Kemarin, setelah menaburkan bunga di pusara Papa jelang Ramadhan, kami berkumpul di rumah Mama. Dan saya baru saja keluar dari kamar mandi setelah berbersih diri, Mama menyerahkan tiga lembar kertas HVS berwarna kekuningan milik almarhum Papa yang ditemukan Mama ketika membereskan dokumen-dokumen Papa. “Baca deh”, kata Mama, lalu lanjutnya, “itu lucu.”
Herannya, sampai di rumah, saya tak juga membacanya hingga saya terlelap di malam hari dan baru membaca ketika sudah duduk manis di kantor. Saya perlahan membuka tiga lembar kertas yang diketik rapi. Benar kata Mama, saya bisa tersenyum lebar, tertawa, tergeli-geli, tentu saja dalam ‘kejaiman’ karena telah berada di lingkungan kantor. Saya teringat momen-momen Papa bercerita, dengan bahasa tubuhnya, dengan intonasinya, mata dan tangannya yang ekspresif sehingga bisa dibayangkan saat peristiwa itu terjadi.
Lalu terbersit ide untuk menuliskan kembali tiga kisah lucu pengalaman Papa ini di blog, apalagi sesuai dengan tema kali ini. Jadi, semua di bawah ini adalah tulisan almarhum Papa.

Peristiwa Dag Meneer
Teringat masa lampau di awal tahun 1950-an, dalam masa alih tugas karyawan dari orang Belanda kepada orang Indonesia di bidang kelautan. Waktu itu, mayoritas perwira senior kapal Indonesia masih terdiri dari orang Belanda, karena perwira bangsa kita masih langka dan jumlahnya belum memadai. Maka waktu itu pendidikan calon perwira kapal dianggap sangat diperlukan. Bayangkan, dari seluruh Indonesia hanya terkumpul sekitar 50 orang peminat untuk satu angkatan pendidikan. Dengan sendirinya, peserta pendidikan tersebut diambil dari para pemuda peminat yang termasuk generasi kejepit. Yang berlatar belakang budaya dan pendidikan umum aneka ragam, sekolah pedot-pedot akibat perang dunia ke-II, jaman pendudukan Jepang dan revolusi fisik. Ada yang lancar Bahasa Belanda, ada yang tahu bahasa Belanda sepenggal-sepenggal campur aba-aba bahasa Jepang dan istilah teknis bahasa Indonesia sekenanya.
Pada suatu pagi, langit mendung dan laut berombak kurang ramah (artinya ombak cukup besar), meluncurlah sekoci motor sebuah kapal Indonesia yang berlabuh jangkar di Teluk Jakarta menuju ke darat. Sekoci motor ini ditugaskan mengantar Komandan Kapal yang asli orang Belanda totok didampingi siswa calon perwira kita yang membawakan tas sang Komandan.
Sesampainya sekoci motor di dermaga, melompatlah Sang Komandan ke darat dengan kegesitan pelaut ulung, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah siswa kelas kita ini. Sang siswa, yang baru kali ini mengenal kehidupan di kapal dan kerja bersama pelaut asing, dengan polos menyambut uluran tangan sang Komandan, lalu sambil berjabat tangan sang siswa berkata kepada Sang Komandan, “Dag meneer…” (terjemahan sebebas-bebasnya adalah Dadaaah Pak Komandan…)
Dengan jabatan tangan tersebut sang Komandan terpaksa menjaga keseimbangan badannya mengikuti gerakan turun naik sekoci oleh ombak laut (yang cukup besar) hingga beberapa saat, lalu dengan sedikit mangkel Sang Komandan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Neen jongen, Neen jongen… geef mij mijn tas, mijn tas!” (Tidak ‘nak, tidak ‘nak, berikan tas saya, tas saya!)
Masih agak bengong, sang siswa kita kemudian melepaskan jabatan tangan dan menyerahkan tas kepada sang Komandan diiringi gerrrr oleh pelaut-pelaut lainnya yang ada dalam sekoci.
Catatan (yang ditulis Papa). Sengaja tidak disebutkan nama siswa yang bersangkutan, yang asal dataran rendah pantai Selatan Jawa Tengah bagian Barat. Setelah menyelesaikan program diploma kelautannya, beliau berhasil mencapai gelar sarjana administrasi, kemudian bernasib baik dikirim ke Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu di bidang logistik. Kini beliau purnawirawan pejabat Pemerintah yang cukup terpandang. Pernah sempat bertemu dan berjabat tangan, dan sempat berkata, Dag meneer… dan beliau masih bisa tertawa lebaaaaaar….
Peristiwa Surat Kabar di Hari Minggu
Dalam kehidupan asrama pendidikan, ada saja kisah menarik yang terlintas. Pada suatu pagi yang cerah di hari Minggu, setelah menikmati istirahat akhir pekan, terdengarlah suara lantang salah seorang penghuni asrama yang kehilangan surat kabar hari Minggu yang terbaru. Sambil berjalan hilir mudik dalam ruang tidur asrama yang dihuni 12 orang itu, dia membentak-bentak, “Hayo ngaku, siapa yang mengambil koran saya?!”
Guna mengurangi ketegangan, para penghuni lainnya turut prihatin dan mencari koran yang hilang. Akhirnya ditemukan dalam tong sampah di luar ruang tidur, dalam keadaan yang sudah tidak layak untuk dipegang, apalagi untuk dibaca. Dengan tenang, acuh tak acuh, penghuni tempat tidur tetangga dari pemilik koran berkata, “Nih, udah ketemu, jangan ribut aja, ah”
Di luar dugaan ternyata sang pemilik koran tambah naik pitam. Tanpa pertimbangan lebih lanjut, dia langsung menunjuk-nunjuk wajah penghuni tempat tidur tetangganya tadi seraya membentak-bentak, “Kamu yang meremas-remas koran saya, ya, sampai nggak bisa dibaca lagi! Itu koran terbaru, tau!”
Yang dituduh langsung tersengat kemarahannya diperlakukan begitu, lalu dengan suara nada tinggi serta mata melotot menjawab,”Apa lu, nuduh seenaknya, koran butut begitu aja ribut”
Sang pemilik koran berteriak kembali,”Apa butut? Itu koran baru!!!”
Dibalas lagi, “Butut!”
“Baru!”
“Butut!”
“Baru!”
dan seterusnya antara Butut dan Baru!
Akhirnya sang tetangga pemilik koran berkata sengit,”Udah deh, sini gua beliin yang baru lagi. Gua nggak mati kehilangan duit seharga koran lu itu” Lalu bergegas mengenakan pakaian dan sepatu, berjalan sigap melangkah keluar ruang tidur.
Tetapi setelah beberapa saat, sekonyong-konyong dia kembali memasuki ruang tidur dan menemui penghuni yang kehilangan koran tadi. Dengan wajah tegang dan serius tapi polos dia berkata,”Mas, pinjem duitnya dulu, uang saku gua udah ludes….”
Meledaklah ketawa ngakak seluruh penghuni ruang tidur dan cairlah ketegangan di hari Minggu itu. Sejak itu, lahirlah hukum tidak tertulis yang diberlakukan di asrama sebagai berikut:
1) Peminjam lebih berhak daripada pemilik
2) Setiap cekcok adu mulut wajib didamaikan dalam waktu paling lama 10 detik
Horeeeeee….
Peristiwa Teriakan “Aduuuuuh”
Disiplin ketat yang diberlakukan di asrama pendidikan hanya membenarkan penghuni boleh pesiar pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Pada suatu hari pesiar itu, dan sudah larut malam, -semua lampu penerangan telah dipadamkan-, beberapa saat sebelum pintu ruang tidur ditutup dan dikunci, tampaklah sekelompok penghuni berlari-lari cepat masuk asrama mengejar keterlambatan. Konon kelompok ini baru saja menghadiri pesta gembira penuh tawa yang agak melampaui batas. Entah bagaimana, salah seorang lari sambil memukul-mukul dinding gedung, lalu tanpa disengaja kaca jendela terpukul juga dan pecahan kacanya menggores tangan sampai terkena urat nadinya sedikit yang mengakibatkan darah mengucur keluar.
Dengan sigap urat nadi itu dijepit jari guna membendung arus keluarnya darah. Piket dikerahkan untuk memanggil dokter dan perawat pria yang bertugas jaga. Sang pasien digotong ke ruangan klinik dan dibaringkan. Dokter dengan sigap melakukan tugas menjahit urat nadi yang didampingi perawat pria. Rekan pasien dari kelompok tadi turut mendampingi di ruangan klinik dan dengan tegang mengikuti perawatan darurat sang pasien.
Menjelang dokter selesai melakukan tugasnya, tiba-tiba terdengar teriakan, “Aduuuuuhhh….. Aduuuuuuuuh…… Addduuuuuuuuuuuh” yang awalnya bernada agak tertahan, tapi lama kelamaan makin nyaring, akhirnya sangat keras. Semua yang hadir dalam klinik termasuk dokter tambah tegang dan saling berpandangan. Lalu pandangan diarahkan ke pasien yang tampak tetap tenang, diam tidak bersuara apapun. Lho jadi siapa yang mengaduh menyayat hati di larut malam itu??
Ternyata perawat pria yang beralas kaki sandal jepit terinjak kakinya oleh salah seorang rekan pasien yang bersepatu seragam yang berat dan tebal, made in Cibaduyut.
Suara mengaduh langsung terhenti begitu kaki rekan pasien diangkat diiringi ucapan, “Maaf ya Pak Mantri “
Setelah dokter selesai, meledaklah tawa yang tertahan sejak saat-saat tegang sebelumnya.
Catatan. Yang tidak sengaja menginjak kaki perawat pria itu ternyata yang menulis kisah ini (baca: Papa saya sendiri). hehehehe…
Membaca kembali kisah lucu pengalaman alm. Papa menjadikan hari itu terasa menyenangkan. Lembar kertas yang telah menguning dan terketik rapi itu telah membuat hati serasa tersenyum membayangkan beliau bercerita. Bahkan dari kertas yang sudah berubah warna itu, ada rasa hangat di hati… You make my heart smile, Pa…
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 6 dan bertema Slipped agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap dua minggu.