Mungkin begitu banyak harapan dan doa yang tertinggal jejaknya di bangunan yang disebut bandara. Bagi yang akan membumbung ke angkasa meninggalkan bandara, banyak harapan dan doa agar yang ditinggalkan selalu dalam keadaan baik-baik saja sementara iapun melambungkan doa agar perjalanannya lancar. Bagi yang ditinggalkan di pintu bandara, ia melambaikan tangan dalam doa agar perjalanan mereka yang terkasih selalu dalam perlindungan Pemilik Semesta. Meskipun kadang tak terucap atau tak terlihat jejaknya, doa dan harapan selalu menghias udara bandara.
Demikian juga dengan saya yang lebih seringnya melakukan perjalanan solo, telah berulang kali meninggalkan jejak-jejak begitu banyak doa di bandara-bandara..
Incheon
Seperti yang pernah saya ceritakan dulu dalam pos Incheon, What Incheon?, tidak akan dipungkiri bahwa saat itulah saya melambungkan begitu banyak doa agar tidak tertinggal pesawat. Doa-doa yang sudah dipanjatkan dalam bus sejak meninggalkan daerah Myeongdong semakin khusuk rasanya saat sampai di Bandara Incheon. Saat check-in, petugasnya sudah menampakkan wajah cemas agar saya bersegera karena mungkin sudah boarding. Setelahnya saya lari, …dan lari, …dan lari, di bandara Incheon yang sangat luas itu sambil berdoa semoga sempat sampai ke pesawat. Tidak lupa mengembalikan mobile-wifi yang kiosnya begitu tersembunyi sehingga saya harus lari berputar berkali-kali untuk bisa menemukannya. Setelah itu, lari lagi untuk proses imigrasi, dan masih lari lagi untuk ke gate yang ternyata sudah kosong! Ya Allah, saya lariii sambil terus berdoa agar diperbolehkan masuk ke pesawat dan akhirnya… saya termasuk orang-orang terakhir masuk pesawat sebelum pintu ditutup! Allah Maha Baik, tanpa kekuatan dariNya untuk bisa lari sekuat itu (olahraga bukan hobby saya!), pasti saya sudah ditinggal pesawat.
Dan berhubung lari melulu, saya tidak sempat bagaimana bagusnya Incheon, tidak bisa mengabadikan bandara yang kata semua orang yang pernah ke Seoul itu sangat keren. Jadi kalau mau lihat foto Incheon… googling aja ya 😀
Lukla
Bandara lain yang memiliki begitu banyak jejak doa saya adalah Lukla, ketika saya melakukan perjalanan ke Namche Bazaar, Nepal, yang merupakan desa terbesar untuk melakukan aklimatisasi pertama jika melakukan trekking ke Everest Base Camp. Menyadari kemampuan diri ditambah keterbatasan waktu, saya hanya memilih sampai ke Namche Bazaar dan belum berani melakukan trekking ke Everest Base Camp. Tetapi, mau ke EBC atau hanya ke Namche Bazaar, pengunjung dari Kathmandu biasanya memilih melalui Lukla, salah satu bandara yang bergelar The Most Dangerous Airport In The World!

Bandara yang dibangun oleh Sir Edmund Hillary tahun 1964 itu memang ajaib. Runway sekitar 500 meter itu tidak datar melainkan menurun landai berujung jurang. Kalau pesawat kurang tenaga saat lepas landas, bisa dipastikan nyungsep ke jurang. Kalau tidak hati-hati saat mendarat, pesawat juga bisa terjun bebas ke jurang. Untung saja, pilot Nepal bisa dikategorikan mahir untuk lepas landas atau mendarat di kawasan yang ekstrim, meskipun ujung-ujungnya tetap tergantung Yang Maha Kuasa.
Pada pagi hari saat memulai perjalanan ke Namche Bazaar itu, saya mengalami delay cukup lama di bandara Kathmandu. Alasannya cuma satu, cuaca! Tentu saja, cuaca yang dimaksud adalah cuaca di Kathmandu, cuaca di perjalanan dan cuaca di Lukla. Salah satu dari tiga itu tidak bagus, penerbangan akan terus didelay. Bagaimana saya tidak berdoa?
Ketika akhirnya ada clearance untuk terbang, saya masih melihat awan cukup tebal menaungi Kathmandu. Aduh, mana saya menuju bandara yang dilabeli The Most Dangerous Airport in the World! Tentu saja doa saya semakin khusuk! Apalagi sepanjang jalan, awan tebal putih menghias pemandangan. Tapi jangan ditanya kehebatan pilot-pilot Nepal menghadapi bentang alam negaranya yang dipenuhi pegunungan tinggi itu. Jelang Lukla, saya disodori pemandangan yang mengerikan. Meskipun permukaan bumi itu dipenuhi pohon-pohon yang hijau dan terlihat air terjun yang cantik, tapi saya tahu ketinggiannya ekstrim, tebingnya sangat tinggi, jurangnya sangat dalam, hutannya lebat. Desa-desanya berjauhan. Berdoa saja agar penerbangan lancar dan selamat… karena kalau tidak…, ah saya tidak ingin melanjutkan kalimatnya.



Dan ketika bandara Lukla sudah di depan mata, semua penumpang pesawat baling-baling itu sepertinya menahan nafas, merasakan ketegangan yang menekan bercampur pasrah menggantungkan hidupnya kepada keahlian sang pilot. Sambil mencoba mengalihkan rasa, para penumpang termasuk saya melihat keluar sambil berdoa dalam hati hingga roda pesawat menyentuh permukaan bumi dan rem pesawat melambatkan lajunya. Sangat singkat, tak perlu lama pesawat bergerak di runway kemudian langsung berbelok untuk berhenti total di terminal. Penumpang bertepuk tangan, merasa lega diberi keselamatan sampai ke Lukla.
Buat saya selesaikah? Tentu tidak…
Karena setelah trekking beberapa hari, saya perlu lepas landas dari bandara ini lagi. Dan bagi saya itu lebih mengerikan daripada mendarat!
Jadi, sehari sebelum tanggal kembali ke Kathmandu, saya agak jengkel kepada pemandu trekking karena memaksa kembali dari Namche Bazaar ke Lukla dalam satu hari, padahal dalam perjalanan perginya rute itu dibagi dalam dua hari. Alhasil saya sampai Lukla pada malam hari karena saya merupakan seorang snail trekker.
Tetapi pagi harinya saya baru mengetahui mengapa pemandu itu memaksa sampai pada malam sebelumnya. Tujuannya agar saya mendapat prioritas penerbangan pertama kembali ke Kathmandu. Dan pagi subuh itu, dari balik pagar bandara saya cemas karena awan yang tebal menaungi Lukla dan kabut tebal yang menutupi ujung landasan! Padahal ujung itu jurang… Oh my God, ujungnya tak terlihat bagaimana mau terbang? Duh, saya merapal doa semakin panjang…

Pagi itu, semakin banyak calon penumpang menunggu kabut menghilang dan cuaca membaik. Untungnya saya terdaftar di penerbangan awal sehingga mendapat prioritas. Saya berdoa lagi, lebih khusuk kali ini karena jika penerbangan ini dicancel bisa-bisa saya kehilangan penerbangan pulang ke Jakarta. Dan rupanya Pemilik Semesta menjawab doa saya. Begitu awan sejenak tersibak dan kabut terangkat, -hanya sebentar-, pesawat kami mendapat kesempatan lepas landas. Hari itu, -sesuai informasi dari rekan-rekan sesama pemandu-, hanya tiga penerbangan pagi yang bisa dilakukan selanjutnya dicancel. Duh, Allah Maha Baik, saya beruntung bisa pulang!
Jomsom
Selain Lukla, bandara Jomsom merupakan bandara di Nepal yang juga penuh jejak doa saya. Bandara ini tempat bertolaknya pengunjung untuk melakukan perjalanan ke daerah Lower atau Upper Mustang atau ke Muktinath, salah satu tempat suci umat Hindu. Lalu apa yang mengerikan dari bandara ini? Tidak begitu berbeda dengan Lukla, penerbangan dari dan ke Jomsom hanya bisa dilakukan pada pagi hari, tidak lebih dari jam 11 karena setelahnya, angin kencang Mustang mengacaukan penerbangan (dan angin ini benar-benar terasa kekuatannya saat saya trekking!). Jomsom mungkin cerah namun jika angin kuat mulai bertiup, semua penerbangan bisa dibatalkan.
Sewaktu terbang dari Pokhara ke Jomsom, lagi-lagi tidak lebih dari tiga penerbangan yang bisa berjalan normal termasuk penerbangan saya. Sisanya dibatalkan karena angin terlalu kencang. Berdasarkan pengalaman itu, bisa dibayangkan bagaimana doa-doa yang saya panjatkan di bandara saat pulang kan? Uh, masak saya stranded di Jomsom?

Setelah cek prakiraan cuaca (yang sepertinya tidak bisa diandalkan juga) dan diskusi dengan pemandu, akhirnya saya mengubah itinerary termasuk mengubah jadwal pulang, meskipun saya sendiri tidak tahu apakah tanggal kepulangan itu lebih baik untuk terbang atau tidak.
Dan di tanggal kepulangan itu, saya hanya mondar mandir di depan hotel (yang artinya hanya selemparan batu ke bandara karena hotel dan bandara hanya dipisahkan oleh badan jalan). Pemandangannya indah, gunung Nilgiri yang bertudung salju berselimut awan. Dari hotel saya bisa mengetahui tak ada pesawat yang bisa terbang sejak pagi. Jomsom tidak begitu bermasalah, bisa jadi perjalanan di antara Jomsom dan Pokhara yang kurang baik. Saya menunggu sambil tak lepas berdoa, meskipun sudah check out dari hotel. Melihat situasinya, saya sudah berpikir keadaan terburuk untuk menempuh perjalanan darat selama 24 jam ke depan (yang amat sangat tidak nyaman) dan itu artinya kejar-kejaran waktu dengan kepulangan saya ke Jakarta, belum lagi perjalanan dari Pokhara ke Kathmandu. Ah, meskipun pemandangan di depan mata sangat indah, saya harus memikirkan perjalanan pulang ini… saya melambungkan doa agar bisa pulang.

Selagi mengalihkan rasa dan pikiran, tiba-tiba pemandu saya datang tergopoh-gopoh memberi tanda saya akan terbang pagi itu. Penerbangan saya yang dapat clearance untuk terbang hari itu karena ada pesawat yang berangkat dari Pokhara. Belum lama doa dilambungkan, Pemilik Semesta telah menjawabnya. Ada sejumput rasa lega.
Saya bergegas memanggul ransel lalu berjalan kaki ke bandara. Tak lama seluruh penumpang sepesawat diminta boarding, bahkan pesawatnya saja belum landing. Itulah yang terjadi di Jomsom. Begitu pesawat berhenti, dan penumpang turun, penumpang yang terbang sudah mengantri di sisi lain dari pesawat dan bersegera berangkat lagi. Semuanya memiliki kategori “segera”. Hanya hitungan menit, pesawat baling-baling itu sudah siap terbang lagi. Dan sepanjang jalan saya tak lepas berdoa dalam hati, karena hanya awan putih tebal yang menghias pemandangan selama terbang. Seandainya terang, jajaran pegunungan Annapurna bisa jelas terlihat termasuk jalur trekking Poonhill.
Jelang mendarat di Pokhara, keadaan cuaca membaik. Saya lega, bercampur lelah karena tekanan rasa yang terus menerus. Dan setelah beberapa jam di Pokhara, pemandu saya menyampaikan bahwa hanya ada dua penerbangan hari itu dari Jomsom, penerbangan saya dan penerbangan setelah saya. Selanjutnya tidak ada lagi penerbangan. Ya, Allah, saya tergugu dalam syukur… Allah Maha Baik!
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-2 ini bertema Airport agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…