Pilgrimage 1: Menuju Kota Cahaya


Hanya terbilang dua bulan sebelum keberangkatan, saya mengambil keputusan besar untuk melakukan perjalanan batin ke Tanah Suci, sebuah perjalanan yang selalu digadang-gadang dilakukan seawal mungkin, jika mampu, dalam kehidupan seseorang yang beragama Islam.

Meskipun terkesan mendadak, -keputusan diambil 2 bulan sebelum berangkat-, saya bisa menuliskan sejuta alasan pembenaran telah melakukan penundaan sekian lama, bertahun-tahun, bahkan berdekade-dekade. Yaa sudahlah, apapun alasan itu, akhirnya Allah SWT mengabulkan perjalanan kami berdua, -dengan sang belahan jiwa-, dalam minggu terakhir bulan Desember 2019 yang lalu. Sebagai hadiah ulang tahun saya sekaligus hadiah ulang tahun pernikahan, yang keduanya diperingati dalam bulan Desember dan berjarak hanya hitungan hari dari tanggal keberangkatan.

Dan manisnya, sejak dulu saya memang memiliki impian jika melakukan ibadah ke Tanah Suci, -umroh atau bila memungkinkan haji-, inginnya langsung ke tiga Masjid utama, Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi dan Masjid Al Aqsho, sesuai hadist

“Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsa”

(HR. Bukhari no. 1115 dan Muslim no. 1397)”.  

Dan keinginan itu juga yang membuat perjalanan ini menjadi terbatas.

Karena suami dan saya hanya pegawai, -artinya cutinya terbatas-, pemilihan waktu untuk melakukan ibadah ke Tanah Suci itu perlu pertimbangan sendiri. Karena pertimbangan ini, akhirnya saya memilih waktu akhir tahun meskipun merupakan peak season. Paling tidak, kami meninggalkan kantor tidak terlalu lama karena ada cuti bersama, hari libur Natal dan Tahun Baru, Tapi yaaa… begitulah, karena akhir tahun, harganya lebih mahal (bangeeet!). Tapi di sisi lain, untuk ibadah kepada Allah Yang Selalu Melimpahkan Rejeki, mosok kita itung-itungan?

Selain waktu yang tidak tersedia banyak, tidak banyak juga agen perjalanan yang mau melakukan perjalanan ibadah Umroh Plus Aqsho di akhir tahun. Kalaupun ada, harganya sangat membumbung tinggi. Akhirnya, setelah memilih dan memilah, saya memutuskan menggunakan agen perjalanan MAP Tour yang berkantor pusat di Condet, Jakarta dengan mengambil paket bintang 3 untuk berdua yang harganya lebih terjangkau daripada paket bintang 5 (Bintang-bintangan ini hanya ditentukan oleh jarak ke Masjid, yang semakin tinggi bintangnya, semakin dekat jarak dengan Masjid, meskipun fasilitasnya sangat berbeda dengan standar bintang di Indonesia)

Maka pada tanggal keberangkatan…

Di Bandara, satu persatu anggota grup kami menampakkan mukanya. Hari itu dengan maskapai Malaysian Airlines, kami menuju Madinah (yang terkenal dengan sebutan Kota Cahaya) dengan transit di Kuala Lumpur. Untuk penerbangan ke Kuala Lumpur, saya mendapatkan penerbangan jam 9 pagi, dan sebagian dari grup kami mendapatkan penerbangan jam 11 pagi. Memang agak aneh grup kami terpecah dua, tetapi pihak travel beralasan karena peak season dan penerbangan ke Kuala Lumpur sangat penuh. Baiklah… kami semua belajar ikhlas karena ini adalah perjalanan ibadah.

Pagi di terminal 3 itu, tidak sedikit dari kami yang menunggu dengan cemas. Suasana di depan restoran sebagai meeting point itu sudah seperti pasar dengan begitu banyak jamaah dari berbagai travel Umroh dengan masing-masing seragamnya. Kami berbisik satu sama lain, di Jakarta saja sudah padat dengan manusia, apalagi di Mekkah… tetapi sebenarnya kecemasan kami bukan itu.

Menit demi menit berlalu, jamaah semakin banyak. Saya melirik jam tangan, tinggal satu jam sebelum lepas landas, tetapi boarding pass belum di tangan dan belum antri imigrasi. Berkali-kali saya mengintip ke arah check-in, koper-koper itu masih rapi berjajar di depan konter group check-in. Saya terus mengingat diri, ini adalah perjalanan ibadah, jadi sewajarnya untuk memperpanjang sabar. Lagi pula saya, yang biasanya solo-travelling, kali ini harus belajar melakukan perjalanan melalui agen.

Alhamdulillah, akhirnya semua tepat pada waktunya, dan kami bisa terbang ke Kuala Lumpur dan menunggu cukup lama untuk melanjutkan penerbangan lanjutan ke Madinah. Yah kan juga harus menunggu grup kami yang berangkat jam 11 dari Jakarta. Latihan sabar lagi.

KLIA1
Kuala Lumpur International Airport 1

Kecemasan berikutnya terasa ketika sudah ada panggilan untuk boarding ke pesawat lanjutan yang akan membawa kami ke Madinah, grup berikutnya belum terlihat batang hidungnya satu pun! Berkali-kali saya melihat ke arah pintu saat mengantri, mereka belum tampak juga. Akhirnya dalam hitungan menit sebelum saya memasuki badan pesawat Airbus A380 itu, tampak rombongan grup berlari-lari menuju gerbang. Alhamdulillah.

Saya terkagum memasuki pesawat Airbus A380 dua lantai yang hingga kini masih merupakan pesawat penumpang terbesar di dunia. Kelas Business Suite di lantai satu yang hanya saya lalui saja tampak menyenangkan sekali, bisa jadi dipesan oleh mereka yang berkelimpahan rejeki. Meskipun tak penting, saya mencoba mengingatnya bahwa di lantai dua pesawat ini hanya untuk kelas bisnis dan tidak ada kelas ekonomi. Entah kenyataannya seperti apa. Yang pasti, saat duduk di kelas ekonomi, saya kurang begitu nyaman karena sepertinya kursi kelas ekonomi tidak dirancang secara ergonomis untuk tubuh Asia yang lebih kecil. Kaki saya kurang bisa menjejak lantai. Atau saya yang tidak tinggi ya?

Mendapat kursi di bagian jendela untuk penerbangan selama 9 jam seharusnya menyenangkan, tetapi buat saya benar-benar membuat mati gaya. Pemandangan di luar jendela tidak menarik, sedangkan untuk menonton film rasanya malu terhadap diri sendiri karena kontradiktif dengan alunan suara otomatis yang diperdengarkan ke kabin,

Labbaik Allahumma Labbaik. Labaika Laa Syarika Laka Labbaik. Innal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulk. Laa Syarika Lak

Aku penuhi panggilanMu, ya Allah, aku penuhi panggilanMu. Tidak ada sekutu bagiMu. Sesungguhnya pujian dan nikmat adalah milikMu, begitu juga kerajaan adalah MilikMu. Tiada sekutu bagiMu.

Jadilah seperti itu, selama penerbangan panjang yang diselingi makan dan cemilan, jamaah menjalankan apa yang dihimbau pak Ustadz untuk meluruskan niat dan melafalkan kalimat talbiyah meskipun tidak bisa dihindari sejenak terlelap

Jam demi jam berlalu, akhirnya kota tujuan tak jauh lagi meskipun telah berbalut malam. Seruan Alhamdulillah otomatis terdengar di seluruh kabin ketika roda pesawat besar itu menyentuh landasan kota Madīnah al-Munawwarah, kota yang bercahaya. Ya Allah, Ya Rasul… dada saya dipenuhi oleh rasa haru yang begitu menggelegak, mata terasa kabur oleh airmata yang mengembang. Benarkah saya telah di Madinah?

Saya masih merasa linglung, rasanya tak menjejak tanah, tak percaya bahwa saya ada di bumi yang berabad dulu juga dijejaki Rasulullah, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Saya menggigit bibir memastikan bahwa saya sungguh memasuki bandara Madinah yang tidak terlalu luas dan juga tak terlalu padat oleh manusia. Kami benar-benar beruntung bisa mendarat langsung di Madinah karena umumnya pesawat yang mengangkut jamaah Haji atau Umroh lebih banyak mendarat di Jeddah. Tidak ada antrian imigrasi yang mengular di Madinah ini, sama sekali tidak ‘mengerikan’ seperti yang diceritakan dalam beberapa blog jika saja kita mendarat di Jeddah.

Madinah Airport
Madinah Airport

Lepas imigrasi kami menunggu di tempat pengambilan bagasi. Menit demi menit berlalu, satu per satu koper grup kami muncul tetapi bukan koper saya. Sampai akhirnya proses pengeluaran bagasi selesai, koper saya tak pernah muncul. Tentu saja saya menjadi masygul, meskipun dipendam sendiri. Entah apa rencana Allah untuk saya dengan kejadian ini. Telah berkali-kali saya mengalami ujian kehilangan barang dalam perjalanan, seperti kehilangan dompet dulu ketika di Macau, hampir kehilangan paspor di Hoi An, juga pernah carrier saya yang tak muncul di Jakarta setelah trekking di Annapurna, Nepal. Dan kini, saat akan menjalankan ibadah Umroh, saya tak memiliki baju lain kecuali yang dikenakan.

Waktu berlalu dengan cepat. Saya tak mungkin membiarkan jamaah lain menunggu koper yang tidak jelas keberadaannya itu. Sementara pak Ustadz yang sekaligus menjadi Tour Leader berkali-kali menunjukkan wajah kebingungan, dengan ikhlas saya mengusulkan kepada grup untuk segera ke hotel daripada menunggu sebuah ketidakjelasan. Saya telah ikhlas atas peristiwa koper yang tak muncul, dengan segala konsekuensinya karena meninggalkan bandara tanpa bukti pengaduan jelas tentang lost & found itu artinya sama saja tak kehilangan satu pun! Hanya saja saya melihat tidak adanya sumber daya (manusia) yang cukup di bandara itu untuk keperluan lost & found, airport handling yang tidak tertib dari agen perjalanan. Pak Ustadz dan suami akhirnya setuju untuk setiap hari ke bandara untuk mengecek keberadaan koper itu.

Meskipun telah mengikhlaskan, selama perjalanan menuju hotel, pikiran saya tetap saja bercabang. Untuk dua belas hari ke depan, saya harus membeli beberapa pakaian dan keperluan penting lainnya. Selain itu, berbelanja hanya bisa dilakukan di waktu kosong padahal jadwal acara lumayan padat. Ya Allah, saya tak tahu tempat toko yang menjual barang-barang yang saya perlukan, sebagai perempuan apakah saya aman berbelanja mengingat begitu banyaknya batasan untuk seorang perempuan di Arab.

Ada rasa cemas yang merambat ke seluruh tubuh, bersamaan dengan suara hati yang terus mengingatkan kedalaman surat Al Ikhlas, bukankah Allah SWT menjadi tempat pertama kita menyandarkan segala sesuatu, susah atau senang, sempit maupun lapang? Sepertinya saya masih harus banyak belajar…

Meskipun dari jauh, bus yang kami tumpangi sengaja berjalan perlahan ketika melewati Masjid Nabawi yang terang dipenuhi cahaya seakan-akan memberi kesempatan kepada kami untuk mengagumi. Saya tertegun melihatnya, masjid indah yang hanya bisa saya lihat dari internet, juga dari foto saudara atau kawan yang ke Tanah Suci, kini ada di depan mata saya sendiri. Ya Allah… saya hanya bisa diam, tergugu dengan mata basah penuh airmata.

Hari itu, meskipun berselang belasan abad jauhnya, saya hanya berjarak ratusan meter dari kubur Nabi, Keluarga dan sahabat-sahabatnya. Saya mendapat anugerah tak terhingga dari Allah SWT bisa sampai ke tanah yang berabad dulu juga pernah dijejak Rasulullah, udara yang berabad dulu juga pernah dihirupnya. Saya tahu, seperti Muslim yang lain juga, hati saya jatuh menjangkar kuat di Madinah. 

WelcomeNote1
Welcome Note

Bersambung…

12 tanggapan untuk “Pilgrimage 1: Menuju Kota Cahaya

  1. Mbak…
    Saya senang sekali membaca perjalanan Mbak ke tanah suci ini. Tulisannya detil, bisa jelas menggambarkan apa yang Mbak alami.
    Saya tunggu lanjutan tulisannya Mbak.

    Salam dari saya di Sukabumi.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Waduh ditungguin… saya jd senewen 😊😊
      Saya ini banyak hutang tulisan perjalanan. Yg Nepal belum selesai udah lanjut Myanmar, yang Myanmar belum selesai udah lanjut cerita ke tanah suci ini… mudah-mudah kali ini beneran ditamatkan serialnya… hehehe… sabar aja ya Kang… 🙏🙏🙏

      Disukai oleh 1 orang

  2. Ditunggu cerita selanjutnya tentang si koper. Sepertinya di setiap perjalanan Mbak Riyanti ada aja momen yang bikin dag dig dug ya 🙂 Tapi biasanya semua berakhir dengan bahagia.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Mas Bamaaaaaa…..
      Cerita kopernya kalo mau ditungguin yaa sampai cerita perjalanan selesai baru ketauan hahaha…

      Iya nih kenapa begitu ya… ada aja momennya dan kali ini rupanya banyak momen aneh2nya hahaha…

      Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.