Bahagia Penuh Drama di Negeri Champa


Banyak teman menyangka saya sudah merambah ke pelosok-pelosok negeri Vietnam padahal baru kali ini saya menjejakkan kaki di negara itu. Awalnya memang Vietnam menjadi salah satu negara tujuan setelah negara-negara pertama wajib kunjung (Singapura, Malaysia dan Thailand), tetapi hal itu tak pernah terjadi hingga saat ini. Bahkan Kamboja yang awalnya tidak pernah masuk hitungan karena kengerian saya terhadap sisa-sisa kekejaman Pol Pot, malah akhirnya didatangi lebih dulu dan berulang kali setelahnya, tanpa pernah sekali pun mampir ke Vietnam. Tapi semua yang indah terjadi tepat pada waktunya.

Ho Chi Minh City from Above
Ho Chi Minh City from Above

Indah? Tentu saja segala sesuatu terasa indah setelah melalui berbagai drama 😀 😀 😀

Berbeda dengan banyak teman yang mengawali perjalanan ke Vietnam dengan mengunjungi Ho Chi Minh City di selatan atau Hanoi di utara, saya lebih memilih mendatangi Vietnam Tengah. Tentu ada alasan tersendiri bagi saya.

Karena Champa.

Sebagai penyuka fairytales, bagi saya kisah-kisah puteri raja selalu menarik, termasuk kisah dalam sejarah mengenai puteri Champa yang mengarungi lautan, meninggalkan negerinya dan berpindah budaya untuk ‘ikut suami’ di tanah Jawa. Nama Champa yang berbekas kuat di benak terangkat kembali setelah berkenalan dengan sejarah negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Apalagi kedekatan hubungan Champa dan Nusantara saat itu masih dapat dilihat di reruntuhan percandian yang kini berada dalam penguasaan Vietnam. Terlintas juga candanya seorang sahabat jaman sekolah yang mengatakan wajah saya mirip puteri Champa (dilihat dari Mars mungkin :p )

Dan tentu saja, di Vietnam Tengah itu dalam jarak yang terjangkau terdapat tiga UNESCO World Heritage Sites yang tentu saja selalu memanggil-manggil untuk dikunjungi!

Begitulah, dengan berbekal cuti dua hari, saya terbang ke Kuala Lumpur dengan penerbangan yang mengalami delay 1 jam, untuk kemudian paginya lanjut ke Ho Chi Minh City hanya untuk berpindah terminal dari internasional ke domestik dan terbang lagi ke Da Nang lalu berkendara sekitar 45 menit menuju Hoi An, yang sedikit banyak serupa dengan kota Melaka. Dengan cara lompat-lompat seperti itu dan harga yang hampir sama, saya mendapat lebih banyak waktu di Hoi An, daripada mengambil penerbangan Jakarta – Da Nang via HCMC.

Hoi An at night
Hoi An at night

Kawasan kota tua Hoi An memang sebuah kawasan pinggir sungai yang cantik dan romantis, yang saat saya datangi sejak sore hingga malam dihiasi pula dengan rintik hujan Desember yang dingin sekitar 18-20C. Namun keesokan harinya, pagi yang saya lewati tidak secantik malam yang dilalui, lagi-lagi dengan drama yang membuat hati turun naik bak naik roller-coaster. Suatu saat nanti mungkin akan saya ceritakan drama-drama tak penting itu

Tetapi drama-drama itu sama sekali tak mampu menghapus antusiasme saya ke kawasan My Son, kawasan UNESCO World Heritage Site yang berisikan reruntuhan candi-candi kerajaan Champa. Seperti biasa saya merasa ‘hidup’ ketika berada di kawasan percandian. Kali ini, walaupun jelas sedang rintik hujan, saya tetap mendatanginya dengan berpayung atau tidak, memotretnya, menikmatinya dalam hening. It’s a time-travel to Champa Kingdom and surely I should dance in the rain.

My Son - Champ ruins
My Son – Champ ruins

Kegembiraan saya bisa menari diantara reruntuhan kerajaan Champa takkan terhapus walaupun sisa hari itu diisi lagi dengan drama lain sepanjang jalan menuju Hue yang ditempuh selambat kura-kura. Saya tak bisa merasa jengkel kecuali tersenyum kecut merasakan besarnya sense of humor Yang Maha Kuasa, yang memberi gejolak rasa penuh turbulensi.

Vietnam yang sejarah negerinya juga mengalami pasang surut, -perang Indochina berakhir tahun 1975 dan dilanjutkan dengan praktek sosialis komunis hingga tahun 1980an-, kini menjelma menjadi negeri yang tak kalah kompetitifnya. Negeri yang dari ujung utara berbatas dengan China telah tersambung dengan National Route 1A Highway hingga ke ujung selatan Vietnam sepanjang lebih dari 2300 km, dan yang pasti menghubungkan kota-kota besar seperti Hanoi sebagai ibukota yang ada di Utara, juga Da Nang di bagian Tengah hingga ke Ho Chi Minh City yang merupakan kota terbesar yang ada di Selatan. Saya juga terkagum saat melewati terowongan Hai Van yang panjangnya lebih dari 6 km menembus pegunungan, yang merupakan terowongan terpanjang se-Asia Tenggara.

Sesampainya di Hue, yang jaraknya dari My Son tak beda jauh dengan Jakarta – Bandung, saya check-in di penginapan yang sudah dipesan sebelumnya. Perempuan di balik konter penginapan itu menyambut saya dengan cukup berlebihan, menyimpan lembar pemesanan dan paspor lalu segera menggiring saya ke kamar yang telah disediakan dan menutup pintu dari luar. Herannya saya seperti kerbau dicucuk hidungnya, bersedia digiring dan terpenjara dalam kamar 😀 . Setelah berberes sebentar, saya langsung turun untuk mendapatkan kembali paspor dan terjadilah yang namanya keluar mulut harimau masuk mulut buaya 😀 . Pengaturan transportasi kembali dari kota Hue ke Da Nang dengan sangat cerdas dan cantik diaturnya sehingga saya menyetujui tanpa berpikir panjang lagi yang kelak saya sesali, walau penyesalan selalu datang terlambat dan sama sekali tak berguna.

Hue city - in the afternoon
Hue city – in the afternoon

Tetapi apapun itu, saya menikmati perjalanan di Hue sebagai salah satu UNESCO World Heritage Site dengan melakukan perjalanan dengan perahu sepanjang Perfume River, mengunjungi beberapa kuil indah dan tentu saja kompleks pemakaman yang terkenal dari para Raja Dinasti Nguyen. Bahkan karena banyaknya yang dikunjungi sampai akhirnya saya harus membatalkan kunjungan lebih lanjut ke landmark kota Hue yang dikenal dengan Imperial City atau The Citadel hanya karena saya harus mengejar minivan saya ke Da Nang yang sudah dijanjikan penginapan sebelumnya. Lagi-lagi pembatalan ke The Citadel ini saya sesalkan karena ternyata petugas penginapan itu PHP nomor wahid. Tetapi apa mau dikata, perjalanan tidak boleh berhenti karena sebuah PHP 😀

Bagaimanapun sesaat sebelum memulai perjalanan kembali ke Da Nang, saya bertemu dengan perempuan sederhana yang berhati baik. Saya percaya bahwa ada orang-orang yang dikirim bersilangan hidup dengan kita, -walaupun hanya sesaat dan tak saling kenal-, hanya untuk memberikan ketentraman hati dan mengangkat kembali rasa percaya.

Awal-awal perjalanan dari Hue kembali ke Da Nang merupakan waktu yang melelahkan bagi saya yang tak berhasil menaklukkan rasa jengkel dan tak ikhlas mengalami drama-drama tak penting selama perjalanan di Vietnam ini. Akhirnya dengan bantuan musik dari MP3 player dan ingatan ke pengalaman-pengalaman di Korea Selatan yang jauh lebih buruk, akhirnya pelan-pelan saya bisa menjadi lebih tenang.

Malam pun telah datang sesampainya saya di Da Nang, kota ketiga terbesar di Vietnam. Saya turun di stasion bus dan berbekal lembaran pemesanan hotel, saya menunjukkan nama penginapan itu ke supir taksi yang tidak bisa berbahasa Inggeris. Ia mengangguk dan berdiskusi dengan temannya yang berfungsi sebagai penerjemah walaupun bahasa Inggrisnya pun terbatas pula. Tetapi saya dapat diyakinkan bahwa supir taksi itu memahami arah penginapan saya.

Seperti biasa di hari terakhir perjalanan, saya membiasakan untuk sedikit memanjakan diri agar dapat menutup perjalanan dengan kenangan yang mengesankan. Saya memilih tidur di hotel dengan kamar di lantai tinggi dan menghadap ke sungai Han dengan jembatan Pelangi dan jembatan Naga dan suasana kota yang memikat mata, walaupun harus menebusnya dengan harga yang membuat kantong langsung bolong, dan itupun sudah ditambah dengan poin hasil pemesanan hotel sebelumnya. Whooooaaaa…

Dragon Bridge at Night - Da Nang
Dragon Bridge at Night – Da Nang

Dan benarlah, dengan menginap di hotel dengan kondisi menyenangkan mampu menenggelamkan rasa tidak nyaman akibat drama-drama selama di Vietnam dan bisa mengembalikan semangat bahwa perjalanan saya akan berakhir indah. Selalu demikian.

Setengah hari di kota Da Nang saya isi dengan menyusuri sungai hingga ke sebuah gereja katedral berwarna pink yang di dalamnya sedang berlangsung misa dalam bahasa Vietnam. Saya hanya memotret bagian luarnya lalu menuju Museum of Champ Sculpture yang memang menjadi tujuan utama saya di kota ini.

Dua setengah jam terasa masih belum cukup untuk menikmati semua artefak kerajaan Champa yang tersimpan cukup baik di museum ini. Sungguh saya tidak menyesal berlama-lama di reruntuhan My Son waktu itu dalam keadaan hujan gerimis karena banyak pelengkap yang saya dapat di museum ini. Akhirnya waktu juga yang mengharuskan saya meninggalkan museum dan berjalan cepat kembali ke hotel untuk check out. Berada kembali di kamar dengan fasilitas wifi yang cepat, saya mendapat informasi bahwa penerbangan saya ke Kuala Lumpur mengalami delay 1 jam. Aargh, kalau tahu saya bisa berlama-lama di museum!

Museum of Champ Sculpture
Museum of Champ Sculpture

Satu jam berleha-leha di kamar, saya turun ke lobby untuk check-out yang ternyata memakan waktu sangat lama karena ada grup tamu yang sedang check-in dan hanya ada seorang petugas di konter hotel. Wajah-wajah manis dan ganteng yang sedang mengantri check-out berubah menjadi muram penuh frustrasi memperhatikan detik waktu yang berjalan lambat.

Selesai urusan hotel, saya selamat sampai bandara Da Nang dalam lima menit perjalanan dengan taksi dan menembus kerumunan orang yang memenuhi konter domestik. Bandara Da Nang ini memang tidak memiliki terminal khusus internasional melainkan hanya dibedakan dengan konter domestik dan internasional. Hanya ada seorang petugas imigrasi yang langsung memberi cap pada paspor dan membiarkan saya melenggang masuk ke ruang tunggu yang padat dengan calon penumpang. Entah kenapa saya merasa legaaaaa telah keluar dari imigrasi Vietnam.

Penerbangan ke Kuala Lumpur yang memakan waktu selama 3 jam dihiasi dengan cukup banyak turbulensi. Saya yang mendapat tempat duduk paling belakang mendapat tambahan bau pesing sepanjang perjalanan yang sepertinya datang dari toilet yang ada di balik tempat duduk saya. Dibandingkan dengan bau pup (maaf!) selama 5 jam selama penerbangan Kuala Lumpur – Kathmandu dulu, bau pesing ini tidak ada apa-apanya. Sabar sajalah…

Sesampainya di Kuala Lumpur dan karena penerbangan sebelumnya didelay, saya memutuskan untuk berdiam di bandara menunggu penerbangan selanjutnya ke Jakarta dan membatalkan pergi ke pusat kota Kuala Lumpur. Sehingga saya langsung ke konter transfer dan tidak melewati imigrasi lagi untuk sampai ke gerbang penerbangan yang ke Jakarta. Setelah semua proses selesai, saya baru mencari tempat nyaman untuk menunggu. Sebuah kubikal ATM yang belum selesai dan berpenerangan temaram menjadi pilihan saya, apalagi tersedia colokan listrik. Sambil merebahkan tubuh, saya membaca notifikasi email yang memberitahu bahwa penerbangan saya ke Jakarta hari itu didelay 2 jam. Aaaaargh. Saya terjebak di terminal KLIA2! Kalau tahu begitu, saya keluar jalan-jalan ke kota…

Akhirnya tepat tengah malam, pesawat yang membawa saya ke Jakarta lepas landas dari bandara KLIA2 dan mendarat di Soekarno-Hatta pk. 01.00 dini hari. Alhasil sesampainya di rumah saya hanya punya waktu tidur dua jam untuk bersiap lagi ke kantor pada pagi harinya.

Aaah Vietnam… sebuah perjalanan yang naik turun penuh drama dan tawa tapi selalu bermakna…

*

(dan semoga saya punya semangat untuk menuliskan cerita detailnya 😀 😀 😀 )

18 tanggapan untuk “Bahagia Penuh Drama di Negeri Champa

  1. I am waiting your stories, mbak… wedeh…ngga nyangka perjalanan kemarin segitu ruwet dan complicated, mbak… And you did pass it only by your own self… wow…
    I need to learn so much from you…
    Ternyata waktu kirim foto itu mbak lagi terjebak di KLIA2? Omg…

    Beberapa hari lagi…saat betenya hilang dan lelah sudah terhapuskan, biasanya kenangan-kenangan dan kesan-kesan yang indah bakalan muncul sedikit demi sedikit… hehehe

    Disukai oleh 2 orang

    1. Hahaha… setiap perjalanan pasti punya ceritanya masing-masing, Na. Makanya engga pernah kapok hahaha… masalah nulis cerita itu Na, bukan malesnya sih tapi waktunya karena di depan mata udah kudu pergi bareng keluarga lagi…

      Suka

  2. Hihihi ternyata dugaan saya tidak salah :p. Si Mbak pasti lagi drama di Champa :haha. Ditunggu cerita serunya ya. Penasaran dengan reruntuhan candi yang itu, dengan Champa yang timeline sejarahnya menurut Coedes hampir sama dengan Indonesia. Delay tak apa Mbak, yang penting ke sana bisa tahu bagaimana benang merah Jawa dan Indocina. Tapi memang sih, hubungan diplomatik Indonesia dan negara tetangga sudah berlangsung dari sejak zaman lampau… dan hubungan itu seru banget :)).

    Disukai oleh 1 orang

    1. Maaf yaaa komentarmu telat dibales.. pasti kena skip deh, atau dibaca dulu, trus lupa bales hehehe, maaf yaa…
      Iyaaa… cuti 2 hari ditambah Sabtu Minggu, namanya juga pekerja, pasti ngirit cuti deh… jadi ya gitu… semua pengennya on schedule, tapi apa daya, tidak jarang malah bablas schedule-nya…
      terima kasih sudah mampir yaa…

      Disukai oleh 1 orang

    1. hmm… karena ga bisa dibandingkan satu dengan yang lain (lagian saya belum explore Vietnam kecuali Vietnam tengah), saya sih lebih rekomen ke Cambodia, terutama ke Siem Reap (Angkor Wat) buat yang jiwaragahatinya bersepeda 🙂 Berkeliling di Angkor dengan sepeda itu luar biasa (walaupun cape banget, kalo saya! hehe)

      Suka

  3. 3 kali di Vietnam tapi belum pernah singgah ke Vietnam Tengah. Aarrrrgh, aku dari dulu pengin ke Hue dan Hoi An gara2 liat Amazing Race yang berkali-kali singgah dari versi US, Australia, hingga Asia. Sebel.

    Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.