AWAL PERJALANAN RASA. Saya berdiri diam di depan batu besar bersimbol UNESCO yang dihiasi aksara Hangul. Tidak perlu bisa membaca Hangul untuk bisa memahami saya sudah sampai pada tujuan, Haeinsa Temple. Ada rasa haru membuncah berhasil melakukan pencapaian setelah melewati berbagai hambatan emosi sepanjang perjalanan hingga sampai ke tempat saya berpijak ini. Melewati batu besar ini berarti saya memasuki sebuah perjalanan dalam rasa.

HANYA BAGI YANG MEMERLUKAN. Haeinsa Temple sesungguhnya bersembunyi dalam diam dan heningnya wilayah Taman Nasional Gayasan, di propinsi Gyeongsangnam-do, seakan tak peduli akan kunjungan para peziarah atau wisatawan. Juga seakan tak peduli dengan gelar yang disandangnya sebagai UNESCO World Heritage Site karena telah ratusan tahun menyimpan Tripitaka Koreana, bilah-bilah cetakan kayu berisikan ajaran Buddha. mungkin baginya, manusia yang datang berkunjunglah yang memerlukannya. Memerlukan keheningan dan kedamaian untuk bercermin diri dalam meniti hidup.
MELURUHKAN KEBURUKAN. Dan entah mengapa, segala sesuatu yang menyesakkan, segala kekuatiran, derita dan ketakutan seakan runtuh luluh, terlepas dan tak berani membonceng begitu kaki melangkah memasuki gerbang Haeinsa yang memang menjadi tujuan utama perjalanan saya ke Korea Selatan.
BATAS. Ucapan Selamat Datang tampaknya tersampaikan dalam keheningan Iljumun, Gerbang Satu Pilar yang merupakan gerbang pertama dalam wilayah kompleks Haeinsa Temple. Namun sepertinya lebih banyak orang yang memperhatikan sebuah karya seni berbentuk orang yang sedikit membungkuk daripada menyadari makna gerbang Iljumun. Dan Iljumun pun seperti tak peduli dengan apapun yang dilakukan mereka. Dalam diamnya, ia hanya membukakan rasa akan sebuah batas bagi mereka yang sadar dan seakan mempersilakan untuk melangkah di jalan setapak menuju gerbang kedua, Bonghwangmun atau yang lebih dikenal dengan Gerbang Empat Dewa Penjaga. Dan untuk melengkapi rasa yang hadir, di kiri kanan jalan setapak yang mendaki landai ini dipenuhi berbagai bendera putih bertuliskan untai kata filosofis yang sangat dalam, sebuah awalan untuk membersihkan taman pikiran.


TUMBUH BERSAMA WAKTU. Langkah demi langkah diambil menuju Gerbang kedua, semua pengunjung termasuk saya seakan dibawa ke awal waktu pembangunan kuil Haeinsa oleh dua pendeta, Suneung dan Ijeong sekitar abad-8 sepulangnya dari Tiongkok. Pihak kerajaan mendukung pembangunan kuil setelah kedua pendeta tak henti berdoa untuk kesembuhan Sang Ratu dari penyakitnya yang tak terobati. Pengunjung pun diajak melihat sisa pohon di pinggir jalan setapak yang dipercaya menjadi saksi terakhir awal pembangunan kuil Haeinsa walau akhirnya tumbang pada tahun 1945 setelah tumbuh bersama waktu selama hampir 1200 tahun.

KESUNGGUHAN. Dan akhirnya ketika langkah kaki menjejak di Bonghwangmun, atau dikenal dengan gerbang Empat Dewa Penjaga, -berisikan lukisan Empat Dewa sebagai Penjaga arah mata angin-, para pengunjung seakan ditanya kembali akan niatnya berkunjung dan bersedia meluruhkan semua yang berbau keburukan. Dan bukankah di setiap gerbang milestone kehidupan kita seakan ditanya kembali niat kita?
TAMBAHAN BEKAL KEKUATAN. Selepas Bonghwangmun, siapapun yang berkehendak dapat memohon doa di Guksudan atau Hall of Mountain Spirit. Bangunan kecil ini berisikan patung Guksa-daesin, dewa pelindung ranah Haeinsa, yang dipercaya dapat memberikan pencerahan kepada manusia dan mencegahnya dari ketidakberuntungan serta memberikan berkat kepada semua orang agar mengikuti kebenaran hakiki. Dalam perjalanan rasa ini, sebuah analogi tergambarkan saat berada di antara dua gerbang milestone hidup yang masih memerlukan bekal kekuatan.
MENUJU GERBANG AKHIR. Perjalanan melalui pintu-pintu gerbang hampir berakhir. Di ujung jalan setapak terdapat tangga curam menuju Haetalmun atau dikenal sebagai Gerbang Surga, yang dipercaya sebagai simbol memasuki dunia kebenaran dan meninggalkan dunia yang penuh penderitaan, selaras dengan konsep Buddha.
MEMAKNAI PERJALANAN. Sesaat menengok ke belakang dari posisi saya berdiri, dari gerbang pertama Iljumun, lalu Bonghwangmun hingga gerbang ketiga Haetalmun, saya telah menapaki 33 anak tangga, yang konon simbol surga Trayastrimsa, tempat berdiamnya 33 dewa di puncak Gunung Sumeru. Sebuah nama yang membuat pikiran lain terbersit, walaupun saya memahami maksudnya adalah gunung imajiner Mt. Meru atau Mahameru dalam pemahaman Buddha, namun pikiran ini terbang ke puncak Mahameru yang indah di Jawa Timur, Indonesia, yang tentu saja merupakan sebuah perjalanan panjang, mendaki penuh lelah dari tempat-tempat yang rendah mencapai tempat-tempat tinggi. Bukankah hidup dipenuhi rasa syukur atas sebuah perjalanan dari sebuah titik kecil ke titik kecil lain yang begitu berdekatan?
MENJAGA KESEIMBANGAN. Gerbang Haetalmun di puncak tangga yang tinggi, curam dan fragile seakan mengingatkan saya agar senantiasa menjaga keseimbangan rasa namun tetap waspada dalam setiap langkah hidup, seperti juga di kawasan kuil Haeinsa. Laksana sebuah pengingat akan peristiwa bencana kebakaran hebat yang berkali-kali terjadi di kuil Haeinsa semasa Dinasti Joseon berkuasa, walaupun upaya menjaga, mengamankan dan memelihara sepenuhnya setia dilaksanakan.

PEMENUHAN JANJI. Rasanya saya benar-benar luruh melebur menjadi satu dengan Haeinsa dengan setiap langkah penuh keajaiban makna. Haeinsa, inikah yang engkau janjikan untuk setiap jiwa yang datang dengan rasa?
HARMONI. Langkah terasa ringan menapaki pelataran kuil. Sepertinya memang sesuai dengan makna Haeinsa yang dikenal sebagai Kuil Pencerminan di Laut tenang. Untuk mudahnya bagi non-Buddhist seperti saya, dalam kehidupan duniawi dengan semua penderitaan, penyakit dan delusi, bisa dianalogikan sebagai laut yang bergolak dan segala sesuatu yang harmoni diibaratkan sebagai laut yang tenang. Sebuah makna yang dapat dilihat dalam rasa.
HIDUP YANG BERJENJANG. Bahkan kompleks Kuil Haeinsa ini pun dibangun di atas permukaan tanah yang berjenjang dengan dua pelataran tempat aktivitas peribadatan dan kegiatan sehari-hari dari para penghuninya. Seperti juga kehidupan, memiliki jenjang-jenjang tersendiri. Bahkan dalam sebuah jenjang pun memiliki keindahan, seperti juga pemandangan hutan di pegunungan dengan keindahan musim gugur menyembul di antara bangunan kuil di pelataran pertama. Dan melalui tangga, saya menuju pelataran kuil yang lebih tinggi. Dan pelataran akhir ini penuh dengan pengunjung yang kebanyakan datang dari berbagai penjuru Korea, yang membuat saya tersenyum dalam rasa dengan penggambaran ini. Sangat manusiawi. Bukankah pada akhir perjalanan hidup kita semua akan berkerumun?

3 SAKSI DIAM YANG SETIA. Perlahan saya berjalan ke tengah pelataran tempat tegaknya tiang bendera yang konon menjadi saksi setia kuil dari abad ke abad. Didekatnya terdapat pagoda batu tiga tingkat yang dikenal sebagai Birotap (Pagoda Vairocana) yang dahulu tempat menyimpan patung Buddha. Tak jauh dari Pagoda Birotap berdiri Lampu Batu, simbol lampu kedamaian Buddha yang dibangun untuk memberikan penerangan ke pelataran. Dalam hidup yang sudah terjalani ini, bukankah kita semua memiliki saksi-saksi diam yang setia menemani?
SEDERHANA. Saya melewati bangunan termpat peribadatan Gwaneumjeon dan Gunghyeondang yang sederhana dan tidak bercat. Ciri khas yang kuat dari Haeinsa, sebuah kesederhanaan, tetapi tampil kontras dengan keindahan hutan yang menghias pegunungan di latar belakang. Kuat dan berprinsip.

PUNCAK, YANG UTAMA. Mata saya memandang tiga rangkaian anak tangga di kiri, tengah dan kanan untuk naik ke permukaan tanah yang lebih tinggi. Rasa membawa saya menapaki tangga di kanan, -karena memang sebenarnya tangga di tengah hanyalah untuk para pendeta dalam upacara khusus-, menuju bangunan utama kuil yang disebut Daejeokgwangjeon (Tempat Kedamaian dan Kebijaksanaan Yang Agung) yang didedikasikan untuk Buddha Vairocana, dan diapit oleh Shrine Daebirojeon di kiri dan Myeongbujeon di kanannya. Seakan terdengar bisik dari dalam kalbu akan simbol dari tiap kehidupan yang memiliki tempat tujuan akhir?
IBADAH DENGAN CINTA. Tetapi di sudut Daejeokgwangjeon tampak orang berkerumun menanti giliran beribadah ke dalam. Ah, tak patut rasanya mendahulukan keinginan saya daripada orang-orang yang berniat ibadah. Saya berpindah untuk menikmati lukisan sepanjang dinding dan bagian atap Daejeokgwangjeon, yang semuanya dikerjakan dengan kesabaran, ketelitian dan kecintaan melalui kondisi meditatif yang panjang.

MOMENT KEINDAHAN. Mengambil jeda untuk melepas lelah, saya duduk di belakang bangunan utama menikmati pemandangan alam di latar belakang. Karena tersembunyi di kawasan Gayasan National Park, kuil Haeinsa memiliki nilai tambah. Selain udaranya yang sejuk, kuil ini dikelilingi oleh indahnya warna-warni pepohonan khas musim gugur. Dan sebagai orang tropis yang jarang melihat perbedaan warna pohon, sungguh saya menikmati keindahan warna merah, kuning, hijau dalam nuansanya sendiri-sendiri yang menjadi kontras dengan warna homogen coklat kehitaman dari kuil. Seperti juga dalam fase hidup, saat jeda istirahat kita juga dapat menikmati moment indahnya hidup. Dan saat itu pun, walau dipenuhi pengunjung, Haeinsa tetap diliputi ketenangan yang terasa sampai ke dalam relung rasa.

MENAPAKI PUNCAK. Di puncak ketinggian kompleks Haeinsa, dari sisi Myeongbujeon, Sang Waktu telah menuntun saya melihat tempat penyimpanan Tripitaka Koreana di level teratas, yang paling terjaga. Lalu, setelahnya saya berjalan turun kembali ke arah Bangunan Utama Daejeokgwangjeon dari sisi kiri Daebirojeon, yang berisi dua patung kayu Buddha yang konon dipercaya dari abad-9 dan merupakan yang tertua di Korea. Semua dari kita memiliki langkah-langkah di puncak ketinggian yang tak terlupakan dan penuh kesan.


MELEPAS DERITA. Puncak ketinggian telah terlampaui dan saya turun kembali ke pelataran tempat Pagoda Birotap berada. Sebuah pameran seni filosofis sedang berlangsung di pelataran Haeinsa ini. Sekitar seribu kain persegi merah diikat menyerupai kantong berisikan batu tersusun rapi di atas tanah yang membentuk persegi panjang. Batu-batu yang diletakkan pengunjung kuil merupakan simbol dari beban penderitaan yang pernah dirasa sepanjang hidupnya. Sebuah interaksi pengunjung untuk melepaskan penderitaan di Haeinsa, dan menjelma menjadi orang baru setelahnya. Ibarat ringan setelah melepas beban, hidup terbuka menjadi tempat bersyukur dan berdoa. Dan kesempatan itu tersedia di pelataran berikutnya, pengunjung diarahkan melakukan meditasi berjalan melalui jalur yang dibatasi oleh lampion-lampion yang tergantung berwarna merah, hijau, ungu dan kuning. Siapapun, tanpa harus menjadi Buddhist, dapat menggantungkan harapan dan doa pada lampion-lampion itu.
MEMBAWA BAHAGIA. Hari semakin sore, pengunjung semakin berkurang. Akhir perjalanan sudah tercium auranya. Suasana sepi mulai terasa di pelataran depan bangunan tempat genta besar dan drum tabuh tergantung. Sambil menyisiri bagian luar dari lampion-lampion jalur doa, saya berjalan pelan menuju pintu keluar. Dan saat kaki melangkah meninggalkan gerbang surga terdengar pukulan tabuhan oleh pendeta, tanda kuil ditutup dari kunjungan orang luar. Dan bersamaan dengan itu, dari dalam jiwa sebuah ucapan terungkap keluar, Terima kasih atas suasana damai dan harmonimu, Haeinsa! Ah, Semoga semua makhluk berbahagia…
Aduuh bagus bgt, emang kmrin itin nya mo temple tour ya mbk? keren ey, besok2 sya mnta ya copy itinerary nya… ada fb tak?
SukaSuka
Hahaha… terima kasih ya. Temple tour sih sebenernya engga, tetapi lebih ke arah World Heritage Site, karena udah pasti berkualitas tinggilah (karena memenuhi kriteria UNESCO WHS) hehehe… soal itin siaaap deh… (tapi menimbulkan ide buat bikin tulisan tersendiri hahaha). FB ada, udah sebulanan ga diupdate hahahaha…
SukaSuka
ooo gitu, wah jadi lebih tau ni, berarti kalo ng trip list dlu spot2 WHS ya, hehehe
SukaSuka
Iya mba… hehehe minimal ga puyeng nyari yang bagus dilihat…
SukaSuka
Keren abis tempat2 beserta tulisannya. saya yg udah satu taun domisili di korea aja blum nyampe ke tmpat2 itu euy… hehehe
SukaSuka
Hehehe…. Gemboss Nuryadi, terima kasih yaa… Wah, setahun pasti sibuk terus ya sampai belum bisa kemana-mana, Korea gitu lhoo bagus-bagus tempatnya hehehehe… Ok deh, thanks sekali lagi udah mampir, ditunggu ceritanya yaa…
SukaSuka