Melihat Pelangi seperti melihat bangsa kita sendiri, banyak warnanya dan indah

Sebagai anak yang terlahir dari keluarga berdarah majemuk, sejak kecil saya selalu terdiam kebingungan ketika ditanya orang lain, -yang saat itu selalu orang dewasa-, “aslinya dari mana?”. Errrr… yang bertanya mungkin basa-basi namun biasanya hanya menginginkan satu jawaban pendek saja, misalnya, Jawa, Minang, Batak, Bali dan seterusnya. Sesungguhnya saya tak pernah yakin, apakah ia menginginkan jawaban saya yang panjang lebar.
Karena saya selalu harus memulainya begini…
Ibu dari Papa saya berasal dari Sunda, itu pun tidak seratus persen Sunda. Lalu, Papa dari Papa saya berasal dari Jawa Tengah, itu pun tidak seratus persen asli Jawa. Papa saya sendiri lahir di Palembang. Jadi mungkin dari Papa, saya bisa dibilang ada darah Jawa dan Sunda. Itu dari Papa.
Nah dari jalur Mama, ayahnya dari Minang, itu pun tidak murni seratus persen Minang. Kemudian ibu dari Mama saya, ada darah Belanda, Ambon, Cina, Arab dan entah apa lagi. Mama sendiri dilahirkan di kota kecil di Papua. Jadi, kalau dari keturunan Mama, saya bisa dibilang ada darah Minang, Ambon, Belanda, Cina.
Saya sendiri lahir dan dibesarkan di Jakarta dan tidak bisa satu pun bahasa daerah yang darahnya ada dalam tubuh saya. Mengerti mungkin bisa meskipun sedikit, tetapi jangan disuruh bicara ya.
Jadi bila ada yang menanyakan asal-usul, saya selalu menjawab, Saya Indonesia!
Karena memenangkan salah satu suku, rasanya seperti mengkhianati darah suku lain yang lebih banyak berdiam di dalam saya.
Dan selalu terjadi keseruan ketika kumpul keluarga.
Karena keluarga dariĀ garis keturunan Mama bisa dibilang lebih akrab satu sama lain, tak heran saya bisa berlama-lama bercengkrama dengan keluarga Ambon, lengkap dengan bahasa yang penuh irama naik turun itu… dan tentu saja, termasuk menikmati makanan yang enak-enak itu.
Tak kurang serunya bila keluarga Minang sedang kumpul, paling tidak saat Lebaran atau Halal bil Halal. Namun semua sama, ketika mereka berbicara bahasa Minang kepada saya, langsung saya tertawa lebar mengakui ketidakmampuan saya š
Meskipun tidak seakrab seperti yang terjadi pada keluarga dari garis keturunan Mama, saya selalu senang-senang saja bila berkumpul dengan pihak keluarga Papa. Apalagi jika sedang ke kampung halaman, di kawasan Banyumas. Bahasa Jawa khas Tegal, Banyumas dan sekitarnya itu selalu berhasil membuat saya tergelak meskipun tidak mengerti seratus persen.
Dan jangan salah, saking banyaknya garis darah keturunan, saya sendiri sering kehilangan jejak. Kerabat Mama dari sisi Minang, saya anggap dari keluarga Papa yang dari Jawa. Lhaaaa… susah lhooo mengenal semuanya, mana orang dulu kan anaknya banyak!
Bicara soal agama dalam keluarga besar, menjadi keindahan tersendiri. Meskipun Islam menjadi mayoritas dalam keluarga besar saya, ada juga kerabat yang convert ke Kristen Protestan karena pernikahan. Belakangan setelah menikah, saya juga memiliki kerabat yang berdiam di Bali dan memilih menganut Hindu. Masih ada kerabat yang lain lagi yang memilih menganut Aliran Kepercayaan dengan berbagai versi, ada yang memilih dengan pengaruh Indianya yang sangat kuat dan ada juga yang memilih Kejawen.
Dan seperti yang sering saya ceritakan di blog, sejak kecil saya justru lebih banyak mengunjungi candi-candi Hindu Buddha yang bertebaran di banyak tempat di Jawa. Oh ya, biar tambah seru soal kemajemukan ini, perlu ditulis di sini bahwa saya belajar hampir dua belas tahun di sekolah Katolik dan tiga tahun terakhirnya di sekolah yang isinya perempuan semua!
Dan Islam, sebagai agama mayoritas dianut dalam keluarga besar, tentu saja memiliki ‘bandwidth’ yang paling lebar. Ada yang berprinsip Salafi dan berniqab bagi seluruh anggota keluarga yang perempuan, ada yang biasa-biasa saja, ada yang moderat, ada juga keluarga yang hanya tertawa mesem sambil menunjukkan KTP-nya untuk jika ditanya soal agama! Masalah? Tidak sama sekali!
Dan selalu ada keseruan makan-makan jika ada hari keagamaan tentu saja diluar ritual ibadah masing-masing.
Keindahan dan kebahagiaan yang sama ketika saya harus menyambut keluarga yang datang dari Belanda atau Jerman, meskipun kulit mereka lebih putih, mata yang lebih biru dan hidung yang lebih bangir atau meskipun mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Bukankah mereka tetap memiliki jalinan kekerabatan yang sama dengan saya?
Jika memang demikian, mampukah kita memperlakukan orang lain seperti kerabat kita sendiri yang memang masih bertautan darah sejak penciptaan?
Dan setiap terjadi konflik di antara bangsa kita sendiri, saya merasa amat sangat sedih sekali. Tak berlebihan, bila saya mengasumsikan diri ini adalah Indonesia mini. Mana mungkin dalam satu tubuh ini saling menyakiti? Jika tangan kanan tanpa sengaja melukai tangan kiri, sakitnya terasa ke seluruh tubuh. Jika di perut terasa sakit, seluruh tubuh ini otomatis menjadi tidak enak. Jika kaki saya pegal, tangan kanan dan kiri juga otomatis memijat untuk meredakan rasa pegal itu. Bagaimana mungkin bagian yang satu lebih baik daripada yang lain, atau bagian yang satu lebih rendah nilainya dari yang lain? Apakah saya tetap menjadi saya bila dipecah-pecah menjadi beberapa bagian?
Apalagi tahun-tahun belakangan ini, saat pemilihan kepala daerah maupun saat pemilihan presiden beberapa waktu lalu, saya sungguh tak nyaman, serasa tak hidup. Bagaimana mungkin ada kelompok-kelompok yang mempermainkan SARA untuk kepentingan kekuasaannya sendiri?
*
Ah, memang tidak semua orang beruntung dan mendapat berkah bisa dilahirkan dalam kemajemukan seperti saya dan tidak semua orang beruntung bisa memahami indahnya kemajemukan sejak masih kecil.
Dan banyak juga dari kita yang “bersedia” dibelah-belah demi kepentingan orang lain dan tak menyadari bahwa dengan begitu mereka kehilangan jati dirinya sendiri. Padahal kemajemukan membawa kekuatan.
Bukankah mematahkan sepotong lidi yang berdiri sendiri lebih mudah daripada mematahkan lidi-lidi yang terikat kuat dalam kesatuan sapu lidi?
Sesungguhnya saya tak pernah berhenti berharap Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu bisa berakar kuat dalam setiap manusia Indonesia, -tidak hanya dihafalkan-, melainkan sadar sepenuhnya, menjiwai dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-42 ini bertema Unity agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekaliā¦