
Saat mengunjungi Kuil Haeinsa yang berada di pegunungan dalam kawasan Gayasan National Park, saya mengira akan menemukan bangunan-bangunan kuil yang megah berwarna-warni seperti layaknya bangunan-bangunan kuil di Korea Selatan. Namun apa yang saya lihat disana membuat saya terperangah.
Di bagian atas dari Bangunan Utama Kuil Haeinsa, -menunjukkan sebuah keluarbiasaan karena masih ada bangunan yang menempati posisi yang lebih tinggi dari Bangunan Utama-, terdapat bangunan kayu sederhana yang disebut Janggyeong Panjeon. Bangunan ini dengan struktur yang sangat unik ini hanya terbuat dari kayu-kayu yang terlihat sangat sederhana. Tetapi sejatinya sesuai namanya, di balik sebuah kesederhanaan, ternyata bangunan ini menyimpan bilah-bilah kayu pencetak Tripitaka Koreana, yang keseluruhan kompleks bangunan terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site sejak 1995.

Ada pepatah klasik yang sering kita dengar, Don’t judge a book by its cover, yang menurut saya sangat cocok dan berlaku ketika mengunjungi tempat ini. Jangan karena melihat kayu-kayu sederhana yang digunakan, lalu kita menganggap rendah nilai yang terkandung dibaliknya karena sesungguhnya, bukan hanya Korea Selatan yang memiliki harta itu melainkan Dunia.
Sebuah harta warisan Dunia hanya disimpan di bangunan kayu yang sangat sederhana. Luar biasa sekali, bukan?
Demi keamanan keberadaannya, saat melintasi bangunan utama penyimpan kayu-kayu pencetak Tripitaka Koreana dan berbagai literatur keagamaan Buddha, pengunjung hanya boleh melintas tanpa berhenti, tanpa kamera, tanpa berfoto. Pengunjung diperbolehkan mengabadikan dari sudut jalan kearah luar. Itupun kadang ditegur keras oleh petugas jaga jika berlama-lama.
Meninggalkan bangunan Janggyeong Panjeon, rasanya saya hanya bisa terdiam membawa kekaguman. Ketika di berbagai belahan dunia, negara-negara saling berlomba untuk memodernkan pengamanan harta budaya, jika perlu menggunakan teknologi terkin, namun di Korea Selatan ini tetap mempertahankan cara aslinya sejak pendirian bangunan berabad-abad lalu,
Kisah perjalanannya secara lengkap bisa dibaca di-sini
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-16 ini bertemakan Jendela agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…
Gak akan ada yang menyangka kalo dibalik jendela kayu sederhana tersebut ada harta warisan dunia. Warbyasah 👍🏻
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe iyaa… saya juga gak sangka disimpennya yaa di tempat seperti itu..
SukaSuka
Amazing.. 😍😍😍
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama Na komennya waktu aku disana… walopun aku ngomong sendirian 😁
SukaSuka
Mba.. kenapa ngga ngajak ngobrol yang di sebelahnya.. 😂😂😂😂😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Kan adanya 👻👻👻 wkwkw… bahasanya bedaaaa
SukaSuka
Ketat juga ya penjagaannya, bahkan memotret pun harus dari jarak yang agak jauh. Wujud perlindungan juga terhadap warisan dunia ya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Benar… di tempat-tempat strategis pasti ada penjaganya buat neriakin turis yang nekad…
SukaDisukai oleh 1 orang
Kuno itu tidak jelek… karena dari semua yang tua, menyimpan ilmu serta kebijakan yang tiada tara…. Tulisan Mbak membuat saya bisa membayangkan wisatawan yang berjalan di sana dalam hening, dengan mata memerhatikan kayu-kayu pencetak sambil membayangkan rupa buku yang tercetak darinya. Muncul juga bayangan ribuan tahun lalu, ketika para biksu muda bekerja keras menyalin dan mencetak buku dari kayu-kayu itu, supaya tidak dihukum biksu ketua karena tidak mencapai target.
Saya kebanyakan nonton drama korea…
SukaDisukai oleh 1 orang
Ketika membaca komen dari Gara saya jadi teringat perjalanan itu sendiri. Di pelataran bawahnya tempat ibadah itu dilangsungkan memang hilir mudik biksu tua dan muda (dan cukup ganteng hehe…) tapi yang saya lihat ini tidak sibuk mencetak melainkan mengurusi kegiatan ibadah umat. Mereka secara tidak langsung turut menjaga warisan dunia yang tak ternilai harganya itu…
*drakor itu sungguh mengharubiru ya..
SukaSuka
Wah, bagus sekali. Dengan tetap digunakan sebagaimana dulu, warisan dunia itu menurut saya abadi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Kebersahajaan yang sarat arti. Sebuah pelestarian nilai-nilai.. sampai sefisik-fisiknya. 🍸
SukaDisukai oleh 1 orang
benar sekali, setujuuuu….
SukaSuka