Sendratari Mahakarya Borobudur 2014: Indah Tak Bergaram


Pada akhir pekan, sekitar seminggu setelah peringatan kemerdekaan tahun ini, saya meluangkan waktu untuk menyaksikan pertunjukan Sendratari Mahakarya Borobudur di pelataran panggung Aksobya, Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Magelang, Jawa Tengah. Pertunjukan sendratari dengan tema The Legend of Mahakarya Borobudur when History Comes to Life ini mengisahkan tentang pembangunan candi Borobudur yang merupakan sebuah Mahakarya bangsa Indonesia dan digelar untuk memperingati 200 tahun ditemukannya Candi terbesar di dunia itu. Saya memang meniatkan diri untuk menyaksikan pertunjukan itu, -selain menuruti rekomendasi seorang kawan yang sudah menyaksikan sebelumnya-, entah kenapa saya memiliki imajinasi tersendiri mengenai kehebatan pertunjukan itu.

Waktu pertunjukan disebutkan mulai pukul 7 malam dan saya harus menukarkan voucher tiket tanpa tahu pasti lokasi penukarannya sehingga saya merencanakan meninggalkan Jogjakarta pukul 4 sore supaya lebih leluasa sesampainya di sana. Tetapi lalu lintas Jogjakarta sore hari itu tak beda dengan Jakarta setiap hari, padat merayap nyaris tak bergerak, karena bersamaan dengan diselenggarakannya Festival Kesenian Yogyakarta. Setelah hampir satu jam terjebak, akhirnya saya terbebas dari kemacetan pusat kota dan bisa bergerak menuju Borobudu melalui jalur kabupaten.

Malam gelap sudah datang ketika memasuki kawasan Borobudur dan saya tak mengerti harus masuk darimana untuk menuju panggung Aksobya. Dan dalam kebingungan di dekat pagar utama, datang seseorang yang membantu menunjukkan arah tempat pertunjukan. Tanpa bermaksud promosi, saya harus masuk melalui gerbang hotel Manohara dan mengikuti kelip-kelip lampu yang ditunjukkan oleh petugas-petugas di sepanjang jalan yang gelap menuju acara. Dalam hati saya bersyukur bisa datang dengan kendaraan, namun bagaimana dengan pejalan kaki atau yang naik kendaraan umum? Apakah pertunjukan ini hanya dihadiri oleh orang-orang yang memiliki kendaraan?

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Di dekat keramaian, saya turun dan berjalan ke arah sebuah meja panjang di bawah tenda yang tampaknya tempat penukaran voucher ke tiket asli. Setelah beberapa orang kulit putih yang dilayani, giliran saya kemudian untuk menyerahkan voucher kepada seorang perempuan manis di balik meja dan entah kenapa saya merasakan perubahan itu. Saya mendapatkan pelayanan yang berbeda dari sebelumnya, menjadi serba ramah, serba senyum lebar, serba mendahulukan dan memberi prioritas terhadap saya. Daaaannn…. saya terperangah ketika perempuan berwajah Indonesia itu mengajak saya bicara dalam bahasa Inggeris. Apakah karena nama depan saya yang berbau Eropa Selatan yang kadang sulit diucapkan oleh lidah Indonesia dan didukung wajah saya yang sering ditebak bukan asli Indonesia? Saya hanya tersenyum menerima semua cinderamata dan nomor tempat duduk yang diberikannya seraya berbisik halus tanpa bermaksud mempermainkannya, maturnuwun sanget mbak…

Kemudian pelan-pelan saya mengikuti karpet merah yang disediakan menuju tempat pertunjukan mengingat waktu yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tetapi para penerima tamu yang berkebaya anggun itu mengarahkan saya untuk menyantap hidangan ringan terlebih dahulu. Tak terduga ternyata tersedia hidangan ringan untuk mengganjal perut, walaupun saya sudah berbekal kue yang dibeli di Jogja. Ada nasi kucing, serabi, talas goreng, pisang goreng dengan minuman jahe yang hangat. Hidangan ringan yang tepat untuk mengawali pertunjukan malam di bawah langit.

Rupanya menikmati hidangan ringan ini juga merupakan bagian dari acara agar para tamu bisa saling berkenalan atau mempererat silaturahmi bagi mereka yang sudah saling mengenal. Sambil menyantap hidangan, saya memperhatikan para tamu yang hadir. Saya agak miris, karena tamu yang datang tidaklah berlimpah (dibandingkan dengan konser pertunjukan musik). Tamu asing yang menjadi sasaran acara ini juga tidak terlalu banyak. Apakah karena kurang promosi? Apakah karena berbenturan dengan berbagai festival lain di Indonesia? Yang jelas di Jogja sendiri sedang berlangsung Festival Kesenian Yogyakarta dan di Jember sedang berlangsung Jember Fashion Carnival yang sudah mempunyai nama di jagat internasional. Tidak mungkin karena kurang megahnya Borobudur, bukan?

Gending Jawa terdengar seakan memanggil tamu untuk segera menduduki tempat yang telah ditentukan tanpa bisa memilih. Saya duduk di baris ketiga sayap kanan tepat di sisi lorong tengah. Di depan saya sudah duduk beberapa orang warganegara asing dan beberapa tamu VIP dari jajaran dinas. Dan sekitar 25 meter ke depan, terhampar panggung Aksobya dengan latar belakang Candi Borobudur yang megah disinari lampu dari belakang. Terasa magis.

Dan akhirnya sekitar jam delapan malam, dua orang pembawa acara memecahkan kekosongan waktu menandakan pertunjukan segera dimulai. Saya berbisik dalam hati, semoga pertunjukan ini seindah dan semegah Borobudur.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Satu jam pertunjukan tari berlangsung cepat. Dikemas dalam bentuk sendratari, -yang konon gerakannya merupakan intepretasi atas tiga ajaran hidup yang ada dalam struktur candi, mulai kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu-, pertunjukan tari ini dibuka dengan memperlihatkan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang saat itu banyak melakukan tindakan tak terpuji. Situasi itu membawa Rakai Panangkaran, -seorang tokoh spiritual pada masa tersebut-, menyampaikan amanat kepada Raja Smaratungga untuk mengajarkan kepada mereka jalan kehidupan yang baik dengan pembangunan sebuah candi yang berbentuk batu berundak dengan konsep ajaran kamadhatu, rupadathu dan arupadhatu. Keputusan penting yang diambil pada abad ke 8 itu diawali dengan penunjukan Guna Dharma sebagai pemimpin pembangunan Candi Borobudur. Dan sebagaimana sebuah proses pembangunan Mahakarya yang memakan waktu lama, dikisahkan pula situasi kehidupan masyarakat yang penuh suka duka, turun naik selaras dengan perjalanan waktu. Lalu dengan kemauan yang kuat dari Raja Smaratungga dan didukung kekuatan doa serta kekuatan masyarakat untuk tetap membangun Borobudur, pada akhirnya Candi Borobudur bisa tegak berdiri dengan megahnya.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Cerita yang sederhana di balik keanggunan Candi Borobudur yang berdiri di latar belakang. Saya ikuti pertunjukan yang ditarikan dengan puluhan penari ISI Surakarta. Beberapa adegan terasa berulang sehingga saya sempat seperti melihat pertunjukan dengan tombol rewind. Hanya ada satu adegan tarian yang diiringi bunyi-bunyian gemerincing di kaki dan tangan sehingga membuat atmosfir pertunjukan terasa dinamis. Ditambah dengan sebuah momen tiba-tiba lampu dinyalakan terang dan binatang-binatang ternak, bebek-bebek dan kambing serta penari yang berbusana rakyat petani berjalan mondar mandir di depan panggung dekat dengan para tamu, sebuah momen yang mengejutkan, menyegarkan dan membuat senyum tersungging di wajah para penonton.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saya menyaksikan pertunjukan ini dengan harapan yang tinggi. Pertunjukan Mahakarya Borobudur ini indah walaupun terasa kurang garam. Kekuatan kata Mahakarya yang digunakan dalam judul pertunjukan sepertinya melambungkan harapan para penonton, seakan-akan menjadikan pertunjukan ini sebuah mahakarya. Padahal yang Mahakarya adalah Borobudurnya, bukan pertunjukannya.

Pertunjukan ini memang cenderung kolosal, walaupun tidak sekolosal yang dibayangkan. Juga latar belakang Borobudur yang disinari lampu dari belakang memang membuat efek magis. Dan memang tidak dapat dipungkiri, yang membuat cantik itu Candi Borobudurnya, yang bagi saya selalu membuat saya penuh cinta kepadanya.

Imajinasi saya tentang pertunjukan di Borobudur yang akan membuat merinding karena kekuatan rasa sebuah pagelaran seni, tidak terjadi. Saya selalu membayangkan penari-penarinya muncul dari replika stupa-stupa Borobudur sehingga terasa menyatu dengan candi Borobudur yang megah. Seperti pertunjukan tari Apsara yang pernah dilakukan di pelataran Angkor Wat, Kamboja pada waktu malam yang terasa mistis, lengkap dengan lilin dan obor sepanjang jalan lorong-lorongnya.

Dan bagi saya, mungkin juga bagi penonton asing yang mencari makna di balik pertunjukan tari ini, sungguh sayang tidak tersedia buku acara atau lembaran buku acara yang bisa dibagikan, atau bahkan dijual mengenai tahapan-tahapan pertunjukan tari. Bukankah hal itu bisa menjadi lahan pemasukan dana bagi penyelenggara?

Walaupun demikian, saya sangat mengapresiasi pertunjukan ini sebagai upaya wisata malam di Candi Borobudur. Saya percaya bahwa seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih meningkat karena Indonesia tidak akan pernah kekurangan kreativitas untuk menciptakan hal-hal baru yang lebih hebat.

11 tanggapan untuk “Sendratari Mahakarya Borobudur 2014: Indah Tak Bergaram

  1. halo mbak, perkenalkan saya Giofanny saya mau tanya beberapa hal soal Pertunjukkan Mahakarya Borobudur. Untuk konten acaranya apakah ada acara sampingan lain mbak selain sendratarinya ?
    Lalu, mbak sendiri dapat info soal sendratari darimana mbak? sepertinya publikasinya kurang ya.
    Terima Kasih

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hai Giofanny,
      Dilihat dari konten acaranya, ga ada acara sampingan lain kecuali ya sendratari itu. Kecuali kalo acara makan snack dan silaturahmi dimasukkan kedalam konten acara ya hehe…
      Benar sekali, publikasinya kurang banget, mungkin hanya ada di kalangan tertentu saja. Sayang memang. Saya sendiri dapat infonya karena tidak sengaja melihat promonya. Kalau memang serius, musti rajin tanya-tanya ke Borobudur hehe…Salam…

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.