Meniti Jalan Cinta di Durbar Square Kathmandu


Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia,

Walau jalannya terjal berliku-liku.

Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah,

Walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu.

Saya memang langsung teringat sepenggal keindahan kata-kata Kahlil Gibran ketika harus membuka kembali album perjalanan di Durbar Square Kathmandu. Perjalanan dengan semua keindahan dan keluarbiasaan cinta yang saya alami yang kenyataannya saat ini situasinya sudah sangat jauh berbeda. Menjadikan semua langkah sepanjang jalan menjadi sebuah kenangan yang amat dalam, membahagiakan sekaligus memedihkan.

Kasthamandap

Berawal dari sedikit keraguan akan arah ke Durbar Square, Cinta berbisik pelan agar saya tetap berjalan lurus memasuki kawasan UNESCO World Heritage itu lalu membeli tiket seharga 750NPR. Saya memulainya dari Kasthamandap, sebuah kuil tua seribuan tahun yang berada di sebelah barat daya Durbar Square yang tidak banyak dikunjungi wisatawan saat itu. Kayu-kayu tua yang menawan dengan dominasi warna merah ini menjadi saksi perjalanan waktu selama berabad-abad. Pemuja datang dan pergi, mempersembahkan bunga warna kuning yang dijual di pintu-pintu masuk, juga menjadi saksi atas puja dan puji yang dilantunkan. Pada tempat-tempat puja terlihat jelas titik-titik merah yang merupakan jejak jari pengabdian para pemujanya.

Bercerita atau melihat foto Kasthamandap, bagaikan pedang yang tersembunyi di sayap, kenyataan saya pernah menjejakkan kaki di bangunan cantik yang kini rata dengan tanah akibat gempa hebat April lalu itu, terasa melukai perlahan, terasa pedih diantara kenangan yang begitu indah.

Trailokya Mohan Narayan Temple

Pedang tak kasatmata yang tersembunyi di balik sayap itu kian menggores mengikuti gerak langkah saya menuju bangunan tinggi besar berpuncak tiga, yang saat itu mulai dipenuhi manusia dan bendera warna warni untuk persiapan perayaan untuk Sang Narayan. Cinta menyelimuti saya yang berteduh di dalam bayang kuil saat menikmati keindahan kuil favorit saya berusia lebih dari 3 abad ini. Berbagai panel mengenai inkanarsi Vishnu menghiasinya. Kuil ini terlihat begitu megah dan mencolok di Durbar Square yang lapang. Saya menyentuhnya, duduk di undakannya, ikut bernyanyi dalam bahagia bersamanya.

Walaupun berbagai pertanyaan tak percaya terlontar, tanpa tedeng aling-aling Cinta mencabut seakar-akarnya. Pedang tak kasatmata itu sekali lagi menebas kenangan indah saya di kuil Trailokya Mohan Narayan. Airmata yang jatuh pun tak akan mengembalikan kuil yang tak tampak lagi sekarang, sudah runtuh, hilang, musnah, meninggalkan undakannya yang tinggi. Salah satu icon Durbar Square yang tidak akan sama lagi.

3 Icons Durbar Square  in Memoriam: Trailokya Mohan Narayan - Maju Dega - Narayan temple
3 Icons Durbar Square in Memoriam: Trailokya Mohan Narayan – Maju Dega – Narayan temple

Dan rasanya ingin terbang kesana sekarang juga memeluk dan menemani Sang Garuda yang duduk bersimpuh di dekat kuil yang runtuh. Satu yang tetap anggun berdiri dari gempa April lalu. Satu penampakan yang tak biasa, Garuda yang dibentuk sangat indah itu tetap duduk tanpa ada lagi Kuil Narayan. Kesetiaan dan pengabdian berabad yang sempat saya saksikan, yang saya rasa dalam cinta, tertebas dalam sekejap.

Garuda, yang tetap setia
Garuda, yang tetap setia

Tetapi bukankah cinta cukup untuk Cinta? Bukankah itu tetesan darah sukarela penuh sukacita? Sebagaimana ia menebas, demikian pula ia menghadirkan. Hanya dalam hitungan langkah dari Garuda, berdiri anggun kuil Bimaleshwar yang terbuat dari batu, selamat dari gempa yang meluluhlantakkan Durbar Square. Bentuknya yang berkubah melengkung penuh dengan ornamen di pinggir atap dan bagian atas pilar-pilarnya, seakan menemani kesendirian Garuda. Yang sebelumnya berada di bawah bayang Trailokya Mohan Narayan yang megah, kini menjadi kawan setia baru Sang Garuda.

Bahkan Cinta pun menggoda saya. Tak jauh dari Sang Garuda, saat itu duduklah seorang sadhu yang ingin sekali saya potret, tetapi nampaknya sang sadhu dapat membaca pikiran saya. Dia menatap tajam seakan tak memperbolehkan saya mengambil fotonya. Sambil tersenyum saya paham artinya, momen yang tak boleh dimiliki. Saya melepas keinginan itu dan melanjutkan perjalanan. Sesederhana itu.

Kumari Ghar

Waktu berjalan terus, jalan Cinta di Durbar Square masih panjang. Cinta berbisik agar saya berbalik badan dan masuk melalui pintu di belakang saya berdiri. Ah, lagi-lagi ini adalah hadiah Cinta karena saya melangkah ke halaman Istana Dewi Kumari yang pintunya dijaga oleh dua patung singa yang besar. Di halaman istana ini, dengan berselimutkan Cinta saya bertukar pandang dengan Sang Dewi yang tampil di jendelanya. Sebuah kesempatan yang tak banyak didapat wisatawan. Kenangan yang membuat tetap merinding karena selimut Cinta itu seakan membalut seluruh istana Dewi Kumari, melindunginya dan memberinya kedamaian dari kehancuran gempa besar lalu.

Gaddi Baithak

Dari Kumari Ghar, Cinta membebaskan saya melihat-lihat lapak yang digelar para pedagang tetapi tak ada yang menarik hati. Saya kembali kearah Durbar Square dan melihat gedung modern bergaya Eropa yang kelihatannya merusak harmoni arsitektur sekitar yang padat dengan gaya tradisional Newari. Sempat terlintas pikiran absurd di benak saya, mengapa bukan gedung Gaddi Baithak ini yang runtuh saat gempa, mengapa harus kuil-kuil megah itu? Tetapi pada detik yang sama, Cinta memberi tanda untuk tidak menghakimi yang terjadi agar masa kini dapat terus memeluk masa lampau sekaligus merangkul masa depan dengan penuh kerinduan.

Durbar Square

Langkah kaki saya berhenti di tengah-tengah Durbar Square, menghadap tiga kuil yang berdiri dengan megah. Saya berdiri dengan diam dalam Cinta, terpukau dan merinding berada di tempat itu merasakan keagungan masa lalu. Bagaikan film berputar cepat, tempat ini penuh keluarbiasaan.

Di tengah Durbar Square yang tidak akan sama lagi
Di tengah Durbar Square yang tidak akan sama lagi

Dan… sekejap mata terasa panas menyadari ketidakhadiran ketiga kuil megah itu lagi. Yang tertinggal hanya undakan-undakannya saja. Durbar Square yang kini tidak akan pernah sama lagi walaupun saya tahu Cinta tetap hadir di sana dan selamanya.

Cinta juga yang menguatkan untuk tetap bisa melangkah menyusuri jalan-jalan penuh kenangan, melewatkan Kuil Saraswati, kuil Vishnu dan genta besar Taleju di sebelah kiri menuju monument UNESCO World Heritage yang didirikan untuk mengingatkan pengunjung bahwa kawasan ini terjaga oleh dunia internasional. Saya sejenak berhenti dan mengabadikan monumen itu.

Kemudian berbalik mengamati merpati-merpati yang memperebutkan makanan yang disebar oleh pengunjung. Kepak sayapnya langsung terbuka terbang terbirit-birit ketika anak-anak Nepali menghambur mengejar kerumunan merpati. Udara Durbar Square seketika riuh dengan kepak merpati yang diiringi senyum lebar dan tawa anak-anak yang tak henti berlari. Pengunjung yang melihat ikut tersenyum. Bahkan mungkin patung Pratap Malla yang duduk diatas tiang di pelataran itu pun ikut tersenyum. Kegembiraan yang selalu menghias Durbar Square.

Namun tak pernah lepas dari ingatan apa yang saya lihat di TV maupun Youtube, keriuhan kepak merpati yang terbang mendadak itu jugalah mengiringi gempa besar yang diikuti dengan suara teriakan manusia dan dentuman kuil-kuil megah yang runtuh serta debu yang langsung mengangkasa. Saya sungguh berharap masih ada bahagia dan senyum anak-anak yang mengejar kepak merpati itu sekarang di Durbar Square.

Kuil Taleju & Ujian Kesabaran

Jelang Kuil Taleju, saya berkesempatan mengabadikan sebagian arak-arakan perayaan yang melantunkan pujian Hare Krishna dan membawa bendera warna warni dari Kuil Trailokya Mohan Narayan. Bagaimana bisa saya melupakan perayaan pertama yang saya alami di Nepal dan saya begitu dekat dengan mereka?

Arak-arakan Perayaan
Arak-arakan Perayaan

Setelah peserta arak-arakan berlalu, saya kembali ingin memasuki kuil Taleju. Seorang penjaga menghadang saya untuk masuk karena kuil Taleju sedang dalam perbaikan. Ada sedikit penyesalan kuil indah itu tak bisa banyak saya abadikan kecuali gerbangnya. Bagaimana pun selalu ada hikmah terserak untuk saya. Bisa saja kali ini saya terkendala untuk sesuatu lain yang lebih indah.

Taleju Gate
Taleju Gate

Kegagalan saya untuk memasuki Kuil Taleju membuat saya rehat sejenak di sebuah kuil kecil. Saya duduk diam memperhatikan orang lalu lalang. Seorang pria mendekat membuka pembicaraan. Awalnya demi sebuah persahabatan antar Negara, saya menjawab dengan baik, walaupun akhirnya saya tahu dari gelagatnya akan berujung dimana. Uang! Ah, seandainya dia memahami bahwa saya tak pernah percaya pada orang seperti dia karena gayanya yang too good to be true dan terasa palsu ketulusannya. Selagi mendirikan benteng penolakan darinya, saya juga mengerti, Cinta juga yang mengirim dia sebagai hadiah. Bukankah hadiah bisa berupa ujian kesabaran?

Jagannath

Taleju pun ditinggalkan dan kali ini Cinta memberi kejutan atas rasa lelah saya menjelajah seharian. Seorang guide baik hati yang saya temui di Basantapur tiba-tiba lewat di depan saya, mengenali dan menyapa saya kembali, menyuruh saya mendatangi Kuil Jagannath yang tak jauh dari Kal Bhairab. Melihat wajah jenakanya sebelum ia menjauh, rasa lelah itu lenyap seketika. Saya percaya memang ada orang yang dikirim untuk menggembirakan orang lain, walaupun tidak kenal dekat, walaupun hanya melalui sebuah senyuman dan sapaan.

Jagannath Temple
Jagannath Temple

Saya mengikuti sarannya, setelah mengabadikan Kal Bhairab yang bermata besar dan mengintip Sweta Bhairab dibalik penutupnya, saya mendekati Kuil Jagannath. Ah, pantas saja wajah guide tadi mengekspresikan kejenakaan. Entah karena kasihan melihat kelelahan saya tanpa teman, atau sekedar jahil, sehingga ia menyarankan saya ke kuil ini. Di bagian atas dari kuil, sangat jelas terukir adegan-adegan kamasutra yang membuat saya menjadi sangat manusiawi, mau lihat tapi malu. Dan rasa lelah itu benar-benar telah hilang, yang tertinggal hanyalah keterpanaan dan kekaguman. Saya belajar mempercayai bahwa di tempat-tempat melantunkan puja dan puji yang sakral, gambaran kamasutra pun merupakan bagian kehidupan normal yang harus bisa diterima. Hadiah Cinta selalu penuh kejutan.

Kegembiraan saya mencuat kembali, setelahnya langkah kaki terasa ringan menuju Kuil Shiva Parvati yang tak jauh dari Narayan Temple yang kini sudah runtuh, untuk kemudian perlahan saya melambaikan tangan kepada kawasan Durbar Square. Jalan Cinta di Durbar Square sudah saya susuri dan tak akan pernah bisa terlupakan. Karena Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, walau jalannya terjal berliku-liku…

23 tanggapan untuk “Meniti Jalan Cinta di Durbar Square Kathmandu

        1. 🙂 tetapi kalau sekarang-sekarang ini ke sana (atau beberapa tahun kedepan) mungkin masih cukup banyak yang ga bisa dilihat krn runtuh dan belum diperbaiki akibat gempa.

          Suka

  1. Aih Mbak, tulisannya berkesan romantis sekali pas dengan foto-foto keadaan disana yang demikian eksotis…
    Terima kasih telah berbagi suasana disana yang teramat indah ini…

    Salam,

    Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.