Dari ke Barat ke Timur, Empat Negara Satu Minggu


Seruuuu banget, yang pasti sih dimana-mana keliatan orang, di jalan rame, ada mobil, bus, truk, bajaj, sepeda motor, gerobak, eh ketemu juga sapi… taxinya lucu, meterannya ada di luar mobil kayak spion dan bunyi klakson dimana-mana.

Itu adalah jawaban saya ketika ditanya sekembalinya dari India, lebih satu dekade lalu. Perjalanan yang tidak akan pernah terlupakan. Dalam seminggu saya menempuh perjalanan ke Singapura – India – Thailand dan Philippines dan kembali lagi ke Singapura baru pulang ke Tanah Air. Kalau digambarkan, dari Tengah lalu ke Barat, balik ke tengah lagi, lanjut ke Timur dan ke Tengah lalu akhirnya pulang ke rumah.

Mengapa lompat-lompat negara gitu ya? Ya iyaaa… karena bukan perjalanan wisata seperti biasanya. Jika liburan, mungkin seharusnya terasa menyenangkan meskipun lelah. Namun yang kami jalani ini (saya satu-satunya perempuan diantara 4 kolega pria) merupakan perjalanan business, yang meskipun ada sedikit jalan-jalannya tetapi sungguh terasa lelahnya.

Untungnya, -selalu saja ada banyak hal yang bisa disyukuri-, kami semua diperbolehkan pergi dengan Singapore Airlines yang sudah jelas layanan primanya dan di tempat tujuan kami mendapat hotel sekelas bintang lima. Jadi apa lelahnya? Beban bekerjanya itu lho… πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

Changi

Singapura

Namanya saja melakukan perjalanan abidin (atas biaya dinas) maka kami pasrah saja harus terbang dengan pesawat pagi dari Jakarta menuju Singapura dan menunggu lama (transit) di bandara karena kami akan terbang menuju Mumbai, India jelang sore. Lama sekali ya?

Apalagi beberapa kolega saat itu baru pertama kali ke Singapura, sehingga kami semua tidak meninggalkan bandara dan bahkan saya menemani mereka untuk tour d’Changi alias berkeliling bandara Changi sambil foto-foto, mencoba sky-train antar terminal, mencoba kursi pijat, mencoba kursi istirahat dan tentu saja mencoba internet gratis. Wajahnya seperti saya dulu saat pertama kali keluar negeri… Kata orang bule, ndlongob πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

Nantinya, -setelah urusan pekerjaan selesai di negara-negara itu-, beberapa teman termasuk saya memilih memperpanjang perjalanan sampai akhir pekan untuk berlibur di Singapura. Dan tentu saja, mereka merasakan nyamannya yang namanya MRT (sepuluh tahun lalu, belum ada MRT di Jakarta), jalan-jalan ke Orchard Road, Bugis, Mustafa dan kawasan Marina. Standard destination bagi pelancong pertama… hehehe…

Mumbai, India

Tak lama meninggalkan Singapura, langit di luar jendela telah gelap. Tapi hal itu tak menjadi masalah karena saya masih ‘norak’ terbang dengan SQ sehingga benar-benar ingin menikmati semua fasilitas yang ada. Kapan lagi bisa menikmati terbang dengan pesawat yang terkenal sebagai kiblatnya dunia layanan? Saya membuat playlist dari lagu-lagu favorit yang tersedia ratusan atau bahkan mungkin ribuan judul, mendengarkan lagu yang belum pernah didengar juga menonton film terkenal. Saat itu, film Slumdog Millionaire masih menjadi pembicaraan khalayak ramai. Tentu saja saya mencoba menontonnya meskipun setengah mengantuk. Saya hanya mengingat beberapa adegan kumuhnya negeri India, satu label yang menempel pada India.

Dengan mata mengantuk kami mendarat jelang tengah malam di Chhatrapati Shivaji Maharaj International Airport di Mumbai, India. Untungnya semua urusan imigrasi dan bagasi tidak bermasalah. Yang bermasalah hanyalah seorang teman saya, saat kami semua menanti mobil jemputan dari area parkir. Dia diikuti oleh seorang ibu-ibu pengemis yang sangat demanding, padahal dengan bahasa tubuh seadanya teman saya itu sudah minta maaf tidak bisa memberikan uang receh. Tapi pengemis itu tak percaya. Hingga teman saya naik ke mobil, pengemis itu masih menempelkan mukanya di jendela mobil. Sambutan yang menarik khusus untuk teman saya, begitu kata kami semua kepada dia, karena dia satu-satunya orang yang diikuti oleh pengemis sementara kami semua bebas.

Kami mendapatkan hotel bintang lima yang berada di dekat bandara. Keren banget sih, karena kamarnya amat luas dan saya mendapat kamar sendirian (karena saya satu-satunya perempuan). Standar bintang lima! Sayangnya, –pake banget-, kami semua tak bisa menikmati mewah atau nyamannya fasilitas hotel itu, karena pada pagi harinya harus sudah siap. Bekerja! Jadi praktis tengah malam check-in, jam 9 pagi sudah harus check-out. Dan malamnya kami harus terbang kembali ke Bangkok!

On Mumbai’s roads

Sambil menuju tempat pekerjaan menanti, kami semua berusaha ‘mencuri’ foto-foto kota, termasuk foto stasiun kereta api saat peak-hour. Yang terlihat, seperti tawon yang keluar dari sarangnya… πŸ˜€ Untungnya tim lokal menjadi tuan rumah yang baik sehingga mereka juga berjanji akan menunjukkan tempat-tempat lain yang terkenal setelah pekerjaan selesai.

Saat itulah saya melihat lalu lintas Mumbai yang lumayan kusut di peak-hour. Di jalan ada begitu banyak mobil pribadi yang bagus, bercampur dengan taksi-taksi hitam yang memiliki argometer di bagian luar, truk, bus yang terlihat kuno, sapi menarik gerobak, sepeda motor dengan pengemudi dan penumpangnya yang kadang tak mengenakan helm. Di persimpangan, klakson bersahut-sahutan, kadang terdengar omelan keras terlontar tapi tak ada marah. Semua bisa berjalan tanpa emosi. Membuat saya kagum.

Setelah urusan pekerjaan selesai dengan sangat efektif, kami diajak makan siang yang terlambat dengan menu kari yang meninggalkan kesan terenak yang pernah saya makan. Rasanya lembut sekali di lidah, sempurna. Tidak hanya saya saja yang merasakan enaknya kari itu, karena semua kawan saya mengatakan hal yang sama.

Arah Jarum Jam: Pantai, Shopping Center, Jembatan dan Menara Tegangan Tinggi di Laut, Stasiun Kereta Apii dan Pagar rumah artis Bollywood

Sebelum ke bandara jelang akhir hari itu, tim lokal menempati janji dengan menunjukkan beberapa tempat yang menarik. Termasuk rumah aktor Bollywood yang ngetop ke seluruh dunia, Shah Rukh Khan, meskipun hanya menunjukkan bagian depannya saja. Juga rumah keluarga artis cantik Aishwarya Bachchan dan mertuanya, Amitabh Bachchan. Bagaimanapun saya kagum juga dengan menara-menara tegangan tinggi yang menjajari jembatan panjang yang menyeberangi teluk yang amat luas.

Mereka juga menunjukkan pantai yang luas, yang bagi saya salah tempat dan salah waktu. Siang terik ke Pantai? Saya hanya bergumam di dalam hati, mungkin tim lokal tidak tahu bahwa Indonesia memiliki begitu banyak pantai yang teramat indah…

Bangkok, Thailand

Setelah beristirahat sebentar di sebuah apartment, malam harinya kami terbang ke Bangkok. Kali ini tidak menggunakan Singapore Airlines melainkan The Royal Thai yang tidak kalah ramahnya dengan maskapai Singapore Airlines itu.

Mendarat pagi di Suvarnabhumi kami langsung ke hotel yang berada di pinggir Sungai Chao Phraya. Tentu saja saya ‘norak’ lagi karena telah beberapa kali ke Bangkok, hanya bisa memimpikan untuk bisa menginap di hotel yang waktu itu sangat terkenal di Bangkok. Dan ketika bisa memasuki hotelnya, rasanya luar biasa sekali…

Dan masalah menghampiri….

Rupanya ada kesalahan pemesanan, sehingga nama-nama kami tidak tercatat pada tanggal itu. Nama kami tercatat di tanggal sebelumnya dan dianggap No Show, karena tidak muncul pada tanggal itu, padahal kami masih dalam penerbangan menuju Bangkok. Akhirnya kami melakukan negosiasi, meskipun alot dengan keterbatasan komunikasi (bisa jadi kami kurang bisa mengartikan bahasa Inggeris yang diucapkan dengan aksen Thailand). Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menginap di hotel itu.

Suvarnabhumi Airport, Chao Praya and Riverside buildings and City center area

Karena hari itu diagendakan sebagai hari istirahat sehabis perjalanan dari India, kami memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan keliling Bangkok. Tentu saja menyusuri Sungai Chao Praya, mengunjungi Wat Pho, mencoba tuk-tuk menjadi pilihan hari itu.

Reclining Buddha in Wat Pho

Esoknya kembali menjadi hari sibuk yang melelahkan sampai jam makan siang yang dilakukan secara cepat sebelum berkendara di tengah macetnya Bangkok ke bandara Suvarnabhumi karena sebelum hari itu berakhir, kami harus terbang ke Manila, Philippines.

Manila, Philippines

Terbang dengan menggunakan The Royal Thai, kami mendarat petang hari di Ninoy Aquino International Airport. Seorang petugas memperhatikan saya lalu mengajak saya berbahasa Tagalog. Saya sedikit kaget lalu tersenyum santai karena dianggap orang lokal. Setelah dia selesai bicara, tak lepas senyum saya menjelaskan bahwa saya bukan orang lokal. Gantian dia yang tak enak hati lalu tertawa bersama. Ah, di Asia ini sering sekali saya dianggap sebagai orang lokal. Mukanya standar Asia banget kali yaa….

Manila Airport

Begitu imigrasi dan bagasi selesai, langsung saja kami menuju hotel yang dipesankan di kawasan elite, Makati. Meskipun lelah pindah-pindah kota (dan negara) hampir setiap hari, kami berusaha menikmatinya.

Esok harinya, kami begitu menikmati adanya agenda kosong sebelum makan siang. Setengah hari yang rasanya cepat berlalu itu, kami nikmati di daerah kota tua Intramuros, sebuah kawasan penuh sejarah yang menjadi UNESCO World Heritage Site. Seorang teman beruntung bisa mengikuti misa di dalam katedral, meskipun tak mengerti bahasanya. Saya sendiri hanya bisa mengambil foto-foto dengan pikiran bercabang karena masih ada beban pekerjaan yang belum selesai.

Belum lagi bisikan dari seorang teman yang mengatakan mungkin saya akan agak sulit mencari makan, karena katanya dimana-mana hanya makanan untuk dia yang non-Muslim. Ugh, makanan cepat saji McDonald saja tidak bisa… 😦 😦 😦

Jeepney

Hari itu, kami menyelesaikan pekerjaan hingga petang hari yang merupakan penuntas dari perjalanan pindah-pindah negara di Asia ini. Selesainya merupakan waktu yang ditunggu-tunggu.

Dan benarlah, ketika malam tiba, -setelah semua pekerjaan rampung-, kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk jalan-jalan melepas penat. Tapi dasar kami tak tahu kawasannya dan hanya mengikuti kaki melangkah, sepertinya kami tersesat ke pinggiran daerah red lights. Banyak mata melihat saya yang kemudian disadari oleh beberapa teman. Tanpa pikir panjang lagi langsung saja saya dikawal teman-teman untuk balik kanan, kembali ke hotel πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

Manila ten years ago

Hari berganti dengan cepat, segala beban lepas sudah. Kami meninggalkan bandara Ninoy Aquino International Airport sebelum jam makan siang berdentang. Lagi, dengan Singapore Airlines kami terbang menuju Singapura. Rombongan kami terpecah dua, ada yang langsung kembali ke Jakarta dan sebagian lagi memperpanjang perjalanan di Singapura, termasuk saya.

Bugis, Singapore

Satu minggu berlalu, cap-cap di paspor saya bertambah empat negara. Tapi apa arti bertambahnya cap-cap itu jika saya tak menjiwai keberadaan diri sendiri di negeri itu? Kesan atas negara yang dikunjungi seperti diterbangkan angin, hilang begitu saja selepas pesawat tinggal landas. Sejak itu, saya tahu, saya bukanlah tipikal orang yang menghitung-hitung “been there” berbasis cap di paspor. Karena jika memang begitu, kita hanya perlu sekitar 200 hari untuk bisa ke seluruh dunia.

Karena saat meninggalkan ke empat negara itu, di dalam hati selalu terucap, saya akan kembali… someday


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-34 bertema Untold agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Yang Besar di Negeri Gajah Putih


Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Thailand, sejak dulu bahkan sampai sekarang, saya masih saja mudah terpesona dengan apa yang ditawarkan Negeri Gajah Putih itu. Tidak hanya penduduknya yang ramah dan makanannya termasuk ramah di perut saya, obyek-obyek wisatanya selalu menarik.

Masih teringat saat itu, ketika pertama kali melakukan perjalanan sebagai female solo-traveller, saya memiliki kesan teramat manis akan Wat Pho. Kuil Buddha yang di dalamnya terdapat Patung Buddha Berbaring yang amat besar itu, mempesonakan saya. Seumur-umur saya belum pernah melihat patung Buddha sebesar itu dan sebagus itu. Tak heran, saya berlama-lama di sana.

watpho
Reclining Buddha in Wat Pho
head
The Head of Buddha

Dan itulah enaknya berjalan secara independen, saya yang menentukan sendiri bagaimana dan berapa lama saya berada di sebuah tempat. Tanpa harus bergegas di tempat yang saya suka, namun saya bisa cepat pergi jika tempatnya tidak menyenangkan. Di Wat Pho, saya begitu menikmati tempat dan suasananya. Menikmati suara ritmis denting koin-koin yang dijatuhkan pengunjung ke dalam pot donasi. Rasa nyamannya benar-benar mengesankan saya. Bisa jadi karena ruangannya yang amat tinggi dan besar untuk bisa menampung patung Buddha berukuran panjang hampir 50 meter itu.

Kesan besar dan indah dari Wat Pho itu sangat menyerap dalam ingatan saya. Meskipun setelah perjalanan itu saya berkesempatan pergi ke Myanmar dan menemukan begitu banyak patung Buddha Berbaring dengan ukuran raksasa yang jauh lebih besar daripada Wat Pho, bagi saya kerennya Wat Pho masih nomor satu.

Atau karena Wat Pho saya kunjungi dalam perjalanan perdana sebagai solo-traveller? πŸ˜€ (sebab kata orang semua yang pertama kali itu selalu berkesan)

Tapi faktanya, keterpesonaan saya tak berhenti di situ. Dalam kesempatan lain ke Thailand, kali itu saya bisa ke Ayyuthaya, -bertahun-tahun setelah perjalanan pertama ke Wat Pho itu-, di sana saya terpesona di Kuil Wat Phanan Choeng Worawihan.

Saat itu, saya melakukan perjalanan perdana ke Ayyuthaya sebelum melanjutkan ke Sukhothai pada hari berikutnya. Karena tidak menginap di Ayyuthaya, saya memanfaatkan waktu semaksimal mungkin dari siang hingga malam untuk menjelajah kawasan yang pernah menjadi pusat kerajaan Thai berabad-abad lalu itu dan malamnya kembali ke stasiun kereta api untuk melanjutkan perjalanan ke Sukhothai. Baca kisahnya 3 Hari 2 Malam Bangkok – Ayyuthaya – Sukhothai sebagai cara untuk berhemat biaya penginapan.

Di dalam Wat Phanan Choeng Worawihan siang jelang sore itu, saya terpesona dengan apa yang saya saksikan di depan mata. Jika di Wat Pho terdapat Reclining Buddha yang berlapis keemasan maka di Wat Phanan Choeng Worawihan terdapat patung Buddha duduk (Seated Buddha) yang berlapis emas dan ukurannya termasuk yang salah satu terbesar di Thailand. Tidak kira-kira tingginya, hampir 20 meter! Kira-kira setinggi gedung 5 lantai. Jadi kebayang besar kuil yang menampungnya, kan?

IMG_6428
Buddha in Wat Phanan Choeng Worawihan, Ayyuthaya
IMG_6423
Buddha in Wat Phanan Choeng Worawihan, Ayyuthaya
IMG_6422
See the men

Saat itu saya bergabung dengan para Buddhist duduk di area tengah. Bukan untuk mengikuti ibadah melainkan untuk mengambil foto patung Buddha yang dipercaya merupakan salah satu patung tertua berukuran besar dari Sang Buddha yang berada di dalam bangunan tertutup. Konon patung itu dibangun pada tahun 1324 meskipun belum ada bukti yang benar-benar mendukung.

Saya mengamati patung teramat besar yang mengenakan jubah berwarna saffron itu. Bersih dan berkilau. Baru saya menyadari bahwa saat itu, patung Buddha sedang dibersihkan oleh sejumlah pria dewasa. Besarnya ukuran patung itu membuat pria-pria dewasa yang sedang membersihkan terlihat seperti anak-anak kecil. Tinggi mereka sebagai manusia dewasa terlihat masih lebih pendek daripada tinggi jari tangan Sang Buddha yang saat itu mengambil pose tangan Bhumisparsha mudra (tangan kanan menyentuh bumi). Terbayang kan, kalau tinggi orang hanya setinggi jari tangan, betapa tinggi patung Buddha di Wat Phanan Choeng Worawihan itu.

Uniknya, patung Buddha yang kini berlokasi di dekat pertemuan Sungai Chao Phraya dan Sungai Pa Sak, dipercaya penduduk lokal memiliki kisah mistis. Konon, saat negeri Burma menyerang Ayyuthaya di akhir abad-18, patung Buddha ini sempat meneteskan airmata! Mendengar kisah ini, saya tak ingin bereaksi, karena sepanjang pengetahuan saya justru urban-legend itu bertolak belakang dengan filosofi Buddha. Ah, bisa saja saya yang sotoy…

Terlepas dari kisah lokal itu, saya juga memiliki kesan lain di Wat Phanan Choeng Worawihan. Dijudesin oleh perempuan!

Jadi ceritanya, saat itu saya tak tahu apakah di sana memotret Buddha itu merupakan pelanggaran atau tidak. Seorang teman Buddhist pernah menyampaikan secara halus bahwa sebaiknya tidak dilakukan karena katanya tak akan pernah sempurna hasilnya. Tapi mengingat saat itu saya masih pejalan novice, maka suaranya masih terabaikan.

Nah, mungkin karena suara dari shutter kamera membuat seorang perempuan melihat saya dengan wajah yang teramat judes sebagai simbol: DILARANG FOTO DI SINI!!! Dasar saya masih belum puas dengan besarnya Sang Buddha, dengan cueknya saya melanjutkan foto sekali dua kali. Setelah itu, tanpa sadar saya menoleh lagi kepada perempuan itu. Duh, terlihat seperti ada api neraka di wajahnya. Kalau saja di kuil itu boleh melabrak dengan berapi-api, mungkin dia akan melabrak saya seperti naga raksasa yang menyemburkan api. Syereeemmm!

Meskipun saat itu saya tak menyadari kesalahan, untuk menjaga ketentraman batin dia dan saya, lebih baik saya keluar dari kuil. Lagi pula saya tak ingin mengganggu ibadah mereka. Yang jelas, pengalaman dijudesin oleh orang lain itu sangat membekas, membuat saya semakin bertindak hati-hati di rumah ibadah lain.

Selepas menjelajah Ayyuthaya, dengan kereta api saya merambah lebih Utara menuju Sukhothai, tempat yang dipercaya pemerintahan Di kawasan bersejarah itu saya menyewa sepeda, sebuah keputusan yang sepertinya tidak tepat. Meskipun tidak seluas Angkor Archaelogical Park, bagi saya mengelilingi kawasan di Sukhothai dengan menggowes sepeda itu cukup membuat saya gempor. Sok tahu siih…

Setelah satu persatu bangunan candi di Sukhothai itu didatangi, sampai juga akhirnya saya di Wat Si Chum, salah satu landmark-nya Sukhothai. Dan seperti biasa, saya terpesona dengan keluarbiasaan yang ditawarkan Wat Si Chum ini.

IMG_6721
Wat Si Chum, Sukhothai

Jika di Wat Phanan Choeng Worawihan, patung Buddha berlapis emas, di Wat Si Chum ini patung Buddha-nya dibiarkan apa adanya. Tetapi bukan berarti tak terawat. Bahkan dalam kondisi apa-adanya, tanpa lapis emas, Patung Buddha yang dikenal dengan Phra Achana ini sudah menjadi landmark dan tempat yang harus dikunjungi saat ke Sukhothai. Ukurannya tak beda jauh dengan Wat Phanan Choeng Worawihan sekitar 15 meter, tetapi tetap saja besaaaaarrrr!

Wat Si Chum merupakan salah satu kuil terbesar yang dipercaya dibangun pada abad-13 serta konon, paling misterius di Sukhothai. Patung Buddha Phra Achana di tempat ini dikelilingi empat dinding tinggi 15 meter dalam jarak yang sempit yang menyerupai sebuah mandapa. Konon, mandapa itu dulunya tertutup atap meskipun tak dapat dipastikan bentuknya.

Selain ukurannya yang besar, masih ada dua hal yang misterius dari Wat Si Chum ini. Konon, di bawah kuil ini ditemukan sebuah lorong bawah tanah yang ujungnya entah dimana karena aksesnya ditutup demi perlindungan terhadap kawasan bersejarah. Selain itu, ada tangga-tangga sempit mengarah ke atas yang tujuan penggunaannya juga belum diketahui. Sayangnya semua akses itu tertutup untuk publik. Biar para ahli arkaeologi yang mempelajari dan mencarinya, sebagai pejalan saya hanya bisa menikmati keindahan dan keluarbiasaannya.

Jelang sore, pelan-pelan saya menggowes sepeda sewaan untuk mengembalikannya lalu kembali ke stasiun kereta di Phitsanulok. Apa yang saya saksikan di Bangkok, Ayyuthaya dan Sukhothai, memiliki kemiripan. Penduduk Negeri Gajah Putih ini tak segan mendirikan bangunan dengan patung Buddha dengan ukuran yang teramat besar, tidak beda dengan beberapa negeri Buddha lain di Asia. Kata teman saya, semakin besar ungkapan rasa terima kasih kepada Sang Buddha, maka semakin besar dan bernilai pula ia persembahkan.

Mendadak sebuah kesadaran membukakan pikiran. Bagaimana dengan saya? Sebagai ungkapan terima kasih dan syukur, seberapa besar yang saya persembahkan kepada Sang Pemberi Hidup?

 


This post was written in response to the weekly challenge fromΒ Celina’sΒ Blog,Β Srei’s Notes,Β Cerita Riyanti,Β and alsoΒ A Rhyme In My Heart, -similar to the old Weekly Photo Challenge from WordPress-, which is the 29th week of 2020 has the theme ofΒ  Big, so we are encouraged ourselves to write articles weekly. If you are interested to take part in this challenge, we welcome you… and of course we will be very happy!

Ketika Semua Terasa Sempurna di Bangkok


Bagi saya pribadi, Bangkok selalu menjadi salah satu kota untuk recharge mood. Bukan saja karena selalu ada yang bisa dinikmati di kota itu, tetapi Bangkok merupakan destinasi solo-trip pertama saya bertahun-tahun lalu. Pengalaman pertama jalan sendiri dengan segala rasa campur aduk cemas, kuatir,Β  optimis, waspada, deg-degan, ingin tahu, gembira dan bahagia yang menjadi satu, selalu menimbulkan kesan tersendiri yang tak terlupakan. Sehingga di kala mood berada di level rendah, kembali ke Bangkok jadi salah satu cara untuk lebih hidup.

Dan demikianlah, setelah terus menerus berada di rumah sakit untuk perawatan ibu yang patah bonggol sendi pinggul serta drama tak penting yang terjadi belakangan ini, saya memutuskan kembali ke Bangkok untuk mencari pembenaran saya perlu liburan πŸ˜€

Bangkok with the BTS

Sebenarnya rencana akan dilakukan sekitar pertengahan November, tetapi gara-gara bisikan jiwa :-), saya memajukan ke awal bulan November. Itupun tiket pesawat baru dibeli H-1 dan hotelnya dipesan pada hari H. Tetapi seperti kata Carl Jung, In all chaos there is a cosmos, in all disorder a secret order, maka saya pun menari bahagia dalam kekacauan itu dan mendapatkan keindahan yang bagi saya terwakili oleh satu kata: sempurna!

Sejatinya saya tidak mengerti 100%, mengapa tiba-tiba mengubah perjalanan ini. Terbersit harga tiket pastilah mahal, tetapi lagi-lagi saya dapat harga yang pantas (tidak murah juga sih) tetapi minimal masih memadai untuk ukuran mendadak. Dan pada saat web check-in saya sudah siap menerima penempatan kursi yang diatur acak. Tetapi ternyata baik penerbangan pergi maupun pulang saya dapat window-seat, tanpa beli bahkan kursi sebelah kosong pada penerbangan pulang! Aha, tangan-tangan tak terlihat bekerja keras untuk saya rupanya.

Pada hari-H selepas imigrasi bandara, saya masih memikirkan kepastian penginapan di Bangkok karena reservasi sebelumnya selalu gagal. Sebagai pejalan yang tidak pernah mau mengisi asal-asalan alamat pada kartu kedatangan (di negara manapun sih), saya menghargai Β aturan keimigrasian Thailand atau dimanapun destinasinya. Β Apalagi, -karena sesama ASEAN-, Thailand memberi visa exemption ke pemegang paspor Indonesia.

Jadi saya coba reservasi lagi hotel yang semalam gagal, namun tetap saja gagal walaupun kamar masih tersedia. Aneh! Namun mengingat suami minta untuk menginap di hotel yang baik, akhirnya saya memesan hotel lain yang sejak dulu ingin sekali saya coba walaupun harganya mahal (untungnya kali ini suami tercinta berkenan menambah dana :p ). Dalam sekali reservasi, pemesanan hotel lain itu berhasil. Yaaiy!

Lalu ketika boarding, saya sudah mempersiapkan diri tidak ada tempat sisa di kabin atas karena diambil penumpang lain dan benarlah! Saya tidak mau pusing dengan kebiasaan penumpang lain itu, maka saya jejalkan saja ransel ke bawah kursi lalu bersiap tidur. Dan berulang untuk kesekian kalinya, saya jatuh tertidur dan terbangun lagi, pesawat masih dalam antrian mendapatkan ijin lepas landas. Tertidur lagi, terbangun lagi, entah kapan terbangnya.

Bahkan mata saya terus terasa lengket selama tiga jam penerbangan ke Bangkok untuk menggantikan kekurangan jam tidur sebelumnya hingga saat roda pesawat menyentuh landasan bandara Don Mueang. Rasanya saya masih mengumpulkan nyawa saat pesawat akhirnya berhenti, lalu tontonan itu langsung terpampang jelas. Hampir semua orang langsung sigap membuka sabuk keselamatan walaupun lampu tandanya masih menyala, lalu berdiri membuka kabin atas dengan tangan-tangan bersliweran di atas kepala mengambil tas-tasnya tanpa peduli kepala-kepala yang dilewati. Kebanyakan ingin menjadi nomor satu keluar dari pesawat seakan-akan bisa dapat piala untuk itu. Bahkan prosedur buka pintu pesawat pun belum dimulai, tetapi lorong telah penuh orang yang tak sabar, mengabaikan aturan untuk tetap duduk, tak sedikit yang berisik, kadang tetap merangsek ke belakang untuk mengambil tas memaksa melewati orang lain, entah berapa nilai ketertiban kita dari skala 10.

Menjejak kembali di Bangkok, saya menuju pintu keluar nomor 6 lalu menaiki bus A1 berwarna kuning yang menuju Stasiun BTS Mo Chit dengan tiket seharga 30THB, kemudian melanjutkan perjalanan dengan BTS ke Siam. Ah, kembali ke kota yang penuh senyum!

Dan akhirnya saya paham mengapa gagal terus di pemesanan hotel sebelumnya yang membingungkan itu. Karena pada saat saya check-in, manajer hotel itu berkenan upgrade kamar saya. Saya tak percaya! Benar-benar luar biasa! Hadiah! Saya gagal reservasi di hotel pertama yang cukup baik, tetapi Pemilik Semesta berkenan memberikan kesempatan menginap di hotel lain, hotel idaman saya, bahkan di kelas yang lebih tinggi, di lantai-lantai teratas. Ah, rejeki memang bisa datang dari mana saja. Sesuatu yang tidak dapat diraih, digantikan dengan hadiah yang lebih baik. Keajaiban itu berulang. Lagi! Dia yang selalu memenuhi janji, yang selalu setia…

Di kamar, saya beristirahat sambil memesan room service karena lapar namun terlalu malas untuk keluar. Jauh-jauh ke Thailand dengan begitu banyak makanan enak, saya tetap saja memesan Nasi Goreng Indonesia πŸ˜€ tetapi memang kali ini berbeda dengan biasanya karena saya ingin menikmati liburan singkat tanpa dikejar target destinasi.

Tetapi setelah β€˜diingatkan’ akan tujuan awal ke Bangkok, dengan menggunakan tuktuk saya menuju Sanam Luang, tempat kremasi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej yang telah dilakukan bulan Oktober lalu. Saya turun di kawasan Grand Palace. Lagi-lagi saya beruntung karena tidak ada antrian disitu. Paspor yang sudah disiapkan ternyata tidak diperiksa sama sekali oleh polisi. Bisa jadi karena wajah saya mirip lokal πŸ™‚

Grand Palace at Sunset

Matahari yang telah condong ke Barat memburatkan sinar keemasan menjadikan kawasan Grand Palace semakin cantik dengan bentuk atap tradisionalnya yang khas. Saya masih menikmati situasi hampir senja ketika tiba-tiba petugas-petugas berseragam menyebar menyuruh publik mengosongkan jalan dan berkumpul di trotoar. Tanpa disuruh dua kali saya mengikuti semua orang melipir dan duduk di trotoar seperti orang lokal tanpa mengetahui yang akan terjadi.

Hebatnya rakyat Thailand, mereka duduk diam hingga saya mengikutinya. Hening, sama sekali tidak bicara. Tiba-tiba seorang petugas di belakang saya meminta seorang laki-laki, -bergaya turis-, yang sedang berdiri untuk duduk. Turis itu bersikukuh untuk tetap berdiri. Wajah-wajah lokal mulai memperhatikannya sehingga petugas itu perlu menjelaskan bahwa Raja akan lewat sehingga seluruh yang hadir diminta untuk melakukan penghormatan.

Saya tersenyum terhenyak mendengar penjelasan itu. Yang Mulia Raja Maha Vajiralongkorn atau Rama X akan lewat! Saya langsung terdiam menyusuri lorong kalbu, berterimakasih akan setiap kesempatan dan β€˜hadiah’ yang dilimpahkan serta mencoba memahami alasan saya di’undang’ secara mendadak pada akhir pekan ini dan bukan pada jadwal yang saya rencanakan. Tidak semua orang bisa berada di waktu tepat dan diantara masyarakat lokal saat Raja mereka lewat. Ini kesekian kalinya saya berkesempatan melihat rombongan Raja, setelah bertahun-tahun lalu beberapa kali berkesempatan serupa di Kamboja.

Tanpa terasa mata mengabur haru. Dia Yang Maha Baik melimpahkan begitu banyak kejutan manis dalam keseharian saya, juga menyerakkan hikmah dan makna seseorang yang akan lewat, seorang Raja yang memiliki tanggung jawab besar sejak dilahirkan agar bisa mengayomi seluruh aspek kehidupan di negerinya. Pembelajaran singkat itu, -dan karena hanya ada seorang Raja di Thailand diantara sekian puluh juta rakyatnya-, membuat saya yang duduk bersimpuh di trotoar turut mengatupkan kedua tangan di depan wajah sebagai penghormatan kepada Raja ketika rombongan lewat. Semua bersikap sama, tanpa ada yang berupaya mengambil foto, paling tidak itu yang terjadi di sekitar saya.

The Crematorium

Setelah rombongan Raja berlalu, barulah saya mengikuti ratusan orang lokal berbondong-bondong menuju pintu masuk, menerima minuman kemasan yang dibagikan gratis, ikut tergopoh-gopoh dalam antrian, kadang saya dirangkul seorang ibu dengan senyuman, lalu duduk menunggu di tempat yang disediakan, padahal tak ada satupun kata yang saya mengerti. Namun semuanya tertib, sehingga tak lama setelahnya saya sudah berada di dalam area Phra Merumas (Krematorium Kerajaan).

Saya hanya bisa terpana dengan yang ada di depan mata. Megah dan luar biasa cantik. Tidak percaya, karena semua kemegahan ini hanyalah sementara. Bagi mereka yang percaya, semegah apapun, namun membiarkan tempat perabuan tetap berdiri akan membawa ketidakbaikan. Bukankah hidup ini hanyalah sementara? Awalnya pada akhir bulan November seluruh bangunan utama krematorium dan bangunan pendukungnya akan dirobohkan, tetapi akhirnya Raja memberi ijin untuk memperpanjang hingga akhir tahun ini.

Tradisi mendirikan tempat perabuan untuk para bangsawan (Phra Merumas), -yang menempati dua pertiga luas Sanam Luang ini-, konon dimulai sejak periode Ayutthaya. Karena mereka percaya Raja merupakan Dewa maka tempat perabuannya perlu mengadopsi filosofi Gunung Sumeru sebagai pusat semesta kosmologi Buddha, bercampur dengan pengaruh Thailand kuno, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya. Maka akhirnya di Phra Merumas ini semua diwujudkan.

Tetapi siapa yang melihatnya sebagai sesuatu yang temporer belaka? Bangunan-bangunan berkilau keemasan ini terlihat begitu megah walaupun sebenarnya hanya terbuat dari kayu bertulang besi dengan atap tradisional bertingkat. Bangunan utama keemasan sebagai pusat tempat perabuan dengan tiga permukaan lantai terletak di tengah-tengah, memiliki pelindung putih sembilan tingkat di puncak atapnya, dengan ketinggian total mencapai 50 meter.

Berbatas dengan area pengunjung terlihat kolam yang diibaratkan sebagai kolam surgawi, menempati empat sisinya dan berhiaskan patung-patung suci seperti gajah, kuda, sapi dan singa, termasuk patung-patung makhluk mitos yang konon hidup dalam hutan di Gunung Sumeru.

Bisa dilihat juga di tiap sudut bangunan utama terdapat patung-patung penjaga dunia yang disebut Thao Chatulokkaban. Dan pada level berikutnya terdapat patung-patung Garuda (Phra Khrut Pha), -yang menjadi lambang negara Thailand-, dan dalam konsep Hindu, Garuda merupakan kendaraan Dewa Vishnu yang salah satu titisannya adalah Rama (Raja-raja Thailand bergelar Rama). Kemudian di lantai ketiga terdapat tempat di setiap sudut untuk para bhiksu melantunkan puji-pujian atau membaca Sutra. Yang saya sukai di pelataran utama banyak dihiasi dengan tanaman bunga berwarna kuning sebagai warna hari Senin, hari lahirnya mendiang Raja Bhumibol.

Sambil menyusuri museum yang memajang semua peninggalan mendiang Raja Bhumibol, saya mengambil foto yang menarik hati, seperti foto bersama Presiden Soekarno saat berkunjung ke Indonesia. Juga pandangannya sebagai Raja yang harus mengayomi seluruh rakyatnya. Di dekat pintu keluar, saya tidak mampu berlama-lama menyaksikan video mangkatnya yang diiringi musik indah, karena begitu menyayat hati melihat duka rakyatnya.

Malampun semakin pekat walau bulan tampak terang diantara puncak-puncak lancip Phra Merumas. Saya meninggalkan kawasan Sanam Luang dengan satu rasa, betapa mendiang Raja Bhumibol dicintai rakyatnya. Sempurna.

Catatan.

Royal Crematorium dibuka 2 November – 31 December 2017 pk 06.00 – 22.00. Dress code seperti ke Grand Palace, dilarang mengenakan celana pendek, kaos tanpa lengan/tanktop dan sandal jepit. Semua pengumuman disampaikan dalam bahasa Thai, penggunaan bahasa Inggeris terbatas.

Grand Palace at night

Β 

WPC – A Temporary Splendor in Bangkok


The Crematorium

Always bringing back the good memories of my first solo-trip, I love to travel to Bangkok. Therefore, last week I made an unplanned weekend getaway back to the city that recently held a cremation ceremony for the late King Bhumibol Adulyadej.

I was amazed when arrived at the cremation area which is located in Sanam Luang, -usually just a field park-, adjacent to the Grand Palace complex. All temporary structures there are so amazing, with the shiny golden royal crematorium and supplementary structures that cover almost two-thirds of the 30-acre ground.

This magnificent Royal Crematorium is modeled after the imaginary of Mount Sumeru, the center of the universe in Buddhist cosmology and was influenced by Hinduism as deeply rooted in the ancient Thai kingdom for centuries. In the center, the height of main structure is about 50 meters from the ground, usually made of wood with steel structure inside. The myth heavenly pond is found around the base of royal crematorium and decorated with many mythical creatures and auspicious animals, namely elephants, horses, cows, and lions.

I know the it is subject to change but this grandeur Royal Crematorium and other components will be scheduled to completely dismantled in the end of November 2017.

Temporary Surround Building

Temporary

Sukhothai – Ayutthaya 3D2N Trip Without Ho(s)tel


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Sukhothai itu ada di Thailand Tengah Utara, sudah dekat ke arah Chiang Mai, dan Ayutthaya di dekat Bangkok. Jarak antara Sukhothai dan Ayutthaya itu sekitar 300km, kira-kira 5 atau 6 jam perjalanan dan saya bisa mengelilingi kedua situs warisan dunia yang ada di kedua kota itu tanpa harus menginap di sebuah ho(s)tel pun di masing-masing kota itu. Juga tidak menginap di Bangkok. Bagaimana bisa? Ya, tentu saja bisa karena saya juga belajar dari para pejalan lain…

Berawal dari menipisnya budget karena pengeluaran untuk transportasi perjalanan sebelumnya ke Preah Vihear di Kamboja (tinggal klik kalau mau baca ceritanya), saya harus memutar otak agar bisa juga mengunjungi Sukhothai dan Ayutthaya di Thailand. Sudah beberapa kali ke Bangkok, pasti saja Ayutthaya terlewatkan sehingga mau tidak mau saat itu Ayutthaya menjadi destinasi khusus yang harus dipenuhi. Selain itu, daerah Sukhothai juga memanggil-manggil. Kedua tempat itu merupakan World Heritage Sites terkenal di Thailand, sehingga bagi penyuka segala sesuatu yang berbau heritage seperti saya, tentu saja kedua tempat itu menjadi keharusan.

Hari ke 1 – Bangkok

Pagi itu saya menuju Bangkok setelah perjalanan luar biasa semalam sebelumnya ke Preah Vihear di Kamboja. Saya menyempatkan diri ke museum Madame Tussaud Bangkok di lantai 6 Siam Discovery, yang saat itu masih promo karena baru dibuka. Dan karena kangen naik BTS dan MRT, tetap saja saya menaiki moda transportasi yang mahal itu dari Siam dengan menggunakan jalur Silom dan turun di Sala Daeng. BTS Sala Daeng merupakan stasion interchange dengan stasion MRT Silom, sehingga saya turun ke MRT untuk lanjut ke Hua Lamphong. Total harga dari Siam ke Hua Lamphong dengan naik BTS dan MRT tentu lebih mahal daripada naik tuktuk atau ojek dari Siam langsung ke Hua Lamphong, tetapi yaaa… mungkin itu harga yang harus saya bayar untuk sebuah kekangenan hehehe…

Station MRT Hua Lamphong terintegrasi langsung dengan Stasion Pusat Kereta Api di Thailand dan dari sini, bisa kemana saja selama rel tersambung. Berada di stasion pusat kereta api di Bangkok ini, saya jadi teringat akan stasion Jakarta Kota, Jogjakarta, Semarang atau yang lain karena bentuk lengkung-lengkung peninggalan jaman kolonial dulu. Saya mengikuti petunjuk dari seat61.com untuk pembelian tiket ke Ayutthaya dilakukan di loket yang ada di sebelah kiri jika kita melihat foto besar Sang Raja. Namun untuk tiket sleeper train yang akan saya gunakan dari Ayutthaya ke Phitsanulok, kota terdekat dengan Sukhothai, saya harus memesan tiketnya. Pemesanan tiket dilakukan di bagian sebelah kanan. Untung hari itu masih ada tiket tersedia. Tiket-tiket sudah di tangan, saya melangkah masuk ke peron.

Hari ke 1 – Menuju Ayutthaya

Karena tidak memiliki ekspektasi apa-apa, saya menikmati saja kereta ekonomi kelas tiga ke Ayutthaya yang seperti kereta ekonomi kita jaman dulu. Maksudnya, tanpa AC, jendela kayu lebar yang harus diangkat atau diturunkan jika mau dibuka dan masing-masing gerbong berbeda-beda tempat duduknya. Ada yang terbuat dari plastik, ada yang dari kayu dan ada pula yang berlapis busa. Yang menyenangkan adalah kelapangannya alias kosong. Tak banyak penumpang yang naik kereta itu. Ketika kondektur memeriksa tiket, saya diminta pindah ke gerbong depan yang lebih baik padahal saya sudah menempati tempat duduk yang benar. Entahlah, mungkin tampang saya yang ‘turis banget’ ini dengan gembolan ransel di atas membuatnya ingin memberikan service lebih.

Mirisnya menggunakan kereta ekonomi ini, kita bisa melihat sisi lain dari Bangkok yang tidak pernah ditampilkan. Jika biasanya Bangkok tampil sebagai si cantik penuh senyum dan kegemerlapan, dengan kereta ini kita bisa menyaksikan Bangkok yang kumuh, dengan hiasan rumah-rumah kardus, tripleks sepanjang rel. Dari kereta yang berhenti menunggu rambu, saya bisa menyaksikan langsung ke ruang dalamnya yang tidak ada apa-apa dari rumah tripleks yang sangat tidak layak huni. Kemiskinan Bangkok ini membuat hati berdenyut. Sepotong doa terucapkan untuk mereka yang berjuang sangat keras untuk memperbaiki hidupnya. Seperti juga Jakarta yang punya sisi kelam, Bangkok pun tak beda.

Untung saya mengambil peta route kereta api, karena saya jadi mengetahui nama-nama stasion ketika kereta berhenti. Bahkan saya tersenyum sendiri melihat kereta ini juga berhenti juga di Don Muang. Dalam hati saya mencatat, kalau mau murah tapi santai, bisa naik kereta dari Don Muang ke kota. Saya melihat ada backpacker asal mancanegara dengan ransel besarnya turun dari kereta kemudian menyeberangi jembatan dan terus berjalan ke bandara untuk melanjutkan penerbangan.

Dan setelah menempuh perjalanan dengan pemandangan standar, akhirnya kereta berhenti juga di Ayutthaya dan saya turun. Untung saya mengikuti urutan dari stasion, dan membaca papan nama setiap stasion kereta sehingga saya tahu dimana saya harus turun. Tidak ada informasi melalui pengeras suara. Jika saja saya tidak memegang peta route, atau membaca nama stasion, tidak heran jika saya terbawa terus.

Stasion Ayutthaya kecil tetapi lengkap. Setelah meletakkan ransel di tempat penitipan yang ada di stasion, saya melanjutkan trip keliling Ayutthaya dengan menggunakan tuk-tuk. Harganya standar karena tertera di papan dan cukup menguras kantong menurut saya. Saya harus menawar lebih nekad karena saya tidak menyewa sehari penuh dan harus kembali jam 8 malam ke stasion.

Setelah keliling Ayutthaya sejak siang jelang sore hingga malam dengan makan malam seadanya, supir tuktuk itu mengantar saya kembali ke stasion kereta. Saya mengambil kembali ransel yang sudah dititipkan dan menunggu kereta yang akan membawa saya ke Phitsanulok, kota terdekat untuk mencapai Sukhothai.

Malam ke 1 – Salah Turun dan Tiket Gratis

Setelah tertunda beberapa lama, akhirnya kereta yang ditunggu pun datang dan saya langsung menuju gerbong tempat saya duduk maupun tidur. Saya pesan di kelas 2 yang ber-AC. Karena saya naik sudah malam, tempat-tempat duduk sudah dalam format tempat tidur. Sepanjang lorong tampak tas-tas, ransel menyandar pada tempat tidur, sepatu, sandal di lantai dan gorden-gorden yang menutupi tempat tidur susun dua itu di bagian kiri kanan. Saya pun melompat masuk ke tempat tidur dan menutup gorden. Dan setelah berberes dan menyalakan alarm perkiraan sampai di Phitsanulok, tanpa menunggu lama saya merebahkan diri untuk beristirahat. Kasur dan bantal yang empuk membuat saya nyaman karena bisa berbaring lurus.

Setelah berjam-jam perjalanan kereta, alarm berbunyi dan saya membereskan barang-barang dan bersiap-siap turun. Dan di gerbong tidak tampak satu orang pun yang hidup, hehehe, karena semua orang tertidur pulas. Tidak ada petugas kereta di gerbong saya maupun di gerbong sebelah, tidak ada petugas keamanan kereta. Setelah menjulur-julurkan kepala laksana naga, batang hidung petugas tak nampak-nampak. Mungkin tidur juga. Perkiraan jam saya sudah dekat dengan Phitsanulok. Saya tidak bisa membaca nama-nama stasion saat kereta berhenti karena di luar gelap. Kalau pun ada, saya tidak bisa baca tulisan Thailand. Celaka! Dan karena tidak satu orang pun yang bisa saya tanya, ketika kereta berhenti di sebuah stasion yang cukup besar dan saya tidak mau dibawa terus ke Chiang Mai, saya nekad turun. Perkiraan saya inilah Phitsanulok. Dan setelah terpatah-patah bicara dan konfirmasi dengan petugas kereta yang ada di peron stasion, akhirnya bisa ditebak. Saya salah turun stasion, sodara-sodara!!! πŸ˜€

Saya memasang muka pucat pasi dan bingung karena salah turun stasion di tengah malam dan hal itu mendapat empati dari petugas jaga. Saya diminta untuk masuk ke dalam ruang kerjanya dan diberikan karcis pengganti ke Phitsanulok. Walaupun saya bersedia membayar tiket tambahan karena turun bukan pada tujuan, mereka lebih senang memberikannya secara gratis kepada saya sebagai bentuk pelayanan kepada turis. Wah tentu saja saya senang sekali. Saya jadi tambah suka ke Thailand!

Hari ke 2 – Ke Phitsanulok & Sukhothai

Laksana orang penting, mereka menunggui saya lalu mengantar hingga ke kereta pengganti, dan menghubungi petugas kereta, mungkin untuk memberitahu bahwa saya akan turun di Phitsanulok. Walaupun tidak sebagus kereta pertama, saya masih beruntung dapat transportasi lanjutan ke Phitsanulok. (Saya tidak bisa membayangkan tengah malam seperti ini melanjutkan ke Phitsanulok dengan bus!). Kali ini saya tidak mau kecolongan lagi, kepada penumpang di sebelah saya (yang bertanya-tanya mengapa saya naik dari stasion antah berantah itu), saya hanya minta tolong untuk diberitahu ketika sampai di Phitsanulok. Dan benarlah, saat sampai di Phitsanulok, saya diberitahu oleh penumpang sebelah bahwa saya harus turun. Petugas yang tadi dititipi, tidak tampak batang hidungnya, dan kalau saja penumpang sebelah tidak berbaik hati memberitahu, tentu saya sudah terbawa ke Chiang Mai! Dan mungkin saja, tidak disertai karcis gratis lagi!

Di Phitsanulok hari sudah menjelang pagi, saya menunggu sebentar di peron setelah membersihkan diri di kamar mandi stasion. Setelah itu baru menitipkan ransel di tempat penitipan dan membawa daypack bersama saya. Dengan sharing menyewa angkot bersama bule-bule Perancis yang hanya seorang yang bisa bahasa Inggeris, saya melanjutkan perjalanan ke terminal bus untuk terus ke Sukhothai. Saya hanya perlu kembali sebelum gelap ke stasion kereta di Phitsanulok ini dan harusnya cukup waktu untuk keliling tempat wisata di Sukhothai.

Malam ke 2 – Phitsanulok Menuju Bangkok

Seharian saya mengayuh sepeda sewaan di kawasan wisata Sukhothai yang ternyata luas dan bikin kaki gempor, dan setelahnya saya kembali lagi ke stasion di Phitsanulok dengan menggunakan bus dan dilanjut dengan angkot. Sambil menunggu kereta yang datangnya dari Chiang Mai, saya membaca buku setelah bosan berjalan-jalan di sekitar stasion. Rasanya stasion Phitsanulok sudah menjadi rumah. Ibu yang menjaga kamar mandi judesnya setengah mati, tetapi dia tersenyum lebar ketika saya tambahkan uang untuknya sambil ngobrol sambil lalu.

Kereta saya datang, kali ini saya mendapat kompartemen dengan empat tempat tidur. Saya tetap memilih tempat tidur bawah yang lebih nyaman. Herannya sepanjang perjalanan, saya tidak pernah melihat teman sekompartemen. Hanya bajunya yang tergantung dan itu seragam. Jangan-jangan masinisnya dan lebih buruk lagi…. jangan-jangan saya tidur sekompartemen dengannya. Hahaha!

Perjalanan menuju Bangkok terasa menarik pada awalnya hingga akhirnya membosankan. Yang paling enak memang jika kita tertidur pulas dan baru terbangun ketika sampai di Bangkok! Atau paling tidak berbekal music atau video player untuk membunuh waktu, karena hari sudah siang menjelang Bangkok dan tentu saja karenanya semua orang dibangunkan dari tempat tidur. Kereta kembali melewati juga Ayutthaya dan Don Muang. Tetapi tentu saja tidak berhenti di Don Muang, karena kereta yang saya naiki itu merupakan kereta ekspress.

Hari ke 3 – Bangkok Lagi

Perjalanan sampai ke Bangkok kali ini tidak mengalami masalah apapun. Saya tidak mengalami kekuatiran, karena kereta akan berhenti di stasion pusat Hua Lamphong dan semua penumpang akan turun. Kalaupun ketiduran, pastilah ada petugas yang akan membangunkan. Kan keretanya berhenti.

Sesampainya di Bangkok, lagi-lagi saya memperlakukan stasion Hua Lamphong sebagai ‘rumah’. Saya makan dan membersihkan diri disitu sebelum akhirnya saya meninggalkan ‘rumah’ untuk ke pusat kota Bangkok, berkeliling ke beberapa tempat wisata termasuk berbelanja, dan akhirnya ke Bandara malam harinya untuk kembali ke Jakarta. Akhirnya bisa juga saya melakukan perjalanan 3 hari 2 malam ke dua tempat wisata dengan skala World Heritage tanpa harus menginap di ho(s)tel manapun dan tetap sehat karena bisa mandi dan bisa tidur berbaring dengan nyaman. Lain kali saya ingin mengulang lagi untuk perjalanan ke kota lain…

On the Weekend: Breakfast in Bangkok, Lunch in Singapore and Dinner in Jakarta

Reclining Buddha

Hai… Apa kabar? Luar biasa kan… Ya, kita tetap harus bersyukur kepadaNya atas semua berkah yang telah kita terima hingga saat ini. Semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan, dalam kondisi sehat sejahtera penuh kebahagiaan. Amiiin.

Kali ini saya mau cerita, dan jika membaca judulnya… hmmmm… Gaya amat ya, dalam sehari ada di 3 negara sekaligus… Akhir pekan lagi! Seperti sudah jadi Milyuner saja…

Rupanya kegilaan jalan-jalan herediter itu ada pada diri saya ketikaΒ  mendapat tugas ke Batam selama 3 hari. Memang sebelum berangkat, selintas ada rencana untuk menyeberang ke Singapore.Β  Maka dari itu saya pergi dengan membawa paspor. Walaupun bisa tidaknya itu tergantung situasi akhir di lokasi kerja. Jika memungkinkan, paling tidak saya bisa berkeliling lagi di Singapore, begitu pikiran berkelana.

Hari terakhir penugasan, ternyata teman-teman lain langsung kembali ke Jakarta dan tinggal saya sendirian di Batam. What? Sendirian di Batam? No way! Lebih baik menyeberang ke Singapore dan merealisasikan rencana. Tapi Singapore? Terbayang langsung, kaki gempor karena jalan kaki di kota Singa itu dari Merlion Park ke Bugis Junction lewat The Padang, Art Museum, batal ke Orchard Road,Β  balik menuju Bugis Junction menyusuri Bencoolen street. Lagipula Singapore cukup mahal untuk akhir pekan. Lalu kemana?

Lanjutkan membaca “On the Weekend: Breakfast in Bangkok, Lunch in Singapore and Dinner in Jakarta” β†’