Seruuuu banget, yang pasti sih dimana-mana keliatan orang, di jalan rame, ada mobil, bus, truk, bajaj, sepeda motor, gerobak, eh ketemu juga sapi… taxinya lucu, meterannya ada di luar mobil kayak spion dan bunyi klakson dimana-mana.
Itu adalah jawaban saya ketika ditanya sekembalinya dari India, lebih satu dekade lalu. Perjalanan yang tidak akan pernah terlupakan. Dalam seminggu saya menempuh perjalanan ke Singapura – India – Thailand dan Philippines dan kembali lagi ke Singapura baru pulang ke Tanah Air. Kalau digambarkan, dari Tengah lalu ke Barat, balik ke tengah lagi, lanjut ke Timur dan ke Tengah lalu akhirnya pulang ke rumah.
Mengapa lompat-lompat negara gitu ya? Ya iyaaa… karena bukan perjalanan wisata seperti biasanya. Jika liburan, mungkin seharusnya terasa menyenangkan meskipun lelah. Namun yang kami jalani ini (saya satu-satunya perempuan diantara 4 kolega pria) merupakan perjalanan business, yang meskipun ada sedikit jalan-jalannya tetapi sungguh terasa lelahnya.
Untungnya, -selalu saja ada banyak hal yang bisa disyukuri-, kami semua diperbolehkan pergi dengan Singapore Airlines yang sudah jelas layanan primanya dan di tempat tujuan kami mendapat hotel sekelas bintang lima. Jadi apa lelahnya? Beban bekerjanya itu lho… π π π

Singapura
Namanya saja melakukan perjalanan abidin (atas biaya dinas) maka kami pasrah saja harus terbang dengan pesawat pagi dari Jakarta menuju Singapura dan menunggu lama (transit) di bandara karena kami akan terbang menuju Mumbai, India jelang sore. Lama sekali ya?
Apalagi beberapa kolega saat itu baru pertama kali ke Singapura, sehingga kami semua tidak meninggalkan bandara dan bahkan saya menemani mereka untuk tour d’Changi alias berkeliling bandara Changi sambil foto-foto, mencoba sky-train antar terminal, mencoba kursi pijat, mencoba kursi istirahat dan tentu saja mencoba internet gratis. Wajahnya seperti saya dulu saat pertama kali keluar negeri… Kata orang bule, ndlongob π π π
Nantinya, -setelah urusan pekerjaan selesai di negara-negara itu-, beberapa teman termasuk saya memilih memperpanjang perjalanan sampai akhir pekan untuk berlibur di Singapura. Dan tentu saja, mereka merasakan nyamannya yang namanya MRT (sepuluh tahun lalu, belum ada MRT di Jakarta), jalan-jalan ke Orchard Road, Bugis, Mustafa dan kawasan Marina. Standard destination bagi pelancong pertama… hehehe…
Mumbai, India
Tak lama meninggalkan Singapura, langit di luar jendela telah gelap. Tapi hal itu tak menjadi masalah karena saya masih ‘norak’ terbang dengan SQ sehingga benar-benar ingin menikmati semua fasilitas yang ada. Kapan lagi bisa menikmati terbang dengan pesawat yang terkenal sebagai kiblatnya dunia layanan? Saya membuat playlist dari lagu-lagu favorit yang tersedia ratusan atau bahkan mungkin ribuan judul, mendengarkan lagu yang belum pernah didengar juga menonton film terkenal. Saat itu, film Slumdog Millionaire masih menjadi pembicaraan khalayak ramai. Tentu saja saya mencoba menontonnya meskipun setengah mengantuk. Saya hanya mengingat beberapa adegan kumuhnya negeri India, satu label yang menempel pada India.
Dengan mata mengantuk kami mendarat jelang tengah malam di Chhatrapati Shivaji Maharaj International Airport di Mumbai, India. Untungnya semua urusan imigrasi dan bagasi tidak bermasalah. Yang bermasalah hanyalah seorang teman saya, saat kami semua menanti mobil jemputan dari area parkir. Dia diikuti oleh seorang ibu-ibu pengemis yang sangat demanding, padahal dengan bahasa tubuh seadanya teman saya itu sudah minta maaf tidak bisa memberikan uang receh. Tapi pengemis itu tak percaya. Hingga teman saya naik ke mobil, pengemis itu masih menempelkan mukanya di jendela mobil. Sambutan yang menarik khusus untuk teman saya, begitu kata kami semua kepada dia, karena dia satu-satunya orang yang diikuti oleh pengemis sementara kami semua bebas.
Kami mendapatkan hotel bintang lima yang berada di dekat bandara. Keren banget sih, karena kamarnya amat luas dan saya mendapat kamar sendirian (karena saya satu-satunya perempuan). Standar bintang lima! Sayangnya, –pake banget-, kami semua tak bisa menikmati mewah atau nyamannya fasilitas hotel itu, karena pada pagi harinya harus sudah siap. Bekerja! Jadi praktis tengah malam check-in, jam 9 pagi sudah harus check-out. Dan malamnya kami harus terbang kembali ke Bangkok!

Sambil menuju tempat pekerjaan menanti, kami semua berusaha ‘mencuri’ foto-foto kota, termasuk foto stasiun kereta api saat peak-hour. Yang terlihat, seperti tawon yang keluar dari sarangnya… π Untungnya tim lokal menjadi tuan rumah yang baik sehingga mereka juga berjanji akan menunjukkan tempat-tempat lain yang terkenal setelah pekerjaan selesai.
Saat itulah saya melihat lalu lintas Mumbai yang lumayan kusut di peak-hour. Di jalan ada begitu banyak mobil pribadi yang bagus, bercampur dengan taksi-taksi hitam yang memiliki argometer di bagian luar, truk, bus yang terlihat kuno, sapi menarik gerobak, sepeda motor dengan pengemudi dan penumpangnya yang kadang tak mengenakan helm. Di persimpangan, klakson bersahut-sahutan, kadang terdengar omelan keras terlontar tapi tak ada marah. Semua bisa berjalan tanpa emosi. Membuat saya kagum.
Setelah urusan pekerjaan selesai dengan sangat efektif, kami diajak makan siang yang terlambat dengan menu kari yang meninggalkan kesan terenak yang pernah saya makan. Rasanya lembut sekali di lidah, sempurna. Tidak hanya saya saja yang merasakan enaknya kari itu, karena semua kawan saya mengatakan hal yang sama.

Sebelum ke bandara jelang akhir hari itu, tim lokal menempati janji dengan menunjukkan beberapa tempat yang menarik. Termasuk rumah aktor Bollywood yang ngetop ke seluruh dunia, Shah Rukh Khan, meskipun hanya menunjukkan bagian depannya saja. Juga rumah keluarga artis cantik Aishwarya Bachchan dan mertuanya, Amitabh Bachchan. Bagaimanapun saya kagum juga dengan menara-menara tegangan tinggi yang menjajari jembatan panjang yang menyeberangi teluk yang amat luas.
Mereka juga menunjukkan pantai yang luas, yang bagi saya salah tempat dan salah waktu. Siang terik ke Pantai? Saya hanya bergumam di dalam hati, mungkin tim lokal tidak tahu bahwa Indonesia memiliki begitu banyak pantai yang teramat indah…
Bangkok, Thailand
Setelah beristirahat sebentar di sebuah apartment, malam harinya kami terbang ke Bangkok. Kali ini tidak menggunakan Singapore Airlines melainkan The Royal Thai yang tidak kalah ramahnya dengan maskapai Singapore Airlines itu.
Mendarat pagi di Suvarnabhumi kami langsung ke hotel yang berada di pinggir Sungai Chao Phraya. Tentu saja saya ‘norak’ lagi karena telah beberapa kali ke Bangkok, hanya bisa memimpikan untuk bisa menginap di hotel yang waktu itu sangat terkenal di Bangkok. Dan ketika bisa memasuki hotelnya, rasanya luar biasa sekali…
Dan masalah menghampiri….
Rupanya ada kesalahan pemesanan, sehingga nama-nama kami tidak tercatat pada tanggal itu. Nama kami tercatat di tanggal sebelumnya dan dianggap No Show, karena tidak muncul pada tanggal itu, padahal kami masih dalam penerbangan menuju Bangkok. Akhirnya kami melakukan negosiasi, meskipun alot dengan keterbatasan komunikasi (bisa jadi kami kurang bisa mengartikan bahasa Inggeris yang diucapkan dengan aksen Thailand). Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menginap di hotel itu.

Karena hari itu diagendakan sebagai hari istirahat sehabis perjalanan dari India, kami memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan keliling Bangkok. Tentu saja menyusuri Sungai Chao Praya, mengunjungi Wat Pho, mencoba tuk-tuk menjadi pilihan hari itu.

Esoknya kembali menjadi hari sibuk yang melelahkan sampai jam makan siang yang dilakukan secara cepat sebelum berkendara di tengah macetnya Bangkok ke bandara Suvarnabhumi karena sebelum hari itu berakhir, kami harus terbang ke Manila, Philippines.
Manila, Philippines
Terbang dengan menggunakan The Royal Thai, kami mendarat petang hari di Ninoy Aquino International Airport. Seorang petugas memperhatikan saya lalu mengajak saya berbahasa Tagalog. Saya sedikit kaget lalu tersenyum santai karena dianggap orang lokal. Setelah dia selesai bicara, tak lepas senyum saya menjelaskan bahwa saya bukan orang lokal. Gantian dia yang tak enak hati lalu tertawa bersama. Ah, di Asia ini sering sekali saya dianggap sebagai orang lokal. Mukanya standar Asia banget kali yaa….

Begitu imigrasi dan bagasi selesai, langsung saja kami menuju hotel yang dipesankan di kawasan elite, Makati. Meskipun lelah pindah-pindah kota (dan negara) hampir setiap hari, kami berusaha menikmatinya.
Esok harinya, kami begitu menikmati adanya agenda kosong sebelum makan siang. Setengah hari yang rasanya cepat berlalu itu, kami nikmati di daerah kota tua Intramuros, sebuah kawasan penuh sejarah yang menjadi UNESCO World Heritage Site. Seorang teman beruntung bisa mengikuti misa di dalam katedral, meskipun tak mengerti bahasanya. Saya sendiri hanya bisa mengambil foto-foto dengan pikiran bercabang karena masih ada beban pekerjaan yang belum selesai.
Belum lagi bisikan dari seorang teman yang mengatakan mungkin saya akan agak sulit mencari makan, karena katanya dimana-mana hanya makanan untuk dia yang non-Muslim. Ugh, makanan cepat saji McDonald saja tidak bisa… π¦ π¦ π¦

Hari itu, kami menyelesaikan pekerjaan hingga petang hari yang merupakan penuntas dari perjalanan pindah-pindah negara di Asia ini. Selesainya merupakan waktu yang ditunggu-tunggu.
Dan benarlah, ketika malam tiba, -setelah semua pekerjaan rampung-, kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk jalan-jalan melepas penat. Tapi dasar kami tak tahu kawasannya dan hanya mengikuti kaki melangkah, sepertinya kami tersesat ke pinggiran daerah red lights. Banyak mata melihat saya yang kemudian disadari oleh beberapa teman. Tanpa pikir panjang lagi langsung saja saya dikawal teman-teman untuk balik kanan, kembali ke hotel π π π

Hari berganti dengan cepat, segala beban lepas sudah. Kami meninggalkan bandara Ninoy Aquino International Airport sebelum jam makan siang berdentang. Lagi, dengan Singapore Airlines kami terbang menuju Singapura. Rombongan kami terpecah dua, ada yang langsung kembali ke Jakarta dan sebagian lagi memperpanjang perjalanan di Singapura, termasuk saya.

Satu minggu berlalu, cap-cap di paspor saya bertambah empat negara. Tapi apa arti bertambahnya cap-cap itu jika saya tak menjiwai keberadaan diri sendiri di negeri itu? Kesan atas negara yang dikunjungi seperti diterbangkan angin, hilang begitu saja selepas pesawat tinggal landas. Sejak itu, saya tahu, saya bukanlah tipikal orang yang menghitung-hitung “been there” berbasis cap di paspor. Karena jika memang begitu, kita hanya perlu sekitar 200 hari untuk bisa ke seluruh dunia.
Karena saat meninggalkan ke empat negara itu, di dalam hati selalu terucap, saya akan kembali… someday…
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Sreiβs Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-34 bertema Untold agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.