Tiap Langkah Penuh Cinta Untukmu, Pa


“Maaf, permisiii…”

“Sssh… Jangan, Tidak apa-apa, kita tunggu saja,“ selanya lirih

“Tidak baik menyela orang yang sedang mengambil makanan”, lanjutnya hampir tak terdengar

Sambil mengelus-elus pundak Papa dari belakang, saat itu saya dapat memastikan seperti apa wajah penuh cinta yang tak mampu menghapus guratan-guratan ketampanan walau termakan usia. Pandangan penuh kebaikan hati, berhiaskan senyum yang tersungging. Sifat Papa yang lebih mengutamakan orang lain ini, membuatnya sering terlibas oleh kejinya manusia tak berhati yang menjalankan hidup tanpa makna. Tetapi semua itu tak menghentikannya dari berbuat baik. Seperti apa yang dikatakan di sebuah hotel di Jogja pada tahun lalu…

***

Semua berawal ketika Papa akhirnya mengalah pada serangan stroke yang bertubi-tubi dan menjalani hidup keseharian di atas kursi roda. Setiap hari, sepanjang tahun dan bertahun-tahun. Hanya memiliki rute ke dokter, ke rumah sakit, ke keluarga besar, mal atau tempat yang dekat rumah. Sebuah rute yang sangat memenjarakan bagi beliau yang mencintai kebebasan untuk bepergian. Bukankah para difabel itu seperti kita juga, yang perlu rehat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan, berwisata, apalagi bepergian adalah hobbynya. Dan walaupun tak ingin terjebak pada keharusan penggunaan istilah difabel, disabled, differently-abled, handicapped atau apapun istilahnya, -karena pada dasarnya berujung pada gambaran yang sama sebagai pengguna kursi roda-, keinginan saya hanya satu yaitu memberinya kebahagiaan saat masih diberi kesempatan. Dan semua terjadi tepat dan indah pada waktunya karena hidup memberi pembelajaran penting tentang sebuah sudut pandang yang jarang atau tak pernah saya gunakan sebelumnya.

Dan hikmah itu terserak dalam perjalanan darat bersamanya ke Jogja dan Jawa Tengah tahun lalu.

Meskipun dengan sebanyak-banyaknya upaya untuk memesan hotel, memilih restoran, obyek wisata dan mengatur perjalanan yang nyaman dan ramah difabel, hal yang di luar perkiraan kerap terjadi karena tak cukupnya saya mengambil sudut pandang Papa yang menggunakan kursi roda.

Papa tak pernah minta menginap di hotel mewah penuh bintang. Kaki Papa sulit digerakkan apalagi diangkat sehingga tak perlu ada bath-tub. Mandi pun Papa harus dibantu dalam keadaan duduk, sehingga tak perlu ada kelembutan air laksana hujan yang jatuh dari kepala shower yang fix. Villa split-level sudah pasti dicoret dari daftar. Tapi yang terpenting, kursi roda harus bisa masuk ke kamar mandi. Dan saya mengira sudah memikirkan semuanya…

The Only Disability in Life is A Bad Attitude (Scott Hamilton)
The Only Disability in Life is A Bad Attitude (Scott Hamilton)

Pembelajaran dimulai ketika sampai di Jogja, dan hendak menurunkan Papa di hotel. Tak banyak hotel yang menyediakan tempat berhenti dan turun khusus untuk para difabel sehingga pengendara lain di belakang menjadi tak sabar dan membunyikan klakson karena dirasa terlalu lama dalam menurunkan penumpang. OMG. Tetapi Papa tersenyum dan meminta kami memindahkan mobil lalu menurunkan Papa dan semua peralatannya di tempat parkir daripada di depan lobby. Mengalah.

“Mereka tidak tahu, kan?” kata Papa menenteramkan.

Papa yang fisiknya terbatas lebih memilih untuk mengalah dari orang yang lebih muda, lebih sehat dan fisiknya lebih mampu. Bagi manusia normal, turun dari mobil sesederhana naik. Tetapi tidak sesederhana itu proses menaikturunkan Papa yang fungsi kakinya sudah sangat-sangat terbatas.

Yang jelas, perlu cukup jarak dengan mobil lain sehingga tersedia ruang antara pintu mobil yang terbuka dengan kursi roda yang disiapkan terlebih dahulu di posisinya. Lalu kaca jendela di dekat Papa perlu diturunkan karena bisa jadi pegangan Papa, kemudian membantu menggeser posisi duduk Papa mulai dari menurunkan kaki perlahan hingga bisa menjejak sambil dipapah. Kami tetap harus memotivasi Papa agar memperbaiki gesture dan melangkah sekali, dua kali sambil bertumpu pada yang membantu. Kemudian berputar, melangkah mundur, satu, dua langkah yang sangat pelan namun sangat berarti buat orang yang tak mampu berdiri normal, lalu perlahan mendudukkan Papa. Setelah mengembalikan posisi pijakan untuk tempat kaki papa dan membebaskan rem, kursi roda baru bisa didorong.

Fisik pendorong harus cukup kuat untuk mendorong atau menahan bobot papa yang lebih dari 70kg saat tanjakan dan turunan. Jika ada setengah anak tangga, maka kursi roda harus diungkit sehingga roda kecil di depan terangkat. Bila jalan menurun yang tidak landai, kursi roda harus berjalan mundur sehingga bisa ditahan. Paling tidak harus ada satu orang yang membantu. Belum lagi jika turun hujan atau panas terik sehingga perlu orang yang memayungi.

Tetapi segala keruwetan itu hilang jika melihat Papa bersuka ria dan tertawa lebar bersama keluarga dan kerabat di suasana yang berbeda dan jauh dari Jakarta. Sejujurnya ada bahagia luar biasa terasa mekar di dalam. Saya hanya bisa mengerjapkan mata membuang airmata bahagia yang mengembang.

Dari beberapa kesempatan, saya belajar dari Papa yang menyadari tak sedikit orang yang sepertinya merasa berada di tempat dan waktu yang salah karena berdekatan dengan Papa saat naik atau turun mobil. Mereka tampak gagap dan gugup untuk membantu, karena takut salah, atau takut menyakiti, atau bingung harus berbuat apa. Tetapi Papa tak mau mereka kehilangan muka, karenanya Papa mengeluarkan cerita humor sambil tertawa lebar sekaligus berterima kasih atas niat mereka yang sudah tampak di wajah.

Being Unconscious is the Ultimate Disability
Being Unconscious is the Ultimate Disability

Namun bagaimana pun keberadaan sebuah kursi roda selalu menjadi perhatian. Mungkin Papa telah terbiasa, namun saya belum. Rasanya jengah melihat banyak mata memperhatikan walaupun entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya karena Papa terlihat berbeda, hanya untuk memuaskan mata melihat, tanpa sebuah kesadaran apapun. Apakah pengguna kursi roda itu aneh? Apakah para difabel itu sebuah tontonan? Lagi-lagi Papa hanya melempar senyum pada mereka yang seakan melihat hantu.

Sarapan di hotel merupakan kesempatan menjadi pusat perhatian lagi, apalagi pengaturan sebagian meja hidangannya terletak di luar ruang yang satu-satunya jalan digunakan tamu untuk mengantri, termasuk untuk jalan kursi roda. Dan itulah yang terjadi sehingga saya menuliskan perkataan Papa di awal tulisan ini. Karena Papa yang hendak kembali ke kamar karena sudah selesai sarapan, terhalang oleh antrian tamu yang hendak mengambil makanan. Bagi orang normal, akan mudah meminta jalan untuk lewat, tetapi tidak demikian bagi kursi roda dan pendorongnya.

“Maaf, permisiii…” kataku berharap orang di depan menyadari kehadiran Papa

“Sssh… Jangan, Tidak apa-apa, kita tunggu saja,“ selanya lirih

“Tidak baik menyela orang yang sedang mengambil makanan”, lanjutnya hampir tak terdengar, tapi membuatku berhenti mendorong. 

Dalam sebuah kesempatan, kami mengajak Papa untuk melihat sunset di Candi Ratu Boko. Namun karena suasana liburan, saat itu tempat parkir penuh. Saya menarik nafas, karena melihat akses kursi roda yang telah disediakan terhalang mobil yang parkir didepannya dan tidak memberikan ruang sama sekali. Lagi-lagi saya merasakan bagaimana menjadi orang yang terpinggirkan, yang harus mengalah kepada suara mayoritas. Mungkin di benak sebagian besar orang hanya mempertanyakan jumlah kemungkinan pengguna kursi roda yang pergi berwisata. Jika kecil atau tidak signifikan, bukankah lebih baik tempat luangnya digunakan untuk orang lain yang lebih banyak dan lebih perlu? Atau bisa jadi karena tidak ada sanksi karena memanfaatkannya, entahlah…

Awalnya kami ingin membatalkan, tetapi Papa bersemangat untuk melihat suasananya dan bersedia dipapah. Sambil memapah Papa yang berjalan seperti kepiting di antara mobil, tertatih-tatih mencoba membuat satu, dua, tiga langkah yang sangat menguras energinya karena stroke telah membuat kaku otot-ototnya, membuat hati saya remuk redam. Wahai pengguna mobil yang telah mengambil ruang, bersyukurlah masih memiliki kaki normal sehingga dapat digunakan untuk berjalan. Setelah berjuang dengan titik-titik peluh di lehernya, akhirnya Papa bisa duduk kembali di kursi roda. Walau lelah itu tidak ditampakkan di wajahnya, Papa merasa gembira bisa datang ke Ratu Boko untuk melihat Prambanan di kejauhan dan melihat nuansa sunset di langit.

It's Not Our Disabilities, It's Our Abilites That Count (Chris Burke)
It’s Not Our Disabilities, It’s Our Abilites That Count (Chris Burke)

Salah satu momen menyenangkan selama liburan adalah acara makan di restoran favorit, tetapi kali ini saya harus mencari restoran yang benar-benar nyaman dan bisa diakses Papa. Di Jogja banyak restoran terkenal yang nyaman dan katanya ramah difabel walaupun tidak benar-benar ramah. Ada yang hanya memaksakan membuat jalan kursi roda tapi tidak bisa dimanfaatkan. Mungkin lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Namun terlepas dari itu, ada juga restoran yang memiliki karyawan yang sigap menolong, dan itu membuat Papa langsung jatuh hati. Orang santun tanpa diminta langsung menolong memang dicintai banyak orang. Orang-orang yang memiliki kesadaran hidup dan berbagi. Rasanya luar biasa bahagianya melihat Papa bisa makan dengan suasana nyaman bahkan bisa terlibat obrolan dengan orang-orang di balik restoran. Rasanya homey.

Dan akhirnya ketika meneruskan perjalanan dan harus menginap di kota yang tidak memiliki pilihan lain selain di hotel yang tidak ramah difabel dan bertangga belasan. Bahkan di sebuah ibukota kabupaten di Jawa Tengah tidak menyediakan aksesnya sama sekali. Tidak ada jalan lain kecuali memapah Papa setengah mengangkat. Terlepas dari ketidakadaan jalan akses difabel, kami bersyukur di tempat itu, karena selain dibantu oleh para karyawannya, kami bahkan bisa memotivasi Papa untuk melangkah. Belum pernah Papa naik tangga sebanyak itu dan semangat keberhasilan kami pekikkan tiap satu langkah menapak tangga dan ketika berhasil, tidak hanya papa yang senang. Kami semua luar biasa gembira dan takjub akan kekuatan cinta.

Bahkan ketika sampai di pemakaman keluarga karena Papa ingin menyekar keluarganya yang telah mendahului menghadap Yang Maha Kuasa, kami memapahnya karena memang belum ada akses kursi roda. Papa sangat berbahagia bisa sampai di sana untuk tiap langkahnya yang tertatih. Ada airmata menitik jatuh, karena bisa pergi melakukan ziarah, sesuatu yang tak terbayangkan olehnya setelah duduk di kursi roda selama ini. Melihat papa menitikkan airmata, saya melengos, tak mau terlihat bahwa mata saya pun ikut-ikutan basah. Tetapi keinginan membuat Papa, sebagai difabel, berbahagia karena bisa berwisata, jauh lebih besar daripada semua kerepotan yang ditimbulkan. Walau tempatnya ramah atau tidak ramah untuk difabel, membuat orang lain berbahagia, apalagi ayah sendiri,  itu jauh lebih membahagiakan.

6 tanggapan untuk “Tiap Langkah Penuh Cinta Untukmu, Pa

  1. Papa Mbak begitu kuat :)).
    Salut dengan ketabahan dan kekuatannya. Tidak mudah menghadapi semua ini, tapi ayah Mbak berhasil, bahkan tetap bisa menguarkan aura positif bagi sekitar :)). Salut, Mbak :)).

    Disukai oleh 1 orang

  2. Ini kisah yang luar biasa menyentuh, terkhusus buat saya pribadi.
    Saya membayangkan kasih sayang Mbak kepada ayahnya, dan kekuatan pribadi ayah Mbak walau harus berkursi roda,
    Titip salam untuk ayahnya ya Mbak…

    Salam,

    Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.