama-sama.

Tak terasa, saya mendekat lagi ke pusat keramaian di kuil utama untuk mengabadikan Garuda, tetapi akses menujunya sangat terbatas. Tak nyaman hati untuk merebut hak dan waktu mereka yang ingin beribadah sehingga saya kembali berteduh di kuil Dewa Siwa sambil mengamati hiasan-hiasan Kuil Utama diantara bunga-bunga yang terus dilempar dari batas pintu kearah pengunjung. Jumlah bunga yang dilempar semakin banyak ke berbagai penjuru dan entah kenapa tidak lagi diperebutkan. Bisa jadi adanya kepastian yang membahagiakan bisa masuk ke dalam kuil melakukan persembahan.

The intricate carvings on roof and door of Changu Narayan
The intricate carvings on roof and door of Changu Narayan

Saat itulah seorang bapak mendekat dan memberi sebuah kalung bunga kepada saya, tanpa mengatakan apa-apa hanya berhias senyum. Tanpa melepas senyum di wajahnya beliau meminta saya mengalungkannya melalui gerakan tangannya. Setelah mengalungkan bunga dan berterima kasih kepadanya, beliau langsung melangkah pergi ditelan kepadatan pengunjung, meninggalkan saya yang terheran-heran. Pada saat Haribodhini Ekadashi, saya mendapat kalungan bunga di Changu Narayan dari seorang bapak yang penuh kasih sayang, tentu merupakan sebuah keluarbiasaan. Seakan tahu saya menyukai bunga, menyukai diri berkalung bunga, saya sungguh terhenyak dengan hal-hal yang tak terduga yang terjadi di kuil ini. Tadi pagi dengan guardian angels dan kini dengan kalungan bunga. Benar-benar saya berhujan anugerah kegembiraan dan kebahagiaan. Ah, ungkapan-ungkapan syukur saya bisikkan kepada Yang Maha Pengasih, yang telah mengatur segala sesuatu dengan indahnya.

Berkalung bunga Cinta, saya meneruskan perjalanan ke sudut lain pelataran kuil lagi-lagi bermodalkan senyum saat harus memotong antrian mereka yang ingin beribadah. Di sudut terdapat patung Wisnu di atas Garuda. Walau sangat kecil dan janganlah dibandingkan dengan Garuda Wisnu Kencana di Bali, pahatan batu yang sangat terkenal ini telah berusia lebih dari 13 abad sehingga diabadikan dalam lembaran uang 10 NPR. Sebagai salah satu mahakarya tertua, karya ini sangat dihormati di Nepal karena terlihat tak hentinya orang menghatur salam dan meletakkan bunga padanya.

The 7th Century Vishnu on Garuda
The 7th Century Vishnu on Garuda

Tak jauh dari situ di beranda bangunan yang mengelilingi pelataran kuil, diselenggarakan pertunjukan tentang kehidupan Krishna sebagai avatar ke 8 dari Sang Narayan, untuk memeriahkan Haribodhini Ekadashi. Pengunjung cukup banyak tertarik dengan pertunjukan yang menampilkan periode kehidupan Krishna, lengkap dengan serulingnya saat masih kecil hingga remaja dan periode selanjutnya yang telah memegang Cakra Sudarsana yang mampu menghabisi iblis-iblis yang digambarkan tergeletak kalah di bawah kakinya. Walaupun narasi disampaikan dalam bahasa Nepal yang tidak saya mengerti, namun terasa sekali kegembiraan menyelimuti beranda itu. Yang menyaksikan tidak hanya dari kalangan anak-anak dan remaja, kalangan tetuapun hadir seakan tersihir dengan narasi yang disampaikan ditambah dengan visualisasi kedewaan di tengah mereka. Satu cara yang ditempuh untuk memperkuat iman.

Krishna Life on Hariboddhini Ekadashi
Krishna Life on Hariboddhini Ekadashi

Selesai mengabadikan pertunjukan itu, kaki ini melangkah menuju sudut pelataran. Di sana terdapat Vaikuntha Vishnu, sebuah mahakarya abad 16 Masehi yang menggambarkan Dewa Wisnu bertangan banyak, -dengan Dewi Lakshmi duduk di pangkuan-, dan keduanya duduk di atas Garuda bertangan enam. Pahatan yang sangat indah. Tak heran jika kuil Changu Narayan bergelar sebagai World Heritage karena memang di kuil ini tersimpan banyak sekali mahakarya indah yang berusia berabad-abad.

The 500 Years of Vaikunta Vishnu
The 500 Years of Vaikunta Vishnu

Dan waktu jugalah yang menyantap kunjungan saya ke Changu Narayan yang penuh kenangan. Tak ingin rasanya meninggalkan kuil kuno ini, tetapi ada janji yang harus ditepati. Perlahan kaki melangkah menuju gerbang, kali ini tidak ada guardian angels yang mengantar melaluinya tetapi ada kalung bunga yang melingkar di leher. Dalam satu hari, di satu tempat, saya dapatkan dua keluarbiasaan Cinta… I am so blessed…

****

Gempa bumi berkekuatan 7,9 Skala Richter pada bulan April 2015 lalu telah meruntuhkan Kuil Lakshmi, Kuil Kileshwor yang berada di sudut dan sebagian bangunan yang mengelilinginya, sementara bangunan utama Changu Narayan mengalami kerusakan berat pada sudut-sudut kolom penyangganya. Semoga semua perbaikan berjalan lancar dan dapat mengembalikan keindahan Changu Narayan seperti semula. Amin.

Nepal: Bertemu Guardian Angels di Changu Narayan


Walaupun sejak awal saya merencanakan untuk menjejakkan kaki di kuil tertua yang merupakan salah satu dari tujuh lokasi World Heritage Site di Kathmandu, saya tidak pernah mengharuskan diri mencapainya. Kuil Changu Narayan yang terletak 20km sebelah timur Kathmandu ini bukan seperti kuil lainnya yang mudah dicapai dari jalan besar apalagi bagi saya yang melakukan solo-trip. Tetapi seperti biasa ketika melakukan solotrip, saya percaya setiap perjalanan ke dalam diri pribadi ini merupakan upaya pencucian jiwa, termasuk juga perjalanan ke Nepal ini, sehingga pintu-pintu kemudahan seakan terbuka untuk saya. Terbukti taksi mungil itu menawarkan harga yang terjangkau untuk perjalanan ke Changu Narayan, mau menunggu saya hingga selesai lalu mengantar saya ke Bhaktapur, tempat saya menghabiskan malam berikutnya. Sebuah awal yang baik.

View from Changu Narayan Temple
View from Changu Narayan Temple

Udara perbukitan di Lembah Kathmandu pagi hari itu bersih, sebersih langit biru yang berhias awan tipis. Jalan besar Araniko Highway dari Kathmandu itu sudah ditinggalkan beberapa waktu lalu dan taksi mungil yang saya tumpangi itu mulai menyusuri jalan Nagarkot yang menanjak tanpa kehilangan daya mesinnya. Sesekali saya bertemu dengan wisatawan berambut pirang yang berjalan kaki yang membuat saya tersipu malu. Sementara saya menaiki kendaraan, mereka yang berusia lebih dari saya justru memanfaatkan tubuh sehatnya untuk berjalan.

Jalan Nagarkot masih terbilang lumayan mulus dan cukup lebar untuk dilalui dua kendaraan bersisian tanpa harus turun ke bahu jalan. Namun hal itu tak berlangsung lama, pengemudi taksi yang tak muda lagi dengan tangkas membelokkan taksi ke jalan Changu Narayan, sebuah jalan yang makin menyempit  dan menanjak serta memberikan sensasi kengerian tersendiri. Jalan tanpa tepian itu memang terbuka memberi pemandangan indah sekaligus undangan musibah bagi yang tak waspada berkendara. Sekilas pemandangannya serupa dengan Puncak dengan setengah lebar jalannya dan tanpa pagar pengaman. Bila tak trampil, jurang dan lembah di bawah bisa langsung menerima tubuh yang melayang.

Di sebuah pertigaan tampak serombongan perempuan berpakaian merah yang berjalan kaki yang disusul rombongan lain yang serupa bahkan hingga menutupi jalan. Sambil menjalankan kendaraannya perlahan, pengemudi taksi menyapa orang yang ada di pinggir jalan. Saya tak mengerti apa yang dibicarakan namun kemudian sang pengemudi berbaik hati mengatakan kepada saya bahwa sedang ada festival Narayan di kuil dan di atas macet sekali.

Saya terhenyak, teringat ketika berada di Kathmandu Durbar Square saya menyaksikan festival untuk Sang Narayan. Festival pertama saya di Nepal. Lalu di Lalitpur atau Patan, saya juga melihat keramaian yang didedikasikan untuk Sang Narayan. Dan kini, di salah satu kuil utama, di Changu Narayan, ada festival untuk Sang Narayan? Ah, Cinta… saya merasa terberkati bisa menyaksikannya langsung.

Benar saja, tak lama kemudian lalu lintas semakin padat yang akhirnya tersendat. Semakin banyak orang berjalan kaki. Taksi mungil itu beringsut pelan hingga akhirnya terhenti total karena padatnya kendaraan di depan. Pengemudi taksi dengan trampilnya membanting ke kanan sehingga mendapat ruang gerak sedikit untuk maju sampai akhirnya benar-benar tidak ada ruang lagi dan ia bisa memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Ia menyerah dan menyampaikan bahwa saya harus berjalan kaki hingga ke kuil.

Berada di antah berantah diantara orang-orang Nepal, saya cukup dibuat gamang. Saya bertanya apakah kuil masih jauh? Dia menggeleng. Sebuah gelengan yang tidak mampu meyakinkan saya. Bangsa Nepal terkenal sebagai bangsa yang kuat berjalan naik turun gunung. Sebuah gelengan itu artinya dekat, tetapi bisa saja berarti jauh atau cukup melelahkan bagi orang Indonesia yang terbiasa dimanjakan oleh ojek dan angkot.

Lots of People in the park area
Lots of People in the park area

Tiba-tiba mata saya menangkap dua atau tiga wisatawan berambut pirang di antara orang-orang Nepal itu. Saya memutuskan untuk turun sambil berbicara kepada pengemudi untuk bertemu nanti di mobil lalu cepat mengejar wisatawan tadi. Paling tidak saya berada dalam jangkauan orang-orang yang kemungkinan besar memahami bahasa Inggeris, sebuah trik hasil pembelajaran karena kesusahan komunikasi di Korea Selatan dulu. Apalagi saya yakin bahwa wajah Asia saya lebih menguntungkan daripada rambut pirangnya mereka, karena pendekatan cara Asia lebih bisa diterima.

Saya berjalan kaki bersama masyarakat lokal. Banyak mata memperhatikan saya yang terlihat berbeda dari perempuan lokal tetapi saya banyak melempar senyum dan bertukar sapa Namaste, sebuah pendekatan yang berbalas senyum dan pandangan ramah. Tak perlu mereka mengetahui kebangsaan saya, tapi terasa sekali masyarakat Nepal berbaik hati menyambut saya. Bukankah di sini pun Cinta membantu saya melebur menjadi serupa dengan mereka yang beringsut pelan di permukaan bumi ini?

Pengemudi taksi tadi benar, jalannya memang tidak jauh lagi, juga tidak terlalu melelahkan walaupun sedikit menanjak. Udara memang tak lagi sejuk, mungkin karena padatnya manusia yang menuju kuil serta matahari mulai meninggi. Tak lama berjalan, saya sampai pada tempat yang saya perkirakan merupakan lapangan parkir kendaraan. Berarti Kuil Changu Narayan sudah dekat.

Main Gate of Changu Narayan Village
Main Gate of Changu Narayan Village

Karena tak tahu arah menuju kuil, saya mengikuti saja orang lokal yang berjalan. Follow the crowd, pasti sampai, kata orang yang malas bertanya. Begitu padatnya, saya tak melihat tempat tiket masuk sehingga saya melangkah terus tanpa dosa. Sampai saat bahu saya disentuh oleh penjaga tiket yang lari meninggalkan tempatnya untuk mengejar saya yang belum membayar. Terperangah malu, sambil minta maaf karena sama sekali tidak melihatnya, saya membayar tiket masuk. Untung wajah penjaga tiket itu berubah manis, percaya atas kesungguhan saya yang tidak melihat tempat penjualan tiket masuk.

Momen melangkah melewati gerbang di dekat penjualan tiket itu mendenyutkan jantung. Sebuah awal perjalanan hati di wilayah Changu Narayan. Tempat yang pasti luar biasa karena ditetapkan sebagai UNESCO World Heritage Site. Saya terus berjalan menembus desa yang mendirikan rumah-rumahnya sepanjang jalan menuju kuil. Di pinggir jalan setapak yang menanjak, dijual berbagai barang keperluan sehari-hari atau cinderamata. Dan ketika saya mendongak ke atas melihat dinding rumah penduduk. terlihat jagung-jagung dengan kulitnya dijemur di jendela tingkat atas rumah mereka langsung di bawah terik matahari hingga berwarna kecoklatan. Sebuah pemandangan yang jarang ada.

Dari beberapa rumah terdengar Om Mani Padme Hum, lagu meditatif yang umum terdengar dari rumah-rumah Buddhist Nepali. Toko lainnya menjual barang-barang cinderamata untuk para wisatawan, seperti topeng, lukisan, kalung, boneka dan hiasan dinding yang semuanya terlihat indah. Sambil mengambil foto, saya melihat juga sebagian orang sudah turun kembali. Bisa jadi mereka telah selesai memberikan persembahan di kuil.

Semakin ke atas kepadatan semakin terasa. Semakin sulit untuk berjalan di jalan setapak tapi saya terdesak mengikuti kerumunan. Berada diantara himpitan orang dengan bahasa yang tidak dikenal, baik pria maupun wanita membuat situasi benar-benar tidak nyaman. Dalam hati saya memohon ditunjukkan jalan yang sepertinya langsung dikabulkan berupa sedikit ruang gerak. Saya langsung keluar dari himpitan lalu berdiri menunggu di atas dudukan rendah menyaksikan manusia memadati gerbang kuil. Gerbang yang terlalu kecil untuk dilewati umat yang membludak, membuat saya kuatir terhadap kemungkinan terjadinya chaos. Sudah terlalu sering terjadi ketika sejumlah orang bersikap tak peduli, situasi berubah menjadi chaos yang tak terkendali. Dan itu artinya kekonyolan yang tak perlu karena bisa terjepit, terjebak atau terinjak. Saya menunggu dengan sabar,  mendahulukan orang-orang yang hendak beribadah sambil mengamati gelombang manusia yang tak henti memasuki gerbang kuil.

Saya berdiri tepat di depan gerbang kuil yang berbentuk lengkung batu, tak pernah mendapat giliran. Bagaimana mungkin saya menerobos kerumunan manusia yang tak berkurang kepadatannya itu?

Jangan pernah menyerah, Help is on the way. Dan kesabaran pun berbuah. Tiga dara yang entah datang dari mana datangnya tiba-tiba menyapa saya dalam bahasa Inggeris yang fasih, menanyakan apakah saya hendak masuk ke dalam kuil. Masih terperanjat karena tidak merasakan kehadirannya, saya mengangguk. Mereka lalu menyebar di kanan kiri dan di depan saya lalu membukakan jalan. Saya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengikuti perlindungan mereka. Mereka benar-benar menjaga di kiri kanan saya dalam terowongan gerbang yang penuh manusia itu. Pelan beringsut maju dan akhirnya saya sampai di pelataran kuil. Lega sekali rasanya bisa berada di udara terbuka lagi. Saya hendak berterima kasih kepada ketiga dara yang telah menolong saya dan mencari keberadaan mereka hingga kepala saya berputar. Namun seperti datangnya, saya tak lagi bisa menemukan mereka. Sepertinya mereka sudah kembali berbaur dengan lautan manusia. Bahkan saya belum sempat berterima kasih kepada mereka, the Guardian Angels.

Dalam sekejap, saya berjalan ke pinggir mencari ruang agar dapat mengunjungi hati yang mendapat berkat. Kasih Sayang yang dilimpahkan tidak main-main. Saya menggigit bibir menahan rasa, mata terasa panas. Saya mengerjapkan mata berkali-kali. Siapakah saya ini hingga Cinta harus turun tangan sendiri? Siapakah saya ini sampai saya mengalami hal yang luarbiasa ini? Sejak menjejakkan kaki di Nepal, begitu banyak keluarbiasaan yang saya alami. Malam luar biasa di Swayambunath, keluarbiasaan melihat jajaran Himalaya dalam mountain flight, menyaksikan puncak Mt. Everest yang agung dalam kebeningan kaca cockpit, berlama-lama berbahasa kalbu dan bertukar pandang dengan Dewi Kumari, mengalami sendiri keriuhan festival Narayan di Kathmandu dan di Lalitpur. Dan kini, mendapat ‘guardian angels’ di Changu Narayan. Setiap hari terjadi lagi dan lagi, seakan tak henti. Oh, I am so blessed. Begitu banyak rasa syukur tersampaikan yang rasanya takkan pernah cukup. Jiwa ini rasanya tenggelam dalam lautan berkat yang dilimpahkan. Hati terasa sesak dengan rasa syukur yang tak habis. Setiap sel rasanya bergetar mengucap deretan kata terima kasih Cinta.

Sejenak saya berada dalam ekstasi rasa itu dan perlahan digantikan dengan fakta yang ada di depan mata. Manusia yang tumpah ruah di pelataran kuil Changu Narayan. Cinta menyadarkan bahwa saya telah dihantarkan ke kuil Changu Narayan dan siap berkeliling dalam keajaiban.