Ada Apa dengan Ubon di Thailand Timur?


Mendarat transit di Don Muang Bangkok (on the way ke Thailand Timur dan Laos) memberi kenangan tersendiri bagi saya, memunculkan kembali rasa sentimentil. Sama seperti dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok untuk 1st solo-trip, saat bandara Suvarnabhumi belum berfungsi dan Don Muang masih menjadi satu-satunya bandara internasional di Bangkok. Segala sesuatu yang pertama kali memang berkesan manis. Bahkan kekumuhan Don Muang yang dulu tetap saya suka. Berkali-kali ke Bangkok baik bisnis maupun terbang bersama keluarga kebanyakan mendarat di Suvarnabhumi, sampai akhirnya penerbangan berbiaya rendah memindahkan operasinya ke Don Muang dan baru kali ini saya mendarat lagi di Don Muang. Sendiri. Rasanya sama, déjà vu, penuh keluarbiasaan…

Apalagi dalam trip kali ini, tak sedikit yang “untuk pertama kalinya”

Saya selalu teringat pertanyaan retorik yang memecut agar keluar dari comfort zone dan bisa terus bertumbuh, When was the last time you did something for the first time?

Ah, mungkin terasa sebagai alasan…  Memang saya pernah ke Bangkok, tetapi bukankah ini kali pertama saya pergi ke Ubon Ratchathani dengan maskapai yang baru pertama kali saya gunakan?

Penerbangan Nok-Air selama satu jam ke Ubon Ratchathani atau biasa disingkat Ubon berlangsung nyaman, termasuk diberikan kue dan air kemasan mangkuk kecil. Beberapa saat setelah mendarat di bandara Ubon Ratchathani, -karena menggunakan SIM card TrueMove unlimited-, notifikasi Facebook mengingatkan tepat empat tahun lalu saya sedang berada di Chiang Rai, Thailand Utara, daerah yang terkenal dengan nama The Golden Triangle wilayah dengan tiga perbatasan, yaitu Laos, Myanmar dan Thailand. Dan kini saya dalam perjalanan memasuki The Emerald Triangle, wilayah dengan tiga perbatasan lainnya yaitu Laos, Cambodia dan Thailand. Tapi semoga empat tahun lagi saya sedang tidak berada di Bermuda Triangle hehehe…

Saya ikut antrian penumpang yang menanti taksi bandara. Udara akhir bulan April yang panas terasa menerpa wajah. Sungguh waktu yang tidak tepat untuk berkunjung ke Thailand ataupun Laos karena masih termasuk bulan panas terik. Tetapi apa sih yang bisa mengalahkan kegembiraan bisa jalan walau terik sekalipun?

Wat Ban Na Muang

Berdekatan dengan bandara Ubon, saya mampir sebentar untuk melihat keindahan kompleks kuil yang disebut juga dengan Wat Sa Prasan Suk ini. Kompleks ini terkenal dengan replika kuil kerajaan diatas perahu panjang, baik yang dibangun diatas kolam maupun yang diatas daratan. Saya terkagum dengan gerbangnya berupa seseorang yang mengendarai gajah berkepala tiga, yang biasa dikenal di Thailand sebagai Erawan. Hmm, saya terpikir percampuran manis Hindu dalam praktek Buddha yang terjadi di Thailand ini, karena yang terlintas dalam benak adalah dewa Indra sedang menaiki Airawatha dalam filosofi Hindu.

The Main 'Barge' of Wat Ban Na Muang, Ubon Ratchathani
The Main ‘Barge’ of Wat Ban Na Muang, Ubon Ratchathani

Saya disambut dengan kemegahan perahu panjang penuh ukiran yang sangat indah dan detail. Jika diperhatikan dengan seksama, bisa dilihat badan ular berkepala tujuh keluar dari mulut Naga sebagai batas dari replika perahu panjang lengkap dengan bangunan kuil di tengah-tengah dan patung para pendayung dan penjaganya.

Tak jauh dari replika perahu panjang, terdapat patung Buddha keemasan yang cukup besar dengan sebuah patung biksu yang lebih kecil berada di depan Buddha di atas sebuah pelataran. Tetapi terik matahari cukup membuat keringat mengucur sehingga membatalkan saya untuk menjelajah pelataran atas itu.

Big Buddha on Wat Ban Na Muang, Ubon
Big Buddha on Wat Ban Na Muang, Ubon

Sebuah bangunan dengan bentuk atap cantik khas Thailand didirikan didekatnya untuk meletakkan genta-genta. Latar yang bagus sekali walaupun panas menyelimuti kompleks ini. Hanya ada sesuatu yang sedikit mengganggu diantara keindahan kompleks yaitu adanya beberapa makam yang tepat berada di dekat bangunan-bangunan indah itu. Meskipun keadaan makam terawat dengan baik, tetap saja terlihat janggal.

Melangkah mendekati kolam dengan air yang sedikit menyejukkan udara sekitar, terlihat lagi sebuah bangunan semen berbentuk perahu panjang dengan kuil kecil khas Thailand di tengahnya. Di ujungnya berhias Naga berkepala tujuh. Pernah lihat yang berkepala sembilan atau sebelas?

Matahari mulai tergelincir meninggalkan ketinggiannya, saya harus bergegas ke destinasi berikutnya karena waktu saya di Ubon hanya setengah hari ini.

Wat Phra That Nong Bua

Setelah berberes sebentar di penginapan, saya bergegas lagi menuju salah satu landmark suci kota Ubon yang must-see karena menyerupai Kuil Mahabodhi di Bodhgaya, India. Saya naik tuktuk kesana tetapi karena masalah bahasa, saya diturunkan di pasar dekat kuil. Ya sudahlah, untung saja puncak bangunan terlihat dari pasar sehingga saya bisa berjalan kaki kesitu. Coba kalau puncaknya tak terlihat, apa yang akan terjadi?

Sekelompok orang sedang melakukan persiapan doa di pelataran luar, sehingga saya melipir kearah lain untuk mengambil foto. Setiap sudut diberi stupa berbentuk serupa hingga menambah manis taman yang tertata dengan apiknya di halaman dalam. Seorang petugas tampak tak henti membersihkan pelataran dari daun-daun yang jatuh. Tak jauh dari saya berdiri, dua perempuan muda duduk di halaman dengan buku di pangkuan sepertinya sedang belajar dan seperti umumnya monasteries dimanapun, suasana hening dan damai juga terasa di sini.

Nice inner yard of Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Nice inner yard of Wat Phra That Nong Bua, Ubon

Dengan melepas alas kaki saya mengelilingi bangunan kuil yang dibangun tahun 1956 ini. Empat pintu berukir di tiap sisi diapit empat patung Buddha berdiri pada tiap sisi di kanan kiri pintu. Panel-panel cerita Jataka, -cerita kehidupan Buddha-, menghiasi tiap sisi bangunan dengan indahnya dengan hiasan naga berkepala tujuh di tiap sudutnya.

Masuk ke bangunan utama, saya terpesona melihat isinya yang serba keemasan. Empat Patung Buddha berlapis emas menghadap tiap pintu, -menggambarkan Kelahiran, Mendapatkan Pencerahan, Pemberian Wejangan dan Saat Mangkat dari Buddha Gautama-, keempatnya membelakangi stupa Mahabodhi berlapis emas yang lebih kecil dan mengerucut ke atas yang menyimpan relic. Langit-langit tinggi menjulang dengan penyangga berhias berwarna merah. Dengan penerangan dari lampu chandelier yang cantik menambah rasa mewah tempat ibadah ini. Dua orang bersimpuh dalam hening di depan Buddha, seperti tak peduli akan kehadiran turis disitu.

Keluar meninggalkan bangunan utama, saya melangkah ke bangunan lain berbentuk bangsal besar yang sunyi di halaman sebelah. Di sisi depan terdapat patung Buddha yang cukup besar dengan patung Buddha Berbaring di belakang atasnya. Sepinya terasa menggigit sehingga saya cepat-cepat meninggalkan ruangan itu setelah mengambil foto. Apakah ini tempat untuk…? Hmmm… mungkin saja!

Inside of A Building in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Inside of A Building in Wat Phra That Nong Bua, Ubon

Di halaman luarnya terdapat karya seni berhias khas Thailand yang mengambil kisah-kisah epos Ramayana, termasuk pertempuran Garuda dan Naga yang dibuat dengan sangat indah. Saya menyelami keindahan Theravada Buddha yang dianut oleh masyarakat Thailand ini. Buddha yang khas, seperti juga di Laos dan Cambodia, praktek Buddha disini diwarnai oleh pengaruh Hindu, bercampur dalam damai. Bagaimana mungkin saya mengabaikan pengaruh Hindu yang kuat jika Raja-raja Thailand bermula dengan nama-nama Rama dan berlanjut saat ini dengan dinasti MahaChakri juga nama Ayutthaya yang konon berakar dari kata Ayodya?

Saya meninggalkan Wat Phra That Nong Bua sebelum gelap karena saya tak mengenal wilayah sekitar itu. 500 meter berjalan kaki menuju jalan besar, saya tak menemui halte bus atau tuktuk. Celaka dua belas. Ini terlalu jauh jika jalan kaki ke penginapan. Tapi tak ada cara lain, tetap harus jalan kaki. Sebuah mal cukup besar terlihat di depan mata, saya menggembirakan hati paling tidak jarak 2 kilometer masih bisa dijalani. Pasti ada kendaraan umum disana. Semangat saya bergerak kearah mal, tapi bukan untuk belanja 🙂

Taman Thung Si Meuang

Sebisa mungkin saya mengeringkan keringat yang mengucur sebelum naik taksi, tetapi metabolisme tubuh saya luar biasa, tubuh ini masih saja mengucurkan keringat walaupun sudah duduk beberapa menit di teras luar mal. Tak mau berlama-lama, dengan setengah berkeringat saya naik taksi menuju taman Thung Si Meuang, taman kota Ubon Ratchathani. Semoga pak sopir tidak pingsan karena mencium keringat saya 😀 namun syukurlah… ternyata jauh juga kalau harus jalan kaki hehehe…

Di Taman kota Thung Si Meuang terdapat dua ikon kota yang menarik, Salah satunya adalah monumen lilin raksasa keemasan yang berukir dalam sebuah wahana yang diujungnya terdapat Garuda dengan sayap terkembang. Dengan latar senja jelang malam, ikon kota Ubon Ratchathani itu terlihat berkilau. Cantik sekali. Monumen lilin raksasa ini ditempatkan di ujung sebuah tanah lapang yang saat saya datang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berolahraga. Saya tak dapat membayangkan bagaimana penuhnya tempat ini setiap bulan Juli karena menjadi pusat Festival Lilin. Tertarik untuk datang untuk meramaikan festival Lilin ini?

Giant Candle and Garuda in Thung Si Muang Park, Ubon
Giant Candle and Garuda in Thung Si Muang Park, Ubon

Melangkah sedikit ke Selatan, saya duduk di pinggir kolam sambil melihat Bilik Puja (Shrine) yang berisikan Pilar kota. Sayangnya ketika itu Pilar Kota cukup dipenuhi orang sehingga saya hanya bisa mengabadikan dari jauh.

Saya bergerak kembali seperti malam yang merangkak naik, tampak kesibukan di bagian jalan yang membelah taman Thung Si Meuang ini. Sepertinya ada gelaran pasar malam jelang akhir minggu. Saya hanya melihat-lihat sebentar sambil melangkah menuju penginapan sekalian mencari-cari makanan yang terlihat menarik. Akhirnya nasi goreng udang khas Thailand ditenteng ke penginapan yang tak jauh lagi. Setelah mandi keringat karena berjalan cukup jauh dari Wat Phra That Nong Bua hingga Mal, saya perlu berlama-lama menikmati mandi yang menyegarkan.

Meskipun hanya tersedia waktu setengah hari bagi saya untuk menjelajah Ubon Ratchathani, saya telah meninggalkan jejak di kota yang berada di Thailand Timur ini. Memang masih banyak tempat cantik yang bisa dikunjungi tetapi lagi-lagi waktu bukanlah milik saya. Besok perjalanan menanti dengan keseruan lainnya. Lintas batas Negara menanti. Ini pasti lebih adventurous

13 tanggapan untuk “Ada Apa dengan Ubon di Thailand Timur?

  1. Pertamax! 😀

    Wat Ban Na Muang yang paling menarik buatku, mbak. Suka dengan patung ular berkepala tujuh itu. Belum pernah lihat yang berkepala 9 atau 11. Pernahnya lihat rubah berekor 9. #ehgimana
    Nggak ke obyek-obyek urban, mbak? (culinary night, pasar, dsb)

    Disukai oleh 1 orang

    1. Culinary night pas depan penginapan saya muter2 cari makan siih… tapi saat itu bener2 lagi kepanasan pengen mandi.. jd ga enjoy. Pasar malam ya sama aja kayak di bangkok. Seru sih…
      Pasar lainnya ya waktu diturunin sebelum ke wat phra that nong bua. Sempet moto2 sedikit yg dijual, walau banyak kembang buat persembahan di kuil hahaha… aku ga menelusuri night life di kota itu hahaha soalnya mau pagi2 bangun.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Cantik banget ya Ubon Ratchathani, dan pas liat foto Garuda dan Giant Candle itu sedikit banyak mengingatkan saya sama sudut-sudut jalan di Pulau Dewata yang banyak berhiaskan patung. Btw ternyata banyak sekali kuil dan candi yang terinsipirasi dari arsitektur kuil Mahabodhi di India — di Ubon dan Bagan misalnya. Jadi pengen ke Ubon nih saya, hehe..

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hihihi saya juga ga tau awalnya ada kuil yang menyerupai Mahabodhi di Ubon. Asli krn sy belum pernah ke kuil aslinya di India sana, sy emang teringat langsung ke Bagan sih waktu liat kuil di Ubon ini.
      BTW lagi, kalau Bama kan dateng ke kuil2 Bagan pagi dan sore, kl sy kan seharian jd termasuk siang2 yg lantainya panas banget. Waaah baru sekali itu ngrasain kaki kebakar rasanya. Mau nangis rasanya liat kuil bagus tp sy hrs nekad nglewatin panasnya lantai.

      Suka

      1. Oh, itu saya alamin di Sri Lanka, terutama di Anuradhapura. Di sana juga harus lepas alas kaki setiap mau masuk ke area stupa/wihara, bahkan pakai kaus kaki pun gak boleh. Nah itu saya nahan sakit demi foto-foto. Kaki bener-bener kayak kebakar.

        Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.