Transportasi Burma: Dari Pesawat Baling-baling, Kereta Kencana, Angkot hingga Taksi Mogok


Selalu saja banyak cerita di balik moda transportasi yang digunakan selama perjalanan, termasuk selama perjalanan di Burma. Sejumlah moda transportasi yang saya gunakan selama di Burma berurutan dari yang mahal sampai murah adalah 1. Pesawat Terbang, 2. Private Rental Car, 3. Taxi atau Shared Taxi (?), 4. Angkutan Umum Antar Kota (alias Angkot), 5. Ojek, 6. Kereta Kencana, 7. Jalan Kaki.

Pesawat Terbang

Moda transportasi pertama yang saya gunakan dari Kuala Lumpur hingga mencapai bumi Burma adalah dengan menggunakan pesawat jet Airbus A320. Harga yang berbeda sedikit dari Air Asia dengan pertimbangan sampai lebih awal, membuat saya memutuskan menggunakan Malaysian Airways. Di dalam penerbangan, tidak ada yang special kecuali beberapa penumpang mengenakan Longyi, pakaian tradisional Burma sehingga membawa atmosfir Burma ke dalam pesawat.

ATR 72
ATR 72

Mengingat lokasi destinasi di domestik Burma berjauhan, saya mengambil moda pesawat terbang dengan pertimbangan kecepatan dan kesehatan fisik, agar bisa lebih banyak istirahat walaupun harus menguras kantong lebih dalam.  Dari Yangon ke Bagan (Nyaung Oo) menggunakan pesawat terbang model ATR-72 500 Air KBZ. Awalnya saya memesan online untuk maskapai Air Mandalay, ternyata beberapa hari kemudian datang pemberitahuan bahwa penerbangan saya dicancel namun mereka telah mentransfer saya langsung untuk menggunakan Air KBZ. Group KBZ merupakan perusahaan yang dimiliki oleh seorang konglomerat di Burma (di Yangon saya melihat ada KBZ Bank!)

Ini kali pertama lagi saya menggunakan pesawat baling-baling setelah puluhan tahun.  Bayangan bahwa pesawat baling-baling itu kuno dan hanya dibuat sebelum pesawat jet seperti mencengkeram saya, walaupun saya tahu persis bahwa ketakutan ini sama sekali tidak beralasan. Benarlah… begitu masuk, saya tahu pesawat masih terbilang baru.

Saya juga baru tahu bahwa kelas bisnis di Pesawat ATR-72 ada di bagian belakang sehingga bisa keluar lebih dahulu karena pintunya hanya satu yaitu di bagian ekor. Jadi sebagai pemilik kursi kelas ekonomi, saya dapat di bagian tengah tepat di bawah sayap, bukan di atas sayap kalau kita naik pesawat jet biasa. Ransel standar 7kg-an saya ternyata tidak cukup masuk ke kabin atas, terpaksa saya jejalkan ke bawah kursi.

Uniknya, pesawat ini tidak beda dengan angkutan umum darat. Ia terbang membawa penumpang, lalu mendarat di tempat tujuan dan menurunkan beberapa penumpang, mengambil lagi penumpang lain sementara penumpang yang belum mencapai tujuannya menunggu di pesawat, terbang lagi, mendarat lagi dan seterusnya hingga kembali ke Yangon. Rutenya standar domestik di Burma dalam sehari : Yangon – Bagan – Mandalay – Danau Inle/Heho – Yangon. Ini saya alami ketika kembali dari Mandalay ke Yangon, dengan mampir atau transit di Heho. Tanpa keluar pesawat, saya melihat penumpang turun di Heho dan ada penumpang baru naik dari Heho menuju Yangon. Dan semuanya terjadi dalam waktu 15 menit, langsung terbang lagi.

Mobil Sewaan

Rental Car in Mandalay
Rental Car in Mandalay

Moda transportasi ini saya gunakan ketika keliling Mandalay. Jangan bayangkan mobil seperti sedan ber-AC dingin karena taxi disini artinya seperti mobil bak terbuka ditutup terpal, lebih berbentuk truk mini seperti angkot Jakarta, tentunya tanpa AC. Mereknya Nissan Sunny. Sopirnya bilang, mesinnya masih asli Jepang tahun 80an 1170cc. Dan power mesin yang terawat baik ini terbukti saat menjelajah naik menuju Mandalay Hill. Walaupun cukup terjal, mobil tidak terasa ngos-ngosan. Saya duduk di depan, di sebelah sopirnya sehingga bisa mengobrol. Dia mengantar saya ke Istana Mandalay, lalu ke berbagai pagoda, ke puncak Mandalay Hill dan kembali ke hotel. Bahkan dari U-Bein Bridge yang terkenal itu, sang sopir meminta izin saya untuk memperbolehkan beberapa penumpang yang kehabisan transportasi kembali ke Mandalay, tentu saja mereka duduk bersila di bak belakang. Jangan tanya rasanya, sebab perjalanan itu memakan waktu lebih dari 1 jam.

Lain lagi ceritanya ketika saya hendak kembali dari Bago ke Yangon. Saya menyewa mobil karena terlalu lelah untuk naik angkutan umum lagi. Dalam perjalanan, mengetahui saya dari Indonesia, sang Sopir bercerita bahwa ia cukup mengenal budaya Indonesia termasuk beberapa patah kata bahasa Indonesia. Selidik punya selidik, sambil malu-malu, ia mengatakan bahwa gadis pujaan yang hampir jadi istrinya itu adalah tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Rupanya kehidupan keras di Burma membuatnya terdampar di Malaysia sebagai buruh dan terjalin cinta di antara sesama buruh migran. Halah!

Mungkin teringat dengan gadis pujaannya yang ‘Indonesia asli’ namun sudah tidak ketahuan rimbanya, menjelang sampai di Yangon, dia semakin ‘merasa’ dekat dengan saya. Lhah??? Bahkan dia mengundang untuk minum kopi bersama di Yangon. Hedewww… saya menolak sehalus mungkin dan berdoa, mengingat saya masih di tengah keterasingan area. Rupanya doa langsung terjawab, the guardian angels bekerja keras melindungi saya dari hal-hal seperti ini. Tidak jauh lewat dari pinggiran kota Yangon, tiba-tiba mobilnya mogok. Sang sopir langsung meminta-minta maaf karena kerusakan mobilnya dan merefer ke taxi lain yang tentu saja saya sambut dengan gembira!

Taxi atau Shared Taxi?

Moda angkutan berikutnya adalah Taxi. Sebenarnya yang saya maksudkan adalah taksi, bukan shared, tetapi dalam perjalanan di Burma, ada saja orang lain yang ikut menumpang, sehingga saya jadi mengkategorikannya sebagai shared walaupun ongkosnya tidak dishare saya!

Taxi bandara internasional di Yangon yang saya gunakan untuk ke hotel di pusat kota sama seperti taxi umum di kota besar, walaupun tanpa argo. Tidak ada yang aneh, kecuali setir kanan di jalur lalu lintas kanan! Di Yangon pun saya bolak balik ke Pagoda Shwedagon menggunakan jasa taxi dengan harga fix walaupun macet di beberapa tempat.

Lain ceritanya ketika berada di Mandalay. Sebagai salah satu kota besar di Burma, jarak antara bandara dan pusat kota cukup jauh sehingga saya menggunakan taxi. Dari pengalaman di Yangon, saya pikir saya akan sendirian dari Bandara hingga hotel, ternyata tidak! Di tengah jalan, sopir mengambil orang lain untuk duduk di depan serta asyik ngobrol serta meninggalkan saya dalam keberisikan bahasa Burma! Taksi yang mendadak shared ini juga saya alami ketika kembali ke bandara dari pusat kota Mandalay. Mentang-mentang model mobilnya seperti Kijang, maka si sopir lebih ‘seru’ lagi mengambil penumpang! Tidak tanggung-tanggung, tambahannya 3 orang dan semuanya turun tidak di bandara, tetapi di jalan menuju Bandara. Entahlah, apakah benar searah atau tidak, tetapi saya turun paling akhir dan paling lama! Para penumpang yang diambil di tengah jalan itu, dua ngobrol dengan bahasa Burma dengan tingkat kebisingan lumayan, dan penumpang satu lagi memasang musik keras-keras. Untunglah saya menggunakan strategi, masih untung ada 3 orang, coba 10 orang..?

Angkutan Umum Antar Kota

Ketika melakukan day trip ke Bago, saya berniat naik bus AC. Tetapi karena terlambat, sepertinya bus AC sudah tidak ada. Kemudian dengan bantuan pemilik Hotel yang berkenan menuliskan aksara Burma untuk pergi ke Bago, saya mencari taksi yang melintas di jalan besar tak jauh dari Sule Pagoda Road di Yangon. Saya menyerahkan kertas tersebut kepada sang sopir yang berlongjyi coklat tua dan ia langsung tancap gas kearah utara. Sebenarnya kepada pemilik hotel saya minta tolong dicarikan transportasi yang relatif murah namun cepat untuk sampai ke Bago. Saya prefer pada pilihan bus daripada menyewa mobil karena pertimbangan harga.

Taksi berhenti di sebuah tempat yang tidak ada bus-nya sama sekali. Saya yakin bahwa supir taksi berhenti karena sudah sampai dan bukan menanyakan jalan, jadi inilah tempat saya melanjutkan perjalanan ke Bago. Yang ada di depan saya adalah sekumpulan mobil seperti angkot bak terbuka dengan terpal di bagian belakang. Sambil menunggu di dalam taksi karena sang sopir berbaik hati membantu mencarikan tiket ke Bago, saya meyakinkan diri bahwa saya akan berhasil menikmati perjalanan ini. Jangankan bus ber-AC, bus besar atau medium pun tidak ada dan saya akan bergabung dengan warga lokal untuk menuju ke Bago. Well… it’s a get-lost! And enjoy the trip!!

Sang sopir taxi kembali dan mengantar saya untuk duduk di depan, di samping kiri sopir angkot! Aha! Ini privilege tersendiri. Saya tidak perlu uyek-uyekan di belakang dengan berbagai barang dagangan dan mungkin para ternak. Okelah, tanpa AC, tetapi full angin. Yiiiiiihaaaaa….!

Setelah sekitar seperempat jam ngetem, akhirnya berangkat juga ke Bago melalui jalan tol. Sopir cukup ngebut tetapi kelihatannya relijius juga karena ada patung Buddha dan untaian melati di dashboard depan. Dan namanya juga angkutan umum, walaupun di jalan tol yang berbayar, begitu ada penumpang yang melambaikan tangan pastilah berhenti. Saya melirik ke belakang, tampaknya sudah penuh sesak keadaan disana. Keneknya sibuk mengatur penumpang dan barang-barang bawaannya. Sepertinya sama saja dengan keadaan di Indonesia, semua disuruh masuk lebih dalam padahal tidak ada ruang lagi. Sungguh tidak ada bedanya.

Kemudian suatu saat sopir dan keneknya terlibat sesuatu pembicaraan yang serius, cenderung ngomel berkepanjangan kepada keneknya. Rupanya ada benda yang tertinggal. Karena di dalam jalan tol tidak memungkinkan untuk memutar balik, maka supir pun mengambil langkah memundurkan mobil. Kalau hanya seratus meter mungkin oke-lah, tetapi kalau lebih dari 2 kilometer??? Biar jalannya lurus… tetap saja aneh bin ajaib kan 🙂

Ketika angkutan berhenti di sebuah tempat yang kebetulan sedang hajatan pernikahan, saya memperhatikan mobil sewaan untuk pernikahannya. Tidak berbeda dengan di Indonesia, mobil lengkap dengan hiasan-biasan bunga dan pita. Bagus juga kalau berkesempatan turun di situ yaa??? *numpang makan hahaha…

Yang cukup parah, ketika sedang asik-asiknya tertidur, tiba-tiba sopir membangunkan saya di antah berantah. Dia hanya bilang: Bago! Bago! Dengan nyawa yang belum terkumpul lengkap, saya diturunkan sebelum semua penumpang mendelik tak sabar kepada saya dan saya ditinggalkan sendirian terkaget-kaget bangun tidur di tengah terik matahari siang, di pinggir jalan! 🙂

Sepeda motor

Moda transportasi lainnya yang saya gunakan di Burma terutama di area peninggalan sejarah di Bago adalah Sepeda Motor alias Ojek. Biaya ojek yang saya bayarkan termasuk si tukang ojeknya sendiri sebagai pemandu wisata. Dengannya, saya mengalami ‘perampokan’ halus seperti yang ada pada posting Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma.

Menggunakan sepeda motor di Bago, memang merupakan moda transportasi yang paling tepat karena antar lokasinya cukup jauh jika dilakukan dengan jalan kaki. Selain itu, jalannya pun masih jarang, kadang jelas sebagai jalan, kadang masih merupakan jalan setapak yang masih cukup nyaman dicapai dengan sepeda motor.

Kereta Kencana 🙂

Kereta Kencana
Kereta Kencana

Lain lagi di Bagan, seperti posting Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda dan karena pertimbangan biaya, untuk sampai ke hotel dari bandara dan keliling seluruh daerah peninggalan sejarah Bagan, saya menggunakan kereta kencana, eh… dokar yang ditarik kuda. Dan memang sangat nyaman sekali naik dokar di kota kecil yang deserted itu. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah sambil menikmati pagoda-pagoda yang bertebaran di seluruh tempat Bagan. Tetapi yang jelas, setelah seharian menjelajah Bagan, saya harus cuci rambut karena debu terasa memenuhi kepala!

Jalan Kaki

Ini moda transportasi yang paling murah karena memanfaatkan karunia Yang Maha Kuasa : Kaki. Saya mengelilingi pusat kota Yangon dengan berjalan kaki, karena semua obyek wisata pusat kota masih dalam walking distance dengan hotel saya menginap.

Tetapi ada kalanya, saya jalan kaki karena terpaksa, karena tidak ada pilihan lain. Seperti pada hari saya kembali ke Yangon dari Mandalay dan mendarat di bandara terminal domestik. Dan karena pada hari itu saya harus lanjut ke Bangkok, saya tanya kepada petugas bandara arah menuju terminal keberangkatan internasional. Petugasnya sambil tersenyum, menjelaskan, di  gedung sebelah Bu…  Saya lihat arahnya, dan bertanya dengan naifnya, keluar dulu??? Petugas bandara mengangguk tanpa meninggalkan senyumnya. Itu artinya, saya harus jalan kaki ke luar gedung bandara terminal domestik lalu jalan kaki menyusuri pagar luar sekitar 800 meter, panas terik, untuk kemudian masuk lagi ke gedung bandara internasional. Saya melihat ke sekitaran, hanya ada saya sendiri jalan panas-panas, tanpa payung, bawa ransel dan banyak mata memperhatikan…  Ah, biarin saja! 🙂

20 tanggapan untuk “Transportasi Burma: Dari Pesawat Baling-baling, Kereta Kencana, Angkot hingga Taksi Mogok

    1. Saya waktu itu nginepnya di depan Sule Pagoda di Yangoon, May Shan Hotel dan harganya paling ekonomis via agoda waktu itu. Lokasi di pusat kota Yangon (downtown) dan walking distance ke beberapa gedung menarik dan tempat wisata, (kecuali ke Shwedagon ya). Ada sih hotel lainnya juga tetapi krn diluar jangkauan saya (dollarnya banyaaaak). Ada juga di sekitarnya Sule Pagoda itu, tapi maaf ga tau email dan webnya.

      Suka

    1. tiket domestik sekitar 1 jutaan (bikin pingsan kalo inget!!) coba aja, air bagan, air kbz, air mandalay… setahun lalu, aku online booking, sampai yangon baru bayar di kantornya… jaman itu, uang Dollarnya harus licin yaa… ga boleh yang kumal, pasti ditolak mereka.

      Suka

    1. kalo baca di LP sudah dibuka Border Crossing antara Myanmar – Thailand yang menghubungkan kota Dawei di Myanmar dan Kachanaburi di Thailand. Secara geografis lebih dekat ke Bangkok. Bisa juga Moulmein to Myawadi – Maesot sambung bus ke Bangkok.

      Suka

  1. mau tanya kalo d myanmar ada penakaran kura kura darat ngga saya kebetulan pecinta kura kura yang saya tahu kura kura menjadi hewan yang sangat di di istimewakan oleh penganut budha

    Suka

  2. setau saya agama budha menganggap tortoise (kura kura darat) hewan yang sangat di istimewakan di myanmar ada ga kira kira tempat penakaran kura kura kebetulan saya pecinta kua kura juga

    Suka

  3. Hai mba, salam kenal dari saya, Langsung aja yaa mba ada 2 pertanyaan nie mba yang mau saya tanyakan, 1. Apa nama bus dari yangon ke bangan dan dari station mana naiknya dan berapa rate harga busnya . 2. Ada tidak bus dari bagan langsung ke ho chi minh vietnam apa harus ke mandalay dulu baru bisa ke ho chi minh? mohon advisenya mba, Terima kasih banyak

    Suka

    1. Hai Michael,
      Salam kenal kembali… 🙂
      Maaf ga bisa bantu nii nama busnya, karena waktu itu saya terbang dari yangon ke bagan. Coba deh googling or visit go-myanmar(dot)com/arriving-and-departing-over-land/ buat cari tahu apakah memungkinkan land crossborder keluar via Tachilek menuju Chiang Rai. Kalau aman sih, terbang dari Mandalay bisa ke Chiang Mai dan dari situ bisa cross Laos untuk masuk Vietnam, atau ke Bangkok via Kamboja untuk menuju HCMC (Dari utara turun ke selatan, jauh amat yaa??)

      Suka

    1. dear Marsa, setau saya bisa kok. Yangon ke Myawaddy (myanmar) – Mae Sot (thailand). Dari Mae Sot ini bisa ke Phitsanulok (Sukhothai), atau mau lanjut ke utaranya Chiang Mai/Chiang Rai, atau ke Selatan (Bangkok). Coba google deh… seru juga kayaknya..

      Suka

  4. Apa bisa nik bis dari Bagan ke Tachilek terus overland cross boarding masuk ke Thailand Chiang Rai?
    Karena saya sudah goggling ga ada jawaban yg tau nih.

    Suka

    1. Saya ga pernah melakukan sih, tetapi yang saya baca di internet posisi per 2016 jan, border Tachileik bisa exit ke Mae Sae terus ke Chiang Rai. Masalahnya utk sampai ke Tachileik itu harus terbang krn jalan ditutup. Kalo mau overland, hrs pakai mobil pengawalan yang harganya lebih mahal dari harga flight ke tachileik. Hal ini terjadi krn masalah keamanan domestiknya Myanmar (Tachileik masuk wilayah Shan State), apalagi setelah bomb bangkok belakangan ini, jadi makin ketat di border. . Atau siapa tau mau ngambil route dari Bagan ke Mandalay trus terbang ke Chiang Mai hehe…Semoga membantu

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.