Semangat Bushido dan Isagiyosa 47 Ronin di Sengakuji


Hanya dua hari setelah Papa berpulang, dengan berbagai rasa, -antara getir duka kehilangan dan rasa harus bertahan untuk menghidupkan cintanya-, saya menjejak di Sengakuji, sebuah kawasan di Tokyo Selatan yang terkenal sebagai tempat pemakaman 47 Ronin (Masterless Samurai) yang kisahnya telah melegenda.

Sejak pertama kali ke Jepang, saya ingin sekali mengunjungi Sengakuji, tetapi entah kenapa selalu gagal. Dan kali ini, dengan situasi hati yang tidak karuan, saya justru mendapat kesempatan mengunjunginya. Bisa jadi Semesta memang membukakan kesempatan saat ini, tepat sesuai dengan situasi hati.

Begitu memasuki halaman Kuil Sengakuji, saya mendapat hadiah pemandangan pohon berdaun merah khas musim gugur yang sudah jarang terlihat di akhir Desember. Hati terasa menghangat, alam pun serasa mengetahui hati yang berduka dan ingin menghibur dengan menyuguhkan warna musim gugur kesukaan saya diantara pohon-pohon yang tinggal ranting. Sambutan alam yang terasa begitu menenteramkan, begitu luar biasa berada dalam harmoni alam.

Tak seperti biasanya, – karena kuil saya skip-, kali ini saya langsung menuju area pemakaman 47 Ronin yang terletak di tenggara kuil. Sementara kaki melangkah, benak saya seperti memutar kembali film yang dibintangi Keanu Reeves, 47 Ronin, sebuah film yang mengadopsi cerita ‘Insiden Chushingura’ ini yang dipadu paksa dengan fiksi ajaib yang kontras dengan semangat orisinalnya. Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa film ini juga membantu mengenalkan Sengakuji ke sudut-sudut dunia.

Sesungguhnya Sengakuji, -dengan ‘Insiden Chushingura’ yang membuat terkenal 47 Ronin-, menjadi tempat mengenang berkobarnya Semangat Bushido, yang diteladani hingga kini oleh warga Jepang. Bushido merupakan kode etik atau nilai-nilai moral seorang Samurai Jepang yang mencakup kesederhanaan, kesetiaan, keahlian seni bela diri dan kehormatan.

Kisah Insiden Chushingura

Di tempat ini, di Sengakuji, menjadi saksi nilai-nilai Bushido dari 47 Ronin sebagai Samurai Tak Bertuan (Masterless Samurai) dijunjung tinggi.

Kisahnya berawal dari perintah Shogun Tokugawa ke-5 Tsunayoshi kepada Asano Naganori bergelar Takuminokami Naganori, -seorang daimyo (penguasa) muda wilayah Ako-, untuk menyambut Kira Yoshinaka bergelar Kozukenosuke di Istana Edo tahun 1701. Mungkin merasa lebih senior, -dua kali usianya dari Asano-, dan menganggap penting posisinya sebagai utusan resmi Shogun, Kira Yoshinaka berkali-kali memperlakukan Asano tidak dengan hormat dan merendahkan kehormatan daimyo muda itu. Bisa jadi Asano tidak terima direndahkan dan dihina berulang kali serta mungkin juga tak terbiasa protokol resmi di Istana Edo, sehingga Daimyo muda itu menghunus pedangnya dan melukai Kira walaupun tak sampai menewaskan. Tindakan seperti itu sangat dilarang di dalam Istana Edo pada waktu itu. Akibatnya jelas, Asano ditangkap dan dihukum.

DSC06764
The grave of Asano Naganori

Atas kesalahan Asano, -meskipun tanpa investigasi yang tepat-, serta untuk mengingat kehormatannya sebagai seorang Samurai, Shogun Tokugawa Tsunayoshi menghukum Asano untuk melakukan Seppuku (hara-kiri, sebuah ritual ksatria untuk mengakhiri hidup secara terhormat) di taman, di luar kediaman Tamura Ukyodayu di wilayah Shinbashi. Sesungguhnya saat itu, melakukan seppuku di luar rumah hanya untuk penjahat dan sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang daimyo seperti Asano. Lebih jauh lagi, tanah Asano di Ako disita dan garis keluarganya diturunkan dari jajaran kebangsawanan.

Kemudian masih ditambah dengan adanya keputusan Shogun yang menyatakan klan Ako kehilangan hak untuk membangun kembali struktur kelompoknya. Sungguh kekecewaan memenuhi para samurai pengikut Asano yang kini menjadi Ronin (Samurai Tak Bertuan) setelah Asano melakukan seppuku. Rasa ketidakadilan ini menyebar ke rakyat yang diam-diam mendukung para Ronin. Dukungan tidak bisa terbuka  karena Shogun Tsunayoshi ditakuti atas kerasnya hukuman.

Dan di sisi lain, Kira Yoshinaka, -yang melakukan penghinaan terus menerus terhadap Asano dan penghinaan saat itu juga merupakan tindakan yang dilarang di Istana Edo-, tidak mendapat sanksi apapun dari Shogun. Keputusan Shogun tidak memberi sanksi kepada Kira disinyalir dipengaruhi oleh Yanagisawa Yoshiyasu, salah satu pembantu dekat Shogun yang berkuasa di belakang layar dan memiliki hubungan baik dengan Kira Yoshinaka. Bahkan, satu-satunya hukuman bagi Kira, -jika itu sebuah hukuman-, adalah diperbolehkan pensiun dini. Kemudian ia membangun kediaman baru yang luas di Honjo-Matsuzaka, dekat Istana Edo.

Waktu berjalan terus… Ke-47 Ronin yang kehilangan Asano, tetap menjalani hidup sesuai Bushido, terus menjiwainya, -sederhana, santun menjaga kehormatan, cermat dengan keahlian dan setia-. Dipimpin oleh mantan pemimpin kelompoknya, Oishi Kuranosuke, mereka merencanakan melakukan tindakan balasan terhadap apa yang dilakukan Kira kepada Asano. Berbulan-bulan mereka mengumpulkan informasi mengenai Kira, kediamannya yang berupa benteng, juga menyamar berbagai profesi dan saling bertemu untuk bertukar informasi.

DSC06770
The grave of Oishi Kuranosuke

Lalu tanggal 14 Desember 1702 di Edo yang tertutup salju, setahun setelah kematian Asano, junjungan mereka, terjadi sebuah peristiwa yang meletupkan esensi jiwa Samurai.

Para Ronin dari Ako itu berkumpul dekat kediaman Kira dan memberitahukan rencana penyerangan itu ke Tsuchiya Chikara, -tetangga Kira-, untuk membalaskan tindakan atas Asano dan memohon tidak mencampuri penyerangan ini. Tsuchiya memahami dan menyaksikan penyerangan yang berlangsung 2 jam dan selesai sebelum fajar. Seluruh Ronin selamat dan Kira terbunuh dengan kepala terpenggal, dengan belasan lainnya dari pihak Kira tewas serta puluhan lainnya luka-luka.

Dari rumah Kira, para Ronin berbaris menuju Kuil Sengakuji, tempat Asano dimakamkan dan membawa kepala Kira sebagai persembahan kesetiaan mereka kepada Asano dan pengembalian kehormatan Asano, yang dahulu mengalami penghinaan. Setelah upacara penghormatan di makam Asano di Sengakuji, para Ronin menyerahkan diri secara sukarela dan tertib kepada otoritas Shogun. Berita itu cepat tersebar ke seluruh Edo, termasuk Shogun Tsunayoshi sendiri, yang memuji kesetiaan mereka kepada Asano Naganori.

Meskipun rakyat mendukung untuk tujuan para Ronin serta mendapat simpati dari Shogun, bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Sambil menunggu keputusan, para Ronin menjadi tahanan rumah dan ditempatkan di empat kediaman daimyo di luar Istana, yaitu di kediaman Hosokawa Tsunatoshi (dari Kumamoto), di kediaman Matsudaira Sadanao (dari Matsuyama), di kediaman Mori Tsunamoto (dari Choshu) dan di kediaman Mizuno Tadayuki (dari Okazaki).

Sementara di Istana, melalui pertimbangan cermat oleh pejabat senior yang juga mendengar dari Tsuchiya Chikara, -tetangga Kira-, disimpulkan serangan itu ditafsirkan sebagai tindakan berbasis kebenaran, namun sayangnya beralasan pribadi, tanpa persetujuan Shogun. Dengan demikian, untuk tindakan demi kebenaran itu, Shogun memerintahkan mereka melakukan seppuku – tindakan ritual mengakhiri hidup secara ksatria dan terhormat.

Akhirnya, pada tanggal 4 Februari 1703, hampir dua tahun setelah insiden awal, para Ronin serentak mengakhiri hidup mereka masing-masing di kediaman tempat mereka ditampung. Oishi Kuranosuke berusia 45 tahun, sementara putranya, Chikara, yang termuda, berusia 16 tahun. Ronin tertua adalah Horibe Yahei, berusia 77. Tubuh-tubuh mereka diabadikan di samping makam Asano Naganori di halaman Kuil Sengakuji. Dan peristiwa ini diingat sebagai insiden paling sensasional dalam Era Genroku (1688-1704), salah satu masa paling berbudaya di Zaman Edo (1603-1867).

Hukum dan Jalan Kebenaran

Rupanya Instruksi Shogun kepada Ronin untuk menjalankan Seppuku banyak dipengaruhi oleh Ogyu Sorai, seorang filsuf Jepang terkenal saat itu, yang membuat saya menerima sebuah pemahaman di Sengakuji. Bahwa meskipun 47 Ronin telah memilih Jalan Kebenaran dalam jiwanya, bagaimana pun hukum harus berlaku terhadap mereka, -yang tidak berada di atas hukum-, karena hukum merupakan tolok ukur untuk seluruh negeri.

Ada sebuah kalimat yang begitu menyentuh rasa dalam menentukan awal pemikiran tentang hukuman ini dari Ogyu Sorai,

A man controls his heart with decorum and his actions with righteousness

Seorang pria mengendalikan hatinya dengan kesantunan dan tindakannya dengan kebenaran

Para Samurai yang terkait dengan tindakan balas ini menganggap Kira sebagai musuh mereka karena Asano Naganori dihukum karena tindakan tidak terpujinya di Istana Edo dan mereka sengaja merencanakan tindakan pembalasan tanpa persetujuan dari Istana. Dalam hal ini Istana tidak dapat menoleransi tindakan mereka yang berseberangan dengan hukum.

Jika seluruh samurai dinyatakan bersalah dan dihukum untuk melakukan seppuku, -sesuai tradisi samurai-, maka tuntutan keluarga Uesugi (isteri dari Kira) akan terpenuhi dan kehormatan serta kesetiaan para samurai tetap terjaga.

Hal ini harus dilihat sebagai prinsip umum. Jika prinsip umum dikalahkan oleh pengecualian khusus, maka tidak akan ada lagi rasa hormat terhadap hukum di negara ini.

DSC06771
Another angle of the graves of the loyal retainers

Isagiyosa

Sambil melangkah menyusuri satu per satu tonggak nisan mereka, saya mengingat-ingat salah satu aspek yang dikagumi dari para Ronin dari Ako ini. Karena mereka menunjukkan isagiyosa, sebuah kebajikan yang bermakna mampu menyambut kematian dengan ketenangan yang mendalam dan penuh kebanggaan, untuk sebuah akhir yang baik.

Serangan ke rumah Kira itu memang direncanakan cermat, penuh perhitungan, tidak mendadak dan para Ronin tahu bahwa mereka menghadapi kematian. Ketika waktu mereka tiba, mereka melakukannya dengan anggun dengan bangga, sebagai samurai. Mengetahui ini, hati saya langsung meluruh saat itu, mengingat ayah yang baru dua hari sebelumnya berpulang.

Semesta membuat saya yang saat itu sedang berduka untuk menjejak Sengakuji, dengan aliran kisahnya yang begitu mengagumkan, tentang kesetiaan pada kebenaran, keadilan, tentang kesederhanaan dan membela kehormatan serta mengakhiri semuanya dengan ketenangan yang mendalam dan kebanggaan. Fulfilled. Penuh, lengkap. Akhir yang baik… dan saya menitikkan airmata mengingat ayah saya… Semoga ayah mengakhirinya dengan ketenangan dan fulfilled, dengan baik… Seperti para Samurai di Sengakuji ini.

Dan saya terharu lagi saat menuliskan paragraf ini, lagi-lagi karena mengingat ayah saya (maaf ya). Ke-47 Ronin itu serupa bunga Sakura, yang di Jepang menjadi simbol Isagiyosa, sebuah kebajikan yang indah, -anggun namun fana-, sesaat mekar dalam waktunya lalu gugur sesuai takdirnya. Ke-47 Ronin menunjukkan Isagiyosa, mereka merangkul kefanaan dunia. Mereka yang melewati gerbang kematian dengan ketenangan dan kebanggaan atas kebenaran yang diyakininya. Manusia yang menyelesaikan tugasnya dan mengakhirinya dengan baik.

Sungguh Yang Maha Kuasa mempunyai cara yang amat indah menjelaskan berpulangnya ayah saya dan mengapa saya berada disini, di Sengakuji. RencanaNya selalu indah, selalu tepat pada waktunya.

DSC06769
The graves of Loyal Retainers

*****

Sejak kejadian tiga abad lalu hingga kini, berbagai drama populer dan Kabuki dibuat dengan tema mengenai Insiden Chushingura yang menyentuh hati ini. Dan setiap 14 Desember di Sengakuji selalu diadakan 47 Ronin Ako Festival.

Untuk mengakses Sengakuji Temple: Gunakan Jalur Subway Asakusa hingga Stasiun Sengakuji. Dari Stasiun tinggal jalan kaki sekitar 5 menit menanjak landai.

~~~~~~~

Sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina & saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-4 ini bertemakan Semangat, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

14 tanggapan untuk “Semangat Bushido dan Isagiyosa 47 Ronin di Sengakuji

  1. Mbak Riyanti, duka cita mendalam atas berpulangnya ayahanda Mbak Riyanti. Semoga beliau mendapat tempat yang baik di sisi-Nya dan beristirahat dengan tenang. Bicara soal 47 Ronin, jujur sebelum saya baca postingan ini saya cuma pernah baca selewat-selewat soal cerita mereka. Berkat tulisan Mbak Riyanti ini saya jadi paham mengapa cerita ini sangat dikenang dan dikenal, saya aja pas baca tulisan Mbak Riyanti ini jadi merinding saking kagumnya dengan kesetiaan para ronin, dan kagum atas tegaknya hukum di Jepang. Mengutip seseorang yang saya lupa siapa, masyarakat Jepang itu budayanya ada di level yang berbeda dengan masyarakat lain di dunia. Terlepas dari oversimplifikasi ini, gak heran sih dengan budaya seperti itu Jepang bisa semaju sekarang.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Aamiin YRA, terima kasih banyak mas Bama. Entah ya mas Bama, mungkin dengan ‘dipaksa’ pergi ke Jepang sehari setelah pemakaman, saya bisa relieve dengan caraNya yang unik dan sangat berbeda dari kebanyakan termasuk kesempatan ke Sengakuji ini. Sepanjang trip ke Jepang saya coba nulis tapi gagal terus. mungkin saya diminta jalani saja trip itu tanpa menulis dulu dan mendapat pemahaman sambil jalan. Dan beneran, saya bisa nulis dengan cepat tentang kepergian Papa sebagai catatan tahun baru. (https://ceritariyanti.wordpress.com/2019/01/09/berjuta-kenangan-untuk-masa-depan-yang-lebih-baik/ )

      Dan Sengakuji ini adalah cerita kedua yang terkait kepergian Papa. Kadang saya merasa lucu dengan caraNya menangani saya hahaha…
      Apa yang dikatakan mas Bama itu benar lho, mereka benar-benar memelihara dengan baik apa yang mereka percayai, apa yang mereka ingin generasi berikutnya tetap menjiwai. Kalo dipikir-pikir, kisahnya kan sudah 3 abad dan tempat itu masih seperti baru. Dan masih penuh dengan doa dan asap dupa… suatu saat nanti kalo coba sempatkan datang kesini mas Bama. 😀

      Disukai oleh 1 orang

  2. Mbak…tulisan atas perjalanan mengunjungi area pemakaman 47 ronin menarik banget untuk disimak, apalagi ditambah juga dengan kisahnya.
    Saya mengenal kisah 47 ronin ini dari film yang dibintangi Keanu Reeves. Dan saya surprise dengan foto-foto makam mereka pada tulisan Mbak ini.

    Oh iya Mbak, waktu ke Jepang apa pernah juga menelusuri juga jejak-jejak Musashi?

    salam dari saya di Sukabumi.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Memang bener banyak orang mengetahui soal 47 Ronin dari filmnya Keanu Reeves. Banyak juga yang berpikir itu fiksi (kalau di film kan berasa banget fiksinya), tapi kalau ada makamnya, ya itulah kerennya Jepang, Kang. Karena sejarahnya pasti ditelusuri dan dipelihara. Kalau istilah saya tuh, “sangat Jepang”, dan yang dipelihara itu kemudian dijual ke wisatawan (baik lokal maupun mancanegara). Mereka itu bersiiih banget deh Kang, sampah aja langsung dipisah2, bahkan sebisa mungkin sampahnya dibersihkan dulu lalu dikeringkan. Budaya kayak gini perlu banget ditiru sama kita hahaha.
      Dan soal Musashi, aduh Kang kenapa mengingatkaaan?? Ada dua buku Musashi saya ilang dibawa banjir… hahaha…
      Tapi ide menelusuri jejak Musashi menarik banget lho. Mungkin kalo ada waktu dan duit saya akan coba menelusurinya. Makamnya jauuuh di selatan, dekat Nagasaki. Naah sekarang saya malah berpikir bagaimana jika itu direalisasikan. Hahahaha…

      Disukai oleh 1 orang

      1. Novel Musashi saya masih lengkap Mbak, 7 jilid. Dulu pertama baca di harian Kompas, dibuat certa bersambung yang dimuat harian. Tapi bacanya putus-nyambung, maklum beli korannya keceran. Seneng banget pas dicetak oleh Gramedia dalam bentuk novel tipis dan dalam 7 jilid. Belakangan dirilis lagi, tapi dibuat 1 buku, jadi tebal dan lebar.

        Jadi kapan mau ke Jepang lagi Mbak dan menelusuri jejak Musashi? Saya tunggu tulisannya di bolg.

        Salam,

        Disukai oleh 1 orang

  3. Semoga bapak mendapat tempat terbaik di surga, mbak Riyanti. Aku pernah nonton filmnya tapi nggak tahu sejarah aslinya, terima kasih sudah berbagi mbak. Sepertinya baru belakangan ini ya mbak Riyanti lebih banyak bertutur seperti ini di blog, biasanya narasi perjalanan.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Amin, terima kasih banyak ya Nug. Tapi omong-omong soal tulisan ini, lha ini juga cerita perjalanan kaaan hahaha… gaya nulisnya tua banget ya Nug? Duh mudah-mudahan gak bosenin hehehe…

      Suka

      1. Bukan “tua” kok, mbak. Maksudku, biasanya mbak Riyanti lebih menceritakan perjalanan mbak Riyanti sendiri, bukan perjalanan sejarah tempat yang dikunjungi.

        Tulisannya bagus kok, mbak. Lengkap. Cuma kalau soal preferensi, aku lebih suka tulisanmu yang biasanya 😀
        Mungkin buat tulisan ini ada tujuan khusus ya

        Disukai oleh 1 orang

        1. Terima kasih masukannya lho Nug. Berharga banget.
          Namun kalau bicara Sengakuji kayaknya gak bisa lepas dengan cerita aslinya, yang biasanya jadi cerita sentral di Kabuki.
          Selain itu hahaha mungkin yaa, feeling acakadut pas disana dan akhirnya relieve krn dikasih pemahamam, yang ingin juga aku ceritakan hehehe…

          Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih sudah membaca. Tulisan ini tidak biasa, karena cukup panjang, ada cerita aslinya dan juga cerita perjalanan saya serta maknanya yang jadi kesatuan. Jadi ya harus diceritakan semua deh… kalau ada kesempatan ke Jepang, coba deh ke sini, meski bukan destinasi yang biasa ditawarkan ke turis Indonesia.

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan ke Titik Asa Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.