Sukacita Menjejak Tempat Suci


Bagi yang mengikuti blog saya ini, telah beberapa kali saya mengungkapkan kegemaran jalan-jalan yang sudah ada sejak saya kecil. Menjejak tempat baru membukakan wawasan namun suka duka perjalanan menuju tempat baru itu membuat saya hidup.

Dan dari begitu banyak destinasi, -kebanyakan berupa tempat-tempat yang memiliki sejarah-, hanya ada beberapa tempat yang berhasil memporak-porandakan rasa dalam jiwa begitu dahsyat. Bisa jadi karena tempat-tempat itu diyakini oleh banyak jiwa sebagai tempat suci keimanan.


Puskarni, The Holy Pond

Meskipun saya telah menuliskan dalam pos Nepal: Khata – Syal Putih dari Lumbini namun rasanya kata-kata itu tak pernah bisa terangkai dengan tepat untuk menggambarkan apa yang saya alami ketika menjejak Kuil Mayadevi di Lumbini. Tempat itu konon, merupakan tempat kelahiran Sang Buddha, lebih dari dua setengah millenium yang lalu.

Kuil yang menurut saya terlalu sederhana untuk sebuah lokasi yang dipercaya merupakan tempat kelahiran seseorang yang telah mengguncang dunia, sesungguhnya hanya sebuah bangunan batu yang menutupi sebidang tanah serupa ekskavasi arkeologis. Tak ada hiasan, tak ada altar, tak ada tanda-tanda pemujaan, namun ketiadaan barang-barang duniawi itu tak mampu menghilangkan rasa sakral yang begitu hebat di dalamnya. Hanya dengan sebuah penanda yang dikenal dengan istilah Marker Stone yang terlindung oleh kaca, banyak pengunjung bisa jatuh bersimpuh di depannya. Itulah tempat yang dipercaya menjadi titik akurat kelahiran Sang Buddha Siddharta Gautama.

Suara sayup genta-genta kecil yang berdenting tertiup angin, juga suara bacaan sutra yang disenandungkan di bawah rimbun pohon Boddhi di luar kuil, menambah suasana sakral di Marker Stone yang letaknya tak jauh dari pintu keluar. Bahkan setelah dua setengah millenium, kesakralan tempat itu tetap masih terasa kuat.

A Monk under a Boddhi Tree

Sebagai non-Buddhist yang bisa sampai di tempat itu, saya merasakan energi yang begitu besar melingkupi tempat itu, membuat rambut halus di sekujur tubuh meremang dan perasaan dari dalam menggelegak keluar. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada saya sebelum ini, Berbagai rasa campur aduk, suka cita, bahagia, keharuan yang dalam silih berganti dengan rasa syukur yang berlimpah, semuanya berlangsung dalam waktu singkat membuat diri ini rasanya akan meledak. Tetapi mengenal diri yang lemah ini, saya harus segera melipir keluar mencegah tangis menjadi tersedu dalam sukacita yang dalam.

Lalu melengkapi keluarbiasaan di tempat suci itu, sebuah khata, -selendang sutra putih pembawa berkah-, yang didapat dari seorang biksu di bawah Pohon Boddhi melingkari leher saya. Dengan khata yang melingkar leher, saya meninggalkan Lumbini masih dengan berbagai rasa dari bersyukur, terpesona, bahagia, haru, merasa beruntung hingga rasa sedikit tak percaya mengalaminya, atas semua kebaikan Sang Pemilik Semesta.


Kemudian bertahun-tahun setelah perjalanan ke Lumbini itu, saya akhirnya berkesempatan melakukan perjalanan ibadah umroh ke Makkah dan Madinah yang tentu saja juga meluluhlantakkan rasa dalam jiwa. Rasanya setiap detiknya memiliki kenangan tersendiri, bagaimana saya bisa menjejakkan kaki sendiri, berdiri dengan tubuh sendiri, bersimpuh lalu bersujud meletakkan kening di masjid Nabi dan juga di hadapan Ka’bah. Seperti kata teman-teman saya yang telah melakukan perjalanan serupa terlebih dahulu, hanya ibadah yang ada dalam pikiran, rasanya ingin bermanja-manja selamanya dalam Kasih SayangNya. Bahkan bangun selepas tengah malam lalu berjalan ke arah Masjid pun dilakukan dengan sukacita. Tak berat sekalipun melangkahkan kaki, bertafakur, melangitkan doa dan pujian serta bersyukur. Bahkan di siang hari, saat matahari terik memanggang bumi, tempat-tempat bersujud dan berdoa itu tetaplah nyaman. Payung-payung terkembang untuk melindungi mereka dari terik matahari, karpet-karpet yang tergelar, bahkan mesin-mesin pendingin udara yang menyemburkan udara sejuk untuk kenyamanan ibadah.

Semua yang menyenangkan itu membuat jatuh tersungkur dalam syukur saat mengingat dan membayangkan berabad-abad lalu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga serta sahabat-sahabatnya melakukan perjuangan Islam yang sangat tidak mudah, dengan kondisi alam di Jazirah Arab yang tak bersahabat serta budaya setempat yang tidak kondusif. Dan membandingkan dengan kenyamanan serta semua yang membuat haru biru di tempat saya bersimpuh dan bersujud, bagaimana mungkin saya mengeluh? Saya tak bisa lain kecuali membiarkan airmata bahagia yang terus turun membasahi pipi.

Dan saat itu saya melihat di sekitaran, di depan, di belakang, kiri maupun kanan, memiliki wajah yang serupa, teduh dalam kebahagiaan beribadah memujiNya. Datang dari berbagai bangsa dan warna kulit serta dari segala penjuru dunia, berbalut pakaian yang bernada sama. Bertasbih, memuji namaNya, membaca kitabNya… menikmati undangan dariNya. Rasanya tidak ada rangkaian kata yang tepat untuk mewakili ungkapan rasa yang saya alami. Takkan pernah ada, takkan pernah cukup…

Saat itu, rasa penuh anugerah yang seperti mau meledak dan mendesak terus dari dalam, setiap detiknya, setiap menitnya itu, sungguh sebuah candu, membuat rindu, yang selalu ditunggu.

Saya pun mengamini apa yang dirasakan oleh teman-teman dan kerabat yang pernah menjalankan ibadah umroh terlebih dahulu bahwa semua kebahagiaan selama berada di Makkah dan Madinah itu selalu ingin diulang. Bahagianya itu seperti orang sedang jatuh cinta, ingin selalu berada berdekatan dan merasakan terus mencintai dan dicintai. Namun berbeda dengan rasa jatuh cinta pada manusia lain yang biasa menimbulkan keegoisan berdua dengan orang yang dicintai, rasa bahagia di Makkah dan Madinah ini tidak ada rasa ingin menguasai, bahkan meningkatkan rasa berbagi dan mengikis rasa mendahulukan kepentingan diri sendiri. Mungkin rasa bahagia itu berada di tingkatan yang lebih tinggi…


Dan yang tak kalah penting di akhir tahun 2019 lalu itu, dengan susah payah saya sungguh menahan airmata bahagia saat bus meninggalkan perbatasan Jordan menuju bumi Palestina. Setelah puluhan tahun memendam impian untuk sampai ke bumi Palestina, akhirnya saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri Masjid Al Aqsho, saya berdiri di halamannya, bisa menghirup dan menghembus harum udaranya, juga beribadah di dalamnya. Bumi para Nabi. Bahkan sampai sekarang saja, setiap menuliskannya airmata saya selalu meleleh merasakan betapa besar anugerah yang saya terima. Alhamdulillah…

Jika saja saya bisa, rasanya ingin waktu berhenti agar saya bisa berlama-lama menikmati setiap detil kenangan saat berada di Bumi Palestina. Namun manusia ini serba terbatas, meski keinginan bisa liar tanpa batas. Sebisa mungkin saya merekam semua yang dirasakan berada di tempat yang dipercaya sebagai titik awal peristiwa Isra’ Mi’raj.

Tidak hanya itu, berada di Jerusalem membuat saya juga mengingat kembali kisah-kisah yang pernah didengar semasa mengenyam pendidikan di sekolah Katolik berpuluh tahun lalu. Menyusuri lorong-lorong kota tua Jerusalem tak bisa terhindar dari Via Dolorosa (jalan kesengsaraan yang diyakini dilalui oleh Yesus hingga ke Bukit Golgota). Juga, lalu lalangnya rabbi Yahudi dan banyaknya sinagoga di kota ini membuat kebahagiaan tersendiri. Lagi-lagi saya setengah percaya sedang berada di kota Jerusalem, kota yang menelurkan begitu banyak kisah di kitab-kitab suci tiga agama.

Dome of The Rock, Al Aqsho complex
Al Aqsho’s courtyard

Meskipun saya masih berangan-angan untuk mengunjungi Varanasi yang merupakan salah satu kota suci umat Hindu di India, saya tak kecil hati. Di Kathmandu, Nepal saya juga sempat mengunjungi Pashupatinath, salah satu kuil suci Hindu yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Juga mengunjungi kuil Changu Narayan di Kathmandu yang memberikan saya begitu banyak keajaiban yang membahagiakan dan tentu saja ke Muktinath, salah satu kuil Hindu yang sederhana namun menjadi salah satu yang sangat sakral.

Jika saya diberikan umur panjang, sepertinya saya masih berkeinginan untuk mengunjungi tempat-tempat suci di dunia ini. Kebahagiaan berada di tempat-tempat itu tak bisa diabaikan begitu saja. Addictive


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-47 bertema Happiness agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Yang Besar di Negeri Gajah Putih


Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Thailand, sejak dulu bahkan sampai sekarang, saya masih saja mudah terpesona dengan apa yang ditawarkan Negeri Gajah Putih itu. Tidak hanya penduduknya yang ramah dan makanannya termasuk ramah di perut saya, obyek-obyek wisatanya selalu menarik.

Masih teringat saat itu, ketika pertama kali melakukan perjalanan sebagai female solo-traveller, saya memiliki kesan teramat manis akan Wat Pho. Kuil Buddha yang di dalamnya terdapat Patung Buddha Berbaring yang amat besar itu, mempesonakan saya. Seumur-umur saya belum pernah melihat patung Buddha sebesar itu dan sebagus itu. Tak heran, saya berlama-lama di sana.

watpho
Reclining Buddha in Wat Pho
head
The Head of Buddha

Dan itulah enaknya berjalan secara independen, saya yang menentukan sendiri bagaimana dan berapa lama saya berada di sebuah tempat. Tanpa harus bergegas di tempat yang saya suka, namun saya bisa cepat pergi jika tempatnya tidak menyenangkan. Di Wat Pho, saya begitu menikmati tempat dan suasananya. Menikmati suara ritmis denting koin-koin yang dijatuhkan pengunjung ke dalam pot donasi. Rasa nyamannya benar-benar mengesankan saya. Bisa jadi karena ruangannya yang amat tinggi dan besar untuk bisa menampung patung Buddha berukuran panjang hampir 50 meter itu.

Kesan besar dan indah dari Wat Pho itu sangat menyerap dalam ingatan saya. Meskipun setelah perjalanan itu saya berkesempatan pergi ke Myanmar dan menemukan begitu banyak patung Buddha Berbaring dengan ukuran raksasa yang jauh lebih besar daripada Wat Pho, bagi saya kerennya Wat Pho masih nomor satu.

Atau karena Wat Pho saya kunjungi dalam perjalanan perdana sebagai solo-traveller? 😀 (sebab kata orang semua yang pertama kali itu selalu berkesan)

Tapi faktanya, keterpesonaan saya tak berhenti di situ. Dalam kesempatan lain ke Thailand, kali itu saya bisa ke Ayyuthaya, -bertahun-tahun setelah perjalanan pertama ke Wat Pho itu-, di sana saya terpesona di Kuil Wat Phanan Choeng Worawihan.

Saat itu, saya melakukan perjalanan perdana ke Ayyuthaya sebelum melanjutkan ke Sukhothai pada hari berikutnya. Karena tidak menginap di Ayyuthaya, saya memanfaatkan waktu semaksimal mungkin dari siang hingga malam untuk menjelajah kawasan yang pernah menjadi pusat kerajaan Thai berabad-abad lalu itu dan malamnya kembali ke stasiun kereta api untuk melanjutkan perjalanan ke Sukhothai. Baca kisahnya 3 Hari 2 Malam Bangkok – Ayyuthaya – Sukhothai sebagai cara untuk berhemat biaya penginapan.

Di dalam Wat Phanan Choeng Worawihan siang jelang sore itu, saya terpesona dengan apa yang saya saksikan di depan mata. Jika di Wat Pho terdapat Reclining Buddha yang berlapis keemasan maka di Wat Phanan Choeng Worawihan terdapat patung Buddha duduk (Seated Buddha) yang berlapis emas dan ukurannya termasuk yang salah satu terbesar di Thailand. Tidak kira-kira tingginya, hampir 20 meter! Kira-kira setinggi gedung 5 lantai. Jadi kebayang besar kuil yang menampungnya, kan?

IMG_6428
Buddha in Wat Phanan Choeng Worawihan, Ayyuthaya
IMG_6423
Buddha in Wat Phanan Choeng Worawihan, Ayyuthaya
IMG_6422
See the men

Saat itu saya bergabung dengan para Buddhist duduk di area tengah. Bukan untuk mengikuti ibadah melainkan untuk mengambil foto patung Buddha yang dipercaya merupakan salah satu patung tertua berukuran besar dari Sang Buddha yang berada di dalam bangunan tertutup. Konon patung itu dibangun pada tahun 1324 meskipun belum ada bukti yang benar-benar mendukung.

Saya mengamati patung teramat besar yang mengenakan jubah berwarna saffron itu. Bersih dan berkilau. Baru saya menyadari bahwa saat itu, patung Buddha sedang dibersihkan oleh sejumlah pria dewasa. Besarnya ukuran patung itu membuat pria-pria dewasa yang sedang membersihkan terlihat seperti anak-anak kecil. Tinggi mereka sebagai manusia dewasa terlihat masih lebih pendek daripada tinggi jari tangan Sang Buddha yang saat itu mengambil pose tangan Bhumisparsha mudra (tangan kanan menyentuh bumi). Terbayang kan, kalau tinggi orang hanya setinggi jari tangan, betapa tinggi patung Buddha di Wat Phanan Choeng Worawihan itu.

Uniknya, patung Buddha yang kini berlokasi di dekat pertemuan Sungai Chao Phraya dan Sungai Pa Sak, dipercaya penduduk lokal memiliki kisah mistis. Konon, saat negeri Burma menyerang Ayyuthaya di akhir abad-18, patung Buddha ini sempat meneteskan airmata! Mendengar kisah ini, saya tak ingin bereaksi, karena sepanjang pengetahuan saya justru urban-legend itu bertolak belakang dengan filosofi Buddha. Ah, bisa saja saya yang sotoy…

Terlepas dari kisah lokal itu, saya juga memiliki kesan lain di Wat Phanan Choeng Worawihan. Dijudesin oleh perempuan!

Jadi ceritanya, saat itu saya tak tahu apakah di sana memotret Buddha itu merupakan pelanggaran atau tidak. Seorang teman Buddhist pernah menyampaikan secara halus bahwa sebaiknya tidak dilakukan karena katanya tak akan pernah sempurna hasilnya. Tapi mengingat saat itu saya masih pejalan novice, maka suaranya masih terabaikan.

Nah, mungkin karena suara dari shutter kamera membuat seorang perempuan melihat saya dengan wajah yang teramat judes sebagai simbol: DILARANG FOTO DI SINI!!! Dasar saya masih belum puas dengan besarnya Sang Buddha, dengan cueknya saya melanjutkan foto sekali dua kali. Setelah itu, tanpa sadar saya menoleh lagi kepada perempuan itu. Duh, terlihat seperti ada api neraka di wajahnya. Kalau saja di kuil itu boleh melabrak dengan berapi-api, mungkin dia akan melabrak saya seperti naga raksasa yang menyemburkan api. Syereeemmm!

Meskipun saat itu saya tak menyadari kesalahan, untuk menjaga ketentraman batin dia dan saya, lebih baik saya keluar dari kuil. Lagi pula saya tak ingin mengganggu ibadah mereka. Yang jelas, pengalaman dijudesin oleh orang lain itu sangat membekas, membuat saya semakin bertindak hati-hati di rumah ibadah lain.

Selepas menjelajah Ayyuthaya, dengan kereta api saya merambah lebih Utara menuju Sukhothai, tempat yang dipercaya pemerintahan Di kawasan bersejarah itu saya menyewa sepeda, sebuah keputusan yang sepertinya tidak tepat. Meskipun tidak seluas Angkor Archaelogical Park, bagi saya mengelilingi kawasan di Sukhothai dengan menggowes sepeda itu cukup membuat saya gempor. Sok tahu siih…

Setelah satu persatu bangunan candi di Sukhothai itu didatangi, sampai juga akhirnya saya di Wat Si Chum, salah satu landmark-nya Sukhothai. Dan seperti biasa, saya terpesona dengan keluarbiasaan yang ditawarkan Wat Si Chum ini.

IMG_6721
Wat Si Chum, Sukhothai

Jika di Wat Phanan Choeng Worawihan, patung Buddha berlapis emas, di Wat Si Chum ini patung Buddha-nya dibiarkan apa adanya. Tetapi bukan berarti tak terawat. Bahkan dalam kondisi apa-adanya, tanpa lapis emas, Patung Buddha yang dikenal dengan Phra Achana ini sudah menjadi landmark dan tempat yang harus dikunjungi saat ke Sukhothai. Ukurannya tak beda jauh dengan Wat Phanan Choeng Worawihan sekitar 15 meter, tetapi tetap saja besaaaaarrrr!

Wat Si Chum merupakan salah satu kuil terbesar yang dipercaya dibangun pada abad-13 serta konon, paling misterius di Sukhothai. Patung Buddha Phra Achana di tempat ini dikelilingi empat dinding tinggi 15 meter dalam jarak yang sempit yang menyerupai sebuah mandapa. Konon, mandapa itu dulunya tertutup atap meskipun tak dapat dipastikan bentuknya.

Selain ukurannya yang besar, masih ada dua hal yang misterius dari Wat Si Chum ini. Konon, di bawah kuil ini ditemukan sebuah lorong bawah tanah yang ujungnya entah dimana karena aksesnya ditutup demi perlindungan terhadap kawasan bersejarah. Selain itu, ada tangga-tangga sempit mengarah ke atas yang tujuan penggunaannya juga belum diketahui. Sayangnya semua akses itu tertutup untuk publik. Biar para ahli arkaeologi yang mempelajari dan mencarinya, sebagai pejalan saya hanya bisa menikmati keindahan dan keluarbiasaannya.

Jelang sore, pelan-pelan saya menggowes sepeda sewaan untuk mengembalikannya lalu kembali ke stasiun kereta di Phitsanulok. Apa yang saya saksikan di Bangkok, Ayyuthaya dan Sukhothai, memiliki kemiripan. Penduduk Negeri Gajah Putih ini tak segan mendirikan bangunan dengan patung Buddha dengan ukuran yang teramat besar, tidak beda dengan beberapa negeri Buddha lain di Asia. Kata teman saya, semakin besar ungkapan rasa terima kasih kepada Sang Buddha, maka semakin besar dan bernilai pula ia persembahkan.

Mendadak sebuah kesadaran membukakan pikiran. Bagaimana dengan saya? Sebagai ungkapan terima kasih dan syukur, seberapa besar yang saya persembahkan kepada Sang Pemberi Hidup?

 


This post was written in response to the weekly challenge from Celina’s Blog, Srei’s Notes, Cerita Riyanti, and also A Rhyme In My Heart, -similar to the old Weekly Photo Challenge from WordPress-, which is the 29th week of 2020 has the theme of  Big, so we are encouraged ourselves to write articles weekly. If you are interested to take part in this challenge, we welcome you… and of course we will be very happy!

Nepal – Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini


Every morning we are born again. What we do today is what matters most – Buddha

Mengutip selarik kata bijaksana dari Sang Buddha di tempat kelahirannya membuat pikiran saya bekerja cukup dalam sambil melangkah meninggalkan kamar menuju lobby untuk check-out. Walaupun hanya bisa sepenggal pagi hari berada di Lumbini, saya akan memanfaatkan kesempatan baik ini semaksimal mungkin untuk berkeliling di kawasan Monastik Lumbini dan tentu saja mengunjungi Kuil Mayadevi, tempat kelahiran Sang Buddha karena setiap detik yang begitu berharga.

Setelah menitipkan ransel di hotel, saya berjalan kaki menuju gerbang Barat, tempat Santa menunggu. Ya memang masih ada Santa hari ini karena kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang sewa mobil sampai ke Kathmandu yang tentu saja disambut Santa dengan senyum yang sangat lebar. Sambil berjalan saya menanyakan kabar istirahat malamnya yang langsung dipotong sambil menggerutu, banyak nyamuk di Terai. Saya terbahak mengingat gurauan yang absurd, Terai bukanlah wilayah Nepal…

Santa menghentikan langkah saya dan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, ia menawar sebuah rickshaw serupa becak untuk berkeliling kawasan monastik Lumbini. Inisiatifnya ternyata tepat, dalam waktu singkat jika harus berkeliling di kawasan itu dengan berjalan kaki, yang akan didapat hanya kelelahan tanpa mengetahui tempat-tempat bagus di kawasan ini.

Gerah udara pagi Terai tetap terasa walaupun saya hanya duduk manis di becak ala Nepal ini. Saya menyaksikan sendiri betapa kawasan seluas ratusan hektar yang dikelilingi oleh jalan Vishnupura ini merupakan kawasan internasional. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha pastilah memiliki vihara di kawasan ini. Dan bentuknya? Pasti disesuaikan dengan ciri khas dari Negara-negara itu. Sebut saja Negara-negaranya, pasti ada…

Becak ala Nepal itu melewati jalan ‘tikus’ untuk sampai ke tengah kawasan melewati petak-petak tanah yang tak terpelihara. Ada sejumput rasa prihatin merambat di dalam hati. Untuk sebuah kawasan yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah dunia dan sedikit banyak telah memberi warna perdamaian pada kemanusiaan, kawasan Lumbini ini sepertinya masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Entah apa kabarnya dengan mega proyek pengembangan kawasan Lumbini yang telah di-gong-kan hampir empat puluh tahun lalu. Bahkan pencatatan Lumbini sebagai kawasan UNESCO World Heritage Site di tahun 1997 juga belum cukup mampu mengangkat kawasan itu nyaman terlihat di mata.

Dari balik rimbunnya petak-petak yang terabaikan itu saya sempat melihat puncak keemasan stupa Myanmar yang menyerupai Pagoda Shwedagon di Yangon, yang belakangan saya ketahui bernama Pagoda Lokamani. Tanpa masuk ke dalamnya, saya bisa membayangkan vihara Myanmar itu seperti bunga lotus yang hidup di air yang keruh.

From the mud of adversity grows the lotus of joy – Carolyn Marsden

Tepat setelah pagar batas dari vihara Myanmar itu, agak menjorok dari pinggir jalan saya menangkap dinding pagar keliling dengan ciri khas Kamboja seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan candi di kompleks Angkor. Terlihat sepertinya masih dalam tahap penyelesaian akhir, ditambah dengan keberadaannya yang agak tersembunyi diantara petak-petak tanah yang terabaikan, membuat kompleks vihara Kamboja semakin tak terlihat. Entah mengapa pikiran saya melayang pada lembaran-lembaran uang yang tak kunjung terbang ke Lumbini.

The Royal Thai Monastery

Akhirnya becak à la Nepal berbelok memasuki kawasan vihara Thailand yang tentu saja didukung secara penuh oleh pemerintah Kerajaan Thailand. Walaupun bentuknya tak serupa, namun karena warna putihnya yang mencolok mata, bangunan vihara ini mengingatkan saya pada Wat Rong Khun (White Temple) di Chiang Rai. Pagi itu, bangunan vihara berlapis marmer berwarna putih terlihat sangat kontras dengan langit biru yang melatarinya. Walaupun ketika mendekat, tertangkap pula di mata saya beberapa bagian yang perlu direnovasi lagi. Ah, tetapi keadaan itu tak mengganggu kecantikan bangunan secara keseluruhan.

Royal Thai Monastery, Lumbini
Royal Thai Monastery, Lumbini

Becak pun terus dikayuh ke Utara menyusuri kolam buatan yang membelah kawasan Monastik menjadi dua bagian. Bagian Timur dari Kawasan Monastik Lumbini adalah vihara-vihara Buddha yang beraliran Theravada dan bagian Barat dari kolam buatan diidirikan vihara-vihara Buddha yang beraliran Mahayana dan Vajrayana.

Dan tepat di bagian Utara, -setelah menyeberang jalan Taulihawa-, terdapat World Peace Pagoda yang melengkapi World Peace Stupa (Shanti Stupa) yang ada di Pokhara. Keduanya, -merupakan bagian dari World Peace Pagoda di seluruh dunia-, didukung penuh oleh Nipponzan – Myohoji, salah satu aliran Buddha dari Jepang yang juga mendukung aliran anti kekerasan dari Mahatma Gandhi.

Setelah berputar di ujung kolam bagian Utara, saya memasuki kawasan vihara dengan aliran Mahayana. Terlihat bangunan cantik berbentuk stupa besar bergaya oriental yang sayangnya tidak diketahui namanya. Di dekatnya terdapat halaman yang tertata rapi namun sayangnya lagi-lagi tidak ada informasi asal Negaranya, walaupun orang lokal mengatakan vihara itu berasal dari Perancis.

Sebelum memasuki vihara yang ada disebelahnya, saya menyempatkan diri untuk menikmati kolam buatan yang terasa meneduhkan udara Terai yang gerah. Vihara modern di seberang kolam tampak seperti dipeluk kabut. Menenangkan sekali.

A Monastery near the pond, Lumbini
A Monastery near the pond, Lumbini

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Setelah melepas alas kaki, saya memasuki vihara yang didukung oleh Yayasan Tara dari Jerman, sehingga public sering menyebutnya Vihara Jerman (rasanya saya hampir saja tak percaya bahwa umat Buddhist di Jerman cukup banyak hingga dapat mendanai pendirian dan pemeliharaan vihara yang tak kecil). Bangunan ini dipelihara dengan sangat cantik dengan taman-taman yang tertata dan benda-benda yang berhubungan dengan ritual diletakkan di seluruh penjuru arah sebagai penguat tata letak. Jika saja pengunjung disana dapat lebih menahan diri tak bersuara, keheningan suasana ditempat ini membuat suasana meditatif kian terasa. Tak lupa di depan bangunan utama terdapat kolam yang ditengahnya terdapat Buddha Kecil, dengan tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah (bumi).

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa
The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Pada ruang dalamnya penuh dengan hiasan kehidupan Buddha yang dilukis baik pada dinding maupun pada langit-langitnya dengan warna-warna terang seperti merah dan kuning keemasan selain warna-warna biru muda yang meneduhkan.

Sekeluarnya dari vihara Jerman, saya menyusuri kolam buatan yang airnya sangat tenang sehingga menampilkan refleksi dari bangunan yang berada di pinggir kolam. Melewati sebuah bangunan bergaya Oriental dengan pagar tertutup tinggi, tak terasa langkah kaki membawa ke sebuah gedung berwarna putih pucat, yang sayangnya lagi-lagi tak memiliki petunjuk yang jelas. Sekelompok orang berwajah Hindustan tampak keluar dari gedung itu, entah usai beribadah atau sekedar melihat-lihat.

Monasteries near the ponc
Monasteries near the pond

Melewati sebuah gedung megah yang dari pagar hanya terlihat stupa besar dengan ciri khas Nepal, -memiliki mata seperti Bouddhanath dan Swayambhunath-, sang pengemudi becak ala Nepal telah menunggu kami untuk dikayuh kembali kearah vihara Zhong Hua dari China.

Vihara Zhong Hua

Saya melepas alas kaki untuk memasuki vihara berarsitektur China yang didominasi dengan warna merah ini. Dibandingkan dengan kuil atau vihara yang saya lihat sebelumnya, Vihara Zhong Hua ini sangat megah dan luas. Empat patung Dewa penjaga tampak gagah menghias area gerbang. Halaman bagian dalam tertata cantik yang mengarah ke gedung utama dengan Buddha berlapis emas yang duduk di altar. Secara keseluruhan seluruh bangunan yang ada di kompleks vihara ini dihubungkan dengan lorong terbuka beratap dengan pemandangan halaman taman yang cantik.

Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini
Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini

Vihara Korea

Tepat di depan Vihara Zhong Hua dari China berdirilah vihara Korea yang pada saat saya berkunjung sedang direnovasi. Melihat bangunannya, saya sampai berpikir di Lumbini tempat kelahiran Buddha yang mengajarkan kerendahhatian, entah kenapa saya merasa tetap saja ada upaya berlomba untuk menunjukkan vihara yang terbesar dan termegah. Jika sebuah negara sudah membangun vihara yang besar, ternyata ada negara lain yang membangunnya lebih besar, lebih megah. Lomba kedigdayaan? Entah…

Korean Monastery, Lumbini - under renovation
Korean Monastery, Lumbini – under renovation

Saya kembali berbecak menyusuri kanal di tengah untuk menuju Kuil Mayadevi, sejatinya tempat kelahiran Sang Buddha. Pengemudi becak ala Nepal itu menyelesaikan pekerjaannya di ujung kanal tempat nyalanya Api Perdamaian Abadi, Eternal Peace Flame, yang dinyalakan oleh Pangeran Gyanendra Bir Bikram Shah di tahun 1986. Dari posisi Api Perdamaian Abadi itu, saya melihat lurus ke Utara, terlihat samar warna putih Stupa dari World Peace Pagoda.

Berbalik badan menghadap arah Mayadevi temple, terhampar di depan mata jalan pelintasan panjang seakan membelah udara panas wilayah Terai. Terbayang gerah dipanggang oleh udara, tetapi sungguh dapat dimengerti, inilah wilayah yang begitu berharga bagi dunia, sejatinya seseorang yang telah mengubah warna dunia lahir di wilayah ini hingga tentu saja saya bersedia berjalan kaki untuk mencapainya walau panas sekalipun.

Sekitar 100 meter berjalan saya tiba di sebuah bundaran kecil yang ditengahnya terdapat patung Buddha kecil, dengan telunjuk kanan mengarah ke langit dan telunjuk kiri mengarah ke bumi, seperti kisah yang tertulis pada sutra mengenai tujuh langkah yang dilakukan oleh Buddha setelah kelahirannya.

Masih berselimutkan gerahnya udara pagi Terai, kaki terus melangkah menuju Mayadevi Temple, seakan mengetahui akan adanya keajaiban lain yang telah menunggu disana…  (baca kisahnya  Khata – Syal Putih dari Lumbini)

*

Ketinggalan cerita? coba cek disini – Rangkuman dan series cerita perjalanan di Nepal

WPC – Shine Through A Stupa


A man does the rite of circumambulating at Borobudur
A man did a rite of circumambulating on early morning at Borobudur

One early morning in Borobudur temple…

Sunrise, although it’s cloudy, was over and I got the different angle of morning photos in Borobudur. While the others raced to take sunrise photos in Borobudur, I just captured a Buddha statue, which is facing East as a silhouette in the foreground.

Then I was wandering around on the first level of Arupadhatu, -one of the three symbols of realms in Buddhist cosmology, which is representing the head of the Buddha-. I could not go up higher to the stupas circular level because at the time I visited the three top levels of Borobudur were restricted from the visitors. Those levels were being cleansed and maintained from the volcanic ashes of Mt. Merapi. At least I knew the dangerous impact of the ashes to world’s monument so I stayed on the allowed levels, but two irresponsible men with DSLR and great lenses opted to win their ego to have better sunrise photo from the restricted area!

But forget about the careless men…

I was waiting for a momentum I saw on a photo. The moment when the sun shines through a hole of the stupa.

While waiting, I saw a man did the rite to circumambulate with hands in front of the chest. It’s a common practice to circumambulate the big main stupa on the top level of Borobudur, but since it was restricted at that time, he did it on the allowed level. It would take longer time to make a round, but he did it sincerely. I did not know whether he is a Buddhist or not but he is one the people who are keen to keep the world monument in tact for generations.

And I finally got the sunshine through the stupa with the man who was circumambulating in frame.

Buddha Statue facing East
Buddha Statue facing East

In response to the Daily Post’s Weekly Photo Challenge – Shine

Nepal: Khata – Syal Putih dari Lumbini


Pagi belum terlalu tinggi saat rickshaw serupa becak yang saya tumpangi berhenti di batas wilayah yang diperbolehkan dekat Api Perdamaian Abadi. Begitu turun, terhampar di depan mata trotoar panjang seakan membelah udara panas wilayah Terai. Terbayang gerah dipanggang oleh udara, tetapi sungguh dapat dimengerti, inilah wilayah yang begitu berharga bagi dunia, -tahun 1997 UNESCO menetapkan sebagai World Heritage Site– dan tentu saja saya bersedia berjalan kaki untuk mencapainya walau panas sekalipun.

Lima ratus meter berjalan kaki dalam udara panas melewati Peace Garden, akhirnya saya sampai di gerbang utama Taman Lumbini Yang Sakral, -pembuka jalan menuju Kuil Mayadevi-, lokasi yang dipercaya sebagai tempat kelahiran Sang Buddha Gautama. Adanya CCTV dan metal detector yang harus dilalui oleh semua pengunjung seakan memastikan bahwa Lumbini memang bukan tempat wisata biasa. Bahkan batas suci tempat ini sudah dimulai sejak pintu gerbang dan sungguh saya tak keberatan berjalan tanpa alas kaki seperti pengunjung lainnya dan meninggalkan sepatu di sebuah rak yang tersedia di sebelah kanan gerbang.

Selepas metal detector itu, saya pelan melanjutkan langkah dalam diam memasuki  Taman Lumbini yang luasnya tak kurang dari 3 hektar itu. Hati saya menghangat, karena akhirnya bisa menjejak di tempat sakral ini. Saya mengingat seluruh perjalanan ke negara-negara yang mayoritas penduduknya mengikuti ajaran Buddha dan kini saya berada di tempat kelahiran Sang Buddha itu sendiri.

Bagi saya yang non Buddhist, menjejak di tempat kelahiran Sang Buddha terasa begitu monumental, begitu personal. Bukan pada sisi kebaikan-kebaikan hidup yang senantiasa digaungkan, tetapi lebih pada kenangan indah semasa kecil yang mewujud, dari sebuah keingintahuan atas imajinasi  cerita dari ayah yang berkunjung ke negara-negara yang penduduknya kebanyakan beragama Buddha, melihat Buddha dalam botol souvenir, dalam foto kenang-kenangan, dalam stupa Borobudur dan relief lainnya sejak masa kanak-kanak. Entah kenapa saya kecil senantiasa merasakan wajah damai Buddha dan rasa damai itu tetap terbawa dalam perjalanan hidup. Dan kini  saya menjejak di tempat lahirnya bersama semua kenangan semasa kecil yang masih murni, terlepas dari semua topeng diri…

Taman Suci Lumbini ini tertata apik, hamparan luas rerumputan hijau dengan pagar tanaman berwarna kuning dengan satu atau dua pohon rindang di tengahnya berada di kanan kiri jalan setapak menuju Kuil Mayadevi.

Mayadevi Temple
Mayadevi Temple

Dan di hadapan mata berdiri Kuil Mayadevi itu sendiri, sebuah bangunan sederhana nyaris tanpa hiasan, tak mencerminkan kemegahan. Bangunan yang hanya berupa kotak berjendela di bagian atas ini merupakan bangunan yang relatif baru dibandingkan dengan tumpukan melingkar dari batubata yang menyerupai stupa yang ada di sekitarnya. Siapa yang bisa menduga bangunan sederhana ini melindungi sesuatu yang sakral di dalamnya, yang dipercaya dan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan tempat kelahiran Sang Buddha lebih dari 2600 tahun yang lalu?

Melangkah pelan dengan kaki telanjang menikmati atmosfer luar biasa, saya merasakan aura yang tak terjelaskan menyelimuti tempat ini, seperti rasa kasih dan damai yang sangat besar. Dan seakan menjelaskan apa yang saya rasakan, sebuah tiang lampu penerang menggantungkan kata-kata Sang Buddha:

Hatred never ceases by hatred, Hatred ceases through love. This is an unalterable law – Buddha

Welas asih! Kecintaan pada semua makhluk, itulah yang menyelimuti tempat ini.

Langkah kaki membawa saya semakin dekat dengan Kuil Mayadevi. Melihat kamera yang saya pegang dan seakan memastikan gambar-gambar larangan yang ada di dekatnya, seorang petugas di depan pintu memberitahukan bahwa tidak boleh memotret di dalam kuil. Saya tidak mengeluh, justru bersyukur karena lebih banyak pengelola tempat suci lain yang memilih untuk melarang penganut agama lain untuk masuk. Disini saya bebas masuk dan tentu saja itu sebuah kemewahan.

Satu langkah melewati pintu membuat saya berdiri dalam diam. Bagi yang mengharapkan sesuatu yang megah pasti kecewa karena kenyataannya di depan mata terhampar tempat ekskavasi arkeologis, sisa-sisa tapak bangunan dalam galian yang geometris berbentuk persegi-persegi dengan lantai kayu selebar 1.5 meter yang mengelilingi pinggiran tiga dinding Kuil Mayadewi itu. Praktis tidak ada apa-apa, tidak ada Buddha, tidak ada kemegahan. Yang terlihat hanya batu bata dan tanah.

Dalam bangunan ini sepertinya hanya bisa dilihat dengan hati… dengan rasa… dengan Cinta. Sesuatu yang sangat intangible.

Berjalan perlahan di atas lantai kayu itu, menikmati setiap langkah, mencoba merekam sebaik-baiknya semua rasa yang ada.

Jika bisa saya ingin menempelkan telinga pada bata-bata yang bicara, atau bahkan merebah raga di lubang tanah galian yang terbuka, mencoba mendengar cerita mereka tentang suka duka menjadi mata dan telinga pada masa dunia menerima kelahiran Sang Buddha. Sudah dua jelang tiga milenia mereka terdiam dalam bahagia, menyembunyikan makna bagi yang tak punya rasa. Dan hanya ada sebuah tanya pada mereka, masih samakah doa manusia mengharap damai dan sejahtera bagi dunia?

Tak jelas apa saya harus menangis atau bahagia, karena bisa mengayun langkah di kuil milik dunia hingga bisa menatap dengan mata kepala sebuah tempat pasti kelahiran Sang Buddha, dia yang mampu mengguncang seisi dunia. Sungguh saya tak percaya. Namun airmata di pelupuk mata membuat percaya semua nyata adanya. Tepat di hadapan saya, di titik itu, disanalah tempatnya.

Duhai dinding bata dan tanah-tanah yang terbuka, betapa bahagia menjadi saksi utama sebuah peristiwa milik dunia.

Benar-benar sebuah tempat yang luar biasa, saya jadi teringat akan sebuah quote:

A mystery is something that can’t be explained but can only be experienced

Beruntunglah saya di pintu masuk telah melepas keterikatan dengan kamera sehingga saya benar-benar bisa menikmati setiap momen rasa yang ada.

Jelang akhir perjalanan di atas lantai kayu saya sampai pada lokasi pasti Sang Buddha dilahirkan, yang ditandai oleh sebuah batu yang dikenal sebagai Marker Stone. Penanda dari Batu ini diberi penerangan dan dilindungi kaca.

Bersama kenangan masa kecil yang mewujud, saya memandang Marker Stone dengan berbagai rasa. Sungguh saya bisa memahami para Biksu dan pengunjung Buddhist yang langsung bersimpuh di dekat Marker Stone karena apa yang saya rasa mungkin tak beda jauh dengan mereka. Ada keagungan, kemuliaan dan kesederhanaan yang begitu terasa yang mampu menggetarkan kekuatan kaki.

Dimana-mana sama, di semua tempat suci, tempat-tempat kesakralan pernah terjadi, mampu membuyarkan isi hati, menggetarkan kaki. Cerita-cerita yang sama, dari ajaran maupun tradisi, ketika kemuliaan hadir, manusia tak lagi mampu berdiri. Dan buat saya hingga kini, tiap  dahi bersentuh bumi

Melengkapi Marker Stone, di dinding bagian atas terdapat Nativity Sculpture, relief abad 11 dari batu yang dipasang oleh Raja Malla, yang menggambarkan kelahiran Sang Buddha dengan tangan kanan Permaisuri Mayadevi, -ibu dari Siddharta Gautama-, memegang erat cabang pohon Shorea (sejenis Meranti).

Inside Mayadevi temple – Nativity Sculpture & Birth Marker Stone Picture creditted to 3(dot)bp(dot)blogspot(dot)

Picture creditted to 3(dot)bp(dot)blogspot(dot)com

Rasanya tak rela harus cepat meninggalkan Marker Stone dan Nativity Sculpture, tetapi tak mungkin menguasai tempat itu karena ada rombongan di belakang yang ingin menyaksikan sambil melantunkan mantra-mantra suci. Sudah sewajarnya saya memberi tempat kepada yang lebih berhak. Sambil melangkah keluar saya menyentuh bata terdekat. Terima kasih atas cerita-cerita tak terucapkan itu.

Di depan  pintu keluar terhampar reruntuhan bangunan dari batu bata, ciri khas kuil berabad lalu. Ada yang melingkar membentuk stupa yang kini tinggal dasarnya saja. Namun tak dapat dipungkiri Lumbini memang menjadi tempat ziarah sejak lama. Bahkan di tahun  2013 di bawah galian dalam Kuil Mayadevi, berdasarkan penelitian ditemukan jejak keberadaan kuil dari kayu sebagai tempat ziarah yang lebih tua dari kelahiran Sang Buddha sendiri.

Melewati ratusan kain-kain bendera Buddha dan bendera doa berbagai ukuran yang terikat pada tali, saya melipir ke sisi Barat untuk melihat Pillar of Ashoka, salah satu dari sekian banyak pilar yang didirikan oleh Raja Ashoka di abad 2 SM di sekeliling India hingga Pakistan dan Afghanistan sekarang, namun kini hanya tinggal belasan. Pilar Ashoka yang ada di Lumbini, -yang serial TVnya saat ini bisa disaksikan di Indonesia-, didirikan tahun 249 SM untuk menandakan tempat kelahiran Sang Buddha, sesuai inskripsi yang tertulis.

King Piyadasi (Asoka), the beloved of the Gods, in the twentieth year of his reign, himself made a royal visit. Sakyamuni Buddha was born here, therefore the birth spot marker stone was worshipped and a stone pillar was erected. The lord having been born here, the tax of the Lumbini village was reduced to the eight part (only)

Saya melihat Pilar Ashoka yang ada di depan mata dan membayangkan patung kuda yang seharusnya ada di puncak pilar tetapi kini telah hancur  terkena petir. Dua millenia lebih pilar ini bertahan.

Pillar of Ashoka
Pillar of Ashoka

Kemudian kaki membawa saya menuju kolam suci tak jauh dari Kuil Mayadevi yang disebut Puskarni, yang merupakan tempat Permaisuri Maya Devi melakukan upacara suci mandi sebelum proses kelahiran dan juga tempat bayi Siddharta Gautama melakukan upacara suci mandi pertama kalinya.

Air! Tirta! Unsur untuk memurnikan, membersihkan, untuk kembali suci di ajaran dan tradisi manapun

Puskarni, The Holy Pond
Puskarni, The Holy Pond

Tak jauh dari Puskarni ada rombongan yang sedang melantunkan doa dan membaca sutra di tengah ketenangan suasana taman yang membuat tempat ini begitu syahdu. Air dari kolam suci Puskarni terasa mendinginkan udara. Di tempat lain seorang Bhiksu sedang membaca Sutra dengan penuh kedamaian di bawah kerindangan pohon Boddhi. Bahkan kera-kera juga tak ingin kehilangan kesempatan menikmati ketenangan dan kedamaian di atas reruntuhan kuil.

Hanya berjarak selemparan batu dari kolam Puskarni, saya rehat sejenak sambil duduk di bawah pohon Boddhi yang rindang. Dari pohon Boddhi ini terhubung ke beberapa tempat dengan tali-tali yang penuh dengan ikatan berbagai bendera doa dan bendera Buddha. Seorang Bhiksu tampak memimpin upacara doa di bawah pohon dan saya yang duduk tak jauh darinya, juga menyaksikan prosesi itu.

Berada di bawah pohon Boddhi yang dianggap suci di tempat kelahiran Buddha, sekali lagi saya teringat teman-teman Buddhist yang saya kenal yang ada di Indonesia dan di negara-negara yang pernah saya kunjungi. Saya menelusuri ruang-ruang di hati yang berisikan banyak nama, terutama yang Buddhist, agar mereka bisa berkesempatan ke tempat ini dalam hidupnya, juga nama-nama yang selalu dekat di hati, dimana pun mereka berada agar selalu penuh kedamaian seperti situasi damai yang terasa di taman ini.

Rasanya sesak dan haru mendapati saya bisa menjejak di tempat ini, di bawah pohon Boddhi di Lumbini, di tempat kelahiran Sang Buddha. Seperti yang saya ketahui dari Wiki, dikatakan dalam Parinibbana Sutta, Sang Buddha sendiri mengatakan untuk mengunjungi Lumbini, sebagai salah satu dari empat tempat yang perlu dikunjungi oleh setiap Buddhist dalam masa hidupnya (tempat kelahirannya di Lumbini, tempat pencerahannya di Bodh Gaya, tempat pertama kali berkhotbah di Sarnath dan tempat mangkatnya di Kushinagar).

Waktu beranjak siang, terpikir entah kapan saya bisa kembali ke sini lagi. Melihat kondisi setempat saat ini yang menurut saya tak sebanding dengan sejarah yang sedemikian bermaknanya bagi dunia, tak mungkin saya berlalu begitu saja seperti tak tahu terima kasih pada apa yang telah banyak diberikan. Setelah meletakkan sedikit dana di tempatnya, saya beranjak melangkah tetapi saat itulah Biksu berwajah damai itu sambil tersenyum memberikan saya sebuah syal putih. Dalam sekejap saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Seorang kawan memberi tanda pada saya untuk menerima. Sambil menangkupkan tangan di depan dada, saya berbicara lirih Dhan’yabad (terima kasih). Sang Bhiksu tak putus senyumnya melihat syal yang ia berikan melingkar pada leher saya.

The White Khata I got
The White Khata I got

Khata! Saya mendapat sebuah khata berwarna putih dari seorang Bhiksu di bawah pohon Boddhi di Lumbini!

Sekali lagi, seperti juga di kuil utama Changu Narayan ketika Hariboddhini Ekadashi yang mendapat kalungan bunga, di tempat ini, di bawah pohon Boddhi di tempat lahirnya Sang Buddha, saya mendapat khata, syal berwarna putih dari seorang Bhiksu. Keajaiban ini terjadi lagi, saya luar biasa terharu hingga tak mampu berkata-kata, bersyukur atas karunia yang tak habis-habis sambil berbisik, semoga semua makhluk berbahagia…

WPC – The Beauty Might Be Beneath Your Feet


I was on the way visiting Mendut when I saw the monastery adjacent to the temple was so tempting. The gate was open. A beautiful pond at front with lotus flowers and fishes seemed welcoming me. Quiet atmosphere. Hmm.. what a beautiful morning!

I walked slowly and felt the peaceful atmosphere there.

A monk in yellow robe was watering the plants in the backyard. Looks simple, but I know he was in meditative process while doing his work.

I walked around the pond at front. I cannot help myself not to take photo of the lotus flower near the feet of a statue. Suddenly it came to my mind. The overlooked beauty of present moment…

Beneath Your Feet
Beneath Your Feet

Most of us spend so much time to set goals, further and higher, always looking forwards to what we want to achieve and finally lost in perspective.

As a matter of fact, we need to appreciate what we have now, how far we have come to be at this point, to get all the great things of goals we have achieved. And perhaps the goals that we set might beautifully be there beneath our own feet at present moment.

***

Whenever you find yourself doubting how far you can go, just remember how far you have come

Remember everything you have faced, all the battles you have won, and all the fears you have overcome

***

In response to Weekly Photo Challenge with the Theme – Beneath Your Feet