Jangan Bawa Kamera ke Wisata Alam Mangrove Angke


Sudah lama saya berkeinginan untuk pergi ke tempat wisata ini. Mangrove! Rasanya nama itu eksotis sekali. Apalagi ditambahkan dengan kata-kata di depannya ‘wisata alam’. Wah yang langsung terbayang adalah menjelajah alam. Dan berikutnya diikuti oleh Angke Kapuk. Berarti di Jakarta dan dekat…

Yang Indah dari Wisata Alam Mangrove
Yang Indah dari Wisata Alam Mangrove

100% benar, Wisata Alam Mangrove itu memang berada di Jakarta tepatnya di Angke, Kapuk atau sekarang lebih dikenal dengan nama Pantai Indah Kapuk. Berada di sekitar perumahan Pantai Indah Kapuk, tempat wisata ini merupakan salah satu kawasan konservasi hutan bakau (mangrove) yang dikelola oleh pihak swasta. Sangat mudah mencapainya, apalagi membawa kendaraan pribadi. Patokan utama lokasi ini di belakang kompleks Kantor Pusat Yayasan Buddha Tzu Chi, yang dari kejauhan sudah terlihat karena segede gaban gedenya…(klik disini untuk petunjuk arahnya)

Sebenarnya, mungkin saya saja yang sudah ketinggalan jaman karena kelihatannya semua orang sudah pergi ke tempat ini, sudah membicarakannya dan mungkin sudah lewat masa happening-nya tetapi, walaupun numpang lahir di Jakarta, saya sama sekali belum pernah menjejakkan kaki ke tempat wisata ini sebelumnya. Oleh karena itu, daripada tidak sama sekali, tak salah kiranya saya melancong ke sini.

And finally, akhir pekan pertengahan bulan lalu, saya sampai juga di wisata alam Mangrove itu.  Rencana berangkat pagi-pagi hanya tinggal rencana, karena acara rindu bantal dan guling lebih kuat daripada bangun menjelajah. Tidak heran sampai di sana, jelang tengah hari dan wow…. panasnya 😀 😀

Sekarang ini suhu udara Jakarta panas, apalagi harus berada di Jakarta Utara, di pantai dan jelang tengah hari! Sungguh pemilihan waktu yang sangat ‘tepat’ bagi saya yang tidak tahan heat stroke. Topi pun tidak menolong, payung juga tidak, karena udara pengap tak mengalir. Tetapi seperti kebanyakan dari kita yang masih melihat positifnya, saya pun melakukan hal itu. Untung saja! Ya, untung saja masih ada hutan bakau yang memberikan sedikit keteduhan!

Hari itu saya beruntung karena tepat ada yang meninggalkan tempat parkir yang beratap, kalau tidak  mobil pasti akan terpanggang oleh terik matahari Jakarta yang bisa menjadikannya oven. Mobil dihargai Rp. 10,000 sekali masuk dan tidak dihitung lamanya ia mengendap. Seandainya si mobil tidak berada di bawah atap, bisa jadi saya langsung membatalkan dan langsung pulang karena tidak mungkin saya menyimpan kamera dan barang-barang berharga lainnya dalam ‘oven’ itu.

Dilarang bawa kamera kecuali bayar 1juta
Dilarang bawa kamera kecuali bayar 1juta

Kamera DSLR atau kamera saku digital dari yang mahal sampai murah pun tidak diperbolehkan dibawa masuk ke area wisata alam mangrove ini. Kamera yang diperbolehkan masuk adalah segala macam HP, Ipad, Iphone, IPod, Tab yang berkamera dan lain-lain sejenisnya.

Saya bertanya kepada petugas yang menjaga, mengapa kamera tidak diperbolehkan masuk sedangkan ponsel terkini dengan segala macam kehebatannya setara dengan kamera justru diperbolehkan masuk. Jawaban absurd diberikan karena ketakutan mereka terhadap tuntutan para photographer pre-wed di sana, sebab mereka dibebankan biaya untuk mengambil foto di lokasi itu. Dan alasan lain ditambahkan untuk memperkuat argumentasi mereka bahwa kamera digital memiliki fungsi utamanya membuat foto, sedangkan ponsel, untuk alat komunikasi bukan membuat foto. Hmm… Baiklah…

Masih penasaran karena tidak tega meninggalkan si kamera bongsor itu di mobil dan di sana pun tidak disediakan tempat penitipan, saya bertanya lagi ke petugas jaga, berapa harga masuk untuk si bongsor hanya untuk ditenteng tapi tidak digunakan? Jawabannya dengan nada yang mulai meninggi sambil menunjukkan apa yang tertera di papan, -pokoknya untuk masuk, dipakai atau tidak, yaa SATU JUTA Rupiah-! Atau kira-kira seharga 100 mobil untuk masuk atau sekitar 40 makhluk yang bernama manusia untuk masuk ke kawasan itu. Dan jangan salah ya, itu berlaku untuk semua kamera digital, kamera saku atau DSLR, dari yang murahan atau mahal.

Ah tempat wisata kok ada ya sebuah sikap generalisasi antara photographer professional yang mendapat uang dari hasil fotonya, dengan photographer amatiran yang hanya sebagai hobby!

Oh ya, sempat saya tanyakan juga sebenarnya siapa pemilik tanah ini? Hmmm… kata petugas yang jaga, tanah kawasan ini milik departemen kehutanan tetapi pengelolaannya diserahkan ke swasta. Langsung saya paham seribu persen, soal uang dan tentu saja orientasinya yang berbasis keuntungan.

Semua itu, termasuk udara panas menyengat melengkapi mood-killer yang menyerang. Tetapi saya tidak boleh menyerah pada suasana hati yang mudah berubah. Saya ikuti aturan yang ditetapkan dan menjelajah juga di bawah kerindangan, walau tidak seluruhnya teduh.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saya melewati tempat-tempat penanaman bakau yang sebagian besar dipenuhi oleh nama organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, sosial dan lain-lain yang mungkin juga sekalian promosi kepentingan. Ada sebagian yang sudah rusak, ciri khas bahwa pemeliharaan berkesinambungan lebih sering dilupakan ketika membuat hal-hal baru. Saya juga melewati tempat-tempat bermalam yang disewakan, restoran dan lainnya.

Seekor biawak tampak menghindar ke balik semak-semak mendengar langkah kaki manusia. Tadinya saya hendak berhenti di kafe untuk mendinginkan tubuh sejenak tetapi akhirnya batal, teringat orientasi pengelolaan kawasan ini. Jadi pasti mahal.

Selain berjalan-jalan di sekitar kawasan hutan, pengunjung bisa juga menyewa perahu keliling kawasan, atau menaiki jembatan gantung yang seru atau hanya sekedar duduk-duduk mengobrol dengan kawan-kawan. Tempat ini bagus juga untuk seseorang yang ingin menyendiri sebentar atau yang ingin bersantai membaca buku di luar ruang atau bahkan yang sedang galau dengan kejombloannya hehe…

Hiii... ada hewan serupa ular air
Hiii… ada hewan serupa ular air

Bagaimanapun sebagai pengunjung kita wajib menjaga lingkungan dan waspada saat berjalan di lingkungan alam. Selain sampah plastik yang masih terlihat, sempat juga terlihat hewan seperti ular air bergerak-gerak dalam air serta kayu-kayu jalan setapak yang beberapa sudah patah. Semakin jauh berjalan ke ujung desa, semakin terdengar riuh pembangunan. Ah, kawasan ini juga tak bisa menghindar dari proses reklamasi laut yang terus menerus dilakukan. Dan satu lagi, jangan bawa kamera ke sini… mahal!

27 tanggapan untuk “Jangan Bawa Kamera ke Wisata Alam Mangrove Angke

  1. Eh, aku dulu udah mau berusaha mau ke sini, tapi nyasar dan akhirnya nyerahhh!!! Hahaha. Habis pake angkutan umum, udah capek duluan.

    Kalau dari pandanganku sih *halah*, tujuan dikenakan biaya selangit untuk kamera memang untuk keuntungan. Dikiranya semua yang punya kamera itu tajir kali apa.

    Disukai oleh 1 orang

        1. iya, beneran banget… apalagi kalo yang jaga itu jutekan.. makin deh… tetapi yah emang harus sabarrr… untung waktu itu mobil dapat tempat teduh, kalo ga sih, beneran balik badan!

          Disukai oleh 1 orang

  2. Dan untuk tiket masuk orang bule itu 300 ribu kalau tidak salah, kalau punya KITAS 150ribu….. shock banget, Harganya sama kayak masuk Taman Safari.
    Pas masuk kedalam banyakan sampahnya.
    Kapok!

    Disukai oleh 1 orang

  3. Saya sering lewat doang disitu,kalau mau mancing bandeng ke Kamal. Pengen juga suatu saat nanti ke mangrove Angke ini.

    Di zaman kamera ponsel yang makin canggih ini petugas itu hanya bisa melongo. Eh, sekarang masih berlaku gak ya larangan bawa kamera?

    Sehat selalu.

    Disukai oleh 1 orang

    1. tempatnya lumayan adem sih… mungkin sekarang lebih rame ya apalagi PIK 2 Pancoran kan lagi happening banget :D. Soal kamera, beberapa waktu lalu kawan saya konfirmasi sih, masih tetap berlaku. Mungkin mereka pikir yaa yang bawa kamera itu selalu profesional hahaha

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.