Pilgrimage 3: Kenangan di Sudut-Sudut Madinah


Diantara waktu-waktu wajib untuk mendirikan shalat dan ibadah sunnah lainnya, masih tersisa waktu bagi kami para jamaah umroh untuk mengunjungi tempat-tempat yang menggenggam cerita perjuangan Rasulullah dan para Sahabat pada masanya yang terletak tak jauh dari sudut-sudut kota Madinah, Seperti pagi itu, setelah semua menyelesaikan sarapan, dengan menggunakan bus kami meninggalkan hotel menuju tempat-tempat yang penuh makna itu.

Tetapi entah mengapa, saya pribadi masih merasa tak bisa melepas hati yang tertinggal di Masjid Nabawi. Meskipun sempat berada hanya berpuluh meter dari makam Rasul untuk bisa berkunjung dan berdoa, saya masih belum berkesempatan bersimpuh dan berdoa di depan kuburnya dan juga Taman Nabi. Juga saya belum berkesempatan melangitkan doa di Baqi, tempat para syuhada menghabiskan tidur panjangnya. Seakan-akan kaki saya terikat pada keadaan di dalam Masjid dengan mata yang terpesona akan keindahannya saat-saat shalat dan tak bisa pergi dari situ. Meskipun badan ini berada di dalam bus yang tengah bergerak ke arah Selatan kota menuju Masjid Quba…

Quba
Masjid Quba

Pak Ustadz menjelaskan tentang Masjid Quba yang dulu dibangun oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam satu tahun setelah Hijrah dan disebut dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 108 sebagai masjid yang didirikan atas dasar takwa dan didalamnya terdapat orang-orang yang membersihkan diri. Konon Rasulullah sering mendirikan sholat di Masjid ini, sehingga dalam rangka meneladaninya jamaah Umroh biasanya sholat dua raka’at di Masjid Quba ini.

Bus berhenti tak jauh dari Masjid, lalu kami bergegas turun dan berjanji berkumpul lagi di dekat gerbang depan setelah selesai. 

Sebagai muslimah, saya mengikuti arah para muslimah lainnya menuju tempat wudu. Terperangah juga saya karena toilet dan ruang wudu terdekat amat penuh. Tetapi dasar rejeki anak sholeh 😀 saya seperti ditunjukkan untuk terus berjalan ke ujung yang di sana tidak terlalu padat. Alhamdulillah. Saya sampai tidak habis pikir mengapa banyak orang tidak mau berjalan sedikit lebih jauh untuk mendapat keleluasaan?  Lalu setelah selesai berwudu, saya menengok kiri dan kanan, tidak ada satu pun teman segrup di sekitar saya padahal ketika perginya masih berombongan. Waduh!

Karena telah terpisah dari rombongan, saya berjalan mengikuti arah pintu masuk khusus perempuan. Namun di depan pintu saya harus berhenti dan menunggu antrian shalat. Sedetik dua detik menunggu, tak diduga mata saya bertubrukan dengan petugas yang meminta saya segera bergerak ke kanan yang lebih sepi! Segera saja saya ikuti arahnya dan benar! Saya langsung mendapat tempat shalat yang amat nyaman paling depan. Alhamdulillah, segala puja dan puji bagiMu Ya Allah, begitu banyak saya mendapatkan kemudahan…

Di Masjid Quba ini, -menurut satu riwayat, shalat dua raka’at di Masjid ini mendapat ganjaran pahala setingkat umroh-, saya hanya menikmati sesaat saja untuk bersimpuh dan bersujud di hadapanNya untuk memohon ampunan dari segala kesalahan dan dosa, karena tahu ada begitu banyak jamaah lain yang mengantri. Masjid Quba memang salah satu Masjid favorit yang must visit bagi jamaah Umroh, sehingga memang biasanya padat. Termasuk, kata pak Ustadz dan juga pengalaman teman-teman, sikap agresif dari para pedagang yang berjualan di sekitar Masjid, yang membuat jamaah harus hati-hati dan waspada. Namun Alhamdulillah, kami segrup sama sekali tidak bersinggungan dengan para pedagang yang agresif.

Tak lama kemudian, di dekat gerbang banyak dari kami saling berfoto sambil menunggu kawan-kawan lain yang belum selesai. Saat itu, saya menengadah menikmati langit di atas Masjid Quba yang amatlah biru. Sangat kontras dengan warna putih dari Masjid. Apalagi berhias pepohonan kurma, Masjid Quba ini terlihat amat cantik.

DSC00323e
The Dates Farm

Setelah mengambil foto group, perjalanan kami dilanjutkan ke Kebun Kurma, yang katanya merupakan tujuan favorit jamaah dari Indonesia. Apalagi jika bukan berbelanja kurma! Saya terhenyak dengan apa yang terlihat di hadapan. Kurma-kurma berbagai jenis disusun rapi di atas rak dan para pedagang langsung saja merayu calon pembeli dalam bahasa Indonesia saat mereka mengetahui pengunjungnya adalah dari Indonesia. Saya tertawa bersama suami mendengar fasihnya mereka berbahasa Indonesia, rasanya seperti negeri sendiri.

Sayang bagi mereka karena saya tak suka berbelanja, meskipun kawan-kawan segrup berlomba untuk membeli kurma. Saya hanya mencicipi sedikit lalu jalan-jalan di kebunnya. Kebun kurma terlihat tak cukup indah karena panen sudah lewat. Meskipun demikian, salah satu dari mereka sempat memperagakan keahlian menaiki pohon kurma.

Setelah lama menunggu, -karena kawan-kawan segrup kami suka sekali berbelanja-, akhirnya bus berangkat lagi menuju sisi lain dari Madinah, menuju Jabal Uhud. Sebuah tempat yang penuh makna namun memedihkan hati.

DSC00315e
Uhud from the bus

Sejalan dengan cerita yang disampaikan Pak Ustadz, pikiran saya terbang mengingat kisah pedih Perang Uhud. Sebuah perang perjuangan Rasulullah dan para Sahabat untuk memenangkan Islam di muka bumi tiga tahun setelah Hijrahnya, melawan pasukan kaum Quraisy yang datang dari Mekkah sebagai penyembah berhala yang tidak bersedia ritual keyakinannya digantikan. Setelah perang hampir dimenangkan oleh Pasukan Islam, hanya karena tergoda oleh rasa kemenangan yang belum sampai di tangan, tergiur akan harta rampasan perang serta ketidakpatuhan kepada perintah pemimpin, akhirnya banyak pasukan Islam syahid terbunuh oleh Pasukan Quraisy yang memanfaatkan situasi sehingga kemenangan berhasil berbalik menjadi milik Pasukan Quraisy. Saya membayangkan para Sahabat dengan gagah berani berjihad sebisa mungkin menghalau pasukan Quraisy sekaligus melindungi Rasulullah ketika kemenangan sudah lepas dari Pasukan Islam. Sebuah kisah yang amat memedihkan, karena dalam perang yang sama Hamzah, Paman Rasulullah sebagai Pejuang Islam yang dikenal sebagai Singa Padang Pasir itu terbunuh teramat keji dan tak manusiawi.

Tapiiiii….

Saya yang sedang terguncang rasa karena teringat kisah heroik yang sangat luar biasa ini menyadari bahwa bus yang saya tumpangi ini berjalan terus dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Otomatis saya memandang Pak Ustadz di bagian depan Bus, dan mendengar penjelasannya bahwa memang bus ini hanya melewati saja dan tidak berhenti. Bahkan melewatkan juga pemakaman 70 syuhada perang Uhud… Dalam hati saya berteriak tak bisa menerima bus tidak berhenti di tempat bersejarah ini namun bersamaan waktunya kesadaran saya muncul bahwa akan lebih baik saya berdoa untuk mereka saat melewati pemakamannya.

Rasanya hati ini tersayat perih menyadari saya tak memiliki kesempatan menjejak di Bukit Uhud tempat Rasulullah pernah berjuang. Sudah begitu dekat…

Saya seperti anak kecil yang merajuk, memandang sedih Bukit Uhud yang semakin menjauh, one day, one day InsyaAllah… demikian getir hati berkata.

Lalu bus berjalan terus melalukan perasaan kecewa menuju sebuah tempat yang mungkin membawa sedikit ceria. Percetakan Al Quran Terbesar di Dunia, King Fahd Glorious Quran Printing.

Meskipun dari bus terlihat antrian masuk yang begitu panjang, bersama ibu-ibu lain saya turun juga. Namun begitu berada di ujung antrian, ternyata antrian untuk muslimah tidak begitu panjang dan saya bisa dengan cepat berjalan ke depan. Dan begitu sampai di dalamnya saya terpesona juga, begitu luas dan hebat percetakannya yang mampu menghasilkan 10 juta Al Qur’an setiap tahunnya.

Hingga kini, Percetakan Al Quran terbesar di dunia yang mempekerjakan lebih dari 1700 karyawan ini telah memproduksi ratusan juta Al Qur’an termasuk menerjemahkannya ke dalam puluhan bahasa dan karakter penulisan. Tidak hanya dalam bentuk hardcopy, melainkan dapat dibaca juga dalam bentuk digital. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia bisa dilihat: Terjemah Al Qur’an dalam Bahasa Indonesia

Setelah puas menyaksikan kertas-kertas hasil cetakan itu menjadi kitab-kitab suci yang dimuliakan dan didistribusikan dengan menggunakan kendaraan khusus yang hilir mudik, saya meninggalkan tempat itu dan mendapat sebuah Al Qur’an yang diberikan secara cuma-cuma. Alhamdulillah, sebuah Al Qur’an asli dari Madinah.

Al Quran Madinah
Al Quran – Not For Sale

Karena waktu sholat sudah mendekat, tentu saja kami semua lebih memilih kembali ke Masjid Nabawi daripada mengunjungi tempat-tempat lain yang bersejarah. 

Dan berulang kembali sesuatu yang membuat hati miris, karena saya hanya bisa menyaksikan Masjid Qiblatain, -masjid dengan dua kiblat-, dari bus yang berjalan terus. Padahal Masjid Qiblatain itu memiliki kisah yang amat erat dengan Rasulullah dalam hal mengarahkan shalat dan berpindah kiblat dari Baitul Maqdis di Jerusalem menjadi Ka’abah di Mekkah. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu dari apa yang tertulis dalam surat Al Baqarah ayat 144. Saya hanya mampu menggigit bibir. Mungkin bagi kawan-kawan segrup yang telah berulang kali melakukan perjalanan umroh, tak merugi jika tidak turun di Masjid Qiblatain karena mereka sudah pernah. Tetapi saya dan beberapa orang yang belum pernah, tentunya ada rasa ingin shalat di dalamnya, menjejak buminya, bersimpuh dan bersujud serta menyentuh udara perpindahan kiblat itu. Tetapi lagi-lagi, kesempatan itu bukan milik saya… Ada rasa getir yang muncul di hati melihat Masjid Qiblatain semakin menjauh.

DSC00337e
Qiblatain Mosque from the bus

Tak berhenti disitu saja karena dari atas bus, saya juga hanya bisa memandang dengan sebersit keinginan untuk bisa menapaki Masjid Khandaq yang menjadi saksi bisu perang parit (Khandaq, dalam Bahasa Arab) yang terjadi pada tahun ke lima setelah Hijrah.

Pasukan Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah memiliki jumlah pejuang yang jauh lebih sedikit daripada Pasukan Quraisy, namun tetap saja Rasulullah dan pasukannya mampu mempertahankan Madinah karena adanya parit lebar dan panjang yang digali oleh pejuang muslim di sekeliling Madinah. Pembangunan parit sebagai pelindung sebelumnya tidak dikenal dalam pertempuran di jazirah Arab, namun karena peran Salman Al Farisi yang berasal dari Persia, membuat Pasukan Islam bisa menggegapgempitakan Allahu Akbar sebagai lambang kemenangan.

Sekali lagi di dalam hati ada suara, one day, one day InsyaAllah… meskipun tidak bisa shalat di Masjid Khandaq ataupun masjid Qiblatain, saya bersyukur sudah bisa begitu dekat. Sudah melihatnya meski dari jauh, meski dari atas bus. Saya sudah berkeliling dan membiarkan mata untuk melihatnya sebagai nikmat tak terhingga. Alhamdulillah…

Karena ada banyak manusia lain yang belum mendapat kesempatan untuk mendirikan shalat di Masjid Nabawi di Kota Penuh Cahaya ini, kota dengan sudut-sudutnya menerbangkan kenangan dan kerinduan…

 

8 tanggapan untuk “Pilgrimage 3: Kenangan di Sudut-Sudut Madinah

  1. Mbak…
    Syahdu sekali ya Mbak dapat menunaikan shalat dua rakaat di Masjid Quba. Dan foto Masjid Quba dg langit yang biru demikian indah.
    Alhamdulillah ya Mbak mendapat Al Qur’an asli cetakan disana.
    Moga satu waktu nanti saya pun dapat berkunjung kesana.

    Salam dari saya di Sukabumi.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Bisa jadi saya datang pada musim yang tepat dengan langit yang amat biru.
      Semoga saja disegerakan bisa ke Tanah Suci Kang.. jadi bisa merasakan juga shalat di tempat-tempat penuh makna itu. Aamiiin

      Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.