Nepal – Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini


Every morning we are born again. What we do today is what matters most – Buddha

Mengutip selarik kata bijaksana dari Sang Buddha di tempat kelahirannya membuat pikiran saya bekerja cukup dalam sambil melangkah meninggalkan kamar menuju lobby untuk check-out. Walaupun hanya bisa sepenggal pagi hari berada di Lumbini, saya akan memanfaatkan kesempatan baik ini semaksimal mungkin untuk berkeliling di kawasan Monastik Lumbini dan tentu saja mengunjungi Kuil Mayadevi, tempat kelahiran Sang Buddha karena setiap detik yang begitu berharga.

Setelah menitipkan ransel di hotel, saya berjalan kaki menuju gerbang Barat, tempat Santa menunggu. Ya memang masih ada Santa hari ini karena kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang sewa mobil sampai ke Kathmandu yang tentu saja disambut Santa dengan senyum yang sangat lebar. Sambil berjalan saya menanyakan kabar istirahat malamnya yang langsung dipotong sambil menggerutu, banyak nyamuk di Terai. Saya terbahak mengingat gurauan yang absurd, Terai bukanlah wilayah Nepal…

Santa menghentikan langkah saya dan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, ia menawar sebuah rickshaw serupa becak untuk berkeliling kawasan monastik Lumbini. Inisiatifnya ternyata tepat, dalam waktu singkat jika harus berkeliling di kawasan itu dengan berjalan kaki, yang akan didapat hanya kelelahan tanpa mengetahui tempat-tempat bagus di kawasan ini.

Gerah udara pagi Terai tetap terasa walaupun saya hanya duduk manis di becak ala Nepal ini. Saya menyaksikan sendiri betapa kawasan seluas ratusan hektar yang dikelilingi oleh jalan Vishnupura ini merupakan kawasan internasional. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha pastilah memiliki vihara di kawasan ini. Dan bentuknya? Pasti disesuaikan dengan ciri khas dari Negara-negara itu. Sebut saja Negara-negaranya, pasti ada…

Becak ala Nepal itu melewati jalan ‘tikus’ untuk sampai ke tengah kawasan melewati petak-petak tanah yang tak terpelihara. Ada sejumput rasa prihatin merambat di dalam hati. Untuk sebuah kawasan yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah dunia dan sedikit banyak telah memberi warna perdamaian pada kemanusiaan, kawasan Lumbini ini sepertinya masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Entah apa kabarnya dengan mega proyek pengembangan kawasan Lumbini yang telah di-gong-kan hampir empat puluh tahun lalu. Bahkan pencatatan Lumbini sebagai kawasan UNESCO World Heritage Site di tahun 1997 juga belum cukup mampu mengangkat kawasan itu nyaman terlihat di mata.

Dari balik rimbunnya petak-petak yang terabaikan itu saya sempat melihat puncak keemasan stupa Myanmar yang menyerupai Pagoda Shwedagon di Yangon, yang belakangan saya ketahui bernama Pagoda Lokamani. Tanpa masuk ke dalamnya, saya bisa membayangkan vihara Myanmar itu seperti bunga lotus yang hidup di air yang keruh.

From the mud of adversity grows the lotus of joy – Carolyn Marsden

Tepat setelah pagar batas dari vihara Myanmar itu, agak menjorok dari pinggir jalan saya menangkap dinding pagar keliling dengan ciri khas Kamboja seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan candi di kompleks Angkor. Terlihat sepertinya masih dalam tahap penyelesaian akhir, ditambah dengan keberadaannya yang agak tersembunyi diantara petak-petak tanah yang terabaikan, membuat kompleks vihara Kamboja semakin tak terlihat. Entah mengapa pikiran saya melayang pada lembaran-lembaran uang yang tak kunjung terbang ke Lumbini.

The Royal Thai Monastery

Akhirnya becak à la Nepal berbelok memasuki kawasan vihara Thailand yang tentu saja didukung secara penuh oleh pemerintah Kerajaan Thailand. Walaupun bentuknya tak serupa, namun karena warna putihnya yang mencolok mata, bangunan vihara ini mengingatkan saya pada Wat Rong Khun (White Temple) di Chiang Rai. Pagi itu, bangunan vihara berlapis marmer berwarna putih terlihat sangat kontras dengan langit biru yang melatarinya. Walaupun ketika mendekat, tertangkap pula di mata saya beberapa bagian yang perlu direnovasi lagi. Ah, tetapi keadaan itu tak mengganggu kecantikan bangunan secara keseluruhan.

Royal Thai Monastery, Lumbini
Royal Thai Monastery, Lumbini

Becak pun terus dikayuh ke Utara menyusuri kolam buatan yang membelah kawasan Monastik menjadi dua bagian. Bagian Timur dari Kawasan Monastik Lumbini adalah vihara-vihara Buddha yang beraliran Theravada dan bagian Barat dari kolam buatan diidirikan vihara-vihara Buddha yang beraliran Mahayana dan Vajrayana.

Dan tepat di bagian Utara, -setelah menyeberang jalan Taulihawa-, terdapat World Peace Pagoda yang melengkapi World Peace Stupa (Shanti Stupa) yang ada di Pokhara. Keduanya, -merupakan bagian dari World Peace Pagoda di seluruh dunia-, didukung penuh oleh Nipponzan – Myohoji, salah satu aliran Buddha dari Jepang yang juga mendukung aliran anti kekerasan dari Mahatma Gandhi.

Setelah berputar di ujung kolam bagian Utara, saya memasuki kawasan vihara dengan aliran Mahayana. Terlihat bangunan cantik berbentuk stupa besar bergaya oriental yang sayangnya tidak diketahui namanya. Di dekatnya terdapat halaman yang tertata rapi namun sayangnya lagi-lagi tidak ada informasi asal Negaranya, walaupun orang lokal mengatakan vihara itu berasal dari Perancis.

Sebelum memasuki vihara yang ada disebelahnya, saya menyempatkan diri untuk menikmati kolam buatan yang terasa meneduhkan udara Terai yang gerah. Vihara modern di seberang kolam tampak seperti dipeluk kabut. Menenangkan sekali.

A Monastery near the pond, Lumbini
A Monastery near the pond, Lumbini

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Setelah melepas alas kaki, saya memasuki vihara yang didukung oleh Yayasan Tara dari Jerman, sehingga public sering menyebutnya Vihara Jerman (rasanya saya hampir saja tak percaya bahwa umat Buddhist di Jerman cukup banyak hingga dapat mendanai pendirian dan pemeliharaan vihara yang tak kecil). Bangunan ini dipelihara dengan sangat cantik dengan taman-taman yang tertata dan benda-benda yang berhubungan dengan ritual diletakkan di seluruh penjuru arah sebagai penguat tata letak. Jika saja pengunjung disana dapat lebih menahan diri tak bersuara, keheningan suasana ditempat ini membuat suasana meditatif kian terasa. Tak lupa di depan bangunan utama terdapat kolam yang ditengahnya terdapat Buddha Kecil, dengan tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah (bumi).

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa
The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Pada ruang dalamnya penuh dengan hiasan kehidupan Buddha yang dilukis baik pada dinding maupun pada langit-langitnya dengan warna-warna terang seperti merah dan kuning keemasan selain warna-warna biru muda yang meneduhkan.

Sekeluarnya dari vihara Jerman, saya menyusuri kolam buatan yang airnya sangat tenang sehingga menampilkan refleksi dari bangunan yang berada di pinggir kolam. Melewati sebuah bangunan bergaya Oriental dengan pagar tertutup tinggi, tak terasa langkah kaki membawa ke sebuah gedung berwarna putih pucat, yang sayangnya lagi-lagi tak memiliki petunjuk yang jelas. Sekelompok orang berwajah Hindustan tampak keluar dari gedung itu, entah usai beribadah atau sekedar melihat-lihat.

Monasteries near the ponc
Monasteries near the pond

Melewati sebuah gedung megah yang dari pagar hanya terlihat stupa besar dengan ciri khas Nepal, -memiliki mata seperti Bouddhanath dan Swayambhunath-, sang pengemudi becak ala Nepal telah menunggu kami untuk dikayuh kembali kearah vihara Zhong Hua dari China.

Vihara Zhong Hua

Saya melepas alas kaki untuk memasuki vihara berarsitektur China yang didominasi dengan warna merah ini. Dibandingkan dengan kuil atau vihara yang saya lihat sebelumnya, Vihara Zhong Hua ini sangat megah dan luas. Empat patung Dewa penjaga tampak gagah menghias area gerbang. Halaman bagian dalam tertata cantik yang mengarah ke gedung utama dengan Buddha berlapis emas yang duduk di altar. Secara keseluruhan seluruh bangunan yang ada di kompleks vihara ini dihubungkan dengan lorong terbuka beratap dengan pemandangan halaman taman yang cantik.

Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini
Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini

Vihara Korea

Tepat di depan Vihara Zhong Hua dari China berdirilah vihara Korea yang pada saat saya berkunjung sedang direnovasi. Melihat bangunannya, saya sampai berpikir di Lumbini tempat kelahiran Buddha yang mengajarkan kerendahhatian, entah kenapa saya merasa tetap saja ada upaya berlomba untuk menunjukkan vihara yang terbesar dan termegah. Jika sebuah negara sudah membangun vihara yang besar, ternyata ada negara lain yang membangunnya lebih besar, lebih megah. Lomba kedigdayaan? Entah…

Korean Monastery, Lumbini - under renovation
Korean Monastery, Lumbini – under renovation

Saya kembali berbecak menyusuri kanal di tengah untuk menuju Kuil Mayadevi, sejatinya tempat kelahiran Sang Buddha. Pengemudi becak ala Nepal itu menyelesaikan pekerjaannya di ujung kanal tempat nyalanya Api Perdamaian Abadi, Eternal Peace Flame, yang dinyalakan oleh Pangeran Gyanendra Bir Bikram Shah di tahun 1986. Dari posisi Api Perdamaian Abadi itu, saya melihat lurus ke Utara, terlihat samar warna putih Stupa dari World Peace Pagoda.

Berbalik badan menghadap arah Mayadevi temple, terhampar di depan mata jalan pelintasan panjang seakan membelah udara panas wilayah Terai. Terbayang gerah dipanggang oleh udara, tetapi sungguh dapat dimengerti, inilah wilayah yang begitu berharga bagi dunia, sejatinya seseorang yang telah mengubah warna dunia lahir di wilayah ini hingga tentu saja saya bersedia berjalan kaki untuk mencapainya walau panas sekalipun.

Sekitar 100 meter berjalan saya tiba di sebuah bundaran kecil yang ditengahnya terdapat patung Buddha kecil, dengan telunjuk kanan mengarah ke langit dan telunjuk kiri mengarah ke bumi, seperti kisah yang tertulis pada sutra mengenai tujuh langkah yang dilakukan oleh Buddha setelah kelahirannya.

Masih berselimutkan gerahnya udara pagi Terai, kaki terus melangkah menuju Mayadevi Temple, seakan mengetahui akan adanya keajaiban lain yang telah menunggu disana…  (baca kisahnya  Khata – Syal Putih dari Lumbini)

*

Ketinggalan cerita? coba cek disini – Rangkuman dan series cerita perjalanan di Nepal

27 tanggapan untuk “Nepal – Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini

      1. Berapa lama sih naik bus dari Kathmandu ke Lumbini, mbak? Hmmm Sarnath mungkin ya? Yang memang menjadi tempat Siddharta pertama kali menyebarkan ajarannya. Di Taman Rusa tepatnya.

        Suka

        1. Aku nyewa mobil aja dari sekitar 8jam lebih termasuk break makan sebentar sih, apalagi pake bus ya, pasti lebih lama… klo dari KTM jam 7 sampe Lumbini malem lhaaa itu udah hampir 12 jam kan ya??? *ampuuun deh, terbang aja mas, 35 menit hehehe..

          Disukai oleh 1 orang

        2. Bener memang deket banget sama border. Bahkan saya barusan aja iseng-iseng browsing ada lho dari Kathmandu ke Delhi via Lumbini… tapiiii hahaha 2 hariiii, tepos deh bokong… 😀
          soal nyewa mobil itu agak lupa2 inget sekitar 10rb rupee, pokoknya bangkrut aja saya… 😀 😀 😀

          Disukai oleh 1 orang

        3. NPR 10.000 per hari?! Lumayan jugaaa 😀

          Iya, dari Pokhara ke Delhi juga ada. Gak kebayang kaya apa rasanya hahahaha. Sayangnya di Nepal gak ada kereta sih ya. Kalau ada khan lumayan. Cuma ya gimana mau bangun kereta, tanahnya berbukit-bukit gitu.

          Disukai oleh 1 orang

  1. Ini sedikit mengingatkan saya akan Sri Dalada Maligawa di Kandy dimana di salah satu bangunan di komplek istananya terdapat patung Buddha dari berbagai negara. Tapi yang di Lumbini ini memang luas banget sih sepertinya komplek keseluruhannya. Sayangnya yang di Nepal ini di beberapa sudut agak kurang terawat ya. Btw Vihara Jerman itu keren banget! Berarti kemungkinan besar mayoritas umat Buddha di Jerman pengikut Tibetan Buddhism ya sepertinya, melihat dari arsitektur yang dipilih.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Ah begitu ya di Kandy? Wajah Buddha itu pasti berbeda-beda ya sesuai negaranya… 😀 Hmm… di Myanmar juga ada, dijejerin lagi patung Buddhanya. Ada yang wajahnya agak lebar, lebih bulat, ujung matanya lebih naik…
      Soal Lumbini, iya, memang memprihatinkan… nelangsa liatnya…
      Soal vihara Jerman, hahaha, saya juga kagum soalnya itu bangunan terbaik yang saya liat di Lumbini.

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.