Japan – Osaka, Kobe and Tanabata


Perjalanan kemarin di Hiroshima, walaupun penuh kenangan akan Papa, tetapi kunjungan ke tempat-tempat memorial masih meninggalkan sisa emosi yang redup, mungkin seperti awan yang terus menggantung di langit Osaka ini. Walaupun mendung, hari ini jadwal kami berkeliling wilayah Osaka.

Kami meninggalkan penginapan yang tidak jauh dari Shin-Osaka Station. Sengaja saya memilih semua penginapan yang tak jauh dari stasiun kereta agar memudahkan mobilitas kami. Tetapi dasar kami berpegang pada filosofi ‘sedang liburan’, kehilangan momen untuk pergi ke suatu tempat yang menarik tidak sampai menimbulkan kejengkelan. Bahkan mereka terlihat santai saja tidak bisa Osaka Castle, yang menjadi salah satu landmark Osaka, hanya gara-gara hujan! Memang hujan di tengah udara lembab itu sangat menyebalkan, terutama saat liburan. Rasanya tetap gerah walaupun hujan.

Saat berkunjung ke Osaka tiga tahun lalu di akhir musim semi, saya mendatangi Osaka Castle dan menikmati selama berkeliling halamannya dari sore hingga malam hari. Pengalaman itu membuat  saya bisa membayangkan betapa tidak menyenangkannya berkunjung ke Osaka Castle saat hujan karena keindahannya justru terlihat dari taman-tamannya yang luas. Begitu banyak pemandangan yang cantik, dulu… dan mungkin sampai sekarang…

Osaka Castle in the afternoon
Osaka Castle in the afternoon

Terbangun dari kenangan indah tiga tahun lalu, saya kemudian bertanya kepada keluarga apakah mereka masih mau berkunjung ke Osaka Castle di tengah hujan. Namun dari paras wajah mereka yang ‘lempeng’, lebih baik saya mencari destinasi lain yang tidak terkait dengan sejarah. Langsung saja saya mengajak mereka naik Shinkansen lagi dan ekspresi kegembiraan langsung tergambar di wajah mereka. Mereka bersemangat sekali untuk naik Shinkansen, walaupun sudah menempuh perjalanan dari Tokyo ke Osaka hingga Hiroshima dan balik lagi ke Osaka dengan menaiki Shinkansen, mereka masih belum bosan naik kereta super ekspress berhidung panjang itu. Ah, saya sama sekali tidak salah menggunakan JRPass karena kegemaran mereka naik kereta.

Berbagai  kesan mereka yang disampaikan kepada saya mengenai naik kereta super cepat berhidung panjang itu. Katanya keretanya ada yang bagus sampai bagus banget tentu saja lengkap stopkontak untuk charge ponsel/laptop, dan ada juga gerbong yang dilengkapi toilet dan ruang dandan yang mewah, pintu yang serba otomatis membuka dan menutup tanpa suara, gerbong yang walaupun penuh orang tapi senyap mungkin karena orang-orang Jepang itu sangat menjaga privasi. Mereka juga terkesan dengan kebiasaan hebat orang Jepang untuk langsung menegakkan posisi kursi saat meninggalkannya dan tentu saja waktu yang sangat tepat bagi kereta untuk sampai dan berangkat lagi serta tentu saja luar biasa bersih. Uh, saya membayangkan bagaimana peluang kita mengejar budaya orang Jepang yang super duper soal kebersihan itu.

Shinkansen
Shinkansen

Kobe

Dari stasion Shin-Osaka, saya mengajak mereka ke jalur Shinkansen apapun yang kearah Barat Daya, -kecuali Nozomi yang tidak bisa kami naiki-, karena semua kereta Shinkansen akan berhenti di Shin-Kobe, satu stasion setelah Shin-Osaka. Kobe merupakan salah satu destinasi yang muncul di benak untuk menggantikan Osaka Castle, karena untuk menuju destinasinya kami tak perlu berkeringat banyak di tengah udara lembab seperti ini.

Perjalanan sepanjang 37 km itu hanya memerlukan waktu selama 13 menit dari Shin-Osaka menuju Shin-Kobe dengan menggunakan Shinkansen yang bergerak dengan kecepatan biasa. Dinginnya udara di dalam gerbong membuat perjalanan kami terasa lebih nyaman daripada harus bergerah-gerah di luar.

Tidak lama menjelang stasion Shin-Kobe, terdengar pemberitahuannya dalam bahasa Inggeris yang mengakibatkan kami bergegas mengantri ke pintu keluar. Kereta hanya berhenti sebentar, mungkin tak lebih dari 1 menit. Dan udara gerah langsung terasa begitu keluar di peron stasion. Sebenarnya kami bisa berkeliling kota Kobe, tetapi lagi-lagi udara gerah menjadi 1001 alasan untuk tidak berjalan di tengah udara seperti itu. Benar-benar kami turis super manja  😀 😀 😀

Akhirnya kami menuju Nunobiki Herb Park yang hanya 5 menit jalan dari Stasion Shin-Kobe. Kami tinggal menyusuri stasion Shin-Kobe lalu menembus sebuah pertokoan yang tidak terlalu besar lalu naik tangga sedikit untuk sampai di stasion kereta gantung. Sangat minimal untuk mengalami kegerahan di tengah udara lembab kali ini. Bahkan saat kami datang, tidak ada orang yang mengantri di depan konter. Senangnya.

Dan kali ini di kereta gantung, si bungsu duduk di sebelah kakaknya. Dia menolak ketika diajak duduk di sebelah saya. Sambil tersenyum menguatkan, saya tahu dia terus mencoba mengatasi rasa takut ketinggian yang masih tersisa pada dirinya. Ia memang memilikinya sejak kecil. Saya teringat ketika semasa batita ia menjerit menangis sambil merangkul leher saya dengan sangat kuat, minta turun saat naik kincir ria (ferris wheel) di Ancol dan untung saja saya berhasil menenangkan saat itu. Sejak itu, saya selalu mendampinginya untuk mengatasi fobia ini secara bertahap termasuk membicarakan dengan gurunya karena mungkin bagi anak lain sangat mudah untuk berjalan di atas balok keseimbangan tapi sangat menakutkan bagi anak yang mengalami fobia ketinggian ini.  Tetapi semakin besar ia semakin baik, dia mulai berani naik lift kaca walau berjarak tertentu dari pinggir, atau berani semakin dekat dengan pagar pembatas tembus pandang di lantai-lantai atas Mal, sampai berani naik kereta gantung walau dengan syarat tidak boleh ada orang berpindah kursi atau bergerak-gerak! Seperti saat di Kobe ini, untuk menenangkan saya katakan padanya bahwa kereta ini tidak setinggi Ngong Ping di Hong Kong. Ia memahami dan mencoba menikmati pemandangan dari kereta gantung yang memang sangat indah dengan keseluruhan kota Kobe terpampang di depan mata.

View of Kobe - from the Cable Car
View of Kobe – from the Cable Car

Kobe, -kota yang pernah dilanda gempa besar berkekuatan 7.3 SR di tahun 1995 dan menelan korban lebih dari 6000 orang ini, memang menimbulkan kenangan bagi saya pribadi. Lagi-lagi karena cerita Papa yang sering sekali bolak-balik ke kota ini, nama Kobe sudah terukir dalam ingatan saya sejak kecil.  Kota pelabuhan Jepang yang terkenal sejak dulu ini, bagaikan gadis cantik yang memperlihatkan sejumput keelokannya. Semakin diselami, semakin indah. Seandainya ada waktu lain kali, rasanya saya sendiri masih ingin berjalan berlama-lama menapaktilas perjalanan Papa di kota ini.

Tidak lama kemudian, kami sampai di Nunobiki Herb Park yang merupakan tempat rehat yang menyenangkan. Kami menikmati es krim melingkar tinggi di tempat ini karena gerahnya udara, setelah melihat-lihat cantiknya bunga-bunga di taman. Di musim semi atau musim gugur yang udaranya lebih bersahabat, biasanya orang Jepang tidak menggunakan kereta gantung melainkan mendakinya sendiri melalui jalan setapak yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan herbal.

Nunobiki Herb Park
Nunobiki Herb Park
The parks below - from Cable Car
The parks below – from Cable Car

Umeda Sky Building

Sekembali ke Osaka, kami mengarah ke Umeda Sky Building, gedung ke 19 tertinggi di Osaka yang dibangun tahun 1988. Banyak yang lebih tinggi, tetapi gedung Umeda ini sangat menarik dengan dua tower 40 lantai yang terhubung di atasnya dengan jembatan dan eskalator berjendela lebar. Bahkan masih bisa naik lagi ke lantai tertingginya dan memasuki pelataran atas yang terbuka. Tapi jangan bayangkan mau lompat bunuh diri disini ya 😀

Osaka from Umeda
Osaka from Umeda

Sebelum meninggalkan Umeda Building, kami menyempatkan diri jalan-jalan di halaman sekitarnya. Beberapa hiasan tampak tergantung yang menunjukkan Tanabata Festival sedang menjelang. Festival ini, dikenal sebagai festival Bintang yang biasanya diadakan pada hari ke 7 bulan ke 7, yang menurut legenda Qixi dari China, kedua bintang Altair dan Vega bisa saling berjumpa dari situasi umum yang biasa terpisah dalam galaksi Bima Sakti. Yang umum terlihat dalam Festival Tanabata ini adalah seseorang menuliskan harapannya pada secarik kertas lalu menggantungkannya di pohon bambu yang didirikan secara khusus agar harapannya dapat terkabul.

Kami tak lama berkeliling Osaka, karena telah berjanji dengan pengelola guesthouse di Kyoto untuk check-in sebelum malam. Walaupun Osaka mungkin merupakan kota yang menarik bagi banyak orang, hari itu kami meninggalkannya lebih cepat karena udara yang tidak begitu bersahabat. Rasanya kami lebih senang memilih naik kereta Shinkansen lagi walaupun hanya 15 menit ke Kyoto daripada harus berlama-lama di Osaka yang gerah. Lagipula saya masih menyimpan kejutan rahasia lagi di Osaka ini, sebagai kota yang mengakhiri masa liburan kami, tetapi itu nanti karena liburan belum selesai 😀

Welcoming Tanabata Festival
Welcoming Tanabata Festival
Decoration in Mall
Decoration in Mall
Tanabata Festival's Wishes
Tanabata Festival’s Wishes
The Love's Padlocks at Umeda
The Love’s Padlocks at Umeda

18 tanggapan untuk “Japan – Osaka, Kobe and Tanabata

  1. Keren yak kota-kotanya. Tapi lebih keren lagi Mbak yang bisa mengambil foto-foto itu dengan begitu apik. Mungkin kesannya barang yang diambil banyak dan agak berantakan tapi ini saya lihat seperti foto-foto para profesional begitu, bagus dan pas banget pengambilannya, sempurna. Kapan-kapan di-share dong Mbak bagaimana tips dan trik memotretnya, hehe.
    Tapi napak tilas perjalanan orang tua itu memang unik, haha. Saya pernah juga, tapi di Malang. Lewat tempat yang diceritakan orang tua pernah ditinggali semasa kuliah dulu rasanya agak bagaimana gitu. Dalam kasus saya mostly kagum karena orang tua sudah menjelajah Malang berpuluh tahun lalu saat fasilitas dan keadaan mungkin belum sebaik saya sekarang, hehe.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Gara, awas kamu tak jiwit yaa ngomongin soal moto, udah tau kamu lebih pinter!
      Oh jadi kemarin itu ke Malang sekaligus bernostalgia cerita masa kecil ya? Asik yaaa…
      Soal orangtua menjelajah, memang menakjubkan ya… Bagi saya, yang agak menakjubkan ketika ngetrip ke Myanmar beberapa tahun lalu, Gara. Soalnya antara yang diliat waktu itu sama cerita orangtua dulu itu ga jauh beda, mungkin karena Myanmar belum seterbuka sekarang ya… Tapi jadinya ya seperti melakukan perjalanan waktu 😀 😀 😀

      Disukai oleh 1 orang

  2. Wah di Jepang pun tetap gerah ya kalau mau hujan. Bulan apa tuh, mbak? Biar aku hindari, hehe.

    Aku juga fobia ketinggian. Gara-garanya pas kecil iseng naik pohon, tapi turunnya nggak bisa hahaha. Sekarang udah lebih baik, udah bisa diajak naik gunung hehe.
    Doakan aku juga bisa segera ke Jepang ya, mbak. Impian dari sd nih.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Bulan Juni banyak hujannya, low season, tapi karena bukan waktu terbaik, banyak tempat turis kosong hehehe… Kemarin diperparah dengan ada satu badai yang walaupun jauh dari Jepang, tapi bikin udara di Jepang gerah banget.
      Aduh, aku doain deh bisa cepat ke Jepang, pasti aku jamin ga nyesel… kalopun nyesel, itu juga biasanya karena kurang waktunya hehehe…

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan ke Totoraharjo Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.