Dua Kata Ajaib Yang Mengubah Dunia


Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai seseorang yang sedang berulang tahun atau mengalami promosi, mendapatkan ucapan selamat dan doa dari orang-orang disekitarnya, atau orang-orang terdekatnya, bahkan tidak aneh bila ada yang memberikan bingkisan. Tidak jarang ucapan selamat atau doa itu datang lebih dari satu kali dari orang yang sama. Semakin dekat hubungannya dengan seseorang yang sedang berbahagia, semakin sering ia memberikan tanda ikut berbahagia. Namun sebagai orang yang memberikan ucapan selamat atas peristiwa berbahagia itu atau yang memberikan bingkisan, di depan jiwanya terbentang ujian keikhlasan, apakah ia menyisipkan noda pamrih dalam pemberian itu.

Sejatinya, kita dituntun dan diteladani sejak masa kecil bahwa dalam memberikan sesuatu haruslah disertai dengan keikhlasan hati. Memberi, memiliki arti untuk mampu melepas bagian dari yang ada pada kita untuk diserahkan kepada orang lain. Unsur lanjutannya, yakni dengan hati yang ikhlas, memiliki pengertian bahwa pemberi benar-benar bersedia melepaskan ‘hak’-nya terhadap sesuatu yang diserahkan itu untuk menjadi bagian dari orang lain dan bukan lagi menjadi urusannya serta tidak berharap apapun sebagai balasan atas pemberiannya.

Namun bila kita benar-benar jujur terhadap diri sendiri, apakah benar semudah itu? Apakah sungguh-sungguh tidak terpengaruh hati ini apabila kita memberi sesuatu yang bernilai tinggi kepada orang lain, lalu reaksi si penerima tidak seperti yang kita harapkan? Bagaimana rasanya apabila apa yang diberikan itu diabaikan, ditelantarkan atau tidak dipedulikan? Dilihatpun tidak… Atau bagaimana apabila apa yang diberikan itu, yang bernilai tinggi itu, kemudian diserahkan kepada orang yang lain lagi, atau bahkan dirusakkan? Bagaimana apabila penerima tidak peduli dan bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak? Atau bagaimana jika ungkapan terima kasih itu digabungkan dan tidak mempedulikan pemberian yang lain?

Benarkah dalam memberi kita bisa bersikap benar-benar ikhlas? Tidak berharap?

Tampaknya tingkat kedalaman rasa ikhlas tidaklah sama pada setiap manusia, tergantung pada situasi yang dihadapinya, yang menghubungkan dan pada hubungan antara manusia itu serta banyak hal lain yang terkait. Terhadap orang yang tidak berkemampuan menerima, ada orang yang langsung melabeli dengan ‘tidak tahu diri’, ada yang diam namun frustrasi di dalam hati, ada yang terdiam melihatnya lalu merefleksi diri, ada juga yang tetap tersenyum tanpa terpengaruh apa-apa.

Ada orang-orang yang telah banyak belajar untuk bisa lebih ikhlas, namun tak jarang tetap terperangkap pada rasa ingin mendengar dua kata ajaib: terima kasih. Sejatinya, keinginan ini pun merupakan sebuah perangkap ketidakikhlasan karena mengharapkan sesuatu balasan, walaupun tanpa biaya. Apakah penerima akan berterimakasih atau tidak, itu tergantung dari kemampuan menerima dari dirinya. Kita tidaklah pernah memiliki hak untuk meminta itu.

Namun di sisi lain, timbulnya rasa ingin mendengar terima kasih itu merupakan sebuah rasa yang sangat manusiawi, yang senantiasa diajarkan sejak kecil jika kita menerima sesuatu. Dalam situasi itu, ketika terjadi sebuah pemberian, ada manusia kecil yang menerima dan yang memberi. Manusia kecil yang memberi menyaksikan untuk mendengarkan bagaimana si penerima mengucapkan kata terima kasih. Sehingga, bila tertanam kuat, bagi pemberi merupakan hal yang wajar bila ingin mendengar dua kata ajaib itu – terima kasih, sebagai wujud saling menghargai satu sama lain. Bukan sebuah bentuk tuntutan, permintaan atau mengharapkan balasan terhadap sebuah pemberian, tetapi terbiasa dengan kenyamanan hidup dalam keseimbangan rasa di antara manusia. Karena pada dasarnya manusia ingin mendapatkan ketentraman dengan merasa dihargai dari manusia lainnya.

Hanya dengan dua buah kata, Terima Kasih.

Dua kata ajaib itu, mampu meluluhkan rasa lebih tinggi, rasa lebih atas dari pemberi. Mampu mengikis rasa angkuh karena mampu memberi. Melihat orang lain berbahagia dan mampu menerima sebuah pemberian, menjadikan hati ini damai dan tenteram. Seseorang merasa dihargai, dikasihi dan diapresiasi.

Bila seseorang menghabiskan hidup dalam lingkungan yang mendukung apresiasi yang baik ini, seseorang akan menjadi lebih kuat, lebih hidup dalam kerasnya tantangan sehari-hari. Diapresiasi, menjadi bahan bakar untuk hidup lebih kuat. Pembelajaran hidup dapat diterima dengan damai tanpa rasa ketidaknyamanan. Orang-orang kuat bermula dari dua kata ajaib – terima kasih, yang dapat mengubah dunia.

Maka dari itu, ada baiknya kita menyempatkan waktu untuk berpikir, apakah kita hari ini telah berterima kasih pada orang-orang yang memberikan upaya kebaikan kepada kita? Bila kita menyadari bahwa dengan ucapan terima kasih mampu memberi lompatan hidup yang lebih baik baginya, mengapa tidak kita lakukan sekarang?

Bukankah sebuah keniscayaan bahwa pemberian yang baik akan berbuah yang baik pula?

6 tanggapan untuk “Dua Kata Ajaib Yang Mengubah Dunia

  1. saya belum lulus belajar ilmu ikhlas…
    tapi saya mengakui dua kata ajaib itu memang membuat sejuk hati…
    terima kasih tuk mengingatkan agar tak lupa berterima kasih 🙂

    Suka

  2. waduh bagus sekali tulisannya. berharap agar lebih mengerti pada perkataan perkataan tertentu yang lansung tidak pernah didengar mahupun dibaca serta tiada persamaannya dengan Bahasa Melayu. Apapun, terima kasih kerana sudi menjemput saya ke blog yang menarik ini. Harap tiada niat untuk dapat balasan seperti puji pujian ya. Sekali lagi Terima Kasih

    Suka

    1. Dear Razlan,
      Terima kasih sekali telah berkunjung dan membaca. Maaf ya, bahasa yang digunakan yang ini memang agak ‘berat’ 🙂 tetapi saya percaya bisa dipahami 🙂 ditunggu komentar yang lain… wassalam

      Suka

Tinggalkan Balasan ke anang Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.