Arigatou Gozaimasu Japan…


“It’s time to say beautiful goodbye to Shinkansen”, demikian kata saya pada kedua anak saya, -si kakak dan si adik-, sambil menempelkan telapak tangan secara cepat pada badan kereta berwarna putih itu sebagai sentuhan perpisahan saya saat melangkah keluar dari bullet train di Stasiun Shin-Osaka. Beberapa saat kemudian kereta berhidung panjang itu lembut meninggalkan kami yang berdiri melambaikan tangan perpisahan hingga kereta hilang dari pandangan.

“Gak mau pulang, Ma…” mereka merajuk. Ah, saya tahu semua hati tercinta, bahkan saya sendiri tak mampu membohongi diri, mereka juga saya, tak ingin liburan berakhir. Kami ingin tetap berada di Jepang. Selalu demikian, terutama bagi mereka yang baru pertama kali menginjak kaki di Jepang.

Berat memang meninggalkan negeri indah ini, berapa lama pun kami berada disana.

View from Tokyo Metropolitan Gov. Building - Mode Gakuen Cocoon Tower
View from Tokyo Metropolitan Gov. Building – Mode Gakuen Cocoon Tower

Walaupun waktu kami saat menjelajah Jepang bukan waktu yang terbaik, bukan waktu ketika Sakura sedang mekar, bukan waktu ketika salju menutupi permukaan buminya, bukan waktu ketika daun-daun berubah menjadi warna-warni, melainkan ketika panas menyengat kulit, awan tebal menggantung di langit dan menurunkan hujan berkepanjangan yang memberi suasana sendu dan kelabu. Namun dalam waktu yang tidak tepat pun, pergi berwisata ke Jepang mampu memberikan kami kegembiraan…

Dimulai dari bandara Haneda yang bermandikan cahaya di seluruh permukaannya memantulkan terang hingga ke langit, yang terlihat sebelum pesawat menyentuh landasan lalu para penumpang langsung disambut oleh petugas-petugas imigrasi yang bekerja sigap dan cekatan. Hanya lima belas menit sejak memasuki antrian imigrasi, kami telah diberi izin untuk memasuki wilayah Jepang padahal kami termasuk penumpang yang paling akhir keluar dari pesawat.

A building in Sensoji Temple, Tokyo
A building in Sensoji Temple, Tokyo

Pada hari berikutnya wajah kami berhiaskan kekaguman berkeliling Tokyo, merasakan sendiri menaiki monorail, -yang di Jakarta tidak jelas kelanjutan proyeknya-, hingga merasakan sesaknya berada di keramaian para pekerja yang berpakaian senada berwarna gelap. Masyarakat yang katanya banyak bergantung pada teknologi robotik, kami lihat masih meluangkan waktu untuk berdoa dan memohon keberkahan di kuil-kuil yang tersebar di seantero Tokyo. Bahkan kuil Sensoji yang berlatarkan puncak Skytree di Asakusa pun tak henti padatnya oleh pengunjung lokal yang berdoa. Juga di Shibuya, -hanya hitungan langkah dari persimpangan jalan tersibuk di dunia-, masyarakat Jepang yang katanya begitu intim dengan teknologi tetap mendirikan sebuah memorial untuk Hachiko, seekor anjing yang melambangkan kesetiaan.

Kami begitu nyaman melangkahkan kaki pada terowongan-terowongan bawah tanah yang menyediakan travelator seperti di bandara ditambah semburan-semburan angin sejuk. Iri rasanya terhadap masyarakat Jepang yang pajaknya terwujud nyata dalam fasilitas publik yang hebat. Bahkan kami bisa mencapai lantai tertinggi gedung pemerintahan daerah agar dapat melihat seantero Tokyo. Tanpa dikenakan biaya sedikitpun alias gratis. Atau bisa menikmati bentuk-bentuk bangunan yang secara arsitektur nyaman dilihat, menarik untuk diabadikan. Sungguh iri, teringat bagaimana susahnya mengabadikan modernitas dan arsitektur gedung-gedung di Jakarta tanpa diikuti tatapan atau bahkan teguran penuh curiga dari petugas-petugas angkuh penjaga wibawa.

Inside Tokyo International Forum
Inside Tokyo International Forum

Perjalanan kami ke lokasi yang terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site di Nikko, sebelah utara Tokyo dipenuhi dengan kekaguman oleh semangat masyarakat Jepang untuk memelihara nilai bangunan sejarah. Kuil kuno itu dipelihara dalam lingkungan hutan yang terjaga tanpa mengurangi kenyamanan pengunjung mencapainya. Semuanya dengan cantik tertata, lengkap dengan petunjuk yang terlihat jelas termasuk akses untuk para disabilitas. Bahkan dengan semua petunjuk arah yang sudah jelas itu pun, apabila masih belum dimengerti juga, masyarakat Jepang mau membantu dengan senang hati hingga penanya memahami secara tuntas. Adakah yang tak menyenangkan daripada dilayani nomor satu?

Pagoda in Nikko
Pagoda in Nikko

Meskipun tujuh puluh satu tahun lalu, dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, hancur karena bom atom. Menyaksikan sisa-sisanya, memorialnya, sungguh memedihkan rasa. Kubah bangunan yang tinggal kerangka, sisa pakaian korban yang robek disana sini, pecahan kaca yang tertanam dalam meja jati yang keras akibat gelombang kejut, legamnya tempat makan terbuat dari besi, lelehan kuku manusia akibat panas tak terkira, bayang hitam tubuh manusia yang tertinggal pada batu karena langsung musnah, semuanya menunjukkan kengerian bencana yang diciptakan manusia demi sebuah kemenangan. Lalu siapakah yang menang ketika kisah pedih burung-burung kertas (paper cranes origami) terbang mengarungi dunia menyuarakan perdamaian dari seorang gadis kecil yang terpapar radiasi dari bom yang dijatuhkan?

Atomic Bomb Dome or Genbaku Dōmu, Hiroshima
Atomic Bomb Dome or Genbaku Dōmu, Hiroshima

Meskipun Negara cantik itu sering diluluhlantakkan oleh gempa bumi. Tokyo yang hancur lebur akibat gempa di tahun 1923, atau gempa besar serupa yang terjadi di Kobe dua puluh tahun lalu atau tsunami yang menyusul gempa terbesar sepanjang sejarah Jepang yang bermagnitudo 9 yang terjadi lima tahun lalu, semuanya tak mampu menjatuhkan Jepang dalam kehancuran melainkan mereka bangkit kembali. Seperti yang selalu digaungkan oleh orang bijak, bila jatuh delapan kali, bangkitlah sembilan kali. Menatap Kobe dari atas bukit, yang ada hanyalah kota yang cantik yang terus membangun seperti juga di Osaka yang memiliki Umeda Sky Building, tempat kami melihat kota Osaka dari ketinggian.

The Escalator at Umeda Sky Building, Osaka
The Escalator at Umeda Sky Building, Osaka

Dalam perjalanan kami menjadi saksi dari kegempitaan gedung-gedung yang menjulang tinggi di Osaka lalu menghitung langkah dalam lengkung rangkaian tori berwarna cerah di Fushimi Inari disambung dengan menyusuri hutan-hutan bambu yang terpelihara indah di Arashiyama untuk selanjutnya merehat sejenak di kuil dengan taman indah yang menerapkan teknik Shakkei, -menempatkan taman buatan bersisian dengan alam sekitarnya sehingga tercipta harmoni-.

The Torii of Fushimi Inari, Kyoto
The Torii of Fushimi Inari, Kyoto
Arashiyama Bamboo Grove, Kyoto
Arashiyama Bamboo Grove, Kyoto

Seakan Yang Maha Kuasa menciptakan Jepang dalam bahagia dan senyumNya hingga tercipta alam yang cantik, manusia-manusia yang siap menjaga alam serta mewariskan budaya dan sejarah dengan hormat. Kastil-kastil indah sebagai tempat penguasa sejarah berabad lalu di berbagai tempat tetap terpelihara dengan sangat baik, menimbulkan imajinasi tersendiri di kepala pengunjung.

Beautiful Matsumoto Castle
Beautiful Matsumoto Castle

Kemudian terbersit ungkapan syukur berbalut pertanyaan tak percaya, apakah doa-doa kami terkabulkan karena kerucut sempurna Gunung Fuji yang sakral tergambar indah di hadapan kami di pinggir danau Kawaguchiko? Bahkan dalam malam pekat itu pun kami bisa melihat kerlip cahaya lampu sepanjang punggung gunung menuju puncak bertabur ribuan bintang yang menghias angkasa. Limpahan rasa syukur menatapi keindahan itu. Luar biasa hadiah buat kami dalam perjalanan ini.

Fujisan at Summer, Lake Kawaguchiko
Fujisan at Summer, Lake Kawaguchiko

Keindahan Jepang bukan hanya ada di Tokyo, Kyoto maupun Osaka saja. Pegunungan dengan puncak berhias salju putih juga menjadi tujuan perjalanan kami bahkan pada musim panas sekalipun. Perjalanan menembus pegunungan yang sering disebut sebagai Alpine Route itu, membuat kami mendecak penuh kagum. Pembuatan jalan di bibir tebing berhias kolom-kolom beton memberikan hiasan cahaya di kala siang. Sungguh mengagumkan. Tatanan lingkungan yang terjaga dengan pembatasan akses kendaraan berbahan bakar fosil untuk menembus gunung melalui terowongan panjang berkilo-kilometer yang sudah ada sejak perang dunia kedua, membuat saya tersenyum dalam hati, mungkin bagi mereka terowongan MRT di sepanjang jalan Sudirman Jakarta yang kini sedang dikerjakan sangat tak berarti.

Dari ketinggian kami menyaksikan waduk dengan air berwarna turquoise yang keluar berkubik-kubik tak henti memendarkan pelangi ganda, bahkan memungkinkan untuk berjalan kaki di bibir waduk dengan pegunungan yang mengapit indah kemudian dilanjutkan dengan berwisata dengan bus di jalan berliku di wilayah hutan pinus yang senantiasa berselimutkan kabut. Sungguh indra penglihatan dan rasa dimanjakan sepenuhnya sebagai hadiah terindah dari Pemilik Semesta.

Sepuluh hari yang dipinjamkan oleh Pemilik Waktu kepada kami untuk menikmati Jepang terasa terbang secepat kilat, secepat mata memejam saat istirahat di atas futon dalam ruang-ruang tertutup ryokan ataupun hotel, selekas hidangan manis penutup makan malam yang menghilang tanpa bekas tertelan ke dalam perut, sekejap udara yang dihembuskan oleh kereta Shinkansen berhidung mancung yang kerap mengantar kami ke banyak kota di Jepang.

*

Awan gelap menggantung tebal di langit Osaka, satu persatu titik air jatuh membasahi bumi membuat suasana semakin kelabu, serupa air yang merabun pada kelopak mata, serupa suasana hati kami saat pesawat bergerak pelan meninggalkan terminal. Bahkan kesempatan menginap semalam di hotel berbintang pun tak menyurutkan kemuraman hati, tak ingin melepas keluarbiasaan negeri Sakura yang indah.

Namun bukanlah hidup jika tak berjalan maju… Suatu ketika kita akan kembali bersua…

Bagi kami, liburan ke Jepang kali ini, -meskipun bukan di waktu terbaiknya-, sungguh menorehkan kenangan bertinta emas di hati kami, secantik cinderamata yang dikemas hati-hati oleh tangan gemulai berkimono warna-warni. Seiring pesawat terbang memasuki awan, serasa kami turut membungkukkan tubuh, mengikuti tradisi Jepang yang biasa dilakukan disana sambil bergumam Arigatou gozaimasu…

17 tanggapan untuk “Arigatou Gozaimasu Japan…

        1. Hehehehe… kebayang deh mba… 3 jam aja udah tepos plus baal.. gimana 6 jam yak.. mati gaya dah.. bisa tidur-bangun-bengong-tidur lagi-trus nelangsa sambil bilang “kok blom nyampe juga yak…”

          Disukai oleh 2 orang

  1. Hai kakak, pa kabarnya ?
    Wah..jepang yaa trip kali ini…aku masih kumpul2 duit nie tuk nikmati pengalaman traveling kesana juga. Doain yaa

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya niii bikin cerita ringkasannya dulu, baru dilanjut cerita in detailnya. Semoga tabunganmu bisa terkumpul cepat ya sehingga bisa terlaksana perjalanan ke Jepang. Didoain deh….

      Suka

  2. Mbak, baca ini jadi pengen guling-guling saking kepengennya ke Jepang. Salah satu hal yang selalu saya pikirkan ketika berwisata ke negara maju adalah bahwa pendapatan negara dari pajak jika digunakan sebagaimana mestinya bisa sangat membuat taraf hidup rakyatnya meningkat, kualitas hidup naik, dan kenyamanan terjaga.

    Mengenai motret di Jakarta, kalau mau ambil foto di gedung-gedung tinggi atau bangunan komersial lainnya di Jakarta memang serasa kayak jadi orang yang punya niat buruk. Mata petugas keamanan mengikuti kemanapun kita melangkah. 😦

    Disukai oleh 1 orang

    1. Saya doain bangeeet deh agar Bama bisa ke Jepang, dirimu pasti suka (hahaha sotoy banget ya saya..!) Tetapi kliatannya, bener deh, di negara yang sejarah dan tradisinya dijaga dengan baik, pasti dirimu suka heritage-nya dijaga dg baik ditambah dengan informasi lengkap. Dan orang2nya itu lho helpful banget.
      Dan memang bener soal pajak yang bermanfaat bagi rakyat banyak, asli saya iri dg mereka hahaha…
      Soal motret hahaha, udah sering ilfil, mending kalo ganteng, ini sih… ya gitu deh… hahahahahaha…..

      Disukai oleh 1 orang

      1. Amiiin. Saya udah banyak riset mengenai Jepang dan denger cerita temen2 yang udah ke sana dan mengeksplorasi budaya setempat. Tinggal direncanain tanggal berangkatnya aja ini mbak, hehe..

        Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.