Ke Jepang Bersama Keluarga: Belajar Dalam Perjalanan


Yang bersilang jalan

Walaupun diiringi semangat menyambut hari karena semalam sebelumnya telah merasakan nyamannya tidur di hotel berbintang di bandara, kami tetap merasa terganggu dengan udara lembab saat berdiri di dekat pintu keluar. Karena akan mengurus perjalanan, saya meminta suami dan anak-anak ke arah yang lebih sejuk sementara saya sendiri masuk ke dalam antrian di depan konter JR di kiri pintu keluar untuk membeli tiket monorail ke Tokyo sekaligus membeli kartu one day pass, kartu yang cocok buat saya si pemalas mikir untuk menggunakan transportasi apa, dan yang jika salah arah pun tinggal balik lagi. Sambil mengipas, saya mendengar orang bercakap dalam bahasa Indonesia hingga saya melongokkan kepala ke depan, mencari tahu. Sepertinya dua atau tiga orang di depan saya. Tetapi belum sempat menyapa, penutur bahasa Ibu itu telah meninggalkan antrian tanpa melepas ponselnya.

Antrian lama tak bergerak ditambah AC yang tak mampu menyejukkan udara membuat saya terus mengipas. Seorang pria kulit putih berbadan besar di depan saya mengusap keringat di dahi dan lehernya. Kemejanya sebagian basah. Dia berbalik meminta maaf karena telah berkeringat banyak. Memaklumi karena merasakan panas yang sama, kami berdua malah terlibat dalam percakapan menyenangkan.

Tokyo International Forum

Berawal dari pertanyaan standar ‘dari mana’ dalam bahasa Inggeris, kami tergelak karena bisa menyapa sedikit dalam bahasa ibu lawan bicaranya masing-masing begitu mengetahui asal negaranya. Sepotong sapa dari Jerman  ‘Guten Morgen, Wie geht es Ihnen?’, berbalas dengan ‘Selamat Pagi, Apa Kabar’. Ah, ternyata dia pernah menjelajah dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali beberapa tahun lalu. Kemampuan bahasa Indonesianya tak tertandingi dengan kemampuan bahasa Jerman saya yang kebanyakan sudah hilang dari ingatan. Senangnya dapat bertukar sapa saat menunggu. Bahkan ketika saya masih di depan petugas tiket JR di konter, dengan ramahnya dia berpamitan kepada saya untuk langsung ke Tokyo karena sudah selesai urusannya. Indahnya sebuah perkenalan tanpa perlu tahu namanya.

Sejenak saya tertegun, dalam waktu yang hampir bersamaan, ada seorang warganegara Indonesia yang secara fisik cukup dekat dengan saya tetapi tak sempat bertegur sapa dan di sisi lain, ada seseorang yang berbeda kebangsaan bisa bertegur sapa dengan asiknya, juga dalam bahasa Indonesia. Memang dalam perjalanan hidup ini, kita sering bertemu, bersilangan jalan, bertegursapa, bertukar kebaikan mungkin tanpa perlu tahu nama dan pribadi lebih jauh. Kita memang tak pernah tahu dengan siapa kita akan bersilang jalan.

Berbekal one day pass di tangan dan tiket monorail ke Hamamatsucho, kami meninggalkan bandara Haneda untuk menjelajah Tokyo dengan semangat45. Sebenarnya bisa naik kereta langsung ke Asakusa, tetapi saya kalah melawan tiga suara yang meminta naik monorail saja. Saya memahami perasaan mereka yang hendak memanjakan mata dengan keajaiban-keajaiban Jepang yang selama ini hanya didengar, sama seperti saya ketika pertama kali ke Jepang. Kekagumannya terlihat dari mata yang tak berkedip melihat bersihnya air sungai, highway yang rapi, lalu lintas yang tak padat dan semua yang serba teratur walaupun huruf Kanji bertebaran dimana-mana. Seketika terasa keharuan menyelimuti kalbu melihat mata bahagia mereka. That’s priceless.

Hotel atau Hostel?

Setelah cukup membiarkan perjalanan rasa sebagai orang yang pertama kali ke Jepang, saya mengajak untuk segera check-in di hostel. Kali ini, setelah memberi kejutan semalam tidur di hotel berbintang di Haneda, mereka akan tidur di tempat dengan gaya yang berbeda.

Setelah proses check-in yang efisien, kami langsung menuju kamar. Begitu pintu dibuka, tadaaa… terlihat susunan tempat tidur bertirai berjajar di depan mata. Saya sengaja memilih kamar dormitory dengan nomor tempat tidur yang saling berhadapan. Mereka tertawa lebar karena akan tidur di tempat dengan gaya yang sama sekali berbeda dengan malam sebelumnya.

Bukan tanpa alasan saya memilih dormitory, selain harga tentunya hahaha… Saya hanya ingin berbagi kepada mereka mengenai gaya jalan solo setiap melakukan perjalanan, bahwa kita bisa berbagi kamar, berbagi kamar mandi serta saling bertoleransi, sebagai bekal untuk mereka saat melakukan perjalanan solo di kemudian hari.

Mereka menerima tantangan dengan gembira bahkan sangat senang. Bagi mereka mengalami sesuatu untuk pertama kalinya selalu menyenangkan. Seperti mengurus semua keperluan pribadinya diatas kasurnya sendiri, apalagi bisa kedunia maya dengan kecepatan luar biasa dan memiliki privasi dalam ruang lingkup kecilnya itu sangat luar biasa (tidak ada orang –baca:ibunya– yang bakal ngomel-ngomel berantakan hahaha…)

Saya hanya menyampaikan etika tinggal di dorm, -seperti dimana-mana yang bukan rumah sendiri-, agar selalu menurunkan volume suara saat di dalam, tidak menggunakan pengering rambut di malam hari karena suaranya bisa terdengar sampai kamar, juga menghindari pemakaian kantong kresek yang berisik serta selalu memeriksa keamanan barang-barang pribadi. Bagaimanapun disini merupakan tempat bersama. (Belakangan setelah sampai di Jakarta, mereka mengatakan bahwa pengalaman tidur di dormitory itu jauh lebih mengasyikkan daripada tidur di hotel berbintang yang begitu serius!)

Yang Sesungguhnya Bersilang Jalan

Tak mudah berwisata di cuaca yang kurang tepat, walaupun kami sudah mempersiapkan diri. Tetapi persiapan kami pada kemungkinan hujan bukan pada suhu yang sangat lembab. Bukan sebuah kegagalan sih tetapi lebih kepada jalan-jalan yang tidak optimal. Tempat-tempat must-see di Tokyo yang biasanya sangat menarik, pada situasi liburan ini menjadi tempat yang biasa-biasa saja. Sepertinya tempat-tempat umum yang ada di  Jakarta juga, seperti mal atau toko-toko ber-AC menjadi lebih menarik 😀

Di Kuil Sensoji yang merupakan salah satu kuil tertua di Jepang, wajah orang-orang tercinta kusut kepanasan, bahkan es krim pun tak mampu menyingkirkan wajah suntuk karena tergerus panas. Sensoji yang mengesankan bagi saya, tidak demikian halnya bagi mereka yang lebih memilih tempat yang teduh. Teduh pun terasa gerah! Bahkan di area Skytree kami berlama-lama di area mal daripada berjalan-jalan di pelatarannya. Juga ketika berada di lantai observasi gedung Tokyo Metropolitan Government kami sengaja berlama-lama untuk menikmati sejuknya udara. Sambil menertawai diri sendiri, termasuk adik dan orangtuanya, si sulung berkata, “kita ini ke Tokyo tetapi malah ngadem di mal, kalo nge-mal sih di Jakarta banyak!“ Saya tertohok, jadi mungkin saya yang manja tidak mau bergerah-gerah, bukan mereka! 😀

Memang saya mengajukan banyak pilihan wisata yang berada diluar ruang, karena bukankah Jepang memang banyak menarik untuk aktivitas di luar ruangan? Sekalian saja saya mengajak ke sebuah keramaian. Shibuya Crossing. Kali ini saya membiarkan mereka merasa heboh dengan ‘kegilaan’ banyak orang yang menyeberang dalam waktu yang bersamaan tanpa menabrak satu sama lain. Saya biarkan mereka merekam, membuat heboh di snapchat. Masing-masing punya kehebohannya sendiri-sendiri. Sedangkan saya? Melihat mereka dalam kegembiraan sudah membuat saya senang.

“Get Lost”

Malam baru saja datang saat kami kembali ke kamar, rehat sejenak di antara kedua bunkbed yang saling berhadapan. Saya memperhatikan hostel baru dengan review yang tinggi ini kelihatannya belum banyak dikenal orang. Hanya ada satu orang di sudut kamar yang berbelok, sebuah kemewahan bagi kami bisa serasa memiliki kamar mandi sendiri. Dan waktunya memberi kejutan lain untuk mereka yang tercinta, kali ini tentunya setelah mendapatkan persetujuan dari suami.

Mumpung di Tokyo dan kalian masih kuat jalan, mau keliling berdua gak? Papa mama di sini saja.

Kedua wajah remaja kakak beradik itu saling berpandangan, matanya berbinar. Saya tahu jawabannya.

Mereka tak perlu berpikir panjang lagi untuk langsung bersiap-siap. Berbekal modem WIFI, -sementara hostel juga menyediakan WIFI-, sehingga kami bisa terus berkomunikasi, lalu tiket terusan subway dan sedikit Yen sebagai pegangan, sebagai orangtua saya membiarkan mereka mendapatkan pengalaman get-lost di Tokyo, mencoba berani melawan kegamangan berada di Negara asing, tempat yang bukan rumah. Dengan mencari jalan sendiri, mencari rute kereta, -mungkin tersesat di rute kereta Jepang yang seperti spaghetti-, mereka bisa berjalan menyusuri di Asakusa, Harajuku, Omotesando atau Ginza, merajut imajinasi.

Belajar hidup sesungguhnya…

*

Sensoji at Night
The Famous Kaminarimon, Sensoji

23 tanggapan untuk “Ke Jepang Bersama Keluarga: Belajar Dalam Perjalanan

      1. Haha.. nah..nah..
        Aku seneng banget mbak kalau lagi jalan sama keluarga trus dikasih/ada kesempatan untuk jalan sendirian..hehehe..
        Eh..tapi ternyata si mama n papa seneng juga ya ditinggal berduaan.. hahahaahaha

        Disukai oleh 1 orang

  1. Mbak, tiket one day itu combo ticket kan ya? Yang bisa dipake di subway atau kereta komuter apapun di wilayah Tokyo. Sebagai flashpacker yang bertekad menjelajah Tokyo 1 hari 1 malam, kayaknya itu yang pas.

    Btw foto Sensoji sama Kaminarimon di malam hari cakep banget!

    Disukai oleh 1 orang

    1. Waktu itu sih saya beli yang handle subway doang krn rata2 stasion terwakili oleh subway. Cons-nya adl ga kliatan apa2 kl naik subway.
      Kl yg kombinasi semua moda itu harganya ¥1590.
      Disisi lain, cek juga jarak diatas tanahnya Nug, siapa tau deket, bs jalan kaki.

      Suka

  2. Terbayang keseruan percakapan dengan sang pria Jerman. Ini contoh nyata mengapa belajar bahasa asing lain selain Bahasa Inggris itu penting, supaya bisa lebih akrab dan seru ketika bertemu dengan penutur aslinya. Anyway, mengajak keluarga traveling dan melihat raut muka mereka yang menikmati keunikan/keanehan negeri asing memang priceless. Saya jadi ingat waktu mengajak orang tua saya ke Singapura. Mereka sangat terkesan dengan MRT yang berseliweran di bawah tanah dan selalu tepat waktu. Di Marina Bay Sands bapak saya sangat terkesan ketika beliau menyadari bahwa tempat tersebut dikelilingi oleh banyak stasiun MRT yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Meskipun panas dan saya ‘paksa’ berjalan kaki ke sana sini, mereka sangat terkesan. Capek tapi terkesan, dan itu bener-bener priceless.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Memang lucu dan seru walaupun kita sama2 kepanasan, mana mukanya jenaka pula…
      Wah senang sekali bisa membahagiakan orangtua berkeliling negara asing, luarbiasa ya rasanya. Apalagi bisa sedikit ‘memaksa’ untuk jalan demi sehatnya mereka dan kita tau bahwa memang aman buat warga senior. Tapi MBS itu gede juga kan… tega juga ya mas Bama meminta orangtua jalan… 😊

      Suka

      1. Jalannya pelan-pelan kok mbak 😀 Dan pas kalau ada warga senior di sana yang lebih senior dari mereka tapi jalan kemana-mana masih lincah, saya justru seneng, karena bisa memacu mereka supaya menjaga gaya hidup yang sehat.

        Disukai oleh 1 orang

  3. Wah aku juga baru belajar sharing2 pengalaman liburan di blog tapi pas liat blog kamu, aku langsung menciut hahaha kamu kayanya jago bgt menceritakan pengalannya hehe

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hahaha… terima kasih banyak apresiasinya ya tetapi jangan takut memulai karena semua orang pasti begitu, nanti makin lama makin bagus dengan sendirinya kok, Coba aja sering-sering blog-walking alias berkunjung ke blog-blog lain dan temukan gaya ngblogmu sendiri. Oke deh selamat ngblog….

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.