Nepal: Kematian Yang Membahagiakan di Pashupatinath


Pashupatinath, salah satu UNESCO World Heritage Site yang terletak di pinggir sungai Bagmati di Kathmandu, merupakan kawasan ketiga yang saya datangi hari itu. Sesuai dengan rekomendasi waktu terbaik untuk berkunjung ke kuil itu, ketika matahari sudah condong ke arah peraduannya, jelang sore hari hingga sinar tak lagi terasa terik.

Dengan tiket seharga 500 NPR, kaki membawa tubuh ini memasuki kawasan Kuil Pashupatinath yang luas dan langsung disambut dengan auranya yang kelam dan sendu. Tak heran, karena kuil ini merupakan salah satu kuil Dewa Siwa yang terbesar di Kathmandu sekaligus tempat suci untuk melakukan kremasi, ritual terakhir bagi manusia yang telah meninggal dunia.

Sunset at Pashupatinath
Sunset at Pashupatinath

Dan walau kematian selumrah kelahiran, tetap saja ada rasa sendu yang tak nyaman untuk disaksikan sendirian saat terang sedang berubah perlahan menjadi temaram. Saya terus melangkah, membiarkan hati tetap membuka untuk mendapatkan sejatinya makna karena apa yang dirasa pertama bukanlah yang sesungguhnya.

Terasa angin yang datang dari pepohonan menerpa wajah dengan lembut. Dengan ekor mata terlihat pula pucuk-pucuk pohon bergoyang manis mengikuti irama angin. Seandainya kuil ini bukan tempat suci untuk kremasi, mungkin rasanya akan berbeda, mungkin saya akan suka desir lembut angin yang datang, juga pucuk-pucuk pohon yang bergoyang. Tetapi kali ini terasa berbeda, sepertinya roh-roh sedang mengajak bermain, kadang sembunyi di balik pohon, kadang meniupkan rasa dingin ke balik tengkuk. Tetapi ah, apapun yang dirasa, saya tetap harus melangkah mengikuti jalan setapak yang berujung pada sungai suci Bagmati tempat lokasi kuil Pashupatinath.

Bagmati River
Bagmati River

Dari kejauhan terlihat asap membumbung menandakan sebuah ritual kremasi tengah berlangsung. Saya mengingat janji pada diri sendiri untuk tidak menggunakan zoom terhadap proses kremasi, untuk tidak mengambil foto tubuh yang dikremasikan ataupun keluarga yang kehilangan. Karena semua prosesi itu merupakan bagian dari ibadah yang sangat pribadi dan harus dihargai setinggi-tingginya.

Sungai semakin dekat dan saya mulai menyusurinya, perlahan mendekat ke pinggir sungai yang sedang tak banyak air. Tak jauh dari tempat saya berdiri, terlihat seekor sapi berwarna coklat yang tengah berjalan santai. Ketakpeduliannya mampu membuat saya tersenyum. Tidak ada orang yang berani mengganggu makhluk yang dianggap suci itu, apalagi di dalam kawasan Kuil Pashupatinath yang nota bene merupakan Kuil Sang Mahadewa. Di benak langsung terbayang semua kuil yang didedikasikan kepada Dewa Siwa biasanya terdapat lembu Nandi, sang bhakta yang setia.

Tak terasa langkah kaki telah menyusuri sungai hingga berada di seberang kuil. Sebuah jembatan batu tampak kokoh menghubungi kedua sisi kuil. Dan di ujung kuil di bagian bawah tebing tinggallah para sadhu, orang suci yang mendedikasikan hidupnya dengan bermeditasi, memperkaya kehidupan spiritualnya dan meninggalkan keduniawian untuk mencapai keadaan moksha, kesempurnaan.

Berhadapan langsung dengan bangunan utama kuil, terlihat tempat kremasi yang dibagi berdasarkan kelas sosialnya. Ada tempat khusus untuk para kalangan atas yang rapi berlantai warna terang dan tentu saja ada tempat untuk rakyat jelata yang terlihat standar berwarna kelam. Saat itu terlihat dua asap mengepul di bagian rakyat jelata. Tidak ada keramaian, tak banyak orang, mungkin hanya beberapa keluarga terdekat saja, itu pun kurang dari hitungan jari dalam satu tangan. Saya teringat ketika menyaksikan ngaben sederhana di pantai Kuta, Bali. Semua syarat utama dalam ritus telah dilaksanakan walau sederhana, tak berlebih. Lalu apa yang kurang? Bukankah berlaku sederhana itu memperkaya jiwa?

Menyaksikan kremasi dari seberang, berbagai rasa melesat dari kepala. Tak ada keriuhan tangis melepas raga yang telah selesai bertugas, sementara sang jiwa kembali bebas dengan sejuta amalnya. Kematian telah membebaskan dari suka duka dunia, membukakan gerbang bahagia bagi sang jiwa, lalu mengapa manusia kerap menahannya? Bukankah sang jiwa akan bahagia kembali kepada Yang Maha Kuasa yang penuh Cinta? Saya merenung, mendapat pembelajaran dari rasa dan mata yang menyaksikan.

Seusai pembelajaran hidup dari menyaksikan ritual kremasi dari seberang sungai, saya beralih menaiki tangga kearah bukit. Di sana terdapat rumah-rumah puja yang dibangun sejajar mengikuti garis lurus. Di dalam semua rumah puja yang berjendela lengkung di tiap dindingnya itu, berisikan lingga-yoni yang merupakan lambang Dewa Siwa. Dan di atas linggayoni itu senantiasa diletakkan bunga segar. Pemandangan rumah puja dengan linggayoni yang berjajar dengan bunga diatasnya itu ditambah dengan pantulan sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela lengkung, membuat suasana kompleks kuil Pashupatinath menjadi lebih indah, menghapus rasa sendu yang ada di dekat sungai.

Meninggalkan linggayoni, lagi-lagi kaki ini menapaki tangga menuju tempat para Sadhu di bagian atas bukit. Di hadapan mereka saya kehilangan kata-kata untuk bertanya kepada mereka bahkan juga untuk mengabadikannya. Rasanya tak pantas mengabadikan mereka, para yogi yang telah menempuh jalan spiritual yang tak mudah, bermeditasi dan meninggalkan keduniawian, dengan balasan lembaran-lembaran uang. Hati ini berkata jika ingin berdonasi, maka berdonasi saja, tanpa perlu meminta balas bisa mengabadikannya dalam foto. Akhirnya sambil meminta maaf karena tidak mengambil foto mereka, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit.

Dari puncak bukit terhampar pemandangan indah seluruh kompleks kuil Pashupatinath di antara sinar matahari sore. Entah kenapa sinar matahari sore yang berwarna oranye itu memberi nuansa khusus pada  kuil. Ada rasa bahagia diantara rasa sendu. Sebagaimana kegembiraan terwakili oleh warna-warna terang, kesenduan tak pernah luput memberi makna yang dalam di tiap hidup.

Selain menyaksikan keindahan kompleks dari puncak bukit, sempat juga saya melihat kawanan kecil rusa totol seperti yang ada di Istana Bogor hidup berkelompok dalam sepetak tanah berpagar kawat. Lucu dan manisnya kawanan rusa totol itu mampu membuat wajah ini tersenyum.

Turun dari bukit, saya melanjutkan perjalanan ke Kuil Dewa Wisnu di kompleks itu. Beberapa lukisan hasil sapuan wanita Perancis yang menggambarkan kisah Radha-Krishna yang penuh cinta, mampu membuat rasa sendu di Kuil Pashupatinath semakin terangkat. Setelah mengabadikan Garuda dan juga Ganesha, Sang Dewa Pengetahuan, saya melanjutkan perjalanan kearah Kuil Utama di seberang sungai Bagmati.

Menyeberangi jembatan batu, kaki melangkah ke pelataran Kuil Utama.  Karena bukan Hindu, saya tidak diperbolehkan masuk ke Kuil Utama yang memang hanya digunakan untuk ibadah. Di sudut pelataran, tak jauh dari jembatan, terlihat sebuah bangunan kuil kecil yang sekeliling dindingnya dipenuhi panel-panel kayu tentang kamasutra.

Kerumunan orang terlihat lebih banyak di kuil ini, bisa jadi menjelaskan betapa lekatnya manusia pada hal-hal ilusif yang terlihat menyenangkan di dunia ini. Kamasutra di sebuah kuil ibadah? Di Nepal ini memang bukan merupakan hal yang luar biasa. Di Durbar Square Kathmandu saya menyaksikan kuil Jagannath yang berpanel Kamasutra dan kini, -dekat dengan tempat penyelenggaraan kremasi-, disini juga terdapat kuil yang berpanel Kamasutra. Bukankah proses kreasi itu umumnya berujung pada proses kelahiran yang pada waktunya juga akan berakhir?

Saya berjalan perlahan menuju kuil lainnya yang harus melewati sebuah tempat serupa panti jompo yang merawat sekumpulan ibu-ibu lanjut usia. Mereka yang telah ditempa pahit manisnya hidup, pasang surutnya ombak kehidupan, tidak memiliki keluarga yang cukup mampu untuk menjaganya, tampak duduk nyaman bersenda gurau bersama-sama di beranda menikmati sore. Sambil melempar senyum dan menghaturkan salam kepada mereka, saya meminta izin melalui gerakan badan untuk mengabadikan bangunan-bangunan indah itu. Ah, mereka hanya menunjuk kotak donasi sebagai jawaban dan saya memahaminya. Paling tidak sebuah kejujuran ada pada wajah mereka, untuk hidup senyata-nyatanya diperlukan uang yang cukup.

Selepas mengabadikan keindahan bangunan lainnya, pelan-pelan saya melangkah mengikuti jalan setapak untuk meninggalkan Kuil Pashupatinath. Saya menyempatkan diri untuk menoleh kembali menyaksikan proses kremasi yang masih berlangsung di tempat tadi. Mengingat sebuah pembelajaraan. Bagi mereka kematian merupakan gerbang bagi jiwa untuk memulai kehidupan baru, sebuah kelahiran baru atau bahkan sebuah kepulangan abadi berupa kemanunggalan sejati dengan Dia Pemilik Semesta. Sebuah kematian itu sesungguhnya membahagiakan.

Berada di Pashupatinath dan menyaksikan kematian, membuat saya mensyukuri setiap tarikan nafas yang tertinggal, begitu banyak anugerah yang telah dilimpahkan hingga saat ini dan kita tidak pernah mengetahui berapa banyak sisa waktu untuk berbuat kebaikan. Anjuran orang bijak untuk bersering datang pada tempat-tempat kematian memang benar, selain memberikan doa dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, kematian akan mengingatkan mengenai makna hidup kita sendiri. Tua atau muda, laki-atau perempuan, kaya atau miskin, orang baik atau jahat, siap atau tidak, bukankah kita semua makhluk berjiwa yang sedang dalam antrian menuju kesana?

13 tanggapan untuk “Nepal: Kematian Yang Membahagiakan di Pashupatinath

    1. Nepal itu memang lebih banyak Hindu, tetapi Buďdha juga banyak dan bahkan toleransi antara keduanya tinggi banget, juga agama2 lainnya. Iya, Ganesha atau disana disebut Ganesh merupakan salah satu Dewa yang banyak pemujanya.

      Disukai oleh 1 orang

    1. Benar, makanya saya sedih banget ketika gempa April lalu itu menghancurkan banyak heritage yang indahnya luarbiasa.
      Soal lukisan itu hehehe… padahal bukan di kanvas lho..
      Terima kasih ya sudah mampir lagi..

      Suka

  1. jalinan kata2 yang indah Ryanti
    jadi ikut takzim membacanya

    ya setuju pendapatmu tak semua hal harus didokumentasikan dgn foto, ada banyak kejadian private yg lebih baik tersimpan dalam kenangan saja

    Disukai oleh 1 orang

  2. Aih Mbak Yanti ini selalu berbagi perjalanannya yg luar biasa. Dan perjalanan di Nepal ini bikin saya ngiler pengen kesana…
    Bersyukur saya ketemu blog Mbak ini, serasa ikut jalan-jalan juga.

    Salam,

    Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.