Bandara Penuh Doa


Mungkin begitu banyak harapan dan doa yang tertinggal jejaknya di bangunan yang disebut bandara. Bagi yang akan membumbung ke angkasa meninggalkan bandara, banyak harapan dan doa agar yang ditinggalkan selalu dalam keadaan baik-baik saja sementara iapun melambungkan doa agar perjalanannya lancar. Bagi yang ditinggalkan di pintu bandara, ia melambaikan tangan dalam doa agar perjalanan mereka yang terkasih selalu dalam perlindungan Pemilik Semesta. Meskipun kadang tak terucap atau tak terlihat jejaknya, doa dan harapan selalu menghias udara bandara.

Demikian juga dengan saya yang lebih seringnya melakukan perjalanan solo, telah berulang kali meninggalkan jejak-jejak begitu banyak doa di bandara-bandara..

Incheon

Seperti yang pernah saya ceritakan dulu dalam pos Incheon, What Incheon?, tidak akan dipungkiri bahwa saat itulah saya melambungkan begitu banyak doa agar tidak tertinggal pesawat. Doa-doa yang sudah dipanjatkan dalam bus sejak meninggalkan daerah Myeongdong semakin khusuk rasanya saat sampai di Bandara Incheon. Saat check-in, petugasnya sudah menampakkan wajah cemas agar saya bersegera karena mungkin sudah boarding. Setelahnya saya lari, …dan lari, …dan lari, di bandara Incheon yang sangat luas itu sambil berdoa semoga sempat sampai ke pesawat. Tidak lupa mengembalikan mobile-wifi yang kiosnya begitu tersembunyi sehingga saya harus lari berputar berkali-kali untuk bisa menemukannya. Setelah itu, lari lagi untuk proses imigrasi, dan masih lari lagi untuk ke gate yang ternyata sudah kosong! Ya Allah, saya lariii sambil terus berdoa agar diperbolehkan masuk ke pesawat dan akhirnya… saya termasuk orang-orang terakhir masuk pesawat sebelum pintu ditutup! Allah Maha Baik, tanpa kekuatan dariNya untuk bisa lari sekuat itu (olahraga bukan hobby saya!), pasti saya sudah ditinggal pesawat.

Dan berhubung lari melulu, saya tidak sempat bagaimana bagusnya Incheon, tidak bisa mengabadikan bandara yang kata semua orang yang pernah ke Seoul itu sangat keren. Jadi kalau mau lihat foto Incheon… googling aja ya 😀

Lukla

Bandara lain yang memiliki begitu banyak jejak doa saya adalah Lukla, ketika saya melakukan perjalanan ke Namche Bazaar, Nepal, yang merupakan desa terbesar untuk melakukan aklimatisasi pertama jika melakukan trekking ke Everest Base Camp. Menyadari kemampuan diri ditambah keterbatasan waktu, saya hanya memilih sampai ke Namche Bazaar dan belum berani melakukan trekking ke Everest Base Camp. Tetapi, mau ke EBC atau hanya ke Namche Bazaar, pengunjung dari Kathmandu biasanya memilih melalui Lukla, salah satu bandara yang bergelar The Most Dangerous Airport In The World!

lukla airport
Lukla, one of the Most Dangerous Airports In The World

Bandara yang dibangun oleh Sir Edmund Hillary tahun 1964 itu memang ajaib. Runway sekitar 500 meter itu tidak datar melainkan menurun landai berujung jurang. Kalau pesawat kurang tenaga saat lepas landas, bisa dipastikan nyungsep ke jurang. Kalau tidak hati-hati saat mendarat, pesawat juga bisa terjun bebas ke jurang. Untung saja, pilot Nepal bisa dikategorikan mahir untuk lepas landas atau mendarat di kawasan yang ekstrim, meskipun ujung-ujungnya tetap tergantung Yang Maha Kuasa.

Pada pagi hari saat memulai perjalanan ke Namche Bazaar itu, saya mengalami delay cukup lama di bandara Kathmandu. Alasannya cuma satu, cuaca! Tentu saja, cuaca yang dimaksud adalah cuaca di Kathmandu, cuaca di perjalanan dan cuaca di Lukla. Salah satu dari tiga itu tidak bagus, penerbangan akan terus didelay. Bagaimana saya tidak berdoa?

Ketika akhirnya ada clearance untuk terbang, saya masih melihat awan cukup tebal menaungi Kathmandu. Aduh, mana saya menuju bandara yang dilabeli The Most Dangerous Airport in the World! Tentu saja doa saya semakin khusuk! Apalagi sepanjang jalan, awan tebal putih menghias pemandangan. Tapi jangan ditanya kehebatan pilot-pilot Nepal menghadapi bentang alam negaranya yang dipenuhi pegunungan tinggi itu. Jelang Lukla, saya disodori pemandangan yang mengerikan. Meskipun permukaan bumi itu dipenuhi pohon-pohon yang hijau dan terlihat air terjun yang cantik, tapi saya tahu ketinggiannya ekstrim, tebingnya sangat tinggi, jurangnya sangat dalam, hutannya lebat. Desa-desanya berjauhan. Berdoa saja agar penerbangan lancar dan selamat… karena kalau tidak…, ah saya tidak ingin melanjutkan kalimatnya.

approaching lukla
The deep valeys approaching Lukla
clouds to lukla
Sea of Clouds – to Lukla
clouds to lukla 2
Thick Clouds heading to Lukla

Dan ketika bandara Lukla sudah di depan mata, semua penumpang pesawat baling-baling itu sepertinya menahan nafas, merasakan ketegangan yang menekan bercampur pasrah menggantungkan hidupnya kepada keahlian sang pilot. Sambil mencoba mengalihkan rasa, para penumpang termasuk saya melihat keluar sambil berdoa dalam hati hingga roda pesawat menyentuh permukaan bumi dan rem pesawat melambatkan lajunya. Sangat singkat, tak perlu lama pesawat bergerak di runway kemudian langsung berbelok untuk berhenti total di terminal. Penumpang bertepuk tangan, merasa lega diberi keselamatan sampai ke Lukla.

Buat saya selesaikah? Tentu tidak…

Karena setelah trekking beberapa hari, saya perlu lepas landas dari bandara ini lagi. Dan bagi saya itu lebih mengerikan daripada mendarat!

Jadi, sehari sebelum tanggal kembali ke Kathmandu, saya agak jengkel kepada pemandu trekking karena memaksa kembali dari Namche Bazaar ke Lukla dalam satu hari, padahal dalam perjalanan perginya rute itu dibagi dalam dua hari. Alhasil saya sampai Lukla pada malam hari karena saya merupakan seorang snail trekker.

Tetapi pagi harinya saya baru mengetahui mengapa pemandu itu memaksa sampai pada malam sebelumnya. Tujuannya agar saya mendapat prioritas penerbangan pertama kembali ke Kathmandu. Dan pagi subuh itu, dari balik pagar bandara saya cemas karena awan yang tebal menaungi Lukla dan kabut tebal yang menutupi ujung landasan! Padahal ujung itu jurang… Oh my God, ujungnya tak terlihat bagaimana mau terbang? Duh, saya merapal doa semakin panjang…

lukla at dawn
Lukla – Cannot see the end of the runway

Pagi itu, semakin banyak calon penumpang menunggu kabut menghilang dan cuaca membaik. Untungnya saya terdaftar di penerbangan awal sehingga mendapat prioritas. Saya berdoa lagi, lebih khusuk kali ini karena jika penerbangan ini dicancel bisa-bisa saya kehilangan penerbangan pulang ke Jakarta. Dan rupanya Pemilik Semesta menjawab doa saya. Begitu awan sejenak tersibak dan kabut terangkat, -hanya sebentar-, pesawat kami mendapat kesempatan lepas landas. Hari itu, -sesuai informasi dari rekan-rekan sesama pemandu-,  hanya tiga penerbangan pagi yang bisa dilakukan selanjutnya dicancel. Duh, Allah Maha Baik, saya beruntung bisa pulang!

Jomsom

Selain Lukla, bandara Jomsom merupakan bandara di Nepal yang juga penuh jejak doa saya. Bandara ini tempat bertolaknya pengunjung untuk melakukan perjalanan ke daerah Lower atau Upper Mustang atau ke Muktinath, salah satu tempat suci umat Hindu. Lalu apa yang mengerikan dari bandara ini? Tidak begitu berbeda dengan Lukla, penerbangan dari dan ke Jomsom hanya bisa dilakukan pada pagi hari, tidak lebih dari jam 11 karena setelahnya, angin kencang Mustang mengacaukan penerbangan (dan angin ini benar-benar terasa kekuatannya saat saya trekking!). Jomsom mungkin cerah namun jika angin kuat mulai bertiup, semua penerbangan bisa dibatalkan.

Sewaktu terbang dari Pokhara ke Jomsom, lagi-lagi tidak lebih dari tiga penerbangan yang bisa berjalan normal termasuk penerbangan saya. Sisanya dibatalkan karena angin terlalu kencang. Berdasarkan pengalaman itu, bisa dibayangkan bagaimana doa-doa yang saya panjatkan di bandara saat pulang kan? Uh, masak saya stranded di Jomsom?

jomsom airport1
Jomsom – Waiting Room

Setelah cek prakiraan cuaca (yang sepertinya tidak bisa diandalkan juga) dan diskusi dengan pemandu, akhirnya saya mengubah itinerary termasuk mengubah jadwal pulang, meskipun saya sendiri tidak tahu apakah tanggal kepulangan itu lebih baik untuk terbang atau tidak.

Dan di tanggal kepulangan itu, saya hanya mondar mandir di depan hotel (yang artinya hanya selemparan batu ke bandara karena hotel dan bandara hanya dipisahkan oleh badan jalan). Pemandangannya indah, gunung Nilgiri yang bertudung salju berselimut awan. Dari hotel saya bisa mengetahui tak ada pesawat yang bisa terbang sejak pagi. Jomsom tidak begitu bermasalah, bisa jadi perjalanan di antara Jomsom dan Pokhara yang kurang baik. Saya menunggu sambil tak lepas berdoa, meskipun sudah check out dari hotel. Melihat situasinya, saya sudah berpikir keadaan terburuk untuk menempuh perjalanan darat selama 24 jam ke depan (yang amat sangat tidak nyaman) dan itu artinya kejar-kejaran waktu dengan kepulangan saya ke Jakarta, belum lagi perjalanan dari Pokhara ke Kathmandu. Ah, meskipun pemandangan di depan mata sangat indah, saya harus memikirkan perjalanan pulang ini… saya melambungkan doa agar bisa pulang.

boarding_jomsom
Boarding in Jomsom

Selagi mengalihkan rasa dan pikiran, tiba-tiba pemandu saya datang tergopoh-gopoh memberi tanda saya akan terbang pagi itu. Penerbangan saya yang dapat clearance untuk terbang hari itu karena ada pesawat yang berangkat dari Pokhara. Belum lama doa dilambungkan, Pemilik Semesta telah menjawabnya. Ada sejumput rasa lega.

Saya bergegas memanggul ransel lalu berjalan kaki ke bandara. Tak lama seluruh penumpang sepesawat diminta boarding, bahkan pesawatnya saja belum landing. Itulah yang terjadi di Jomsom. Begitu pesawat berhenti, dan penumpang turun, penumpang yang terbang sudah mengantri di sisi lain dari pesawat dan bersegera berangkat lagi. Semuanya memiliki kategori “segera”. Hanya hitungan menit, pesawat baling-baling itu sudah siap terbang lagi. Dan sepanjang jalan saya tak lepas berdoa dalam hati, karena hanya awan putih tebal yang menghias pemandangan selama terbang. Seandainya terang, jajaran pegunungan Annapurna bisa jelas terlihat termasuk jalur trekking Poonhill.

Jelang mendarat di Pokhara, keadaan cuaca membaik. Saya lega, bercampur lelah karena tekanan rasa yang terus menerus. Dan setelah beberapa jam di Pokhara, pemandu saya menyampaikan bahwa hanya ada dua penerbangan hari itu dari Jomsom, penerbangan saya dan penerbangan setelah saya. Selanjutnya tidak ada lagi penerbangan. Ya, Allah, saya tergugu dalam syukur… Allah Maha Baik!


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-2 ini bertema Airport agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Japan – Haneda


Melalui jendela pesawat, saya melongok ke malam gelap itu, tampak kerlip-kerlip lampu jauh di bawah sana, ada kota besar, bisa jadi Hong Kong, Taipei atau Shanghai, entahlah… Saya masih teringat saat jelang malam mulai menghias pandang, semburat kuning yang cantik memberi pantulan awan-awan yang sangat luar biasa. Tetapi pemandangan tadi sudah ditelan malam, menurut perkiraan, penerbangan masih sekitar dua setengah jam lagi. Ah, saya memang tak sabar untuk bertemu kembali dengan Tokyo.

Heading Tokyo
Heading Tokyo

Rasanya waktu berjalan selambat kura-kura, tetapi akhirnya pilot memberitahukan akan segera mendarat di Haneda. Ah… finally! Saya kembali memandangi malam yang gelap di luar jendela itu, dengan rasa haru yang memenuhi kalbu. Dalam hitungan menit, perjalanan kami sekeluarga yang telah tertunda bertahun-tahun akhirnya akan terwujud. Dreams come true…

Roda-roda pesawat menyentuh landasan Haneda dengan sangat mulus, jauh berbeda dengan grunjalan saat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang membuat hati miris. Dalam sekejap terlihat melalui jendela, selagi pesawat masih bergerak menuju terminal, kondisi bandara di luar yang terang benderang penuh dengan lampu-lampu rambu warna-warni. Welcome to Japan!

Haneda…!

Haneda dahulu merupakan sebuah nama kota, tetapi kini takkan pernah ditemukan lagi di peta Jepang modern, karena telah dihapuskan pada tahun 1947 sebagai akibat penggabungan wilayah Omori dan Kamata menjadi wilayah Ota yang dikenal hingga kini, dan hanya menyisakan 3 wilayah kodepos dari perkampungan nelayan jaman Edo: Haneda, Haneda Asahi-cho dan Haneda Kuko. Siapa yang bisa menduga daerah terpencil tak jelas itu pada akhirnya menjadi sebuah bandara yang terkenal ke seluruh dunia yang mampu menorehkan kenangan tak terlupakan? Ah, bukankah bandara merupakan tempat dua hati yang gembira karena berjumpa, tetapi juga ada hati yang retak terpisah dan tak sedikit yang dipenuhi rasa tak rela berpisah…?

Malam hampir mencapai puncak berganti tanggal, kantuk yang tergambar di wajah dengan cepat menghilang dan berganti dengan semangat penuh sukacita. Kami meninggalkan pesawat lalu menyusuri lorong lebar dengan travelator disana-sini hingga akhirnya sampai ke ruang imigrasi yang disambut  beberapa petugas yang tak lagi muda, sigap membagi pengunjung dengan sangat efisien. Keraguan  proses imigrasi akan berlangsung lama karena antrian orang yang mengular itu ternyata bisa langsung ditepis, karena sejak masuk antrian hingga meninggalkan imigrasi, kami berempat hanya perlu waktu 15 menit. Sambutan selamat datang pertama dari Haneda yang menyenangkan jiwa raga… Hanya 15 menit!

Kami melangkah mengabaikan koper yang berbaris di tempat pengambilan bagasi karena hanya ransel yang kami bawa. Petugas Customs yang merupakan lapis kedua pemeriksaan pengunjung sesigap petugas imigrasi sebelumnya, walaupun saya memiliki sedikit rasa bersalah telah menyembunyikan sekotak keju dan abon di dalam ransel 😀

Dia Yang Setia Menunggu

Beberapa menit kemudian kami telah sampai pada area publik. Lantai kedatangan yang luas itu masih dipenuhi orang yang berlalu lalang walaupun hari hampir berganti tanggal. Haneda memang bandara yang terkenal aktif di tengah malam. Saya berdebar melangkah menuju tempat yang dijanjikan, -yang terletak di sudut dari lantai keberangkatan, satu lantai di atas lantai kedatangan-, sambil mengingat-ingat arah sesuai peta yang dikirimkan beberapa hari sebelumnya.

Sesampainya disana, sambil mengucapkan ‘Konbanwa’ (Selamat Malam), saya menyapa perempuan yang mungkin bisa membantu mempertemukan saya dengannya. Perempuan Jepang itu menatap penuh selidik lalu berbalik dalam diam dan menjauh. Saya memandang punggung perempuan itu dengan sejuta harap, apakah saya bisa berjumpa dengannya. Saya percaya janji setianya menunggu sampai saya datang.

Detik waktu berjalan selambat kura-kura, satu detik, dua detik, satu menit, dua menit, perempuan itu gelisah menangkap pandangan saya yang terus mengikutinya. Sebelum menyerah, perempuan itu meminta bantuan seorang laki-laki di dekatnya dengan menggunakan bahasa Jepang. Saya berdebar, sejumput keraguan menghampiri, jangan-jangan dia tak pernah datang. Inikah artinya PHP? Bukankah tradisi Jepang tak mengenal harapan palsu? Udara AC yang seharusnya sejuk tak mampu mengalahkan udara yang lembab. Titik-titik keringat memenuhi leher dan dahi, sambil mengipas menahan sabar saya menunggu , tetap percaya dia tak pernah ingkar janji.

Akhirnya perempuan itu berbalik tersenyum menghadap saya kembali. Bersamanya. Bagaikan ladang kering yang bertahun tak mengenal hujan, senyum perempuan itu mengguyur habis kegelisahan yang ada. Dia ada disana. Setia menunggu saya datang menjemputnya.

Dia, sebuah paket mobile WIFI hitam yang telah saya pesan seminggu sebelumnya. Barang kecil pembawa kegembiraan karena memungkinkan kami untuk terus berhubungan dengan dunia luar, kerabat, teman-teman dan keluarga di Indonesia, sesuai tracking-nya memang telah sampai pada siang hari di tempat pengambilan dan setia menunggu saya 😀

Haneda - Departure Terminal
Haneda – Departure Terminal

Yang Tak Ternilai

Setelah pengambilan itu, wajah-wajah tercinta dihiasi rasa heran melihat saya melangkah lagi menuju sudut lain di lantai yang sama, menjauh dari pintu keluar. “Si Mama mau kemana lagi? Bukankah ini malah menjauhi stasiun kereta?”, mungkin demikian pikir mereka.

Saya melirik mereka semua yang mengikuti dengan yakin tanpa bertanya. Sebuah ide iseng penuh kejahilan tiba-tiba muncul di benak. Kalau saya jalan memutar lantai keberangkatan ini, mereka tidak akan tahu dan tetap mengikuti saya seperti bebek. Devil’s laughter nyaring berbunyi di kepala. Dengan muka lurus tanpa ekspresi saya tetap melangkah dan mereka terus mengikuti…

Rencana awal kami adalah tidur di kursi-kursi bandara menunggu pagi, tetapi saya penuh pertimbangan untuk hal ini. Dalam trip sebelumnya saya pernah mengajak mereka tidur di bandara namun kemudian diikuti muka zombie sepanjang hari saat mengunjungi tempat-tempat wisata yang diakhiri dengan si kakak yang sakit di akhir perjalanan dan tidak fitnya teman sekasur saya. Saya tak mau hal itu berulang di Jepang, karena banyak tempat wisata yang terlalu bagus untuk didatangi dengan muka zombie. Saya ingin seluruh keluarga bisa beristirahat dengan baik setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Dan keesokan harinya bisa segar dengan mandi yang nyaman agar bisa menjelajah Tokyo. Istirahat cukup, apalagi di tempat yang enak, dan mandi dengan kesegaran baru, dua hal yang menentukan untuk mempertahankan kesehatan dan kegembiraan liburan bagi keluarga, karena kesehatan sungguh tak ternilai. Tentu saja harus ada yang dikorbankan, dan demi mereka saya memilih mengorbankan uang.

Saya terus melangkah dan mereka di belakang masih mengikuti saya seperti bebek… hihihi…

Di ujung lorong, di balik sudut itu, semuanya pasti berubah. Saya tahu dalam hitungan detik, salah satu dari mereka atau semuanya akan mengejar saya, mencubit atau memeluk sayang tak percaya. Bayangan tidur di kursi-kursi bandara perlahan mengabur. Saya sampai di ujung lorong.

Royal Park Hotel - Haneda
Royal Park Hotel – Haneda

Berbalik lalu memandang penuh cinta kepada mereka semua sambil melakukan group-hug, saya mempersembahkan kejutan hari pertama buat mereka agar bayangan tidur di kursi-kursi bandara menghilang,

Surpriseee…hotel kita malam ini

Dalam kegembiraan penuh sukacita yang melambung, kami semua berdiri di depan lorong dan membaca pelan-pelan tulisan yang berada di ujung, Royal Park The Haneda Hotel.

Waktunya berpelukan lagi…

Kejutan indah awal liburan menginap di hotel keren yang senyap di bandara yang sibuk, meskipun mahal… hal… hal… nget… nget… nget, mengantar kami ke alam mimpi penuh suka cita, menghapus lelah sebelumnya dengan senyum lebar menjadi kesegaran dan keceriaan penuh semangat baru untuk menjelajah Jepang.

Dan saya pun bermimpi kartu kredit berubah bentuk lalu hidup dan menagih hutang…

View from Haneda in the morning
View from Haneda in the morning

Korea – Incheon, What Incheon?


Incheon, bandara Seoul yang katanya megah itu…

Katanya?

Memang benar! Katanya…

Bagi penggemar Korea, mohon maaf dan jangan marah dulu karena saya memang tidak merasakan kemegahannya, karena ada ceritanya tersendiri…

*

Salah Mengartikan Peta

Berawal dari pulang jalan kaki pada malam sebelumnya. Dengan kaki yang rasanya sudah mau lepas dari tubuh karena jalan tak habis-habis serta naik turun tangga di area Myeongdong, saya memaksa diri untuk membaca jadwal bus bandara yang haltenya ada di depan Hotel Sejong. Dengan mata yang sudah lelah dan penerangan yang tidak terlalu terang, saya melihat route bus tersebut. Rute kembali ke Bandara lebih dekat dari pada datang dari bandara. Jadi sepertinya saya bisa lebih santai besok, apalagi pesawat akan terbang pada jam 09.35 waktu setempat.

Route Bus 6105 from Sejong Hotel - Myeongdong (dari Sejong.co.kr)
Route Bus 6105 from Sejong Hotel – Myeongdong (dari Sejong.co.kr)

30 Menit Yang Menyesatkan

Entah kenapa, sejak berada di Korea, saya memiliki persepsi untuk ke bandara Incheon hanya memerlukan waktu 30 menit dari pusat kota Seoul! Bahkan saya sangat meyakini hal itu sehingga tak memeriksa kembali melalui internet. Dan memang demikianlah jadinya, saya packing dengan santai dan sempat sarapan terlebih dahulu di hotel dengan enaknya lalu melangkah ke bus stop yang ada tepat di depan Hotel Sejong tepat sebelum jam 07.00.

Namun antrian sudah cukup banyak sehingga ketika saya tidak mendapat tempat di bus jam 07.00. Itu artinya saya harus menunggu bus berikutnya. Baiklah… saya masih ada waktu kan? Hanya 30 menit ke bandara…

Bukan 30 Melainkan 90!

Tidak berapa lama, bus berikutnya datang. Segera saya naik dan membayarnya lalu duduk di bagian kiri. Matahari muncul seakan memberi kehangatan pagi untuk semua warga Seoul di musim gugur ini. Setelah beberapa menit akhirnya bus berangkat meninggalkan wilayah Myeongdong. Saya menikmati pemandangan seantero Seoul yang belum puas saya jelajahi. Masih banyak destinasi indah di Seoul yang suatu saat nanti akan saya datangi kembali.

Selagi melewati Namdaemun, saya sempat melihat jam 07.35. Saat itu saya merasa bus berjalan lambat. Bukankah Namdaemun hanya berjarak 1 halte dari Myeongdong? Jalan memang lumayan padat tetapi belum sampai macet. Entah kenapa saya merasakan ada yang salah saat itu… Something is very wrong… dang-ding-dong…

Kemudian rasa aneh itu membawa saya untuk googling. Dan bagaikan disengat listrik, saya terkejut sekali membaca informasi bahwa perjalanan bus dari Myeongdong ke Incheon Airport rata-rata memerlukan waktu 1 jam 30 menit. 90 Menit! Haaaa…?? Tidaaaaakkk….

Rasa terkejut seketika berubah jadi senewen, cemas, kuatir, deg-degan tingkat teratas. Rasanya inilah kejadian paling dodol yang pernah saya lakukan. Tidak habis-habisnya saya mengomel ke diri sendiri. Betapa saya ceroboh, tidak aware, tidak check-and-recheck dan masih jutaan omelan ke diri sendiri.

Tetapi semua itu tidak cukup. Apa yang harus saya lakukan selain mengomel? Tidak Ada!

Jika pk. 07.35 masih di Namdaemun ya kira-kira pk. 09.00 kurang baru sampai di Incheon! Padahal belum check-in, belum kembalikan si Egg (pocket WIFI), belum antri imigrasi… Pesawat akan lepas landas pk. 09.35! Terbayang langsung di benak, saya ditinggal pesawat dan uang yang terbang melayang dua kali karena harus membeli tiket baru *slowmotion

Dan setiap halte tempat bus berhenti sejenak, saya semakin senewen, berdoa agar bisa lebih cepat. Di halte Seoul Station, please cepetan… Di halte Brown’s Suite tolong Ya Tuhan, jangan lamaaa… Di halte Chungjeongro Station, Ya Allah… kumohon keajaibanMu… dan berulang terus. Sungguh sebuah perjalanan bus yang rasanya paling lama dan tidak sampai-sampai…

Akhirnya bus berhenti di bandara Incheon, tapi saya harus kembali bersabar (walaupun rasanya sudah di tepi sabar) karena terhalang orang-orang yang duduk di depan saya yang juga ingin keluar dari bus. Saya sudah tak sempat lagi untuk melihat jam di tangan saya, yang penting adalah lari menuju layar besar yang memperlihatkan konter check-in Air Asia.

Wiki - Incheon International Airport - Departure Terminal
Wiki – Incheon International Airport – Departure Terminal

 Lari!!!

Saya lari ke bagian check-in counter dan menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Begitu melihat penerbangan saya, petugas perempuan itu tampak sangat sigap memproses. Hanya perlu sebentar lalu sambil menyerahkan boarding pass dan paspor, ia mengatakan dengan wajah cemas, Anda harus cepat, sepertinya sudah boarding, sambil menunjukkan arah keberangkatan. Ya Tuhan… dia saja cemas! Aku mohon keajaibanMu, bantu aku ya Allah…

Saya langsung mengambil boarding pass dan paspor darinya lalu lari sekuat tenaga menuju arah gerbang masuk. Tetapi saya harus mengembalikan pocket WIFI dulu, dan tidak seperti di Jepang yang tinggal memasukkan ke kotak pos, saya harus mengembalikan ke konternya lalu akan dikonfirmasi setelah diperiksa oleh petugas. Dan saya tidak tahu dimana konter pengembaliannya!

Berbekal pengetahuan bahwa loket itu ada di lantai yang sama untuk check-in, lagi-lagi saya memaksa diri untuk lari. Kemana? Yaa… Lari memutari seluruh konter check-in di lantai itu! Gedung terminal keberangkatan itu luas, tak beda dengan terminal di Hong Kong dan saya harus mencari loket pocket WIFI itu. Rasanya sudah kehabisan nafas tetapi saya tidak boleh menyerah. Saya masih lari dan benar-benar lari mengelilingi area check-in sambil mata membaca konter si Egg.

Setelah lengkap memutari area check-in satu putaran dan tidak ketemu, saya harus lari lagi dan kali ini Tuhan berkenan menjawab doa saya dengan menyembulkan loket itu tepat di depan mata. Ternyata tak jauh dari konter Air Asia tapi kepanikan itu membuat saya tak awas sehingga melewatinya. Sambil terengah-engah kelelahan, saya mengembalikan semua peralatan itu lalu menunggu dicheck kembali oleh petugas. Saya hanya menatap matanya. Begitu ia tersenyum dan mengangguk saya langsung melesat lagi, lari lagi, kali ini menuju pintu imigrasi.

Ya Tuhan… semoga antriannya tidak panjang… Ternyata… tetap panjang! Aduuuh…

Antrian ini tidak bisa disela, walaupun terengah-engah saya mencoba mengatur nafas dan beringsut maju pelan-pelan. Untung seluruh petugas bekerja dengan sangat efisien, jadi walaupun antrian panjang, prosesnya cepat.

Begitu paspor saya dicap, saya langsung mengambilnya dengan cepat diiringi ucapan terima kasih lalu melihat arah gerbang keberangkatan. Dan saya sudah tak berani lihat jam. Saya hanya punya satu tujuan, saya harus mencapai gate secepat mungkin dengan lari. Dengan ransel yang lumayan berat ditambah tas tangan, saya lari… dan lari… dan lari…*nafasmauputusrasanya

Rasanya tidak sampai-sampai… jauh sekali…

Fokus saya hanya satu, mencapai gate!

From Wiki - Duty Free Shops
From Wiki – Duty Free Shops

Dan saat lari, saya hanya melihat toko-toko sepanjang koridor tempat saya lari, terlihat melesat cepat ke belakang, artinya kecepatan lari saya lumayan. Sempat-sempatnya juga saya teringat pada film Home Alone ke sekian yang lari-lari di bandara. Inikah rasanya mengejar pesawat?

Rasanya sudah berkilo-kilometer saya lari sampai nafas mau putus rasanya. Ya Tuhan, tolong saya… beri kesempatan saya sampai di Gate pada waktunya.

Dan Tuhan Selalu Baik…

Gate sudah terlihat dan sudah sepi. Dengan ekor mata, saya melihat tujuan Kuala lumpur. Saya tak menghentikan kecepatan saya, terus sampai titik darah penghabisan! Saya tak mau menyerah.

From Wiki - The Gate of Incheon
From Wiki – The Gate of Incheon

Di ujung lorong, masih ada petugas tetapi di depan saya sudah tak ada orang sama sekali. Saya menarik nafas panjang. Alhamdulillah, Segala Puji bagiMu Yaa Allah… Allah Maha Baik…

Dan ketika saya menapak ke badan pesawat Air Asia itu, saya melihat sekilas pesawat telah penuh dengan penumpang. Di lorong dekat nomor tempat duduk, saya meminta maaf kepada orang yang telah duduk karena harus melalui mereka, kemudian saya duduk di kursi dengan keringat yang mengucur deras. Sambil mengeringkan keringat, saya sempat melihat ke arah pintu pesawat yang kemudian ditutup…

Saya langsung membuang pandang ke arah luar jendela, tak mau terlihat airmata yang mengembang… Terlambat sedikit saja, saya pasti ditinggal pesawat. Lagi-lagi ini berkat campur tangan Yang Maha Kuasa. Saya menggigit bibir, Korea Selatan, begitu banyak huru-hara dan ujian dalam trip ini, tetapi kasih sayangNya juga berlimpah teramat banyak…

*

Jadi jangan tanya bagaimana kemegahan Incheon yang katanya megah itu, karena jangankan mau menikmatinya, melihat dan memperhatikan saja saya tak sempat. Saya hanya bisa mencoba mengingat melalui foto-foto di internet walaupun saya pernah berada disana. Merasakan luasnya memang iya…

Jadi, pembelajarannya adalah check and recheck jarak bandara dan datanglah lebih awal…