Sebagai candi terbesar di Indonesia, Candi Borobudur merupakan magnet yang amat kuat bagi saya untuk dijadikan destinasi. Berpuluh-puluh tahun lalu, bersama orangtua, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Lalu tahun-tahun berikutnya lagi dan lagi. Saat remaja, lalu ketika honey-moon, kemudian bersama anak-anak saat mereka masih kecil, lalu berulang lagi, tak lupa saat-saat berkunjung berdua saja dengan sang belahan jiwa, tetap saja Borobudur tak pernah absen dikunjungi. Dan jika Tuhan masih memberi saya umur, di masa mendatang pun saya akan ke Borobudur lagi.
Namun di antara semua kunjungan itu, ada satu yang meninggalkan kesan amat dalam. Saat itu terjadi ketika saya meluangkan waktu khusus untuk bisa berada di Borobudur saat sunset dan saat sunrise. Wajah Candi Buddha terbesar di Indonesia ketika terjadi pergantian waktu siang ke malam dan sebaliknya itu, sungguh luar biasa. Bagi saya, suasananya terasa magis apalagi bentuk-bentuk yang terjadi menciptakan siluet yang seakan menyimpan misterinya sendiri.
Memang tidak murah untuk mendapatkan semua pesona itu. Waktu itu saya perlu menginap di Hotel Manohara, sebuah hotel berbintang yang mungkin secara eksklusif mendapatkan pengecualian bisa didirikan di kawasan UNESCO World Heritage Site dengan akses langsung ke Candi Borobudur.
Memang ada hotel-hotel yang lebih ramah di kantong di sekitaran Borobudur. Tidak hanya ada, melainkan banyak sekali, dari guesthouse, hotel melati sampai yang bagus dan mahal juga ada. Tetapi tetap saja, akses masuknya dari gerbang depan. Sedangkan bila kita menginap di Hotel Manohara, ada jalan khusus untuk memasuki Kawasan Candi Borobudur. Tapi mohon jangan tanya harganya ya, karena pasti bikin mules dan jika ada pilihan lain mending dipakai buat beli tiket ke destinasi lain 😀 😀 Tetapi apapun, demi kecintaan bisa diupayakan kan?
Dan jadilah hari itu, saya mendatangi Candi Borobudur untuk kesekian kalinya jelang matahari tenggelam. Jangan ditanya jumlah pengunjung lainnya. Banyaaaak sekali! Bisa jadi karena saat itu bertepatan dengan libur sekolah yang artinya, dimana-mana saya melihat orang lain.
Tidak hanya pengunjung domestik yang memenuhi Candi Borobudur, turis mancanegara pun tak kalah banyak. Semua menanti sang mentari menghilang dari ufuk Barat untuk kembali ke peraduannya.
Tetapi sesuai kata Sang Buddha,
May every sunrise bring you hope. May every sunset bring you peace.
Apapun keadaannya dengan begitu banyak orang, saya berdamai saja dengan situasinya. Bukankah mereka juga sedang menikmati keindahan dengan cara mereka sendiri? Karena pada saat yang sama, matahari menghilang dari pandangan karena harus menyinari bagian bumi yang lain,

Memang menarik menanti sang mentari tenggelam di ufuk Barat. Tetapi masih ada banyak situasi lain yang tak kalah luar biasanya. Saat itu langit sore tampil begitu indah di Borobudur. Saya tak mau melewatkan sedikitpun keindahan itu sehingga saya melipir sedikit, menjauh sisi Barat untuk membuat foto siluet stupa-stupa Borobudur. Sang Buddha yang berada dalam posisi duduk tanpa cungkup stupa, terlihat amat menarik dengan latar langit yang kuning keemasan.


Candi Borobudur yang didirikan abad ke-8 di atas bukit itu oleh Wangsa Syailendra itu memang memukau. Oleh karena strukturnya yang bertingkat-tingkat, tidak pernah ada tempat yang tidak indah untuk difoto, apalagi dengan langit kuning keemasan dan bentuk-bentuk stupa serta dinding candi yang memukau.
Berjalan di tingkat Arupadhatu, saya terpukau dengan seberkas sinar matahari sore yang berhasil menembus lubang salah satu Stupa. Cahayanya berkilau seperti batu permata kualitas prima yang tertimpa cahaya. Warna kuning keemasan menghias langit Barat sementara bentuk siluet hitam Stupa yang mengerucut itu seakan menyembunyikan misterinya sendiri.

Bahkan setelah sunset pun Candi Borobudur masih meninggalkan keindahan. Sisa-sisa warna kuning keemasan yang masih menghias langit menjadikan perbukitan di sekitar Candi Borobudur sebuah pemandangan luar biasa. Borobudur menjadi saksi bisu keindahan alam sekitarnya, terjadi setiap hari sepanjang usianya.

Mentari telah hilang dari pandangan, pengunjung satu per satu meninggalkan Borobudur karena waktu berkunjung telah usai. Dengan suasana Borobudur yang lebih temaram, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa suara-suara pengunjung lain. Saya menikmatinya selama mungkin sampai akhirnya seorang petugas menangkap keberadaan saya lalu tersenyum.
Ah, meskipun menginap di Manohara, sudah sewajarnya saya tidak bertindak egois berkeliaran sendirian di candi Buddha terbesar di Indonesia ini. Para petugas juga ingin pulang untuk bercengkrama dengan keluarganya dan mereka tak bisa melakukannya selama masih ada pengunjung di Candi.
Sambil meminta maaf, saya kembali menuju hotel melalui jalan setapak. Ketika sampai di sebuah tanah lapang di dekatnya, sebelum masuk ke halaman hotel, saya berbalik badan, menghadap kembali Candi Borobudur yang kian erat dipeluk malam. Kamera saya masih bisa menangkap siluet Candi Borobudur sebelum lampu-lampu sorot kapasitas besar meneranginya.

-§-
THEN NEXT MORNING… SUNRISE TIME!
Saya sudah tak sabar sejak Subuh. Seperti seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah ulang tahunnya, saya langsung saja keluar hotel begitu ada kesempatan pertama. Bahkan langit yang berawan pun saya tak permasalahkan. Lalu apa jadinya sunrise dengan kondisi langit yang berawan? Saya percaya, apapun situasinya pasti ada keindahan.
Bukankah setiap hari baru itu sebuah janji dari Sang Pemilik Semesta?
Each morning we are born again. What we do today is what matters most.
Matahari menyembul keluar dari balik awan pada saat saya berada di belakang sebuah patung Buddha yang menghadap Timur. Begitu tepat waktu, Perfect! Sempurna! Seakan melantunkan adanya harapan-harapan baru yang membias luas di setiap pagi.

Saya melanjutkan langkah, menaiki tangga-tangga menuju lantai Arupadhatu. Sekali lagi siluet-siluet hitam dari Stupa dan bangunan-bangunan khas Candi Borobudur ditimpa cahaya matahari dari Timur membentuk keindahannya sendiri. Puncak stupa yang mengerucut ke atas memiliki harmoni tersendiri.


Sekali lagi saya dibuat terpesona dengan seberkas sinar matahari, -kali ini dari Timur-, yang berhasil menembus lubang Stupa memberikan efek kilau yang luar biasa. Seakan saya melihat sebuah stupa dengan berlian di dalamnya yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Ditambah lagi seorang laki-laki yang berjalan mengikuti arah jarum jam tampak mengatupkan tangan di depan dadanya, melangkah dengan pasti mengelilingi lantai Arupadhatu. Meskipun tak lagi menjadi tempat ibadah formal, tentu bagi seorang umat Buddha melihat keberadaan Sang Buddha membuatnya hatinya tergerak untuk beribadah. Sesuatu yang amat manusiawi.

Mentari semakin meninggi. Sebentar lagi situasi Candi Borobudur akan hangat kembali dengan kehadiran pengunjung-pengunjung. Saya pun tak bisa berlama-lama di lantai Arupadhatu karena harus segera turun ke sudut untuk bisa mendapatkan gambar Candi Borobudur di pagi hari tanpa manusia lain. Sekali lagi, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa banyak pengunjung. Di sudut tanah lapang itu saya merasakan keanggunan Candi Borobudur, bangunan yang didirikan dua belas abad lalu, tanpa komputer, tanpa teknologi modern namun mampu tetap membuat saya terkagum-kagum.

Tak lama saya kembali ke hotel melalui jalan setapak lagi. Sesaat kemudian saya berbalik badan, kembali menghadap Candi Borobudur yang kini telah terang disinari Matahari. Candi Borobudur memang luar biasa.
Indonesia memang indah.
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-22 bertema Silhouette agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu