Pohon Fig, Pohon Peradaban


Ketika pertama kali ke Kuil Ta Prohm di kawasan Angkor, Kamboja, -seperti juga turis-turis lain-, saya terperangah kagum dengan adanya pohon yang tumbuh menjulang ke atas dengan akar-akarnya yang menyelimuti sebagian bangunan kuil itu. Perbandingan antara tinggi pohon dan manusia benar-benar mencengangkan. Paling tidak, saya yang termasuk bongsor bisa juga terlihat kecil ketika difoto di depan kuil yang dililit akar pohon itu. 😀 😀 😀

The Fig Tree at Ta Prohm Temple, Angkor, Cambodia

Sejak itu saya penasaran dengan pohon yang bisa menaklukkan bangunan-bangunan kuno itu. Paling tidak, pohon itu tetap hidup namun permukaan dinding dipenuhi dengan akar pohon hingga menyelimutinya bahkan ada yang menembus dinding bangunan sehingga menjadikan dinding tidak lagi tegak lurus. Padahal bangunan-bangunan itu sudah ratusan tahun namun sepertinya umur pohon-pohon itu jauh lebih muda dari pada usia bangunan kuil.

Keterpesonaan itu membuat saya mencari lebih jauh tentang pohon ‘penakluk’ ini yang dari pemandu saya mendapatkan kunci awal dari pencarian yang lebih jauh. Nama pohon ini adalah pohon fig.

Tentu saja saya, -bukan ahli botani, bukan ahli pohon dan tanaman serta tidak mau menambah kerumitan-, menerima begitu saja nama fig tree. Dan selanjutnya ketika melihat ada kuil-kuil kuno yang diselimuti oleh pohon-pohon itu, langsung saya komat-kamit mengingat namanya pohon fig.

Mungkin karena saya mengenalnya di luar negeri, saya semakin penasaran dengan pohon ini. Maka menyelamlah saya ke dunia pencarian. Dari berbagai sumber, ternyata yang masuk ke dalam keluarga fig tree itu adalah pohon Ara atau pohon Tin, dengan bahasa Latinnya Ficus sp.

Dalam Al Qur’an sendiri terdapat Surat At Tin, yang merupakan surat ke-95 yang terdiri atas 8 ayat. Nama Surat diambil dari kata At-Tin yang terdapat pada ayat pertama yang artinya buah Tin. Selain itu, manfaat Buah Tin ini juga disebut dalam sebuah Hadist. Ada buah, pasti ada pohonnya kan? Berarti masuk keluarga Ficus (karena nama resminya adalah Ficus carica).

Dalam Kekristenan, Pohon Ara disebut dalam Kitab Kejadian, yang daunnya digunakan untuk menutupi tubuh Adam dan Hawa setelah diturunkan ke Bumi. Pohon Ara itu masuk keluarga Ficus juga.

Dalam filosofi Buddha, tentu tahu bahwa Sang Buddha mendapatkan Pencerahan di bawah Pohon Boddhi. Bahkan kisah epik Mahavamsa menceritakan tentang Kisah Raja Ashoka dan Sepotong Pohon Boddhi yang dipercaya menjadi asal muasal Negeri Srilanka. Nah, Pohon Boddhi ini juga masuk dalam keluarga Ficus.

Juga dalam Hindu, pohon yang termasuk keluarga Ficus ini juga disebut dalam Bhagavad Gita, yang memberikan simbol-simbol dan pemahaman tentang alam materi dan non-materi.

Tak heran, saya bisa mengatakan pohon ini termasuk pohon purba karena sudah ada sejak adanya peradaban dan disebut-sebut dalam kitab-kitab suci yang mengatur kehidupan manusia. Luar biasa sekali pohon ini.

Lalu apakah Pohon Fig itu ada di Indonesia? Ternyata… Pohon Beringin yang terkenal dan sepertinya ada dimana-mana di seluruh Indonesia dan dilambangkan dalam Pancasila, juga termasuk keluarga Ficus. Akar-akarnya yang keluar menggantung menjadi khas dari Pohon Fig.

Ah, ternyata saya tak perlu jauh-jauh ke Kamboja untuk mengetahui bahwa di sekitar kita juga ada keluarga pohon fig. Mungkin selepas Pandemi, saya bisa jalan-jalan ke Bali Botanic Garden yang ada Giant Fig trees (tapi saya terpikir bahwa di Kebun Raya Bogor seharusnya ada juga kan ya???)

By the way, seperti juga spesies tanaman lain dalam famili Moraceae, bersentuhan langsung dengan getah susu Ficus carica lalu terpapar sinar ultraviolet dapat menyebabkan fitofotodermatitis, sebuah peradangan kulit yang bisa berdampak serius. Jadi harus hati-hati juga.

Dan yang terjadi di kuil-kuil kuno di Kamboja itu, karena bibit-bibit Pohon Fig itu dijatuhkan dari atas oleh burung atau kelelawar dan mendarat di atas pohon atau bangunan. Kemudian akarnya tumbuh memanjang ke bawah hingga mencapai tanah dan hiduplah dia. Bahkan pohon yang ditumpangi bisa mati meski pohon fig bukanlah benalu bagi inangnya. Kasarnya ia menempel saja atau menduduki inangnya agar stabil bagi akar mencapai tanah.

Maka dari itu yang terjadi di kuil-kuil di Angkor itu, pohon Fig-nya disebut dengan Strangler Fig alias Fig si Pencekik. Kok seperti judul film kriminal ya?


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-36 bertema Tree agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Batu-Batu Pembuat Takjub


Ada seorang teman sekolah yang mengatakan bahwa saya penyuka batu. Mendengar itu saya hanya bisa mengangkat alis, karena, -meskipun terdengar aneh-, saya tidak bisa mengabaikan kenyataan itu. Benar juga sih. Karena saya memang menyukai batu. Bukan batu-batu permata yang dulu pernah heboh, melainkan batu-batu yang memiliki makna, batu alam yang membuat takjub, atau batu-batu yang tersusun menjadi bangunan candi, batu-batu kecil yang berbentuk aneh. Ah, rasanya saya memang mudah tertarik oleh penampakan batu yang ‘menghebohkan’. Aneh juga ya?

Namun bagi mereka yang mengenal saya, atau mengikuti perjalanan saya melalui blog ini, tentu mengetahui bahwa saya sedikit ‘gila’ terhadap candi-candi Hindu/Buddha yang umumnya tersusun dari batu. Bahkan saya ‘kejar’ kegilaan saya akan batu itu sampai ke luar negeri. Meskipun, jujur deh, masih sangat banyak tempat di Indonesia yang belum saya kunjungi dan semuanya terkait dengan batu. 😀

Ketika berkesempatan pergi ke Jepang untuk pertama kalinya, di Osaka Castle saya terpaku di depan sebuah batu utuh yang amat besar, yang menjadi bagian dari dinding pelindung halaman dalam yang dikenal dengan nama Masugata Square. Batu yang disebut dengan Tako-ishi atau harafiahnya berarti Batu Gurita (karena ada gambar gurita di kiri bawahnya) memang luar biasa besar. Beratnya diperkirakan  108 ton, berukuran panjang 11.7 meter dan tingginya 5.5 meter (atau lebih dari saya ditumpuk tiga ke atas 😀 ). Satu batu utuh yang termasuk megalith dan terbesar di Osaka Castle ini bisa disaksikan tak jauh dari Gerbang Sakura.

Konon, dinding batu yang terbuat dari batu-batu amat besar ini dibuat pada awal periode Edo, yaitu sekitar tahun 1624 oleh Tadao Ikeda, Bangsawan besar dari Okayama yang diperintahkan oleh Shogun Tokugawa. Selain, Takoishi sebagai yang terbesar, tepat di sebelahnya terdapat batu yang merupakan ketiga terbesar di Osaka Castle, yang dikenal dengan nama Furisodeishi atau harafiahnya berarti batu lengan panjang kimono. Mungkin karena bentuknya seperti lengan kimono.

Saya sendiri belum sempat menelaah lebih lanjut tempat pembuatan Tako-ishi itu, apakah memang dibuat di Osaka atau di Okayama, tempatnya Tadao Ikeda menjabat. Jika benar di Okayama, saya tak pernah membayangkan pengirimannya. Padahal jarak Osaka ke Okayama itu sekitar 170 km. Lalu bagaimana pengirimannya pada masanya ya?

Stone1-Takoishi
Takoishi – The Largest Stonewall in Osaka Castle

– § –

Berbeda dengan batu yang ada di Jepang, dalam perjalanan saya ke Cambodia, -tentu saja selain Angkor Wat dan kuil-kuil lainnya yang mempesonakan-, saya juga terpesona dengan Reclining Buddha raksasa yang terbuat dari batu utuh yang berlokasi di kompleks Preah Ang Tom di Phnom Kulen, sekitar 50 km di utara kompleks percandian Angkor.

Dengan panjang sekitar 17 meter, Reclining Buddha dari abad ke-16 ini, dibangun di atas batu setinggi 8 meter sehingga saya harus menaiki tangga untuk mencapainya. Meskipun ukurannya kalah jauh dari Wat Pho di Bangkok atau bahkan Reclining Buddha di Mojokerto apalagi jika dibandingkan panjang patung-patung serupa di Myanmar, saya merasa amat unik dengan apa yang saya lihat di Preah Ang Tom ini.

Tidak seperti biasanya di negara-negara Buddhist yang pada umumnya Reclining Buddha dalam posisi Parinirvana (perjalanan menuju Nirvana setelah kematiannya) dibuat dengan kepala di sebelah kiri, Reclining Buddha yang ada di Phnom Kulen ini, kepala Sang Buddha berada di sebelah kanan. Terlebih lagi, konon sudah amat tua, hampir empat abad keberadaannya dan dibuat diatas batuan pegunungan! Bahkan setelah saya browsing, hanya ada tiga Reclining Buddha dalam posisi ini, dua di Thailand dan di Preah Ang Tom ini.

Stone2-PhnomKulen
Reclining Buddha at Phnom Kulen, Cambodia

– § –

Bicara soal usia batu, saya jadi teringat batu yang ditemui saat melakukan trekking ke Muktinath di kawasan Lower Mustang, Nepal. Tak jauh dari kuil Muktinath yang dipercaya oleh penganut Hindu Vaishnavas sebagai salah satu tempat yang paling sakral, terdapat sebuah patung Buddha sebagai penghormatan kepadan Guru Rinpoche yang konon pernah ke sana. Di bawahnya diberi hiasan batu-batu asli, yang diambil dari Sungai Kali Gandaki. Batu-batu asli ini namanya Shaligram.

Shaligram ini sangat khas. Meski kecil, tidak lebih besar dari telapak tangan-, batu ini luar biasa unik karena memiliki motif kerang yang terbentuk secara alamiah. Konon terbentuk sebagai fosil sejenis kerang yang ada sekitar ratusan juta tahun lalu!

Yang membuat saya terpesona adalah kenyataan bahwa batu kerang sebagai binatang laut yang sudah memfosil itu bisa ditemukan di dasar atau pinggir sungai Kali Gandaki yang berair tawar di sekitaran kawasan Himalaya yang tinggi gunungnya beribu-ribu meter ke atas. Mungkin saja, pikiran saya terlalu terbatas untuk bisa membayangkan yang terjadi di alam ini selama ratusan juta tahun yang lalu, ketika jaman es masih menutupi planet bumi tercinta ini. 

Menyaksikan sendiri fakta alam yang begitu dekat dan bisa dipegang, rasanya amat luar biasa. Namun sayang sekali, ada saja manusia-manusia yang tak bertanggung jawab yang mencungkilnya untuk dijadikan sesembahan.

DSC06048
Shaligram of Muktinath, Nepal

– § –

Batu-batu lain yang membuat saya takjub adalah batu-batu yang berdiri dalam posisi amat kritis. Salah satu batu yang membuat saya terkagum-kagum adalah The Golden Rock, yang ada di Myanmar, sekitar 5 – 6 jam perjalanan dengan bus dari Yangon. Hingga kini, Golden Rock menjadi tempat sakral bagi umat Buddha Myanmar sehingga banyak didatangi peziarah dari segala penjuru Myanmar.

Bagi saya, The Golden Rock bisa mewakili semua posisi batu yang disangga batu lainnya meskipun dengan posisi yang teramat kritis dan tetap dalam keseimbangan selama berabad-abad. Mungkin tingkat kekritisannya bisa dibandingkan dengan The Krishna’s Butter Ball yang ada di Mahablipuram, India (Semoga saya diberikan kesempatan untuk berkunjung kesana!) atau batu-batu lainnya yang serupa.

Di dekat Wat Phu, Laos Selatan, saya melihat celah sempit di bawah batu cadas (rocks) dan digunakan untuk tempat persembahyangan. Juga di Golden Rock, saya melihat banyak orang bersembahyang di bawah batu tersebut. Entah kenapa melihat semua itu, selalu terlintas di pikiran, bagaimana jika terjadi gempa bumi yang membuat posisi batu menjadi tak seimbang dan batu itu ‘glundung‘ jatuh ke bawah? Bukankah apapun bisa terjadi?

DSC07435
Critical Point of The Golden Rock, Myanmar

– § –

Tetapi, dari banyak tempat yang pernah saya kunjungi, mungkin Petra di Jordan menjadi juaranya terkait batu yang membuat saya terkagum-kagum. Kekaguman saya akan tingginya celah ngarai yang teramat sempit yang dikenal dengan nama The Siq, juga bentukan-bentukan alam serta olahan tangan dari bangsa Nabatean jaman dahulu terhadap kawasan berbatu cadas itu. Sang Pemilik Semesta telah menciptakan kawasan Petra begitu berbatu yang tanpa sentuhan manusia pun sudah begitu mempesonakan, namun bangsa Nabatean dengan kemampuan artistiknya membuatnya semakin menarik.

Menuju The Treasury, saya melewati daerah yang disebut dengan Djinn blocks. Isinya batu-batu yang berbentuk kubus, nyaris sempurna. Saat mengetahui namanya, konotasi saya langsung mengarah ke tempat-tempat jin (asal katanya ya memang itu kan), namun konon bentukan kubus itu merupakan tempat peristirahatan (tapi entah peristirahatan dalam artian makam atau memang tempat beristirahat dalam perjalanan karena ada juga yang mengartikan ‘tempat air’ yang biasanya menjadi tempat pemberhentian pengelana)

Tetapi tetap saja, batu-batuan di Petra ini, dalam kondisi aslinya atau telah menerima sentuhan manusia, tetap mempesona. Yang pasti, saya ingin kembali lagi kesana, menjelajah lebih lama, lebih santai…

DSC00469
Other angle of Djinn Blocks

DSC00466
Djinn Blocks, Petra

DSC00496
Elephant, Fish or Aliens?

– § –

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-20 bertema Stone agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

Kamboja, Negeri Penuh Makna


Rasanya masih ingat moment istimewa jelang akhir tahun 2010 itu, saat hendak menentukan mau ke negara mana lagi di kawasan Asia Tenggara. Ketika itu saya memegang buku Lonely Planet Southeast Asia on A Shoestring dan sudah menentukan prioritas, Vietnam berada di peringkat atas dan Kamboja berada paling bawah. Alasannya sederhana. Saya meletakkan Kamboja  paling bawah karena saya takut hantu dari orang-orang yang meninggal tak wajar dan Kamboja bisa dibilang jawaranya, karena belum lama keluar dari masa kelam akibat genosida Khmer Merah itu. Seorang teman yang sering menakut-nakuti selalu bilang, anggaplah 1 persen dari korbannya menjadi hantu, itu artinya 16.000 dan itu banyaaaakkk!

Tetapi faktanya, seperti bumi dan langit. Setelah momen itu, di kuartal pertama tahun berikutnya saya justru mengunjungi Kamboja, bahkan hingga berkali-kali bolak balik ke negeri itu dan Vietnam baru saya kunjungi di penghujung akhir tahun 2015, itu pun hanya satu kali ke Vietnam Tengah yang hingga kini angka itu belum berubah 😀

Lalu apa yang membuat saya ke Kamboja?

Angkor Archaeological Park 

Sebagai penggemar sejarah dan candi-candi Hindu Buddha, bisa dibilang saya ternganga ndhlongop saat pertama kali ke kompleks candi Angkor, yang jumlah bangunannya banyak sekali dan tidak cukup tiga hari dikelilingi. Angkor Wat saja sudah luas sekali, Belum lagi di tambah Phnom Bakheng dan kawasan Angkor Thom yang ada Baphuon, Bayon, kawasan Royal Palace lengkap dengan Phimeanakas, lalu Terrace of The Elephants dan Terrace of the Leper King. Tentu saja dengan ke lima gerbang Angkor Thom yang keren-keren itu. Dan yang pasti Ta Prohm temple yang selalu dihubungkan dengan film Tomb Raider-nya Angelina Jolie. Ada yang sudah pernah ke Preah Khan temple atau Banteay Kdei? Hmmm, bagaimana dengan Ta Som, Neak Pean, East Mebon, Takeo, Pre Rup dan Prasat Kravan serta kompleks candi Roluos atau Banteay Samre dan Banteay Srei?

Bahkan saya tak puas hanya sekali atau dua kali, sehingga setiap ada kesempatan ke Kamboja saya selalu mengupayakan ke Angkor. Tidak heran, hampir semua candi itu sudah saya datangi. Hampir semua, supaya ada alasan untuk kembali lagi!

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Tidak hanya itu, bisa dibilang saya telah meninggalkan jejak di hampir seluruh kompleks candi di Kamboja, termasuk kompleks candi yang sangat remote. Di Preah Vihear yang di perbatasan dengan Thailand, atau Beng Mealea dan Koh Ker. Bahkan kompleks candi Preah Khan Kp. Svay yang sangat jauh dari perkampungan manusia pun saya kejar. Juga kawasan percandian Sambor Prei Kuk yang belakangan ini mendapat gelar UNESCO World Heritage Site. Selain candi-candi kecil di dekat Battambang atau Phnom Penh, saya mendatangi juga kawasan percandian Banteay Chhmar yang lokasinya dekat dengan Sisophon, tak jauh dari perbatasan Thailand. Dan bagi saya ini, masih banyak tempat yang bisa saya datangi untuk melihat candi.

Jadi kalau ke Kamboja, tidak ke Angkor… itu namanya belum ke Kamboja hehehe…

Tuol Sleng & Choeung Ek

Meskipun saya ini penakut, saya memberanikan diri pergi ke “ground zero“-nya penyiksaan Khmer Merah ini. Kok nekad? Karena saya percaya dengan nasehatnya Nelson Mandela yang mengatakan The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear. Dan mengalahkan ketakutan saya ini membukakan pintu-pintu pemahaman dan makna buat saya.

Bahwa demi ideologi, bagi sebagian manusia, nyawa manusia lainnya menjadi tak berarti hanya karena berbeda.

Di tempat ini saya juga belajar bahwa penggiringan falsafah tanpa keberagaman akan membawa kepada konsep diktator yang merusak tatanan kehidupan. 

Jika datang kedua tempat ini tidak dapat menggerakkan rasa kemanusiaannya, sepertinya diragukan kenormalannya sebagai manusia yang berperasaan hehehe…

IMG_5453

Wajah Maaf & Kebesaran Jiwa

Sebagai akibat peristiwa genosida yang menghabisi satu generasi, tak jarang saya menyaksikan wajah penuh maaf dan toleransi pada penduduk lokal Kamboja, Ketika perang sipil berlangsung dalam waktu yang panjang dan mengakibatkan penderitaan tak berkesudahan, satu-satunya jalan untuk hidup lebih baik adalah pemberian maaf, toleransi dan memiliki kebesaran jiwa. Dendam tak akan pernah membawa kebaikan, kecuali hanya membawa derita. Bagaimana mungkin mendendam kepada orang yang sama-sama menderita, yang mungkin sama-sama dikenal, mungkin sama-sama tetangga di kiri kanan rumah, bahkan mungkin sebagai kerabat. Hanya orang yang memiliki kebesaran jiwa yang bisa keluar seutuhnya dari neraka kemanusiaan yang pernah terjadi di bumi Kamboja.

Jika Anda ke Kamboja dan bisa menjadi saksi wajah maaf dan kebesaran jiwa yang dimiliki sebagian penduduk tua di Kamboja, maka berbahagialah. Sesungguhnya tak mudah menemukan hal itu sekarang.

Kemiripan Budaya 

Saya yang termasuk picky terhadap makanan asing, ternyata lidah saya bisa menerima dengan nyaman makanan dari Kamboja, terutama fish amok yang luar biasa enak itu. Campuran bumbu yang ada di dalamnya membuat lidah saya sepertinya ‘kenal’ dengan yang biasa saya telan di negara sendiri, sehingga saya welcome saja dengan makanan Kamboja. Bisa jadi karena tradisi memasak sesungguhnya berakar dari sumber yang sama yaa… Belum lagi cara mereka membungkus makanan atau kue-kue yang juga menggunakan daun pisang. Tidak jauh beda dengan kita kan?

Saya juga teringat dengan minuman selamat datang yang diberikan hotel saat saya check-in. Saya mengira akan diberikan minuman rasa jeruk, apel atau buah-buahan standar lainnya tetapi mereka justru memberikan saya sereh (lemongrass) yang amat segar. Meskipun berbeda dari biasanya, lidah saya mengenal rasa itu seperti di Indonesia. Saya justru terkejut gembira mendapatkan sesuatu yang familiar seperti di negara sendiri.

Dan selagi di sana, saya biasanya memperhatikan wajah penduduk asli Khmer. Meskipun menurut saya hidung orang Indonesia lebih bagus, wajah penduduk asli Kamboja bisa dibilang lebih mirip dengan kita, dibandingkan dengan Malaysia. Ini menurut saya lho… Dan karena sejalan dengan penyebaran Indianisasi, banyak kata-kata bahasa Khmer yang dari pengucapan bisa dibilang mirip atau tak jauh dengan bahasa Indonesia. Dan mengetahui hal ini, sangat menggembirakan saya dan mencari tahu lebih banyak lagi… Contohnya, Guru dan Krou (dengan huruf o-nya hampir hilang), Kampung dan Kompong, Kerbau dan Krabei (i-nya hampir hilang), Pasar dan psar, Kapal dan Kbal. Muka dan muk. Menarik kan? Ada yang pernah tahu kata-kata apalagi yang mirip?

Kalau bicara seni tradisional, wah bangsa Kamboja juga memiliki pertunjukan wayang, meskipun ukuran wayangnya besar (bisa lebih dari 1 meter) dan dimainkan oleh lebih dari satu orang dan layar putihnya panjang sekali. Saya sendiri menikmati pertunjukan wayang Kamboja ini justru di Jakarta dan belum pernah menyaksikan langsung di tempat asalnya. Malam itu, -disaat semua orang sedunia menyaksikan pernikahan agung Pangeran William dan Kate Middleton di London-, saya justru menikmati cultural performance dari Kamboja di Jakarta, hehehe…

Selain itu di Kamboja juga memiliki tarian tradisional yang dilakukan berpasang-pasangan dengan menggunakan tempurung kelapa yang saling diketok satu sama lain, seperti tarian tempurung di Indonesia. Pernah lihat?

Nah, siapa diantara kita yang suka kerokan ketika sedang ‘masuk angin‘? Kebiasaan turun temurun dari para leluhur yang dikenal dengan sebutan kerokan itu ternyata dikenal juga lho di Kamboja. Meskipun namanya bukan kerokan, melainkan goh kyol.

Dan bertemu teman-teman Indonesia…

Di Kamboja, saya memiliki teman-teman baru yang memiliki keterikatan yang kuat dengan Kamboja. Entah yang seperti saya yang sekedar berkunjung, atau mereka yang bekerja di sana. Apapun itu, mereka adalah orang-orang hebat. Dan bukan di kedutaan kami bertemu, melainkan di sebuah warung. Warung Bali di Phnom Penh, tepatnya. Tempat itu sudah seperti kedutaan Indonesia yang tak resmi, yang berlokasi sangat strategis karena hanya selemparan batu dengan Museum Nasional dan Royal Palace serta tempat hang-out di sekitaran kawasan riverside di Phnom Penh. Dan jika beruntung, kita bisa berdiskusi hangat di sana sambil diselingi humor. Rugilah kalau ke Kamboja tidak sempat mampir ke Warung Bali. Makanannya enak-enak dan lidah bisa istirahat sejenak dari berbahasa Inggeris terus di sana…

Terlepas dari berita-berita negatif tentang Kamboja yang dialami pejalan dari Indonesia, seperti penjambretan tas di tuktuk, atau korupsi kecil-kecilan di perbatasan, atau kesan ‘Kamboja itu gak ada apa-apa’, atau ‘negara miskin’, bagi saya pribadi Kamboja tetap menjadi negara yang akan saya datangi secara rutin di kemudian hari selama Tuhan mengizinkan. Dimanapun kita harus tetap waspada dengan barang-barang kita sendiri. Dan soal korupsi, selama negara sendiri belum bebas sepenuhnya dari kata itu, sebaiknya kita tak menunjuk negara lain, karena meskipun hanya satu noktah, kita terpapar juga.

Lagi pula bagi saya, berkunjung ke negara lain itu untuk mencari makna perjalanannya sendiri dan bersyukur punya negara sendiri serta bukan menjadi sebuah pertandingan untuk banyak-banyakan stamp imigrasi (Lhaa… kalau mau banyak-banyakan, bisa susun itinerary 1 hari 1 negara, atau langsung terbang lagi setelah dapat stamp, sampai mabok! 😀 😀 😀 )


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-31 ini bertema Cambodia agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – The Mirror Of Nature


Last month I visited Angkor Wat in Cambodia for the umpteenth time. Angkor Wat is the place in the world which I feel I belong to; a place for recharging my energy. No matter how many other beautiful places I visit, I always feel the magical spark in me when I stand in the ancient walkway of Angkor Wat. I feel so comfortable to walk along the cozy corridors or the surrounding forest which perhaps, nothing special for other person.

DSC043621
Another Sunrise in Angkor Wat

So, it was early morning of Khmer New Year, -it’s in the mid of April-, and I found myself standing in front of a small pond in Angkor Wat. I joined the other people to watch beautiful sunrise there before I enjoyed my walk in the lush forest around it.

The small pond in southern part of main entrance is different to the similar pond in northern part which is full of lotus. This time I felt so lucky with the small water in it. Just perfect as a mirror of the nature with its majestic temple. I could see the small ripple of water when something disturbed it. Totally perfect for me. Right place, right moment.

Like water which can clearly mirror the sky and the trees only so long as it surface is undisturbed, the mind can only reflect the true image of the Self when it is tranquil and wholly relaxed.

WPC – Be Careful


Be Careful!

It was the automatic words came out from my local guide when he saw me sitting easily on the edge of the cliff with feet hanging in the air. His face expressed the fear that I might fall down. But slowly he accepted the fact that I was more insane than he thought hahaha…

P1020863

At that time I enjoyed being the only tourist at Prasat Preah Vihear, a UNESCO World Heritage Site in northern part of Cambodia. It’s a very remote temple with limited access compared to the majestic Angkor Wat complex. And not only that. For making it worse, at that time, Prasat Preah Vihear was still in conflict zone, a true military clash could be happened at any time.

Well, for a temple-lover like me, it’s really a challenge. I did a quick research about the safety before visiting the 11th century Hindu temple which is located in the disputed area. But finally my dream to see the temple and the beautiful scenery from the Dangrek Mountains wins over the lengthy dispute. I had to go there.

And after walking around the temple, seeing the holes on temple walls because of the previous line of fires and military clash, then I sat on the edge of 600 meters cliff with feet hanging in the air, and not only that, I watched the sunset there…

*

This is my post as a contribution of The Daily Post’s Weekly Photo Channel with the theme: Careful and also the theme on 23rd January: Express Yourself

WPC – Creepy & Spooky


I was starting a short trip to Phnom Penh, Cambodia with my friend, when the Weekly Photo Challenge asked us to submit a Creepy Photo! I don’t have many creepy photos, actually I don’t like to take creepy, or spooky pictures; but for participating in a photo challenge, it would be fun.

From the roof top restaurant of my hotel, I saw this place. An old abandoned building. It became more creepy and spooky at night because of its dimmed red light. So, on the way back to the hotel, I took this place and left directly. There was not enough light to make the photo clearer.

And here’s my photo with an unknown shadow in the middle. What is it? I really don’t know. When I capture the building, nobody’s there…

Creepy and Spooky
Creepy and Spooky

Weekly Photo Challenge: Orange – Sunrise to Sunset Daydreaming


Sunrise across the Mekong river, Phnom Penh, Cambodia
Sunrise across the Mekong river, Phnom Penh, Cambodia

Feeling the morning breeze on my face, suddenly I woke up in a river bank. Disoriented but could not help watching the nice orange sunrise across the big river. Am I home? It must be the Great Mekong in Cambodia.

*

Without any chance to think, my body became lighter and lighter. Momentary blinded for a blink, the sun disappeared and now I saw local monks in orange robes walking around Angkor Wat, home of the souls.

*

Secretly following them through the wind, watched them chanting in front of the Giant Buddha. But, heiii… there’s no Giant Buddha in Angkor. Time had played with me and brought me to a temple with gold, yellow and orange color in Thailand, home of the smiles.

*

Blue bench under the flamboyant tree in Bagan, Myanmar
Blue bench under the flamboyant tree in Bagan, Myanmar

A moment or two taking delight, then I had to tiptoe out quietly. This country-hopping drained my energy. One step means hundreds kilos to fly in bewilderment. I should take a rest for a while. I could not believe my eyes stuck to the blue bench under the orange flamboyant tree in Bagan, Myanmar. Another hopping to the home of new hope.

*

A orange backhoe in Kuta, Bali, Indonesia
A orange backhoe in Kuta, Bali, Indonesia

I fell asleep on the bench that brought me to the seat inside the orange heavy vehicle in Bali. What’s going on? I drove it to clean the beach. Lots of trash came from the ocean and brought those back to the shore of island of gods. I have the faith that cleaning is a way to purify.

*

A Plane and A Pagoda in Hong Kong
A Plane and A Pagoda in Hong Kong

The heat and sweat made my day. Within less than a second I was in the plane that flew over an orange pagoda in Hong Kong, the hidden oasis to make a solemn request for peace.

*

Autumn leaves after the rain, Secret Garden in Changgyeonggung, Seoul, Korea
Autumn leaves after the rain, Secret Garden in Changgyeonggung, Seoul, Korea

Landed in South Korea with autumn vista. Being a tropical mind who knew only rain and summer seasons, I was always amazed by the red, yellow and orange maple trees, the special autumn colors as a delicate bridge to welcome winter sonata.

*

But again, time flew and no more for loving the autumn colors. I stood still in front of an orange big gate in Japan. Too big for small me walking through it before I stopped in front of an orange shrine. Somebody whispered it’s a love shrine, although the true love shrine is in the heart of people…

I walked through a tunnel of thousands orange torii or gates in Fushimi Inari in Kyoto, one step to another, believe there is an end in everything

*

Lantern Festival in CheonggyeCheon Stream, Seoul, Korea
Lantern Festival in CheonggyeCheon Stream, Seoul, Korea

Finally all torii disappeared and became lantern characters in orange atmosphere. The King himself deliberated with his Royal members to prosper his people life

*

Sunset in Kuta Beach, Bali, Indonesia - Heaven on Earth...
Sunset in Kuta Beach, Bali, Indonesia – Heaven on Earth…

A silhouette in Discovery Beach, Bali
A silhouette in Discovery Beach, Bali

Time ticked and I was kicked. The bright orange color decorated the western sky of Indonesia, as a sign for sunset. Kuta Beach in Bali will be my witness.  Like a movie, the picture faded away and a silhouette of tree with orange background was emerged, night was on the way to come.

*

Hanging Orange Lamps in Sampoerna Museum, Surabaya, Indonesia
Hanging Orange Lamps in Sampoerna Museum, Surabaya, Indonesia

Quietly I switched on the orange lamps for giving some lights through the mysterious darkness of the night

*

Museum of Bank Mandiri, Jakarta, Indonesia
Museum of Bank Mandiri, Jakarta, Indonesia

A day has been gone and be part of a place we called a museum. We can visit to make a remembrance but it has been bygones. Just like the one with the colonialism orange atmosphere…

*

Orange BMW 2002
Orange BMW 2002

Suddenly all’s gone and I tumbled down. I pinched myself and realized that I had a daydreaming in an orange old BMW!

And the last but not least, a question… do you know the production year of that BMW? 🙂

*

in response to Weekly Photo Challenge with the theme for this week

Orange

Menyaksikan Mentari Tenggelam dari Tebing Preah Vihear


Sebagai salah satu World Heritage Site, Candi Preah Vihear di perbatasan Thailand – Cambodia memang masih berada di daerah rawan konflik antar kedua negara, Tetapi tidak menyurutkan saya untuk datang kesana tahun 2012 lalu. Candi ini memang luar biasa keren, dan tempatnya awesome…

A Rhyme in My Heart

Preah Vihear Preah Vihear

November tahun 2012 lalu, akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi Preah Vihear, Candi Khmer yang memukau yang terletak di atas tebing 600 meter di wilayah Pegunungan Dangrek, Cambodia bagian Utara. Tidak itu saja, bahkan bisa menyaksikan sunset di situ! Memang Preah Vihear merupakan sebuah destinasi yang sudah lama berada dalam angan-angan saya untuk dapat diinjak dengan kaki, dilihat dengan mata dan disentuh dengan seluruh jiwaraga. Kesempatan datang begitu saja, ketika acara yang tadinya harus saya hadiri di Phnom Penh dibatalkan, sehingga perjalanan bisa saya ubah ke Siem Reap. Dan itinerary disiapkan secepat kilat, karena perubahan acara itu datang tidak mengetuk pintu dahulu.

Untungnya arsip lama saya tentang Preah Vihear tidak banyak berubah. Pertanyaan pertama yang selalu muncul : Apakah AMAN berkunjung ke Preah Vihear sekarang ini? Dan itu juga berlaku untuk saya, apalagi saya seorang female independent traveler.

Lihat pos aslinya 2.327 kata lagi